Share

Inikah Rasanya Ditolak?

Sejak tiga hari yang lalu, Duta kesulitan untuk tidur. Bawaannya selalu gelisah, tapi juga berdebar menyenangkan dan bikin tidak sabar. Bagaimana tidak, hari ini dia akan jalan bareng dengan Tiwi, cewek yang sudah lama ditaksirnya diam-diam. Ini memang bukan kali pertama mereka jalan berdua, tapi yang sebelum-sebelumnya benar-benar sekadar jalan-jalan biasa, tidak ada perencanaan apa-apa.

"Pokoknya, hari ini kamu harus ngungkapin perasaanmu," kata Duta kepada bayangannya di dalam cermin.

Dia menyapukan pomade ke rambut ikalnya, lalu ditata sekenanya dengan jemari. Setelah dirasa cukup, dia berputar untuk melihat penampilannya dari segala arah. Kemeja lengan panjang abu-abu dan celana chino hitam itu baru dibelinya kemarin, dan tampak sangat pas di tubuhnya. Tidak bisa dipungkiri, ketampanannya meningkat 85% dibanding hari-hari biasanya.

Selesai di depan cermin, Duta beralih ke sudut ruangan, menarik laci dan mengambil kotak beludru berukuran kecil. Dia menggenggamnya sambil melangitkan harapan sekali lagi, sebelum dimasukkan ke saku celana.

Setelah mengunci pintu kosannya dengan baik, Duta pun berangkat ke tempat janjiannya dengan Tiwi menggunakan vespa butut kesayangannya. Sepanjang jalan dia bersiul, atau sekadar bersenandung lagu-lagu cinta yang bisa mewakili isi hatinya saat ini.

Lima tahun yang lalu, Duta terbang dari Makassar untuk mengaduh nasib di ibukota ini. Sejak ayahnya meninggal saat dia masih kuliah, Duta paham betul tugasnya sebagai anak pertama yang punya tiga orang adik. Ada beban tak kasat mata yang seketika berpindah ke pundaknya.

Berat memang, tapi pantang bagi Duta untuk mengeluh. Dia jalani semuanya dengan sabar, membiasakan diri pelan-pelan. Dia rela kerja serabutan demi bisa menyelesaikan kuliah dan adik-adiknya tidak putus sekolah. Semua itu mendewasakan pikirannya lebih cepat dari seharusnya. Dia kehilangan banyak waktu untuk bertingkah seperti remaja kebanyakan. Dia nyaris tidak punya pengalaman apa-apa di dunia percintaan. Karena itu, dia tidak yakin taman benar-benar pilihan yang bijak untuk menyatakan cinta. Namun, hanya tempat semacam ini yang sempat terpikirkan.

Saking semangatnya, Duta tiba di lokasi janjiannya dengan Tiwi 30 menit lebih cepat. Cowok hitam manis itu langsung mencari tempat duduk sambil merapikan buket mawar merah yang dibelinya di jalan. Karena kena angin, sekarang jadi sedikit berantakan, tidak secantik sewaktu masih terpajang di kios tadi.

Setelah menemukan tempat duduk yang dirasa cukup nyaman, Duta mengulang lagi dalam hati kalimat yang akan disampaikannya. Diulang sampai benar-benar lancar.

Beberapa menit kemudian, Tiwi pun datang. Dia bisa langsung menemukan Duta karena dikirimi petunjuk berupa foto.

"Udah dari tadi, ya?" tanya Tiwi sambil mengisi ruang kosong bangku beton yang diduduki Duta.

"Nggak, kok. Aku juga baru nyampe," dusta Duta sambil cengar-cengir.

"Bentar! Kok, kamu rapi banget?" tanya Tiwi sambil memindai penampilan Duta.

"Ya masa jalan sama kamu tampilanku sama kayak pas nguli. Kan, nggak mungkin."

Mereka terkekeh.

"Tapi serius. Hari ini kelihatan beda aja," komentar Tiwi lagi sambil menyelipkan rambutnya ke balik telinga.

"Bedanya lebih ganteng, kan?" seloroh Duta. Sebenarnya itu semacam pemanasan, agar lidahnya tidak menolak kalimat yang sudah dipersiapkannya matang-matang.

"Ya ... bolehlah." Tiwi manggut-manggut, sebelum tawanya berderai lagi.

"Sebelumnya maaf, nih, kamu jadi jalan sendiri. Harusnya aku jemput. Kan, aku yang ngajakin."

"Nggak apa-apa. Lagian sebenarnya aku ada sedikit urusan di kantor, tapi karena sudah telanjur janji sama kamu, aku sempetin ke sini."

"Bukannya Sabtu libur, ya?"

"Iya. Tapi tadi sedikit masalah, jadi aku harus ke sana. Tapi udah beres, kok. Bukan masalah besar juga."

Duta menghela napas panjang samar-samar. Sepertinya Tiwi tidak bisa berlama-lama. Sebaiknya langsung ke inti, tidak usah berbasa-basi lagi.

"Emang ada apa, sih, Ta? Kok, tiba-tiba kamu ngajakin ketemu di taman kayak gini?"

Deg!

Duta menelan ludah berkali-kali. Kalimat yang sudah dipersiapkannya seketika tercerai berai, sulit menemukan kata pertamanya.

"Eh, kamu bawa bunga?" Tiwi mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas buket mawar merah yang tergeletak di samping Duta. "Buat siapa?" tanyanya kemudian dengan serius. Dia baru sadar, bahwa gelagat Duta agak beda hari ini.

"Buat kamu." Udara di sekitar Duta seketika memanas setelah dua kata itu terlontar. Ternyata sesulit ini rasanya mengungkapkan perasaan. Atau hanya dirinya yang terlalu payah?

"Buat aku?" Kening Tiwi berkerut dalam. Terlebih saat Duta benar-benar menyodorkan buket mawar itu kepadanya.

Tatapan mereka terpaut beberapa detik. Tiwi merasa agak asing dengan tampang Duta kali ini, bukan sosok humoris yang dikenalnya selama ini. Apa yang dia simpan di balik wajah seriusnya itu?

"Wi, selama ini—"

"Stop, Ta!" potong Tiwi buru-buru. "Kalau apa yang ingin kamu katakan hanya akan merusak pertemanan kita, aku nggak mau dengar. Aku udah nyaman banget dengan kita yang sekarang."

Duta terpaku dengan mulut yang masih setengah terbuka, seolah ada patahan kata yang mengganjal di sana. Inikah rasanya ditolak?

"Salah, ya, kalau aku suka sama kamu?"

Bukannya menjawab, Tiwi malah berdiri. "Maaf, Ta, aku harus pergi." Tanpa menunggu respons Duta, dia benar-benar pergi, mengabaikan buket bunganya begitu saja.

Untuk beberapa saat Duta masih terdiam di bangku beton itu, menatap nanar ke arah perginya Tiwi. Ada suara-suara mengejek yang menggema dalam kepalanya. Harusnya dari awal Duta sadar diri. Bagaimana mungkin pegawai bank secantik Tiwi tertarik kepada tukang bangunan seperti dirinya. Ternyata seperti ini rasanya menaruh harapan terlalu tinggi, yang berujung dengan menampar diri sendiri.

Dengan perasaan oleng, Duta memaksakan diri beranjak dari sana. Dia membawa kembali bunganya, meski tidak tahu harus diapakan. Bayangan masa lalunya bersama Tiwi terputar secara acak. Duta berusaha menemukan di mana letak salah perasaannya. Harusnya Tiwi tidak perlu bersikap seolah memberi harapan kalau ujung-ujungnya akan seperti ini. Atau barangkali memang dirinya yang terlalu baper.

Sambil terus melangkah, Duta meraba kotak kecil di saku celananya, yang bernasib sama dengan perasaannya. Ditolak terlalu dini. Padahal, tadi malam dia bahkan bermimpi menyematkan cincin itu di jari manis Tiwi. Nyatanya, hidup memang tidak pernah seindah mimpi.

"Please, kamu harus lamar aku."

Duta kaget bukan main ketika tiba-tiba seorang cewek bertubuh besar menangkap kedua pundaknya dan berkata seaneh itu.

"Apaan, sih?" Duta menyingkirkan kedua tangan cewek itu dan lekas menyingkir dari sana.

Namun, cewek itu malah menyusul dan kembali mengadang langkahnya. Kali ini dengan merentangkan kedua tangannya. Padahal tanpa merentangkan tangan pun, tubuhnya itu sudah cukup menghalangi.

Duta memutar bola mata, lalu kembali melangkah panjang-panjang menghindari cewek itu. Dia terkesiap ketika cewek itu lebih sigap menangkap pergelangan tangannya.

"Mau kamu apa, sih?" Duta berusaha melepaskan tangannya, tapi cengkeraman cewek itu lumayan kuat. "Kalau mau gila nggak usah ngajak-ngajak!" Duta mulai jengkel.

"Kamu harus lamar aku. Kalau tidak, hidupku tamat hari ini."

"Ha?" Duta makin tidak paham ada apa dengan cewek gendut ini.

***

[Bersambung]

Apakah Duta akan menuruti permintaan Rindu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status