"Katanya tadi kamu terjatuh?" tanya Arsa nyaring sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol kopi.
"Kata siapa?" Wahda balik bertanya sambil terus memixer adonan es krim."Tera."Wahda berdecak. "Tumben tu bini orang ember."Setelah menandaskan minumannya, Arsa memasukkan botolnya ke wadah sampah kering yang tak jauh dari kaki Wahda."Coba aku lihat." Arsa mendekat."Kau lihat aku sedang apa?!""Masih lama? Kalau lama matikan dulu."Yanti muncul dengan membawa peralatan kebersihan."Yanti, tolong kau ganti Wahda sebentar."Wahda mematikan mixer. "Arsa, aku dokter. Tentu aku bisa merawat luka sekecil itu."Arsa tak bersuara. Ia menarik Wahda, membawa ke ruang ujung, lalu mendudukkannya di sofa inflatable."Coba lihat tanganmu!" ucap Arsa sambil menyentuh tangan, dan memerhatikan telapak tangannya. Terlihat tangan Wahda yang bersih, meski masih ada goresan acak.Getaran dadaku kembali bergelombang. Aku menahan napas supaya tidak lagi menangis. “Tadi dia menelponku, memintaku ke rumah sakit. Aku janji padanya setelah mengantar rantang ke rumah Tante. Siapa sangka akan seperti ini.” Lagi-lagi aku menghela napas. Sangat terasa tubuhku lemah sekali. Entah berapa lama aku menangis. “Dia tidak akan menyalahkanmu. Jadi jangan menyalahkan diri,” sahutnya sambil menoleh padaku. Matanya mulai bergulir lembut. “Besok dia ulang tahun. Aku telah membelikan kado untuknya Tapi ....” Aku kembali terisak. Ia menarik kepalaku, tetapi aku mengelak. Aku menghirup udara dingin kuat-kuat, lalu menghempaskannya. Aku melakukan itu berkali-kali, sampai dadaku sedikit lega.“Terima kasih. Kau bisa pergi sekarang. Maaf, telah mengganggu waktumu.”Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk belakangku dari debu. Arsa juga berdiri. “Aku akan mengantarmu.”“Tak perlu. Kau pergilah. Aku mau pergi ke suatu tempat.”“Mau ke mana? Aku akan mengantarmu. Aku tidak akan membiarkanmu b
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t
Aku telah meluncur ke bandara dan jangan menyusulku. Kurasa kita harus memikirkan ulang hubungan kita. Benarkah yang kita lakukan ini?Sanggupkah kita menerima dunia masing-masing? Sanggupkah kita menerima masa lalu pasangan?Aku memahami jiwamu, tapi aku juga ingin diprioritaskan dari siapa pun. Aku egois, tapi aku tak bisa memaksamu meninggalkan duniamu.Seberapa keras pun aku berpikir, aku ingin kamu hanya untukku. Dulu kita berpikir, selama kita saling bergantung, cinta itu belakangan. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Ternyata ketergantungan, masih kalah dengan cinta dan hati.Kalaupun ketergantungan itu ada, bukankah kita bisa tetap bersama tanpa harus menikah? Terlebih lagi kita telah terikat hubungan darah. Seberapa pun jengkelnya, kita tidak akan bisa mengabaikan karena memiliki hubungan darah. Dari genetik yang sama.Sengaja kutinggalkan cincin itu. Jika sepeninggalanku kau bertemu laki-laki yang membuat jantungmu berpacu cepat seperti yang kau inginkan, laki-laki yan
"Wah, sore ini Arsa datang. Kami mau menjemputnya, kamu mau ikut?" Pertanyaan Teratai membuatku syok. Diam, tetapi di dalam bergemuruh hebat. Betapa aku merindukan laki-laki itu. Arsa mau datang? Mengapa dia tidak mengabariku? Sepertinya dia benar-benar membenciku? Dia sudah tak menganggapku lagi. "Kok bengong?! Masa tunangan nggak dijemput?"Aku masih bungkam. Tunangan? Benar juga, kami memang belum menyampaikan situasi kami kepada orang tua.Atas nama tunangan, aku bisa saja menjemputnya. Hanya saja, masihkah dia menganggapku tunangan? Sedang kabar kepulangannya saja tidak mengabariku. Bagaimana kalau dia datang dengan perempuan lain? Tentu akan sangat menyakitkan."Wah, kau bawa mobil sendiri ya. Aku ikut, ada yang mau kucari di Banjarmasin." Tiba-tiba gadis es kutub muncul dari persembunyiannya. Aku mengangguk linglung. ***Berkali-kali aku meremas tanganku yang terasa dingin. Badanku tak bisa diam duduk di kursi panjang. Sesekali aku melirik Adeena yang sibuk dengan ponselny