"Terlambat?" Suara Ratna menyambut sang putra yang baru beberapa langkah memasuki ruang makan keluarga dengan 12 kursi di sana.
"Gimana kondisi Richie? Kapan kamu bawa pulang?" Kali ini pertanyaan ayahnya yang terdengar khawatir. Kavi tak langsung membalas, ia memberikan salam dan kecup hangat terlebih dahulu pada kedua orang tuanya, lalu menarik kursi tepat di sisi kanan sang ayah. "Richie baik-baik saja," jawab Kavi, seraya mengangkat cangkir kopi yang telah tersaji dihadapannya. "Syukurlah, Daddy begitu mencemaskannya." "Hmm." "Bagus kalau begitu. Bawa Richie pulang saat acara 40 harian Vani," ujar Ratna yang lebih seperti perintah. "Ya, Mami benar Vi, keluarga Hasto pasti akan senang melihat cucu mereka." Radhi menimpali. Kavi mengangguk. "Hmm, aku mengerti." "Lalu, apa kamu sudah mendapatkan ibu susu untuk Richie? Usahakan untuk tidak memberikan susu formula hingga usianya 2 tahun, Vi." "Kalau bisa, biarkan ibu susu Richie tinggal bersama kita, agar segala nutrisinya dapat kita penuhi dan awasi!" "Dan, satu hal yang paling penting dari semua itu, kamu harus tahu asal usul, bibit, bebet, dan bobot perempuan itu. Jangan ngasal, jangan sembarangan!" Imbuh Ratna penuh penekanan. Kavi menghentikan gerak tangannya yang hendak memasukkan suapan kedua dalam mulutnya. Seketika wajah Felicia hadir dalam ingatannya, beserta dengan kenangan masa lalu, saat dahulu ibunya selalu menilai rendah wanita pujaan hatinya itu. "Mami pikir wanita seperti apa yang akan menjadi ibu susu Richie? Seorang gadis perawan yang tak punya keluarga?" Jawab Kavi, satire. "Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk Richie!" Imbuh Kavi lagi, lalu menggeser kursinya, bangkit dan hendak meninggalkan meja makan tersebut sebelum menu utama dikeluarkan oleh chef keluarga mereka. "Mau kemana kamu, Kav?" Radhi berusaha menghentikan. Ia tahu watak ibu dan anak dihadapannya ini sama kerasnya. "Kamar Dad, saya kehilangan nafsu makan," jawab Kavi, pelan. "Duduk dan selesaikan makan-mu dengan benar, Kav. Jangan kekanak-kanakan. Maksud Mami baik," ujar Radhi lagi. "Jadi, menurut Daddy, hanya Mami saja yang selalu punya niat baik? Sementara aku ...." "Apa ada yang salah dengan ucapanku? Mengapa kamu terlihat begitu sensitif?" Kali ini Ratna benar-benar bingung karena sepertinya apa yang dia katakan sama sekali tak bermaksud menyinggung siapapun. "Tidak Mam, tidak ada yang salah. Semua saran, perintah, dan ucapan Mami baik. Sangat baik, bahkan!" Kavi kembali, menjawab. Entah mengapa spontan ia benar-benar kesal pada sang ibu yang membahas bibit, bebet, dan bobot seseorang yang kembali membangun ingatannya pada kegagalan hubungannya dengan Felicia. "Saya beneran udah gak nafsu makan lagi, Dad. Lagipula pukul 17.00 nanti, saya ada janji keluar makan malam dengan teman lama," Kavi kembali menolak. "Siapa?" Ratna, spontan bertanya. "Pria atau wanita?" "Mam ...." Radhi menyela. Tak ingin istrinya semakin menyulutkan emosi sang putra. "Permisi, Dad." Pamit Kavi, yang hanya melirik Ratna sekilas, lalu bergegas pergi dengan langkah-langkah besarnya menaiki undakan anak-anak tangga dengan cepat. "Biarkan dia dulu, kamu jangan selalu menyinggung kesukaannya." Radhi kembali menegur Ratna. "Aku hanya tidak ingin dia bertingkah gegabah. Keluarga Hasto pasti terus mengawasinya. Semua yang aku lakukan adalah demi kebaikan keluarga kita, Mas!" Balas Ratna, tak terima disudutkan. "Aku mengerti, sangat mengerti ...." "Aku bertanya pria atau wanita bukan maksudnya melarang dia berteman. Hanya saja, kalau sampai ada yang lihat Kavi dengan wanita lain, sementara kuburan Vani masih basah. Apa kata orang?" Radhi mengesah berat ia cukup paham ketakutan sang istri yang tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada keluarga ini. Sementara itu Kavi yang kini telah berada di dalam kamarnya segera membuka lemari pakaiannya. Lemari yang terbuat dari kayu jati asli, berwarna cokelat tua, kilat. Terdiri dari empat pintu, dimana masing-masing isinya berbeda. Mulai dari set jas, kemeja, kaos, dan segala atribut penyempurna. Kavi membuka semua pintu lemarinya, mengedarkan pandangan matanya ke seluruh sekat lemari tersebut sembari terus berpikir, kiranya ia harus menggunakan pakaian apa untuk bertemu dengan Felicia. Seperti remaja yang pertama kali jatuh cinta. Kavi terlihat begitu menyiapkan diri untuk kembali bertemu dengan cinta di masa putih abu-abunya itu. "Aku harus tampil sebaik mungkin. Feli harus menyesal karena telah meninggalkan aku!" Gumam Kavi, antusias. Kavi akhirnya menarik satu kaos polo berwarna hitam, yang ia padu padankan dengan celana jeans. Tampilan casual menjadi pilihan Kavi. ... Waktu berjalan dengan begitu cepat hingga pada akhirnya saat ini Kavi telah berada di kantin rumah sakit yang berada di lantai satu gedung tersebut. Belum genap pukul 17.00 wib, memang. Namun, rasa tidak sabar Kavi membuatnya rela menunggu hampir sejam di sana, daripada berdiam di rumah dan datang diwaktu yang telah disepakati. Secangkir coffee latte bahkan telah kandas menemaninya, hingga Felicia akhirnya datang. "Langsung saja!" Ujar Felicia tanpa basa basi, seraya menarik kursi di hadapan Kavi. Membuat pria tampan itu berjingkat, kaget. Kavi memutar bola matanya malas. "Bisa gak, kalau jalan pake suara?" Protes Kavi. Felicia mengerutkan dahinya, lalu menggeleng. "Kamu emang kebiasaan ya, kayak hantu! Pergi gak pamit, datang gak salam," sindir Kavi, kesal. Felicia menghela napas berat. Sungguh, hal yang membuat canggung dirinya dan Kavi saat ini adalah kalimat-kalimat yang membangkitkan kenangan masa lalu mereka yang tak lagi ingin ia bahas. "Katakan saja dengan segera, apa yang ingin kamu bahas tentang anakmu." Felicia menjawab, dingin. "Hhh ...." Kavi, menarik napas dalam. Felicia agaknya benar-benar tak lagi memiliki rasa padanya. "Oke, aku akan to the point!" Felicia mengangguk, tatapannya juga fokus pada Kavi, yang justru membuat pria itu canggung dan salah tingkah. "Aku ingin kamu menjadi ibu susu untuk Richie secara eksklusif," ucap Kavi akhirnya, lega. Tanpa selip. "Maksudnya eksklusif?" Felicia bertanya, memastikan. "Ya, aku tidak akan menggunakan jasa rumah sakit untuk mengambil ASI melalui rumah sakit ini secara random. Melainkan, memintamu secara khusus, menjadi sumber ASI satu-satunya untuk Richie," terang Kavi, kali ini dengan nada suara yang lebih berwibawa dan serius. Felicia tak langsung menjawab, kali ini ia hening sejenak untuk memikirkan tawaran Kavi. "Jangan khawatir, karena aku akan memberikanmu tempat tinggal terpisah dari rumah utama." Imbuh Kavi yang seolah tahu apa yang menjadi beban pertimbangan Felicia. Felicia tercengang, wajahnya yang tadi tertunduk, kini kembali terangkat menatap serius pada Kavi. "Aku juga tidak akan mengatakan pada siapapun tentang keberadaan kamu. Semuanya kita rahasiakan." Kavi telah mengetahui sebagian besar alasan dan rahasia masa lalu Felicia dari informasi yang Romi berikan beberapa saat lalu dan ia cukup merasa bersalah karena selama ini telah menganggap Felicia sebagai perempuan manipulatif yang hanya ingin mempermainkan ketulusan hatinya. Manik coklat Felicia itupun akhirnya memupuk kristal bening nan hangat, hingga tanpa aba-aba menetes sempurna membasahi pipinya yang seputih susu. "Aku pernah gagal menjagamu, tapi aku janji kali ini tidak lagi," batin Kavi, serius. "Mari kita sepakat!""Mas?" Felicia cukup terkejut dengan kehadiran Kavi di pagi buta. "Ada apa?" "Richie gimana?" Felicia mengejar Kavi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasarannya. "Kamu butuh susu untuk Richie?" Bukannya menjawab pertanyaan Felicia untuk kesekian kalinya itu, Kavi justru melemparkan tubuhnya di atas sofa yang berhadapan langsung dengan televisi berukuran besar itu. Napasnya berat, tampilannya juga sangat kusut. "Mas!" Felicia kembali menyeru, kali ini bahkan dengan nada tinggi. "Kamu kenapa?" "Hhhh." Sekali lagi Kavi mengesah berat. Napasnya seolah benar tertahan di dalam dadanya, sulit untuk di bebaskan. Terpenjara bersama dengan isi kepala yang semakin kacau. Felicia ikut mengesah, menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat Kavi yang terlihat sangat kacau kali ini. "Mau kopi?" Tawar Felicia akhirnya, sembari berjalan tanpa menunggu jawaban Kavi. Ia tahu, saat ini pria yang pernah menjadi cinta pertamanya itu sedang tak bisa di ajak bicara. "Felicia, pul
"Fel!" Kavi kembali menyerukan namanya. "Ngelamun?" Imbuhnya sembari menaik-turunkan tangannya di depan wajah Feli yang kini terlihat gugup. "Hmm, ya, ..., kenapa?" "Ck! Emang beneran ngelamun? Kenapa?" "Apanya yang kenapa?" "Kamu kenapa, Fel?" Kavi memutar bola matanya malas. Feli menggeleng. "Gak apa-apa, emang kenapa? Kamu tadi bilang apa?" "Hmm, kamu mau gak, ikut aku ketemu sama temenku itu." Kavi kembali mengulang pertanyaannya. Feli kembali hening, ia belum yakin bertemu dengan orang-orang di dekat Kavi saat ini. "Masalah itu, kita bicarakan nanti ya. Ini sudah malam dan Richie baik-baik saja. Aku juga ingin istirahat," ujar Felicia mengalihkan pembicaraan. "Hmm, oke deh, kalau gitu. Sampai ketemu esok, ya." Kavi lalu mematikan sambungan telepon mereka dan bersiap membersihkan diri dan beristirahat.***Sementara itu di apartemennya, Felicia tak benar-benar tidur. Tubuhnya benar rebah di atas ranjang. Namun, matanya tak kunjung terpejam. Pikirannya masih berkelana, men
Kavi bergegas meninggalkan apartemen. Dengan kecepatan tinggi mobilnya membelah jalanan malam, setelah sang ibu memberikan kabar bahwa Richie putranya mendadak demam, panas tinggi. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja.Tiba di rumah keluarganya, Kavi menerobos masuk ke dalam dan berlari menaiki anak tangga menuju kamar Richie yang telah di periksa oleh dokter keluarga. "Gimana, Fer?" Kavi langsung menyerang Feri sahabatnya yang juga dokter anak itu dengan pertanyaan. Feri yang tengah berbincang dengan Ratna itupun kini membalikkan tubuhnya, menatap langsung ke arah Kavi. "It's oke. Cuma kayaknya ada masalah sama botol susu-nya yang kurang steril atau proses menghangatkan susu. Jadi buat dia kembung. Tapi, tenang aja, aku bakal periksa secara keseluruhan di rumah sakit nanti dari hasil darah yang aku ambil tadi," terang Feri, sejelas-jelasnya. Tak ingin sahabatnya itu semakin panik dan khawatir. Kavi mengangguk lemah dan kembali melangkah mendekati tempat tidur Richie.
Sementara itu di sepanjang perjalanan Rizka terus mengingat-ingat wajah wanita yang tadi bersama dengan mantan menantunya. Wajah yang sangat tak asing menurutnya. "Kenapa, Ma?" Hasto, suaminya bertanya. Sejak masuk ke dalam mobil, ekspresi wajah Rizka memang tak dapat menutupi rasa penasarannya. Rizka menatap sekilas suaminya sebelum kembali menghadap jendela dan menjawab. "Aku bertemu Kavi dengan seorang wanita di restoran tadi." Hasto hening sejenak, dahinya sesat berkerut. Namun, kemudian justru tersenyum tipis. "Terus, masalahnya?" Tanya Hasto seolah itu bukan masalah besar. "Maksud Mas?" Rizka balik bertanya dengan nada yang jelas tak suka. "Putri kita belum empat puluh hari dan dia sudah bersama dengan perempuan lain?" Marah Rizka tak terima. "Bisa saja itu rekan bisnisnya atau ...." "Cih! Rekan bisnis apa? Aku memperhatikan gelagatnya sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menegur dan menghampiri. Kavi begitu perhatian, tatapannya pada perempuan itu jelas lebih hangat d
Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya,
"Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t