Lampu-lampu kota memantul di kaca, memecah cahaya jadi bias yang tak jelas bentuknya. Amel duduk bersandar di ranjang, tubuhnya letih, matanya sembab. Baru saja dia habiskan beberapa sendok nasi yang ditawarkan oleh Marcell. Cukup dengan paksaan hingga dia mau membuka mulut untuk makan. Setelah perdebatan panjang, pria itu mengalah. Dia meletakan sendok makan di dalam piring yang nasi dan lauknya masih tersisa banyak. “Bagaimana perutmu, masih nyeri?” tanya Marcell memecah keheningan. Amel menggeleng lirih. Tatapannya masih kosong, menatap jendela yang mengelap. “Kalau sakit bilang padaku, jangan ditahan,” ucap Marcell lagi, tapi Amel tak menanggapi. Lalu pintu kamar terbuka pelan, Jonathan berdiri di ambang. Wajahnya lelah, napasnya terdengar berat seakan ia berlari menuju ke sini. “Amel?” panggilnya pelan. Sudut matanya menangkap Marcell yang duduk di samping ranjang. Wajah itu begitu tenang penuh kemenangan. Amel membiarkan pria itu masuk dengan tergesa. Seperti dugaannya, pr
Senja merambat pelan di jendela kamar rawat. Cahaya jingga memantul di lantai keramik, menimbulkan kesan sepi yang mendalam. Sudah lebih dari sembilan jam sejak Jonathan berpamitan pagi tadi. Katanya akan kembali saat jam makan siang, tapi kini malam hampir jatuh, pria itu belum juga datang. Hanya siang tadi Laura sempat berkunjung untuk membawa makan siang lalu pulang sejam yang lalu. Kata Laura Jonathan telah meninggalkan kantor sejak siang. Amel meremas sudut selimut, menatap kosong meja kecil tempat sup ayam tadi pagi—seolah jejak perhatian kecil itu kini hanya ilusi. Ia menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan, mencoba menghibur diri. Mungkin Jonathan sedang sibuk. Atau ada kerjaan di luar kantor dan belum sempat menemuinya sesuai janji.Lalu ponselnya bergetar di meja. Jantungnya berdegup kencang saat tangannya meraih benda pipih itu. Ada secercah harapan di sana kalau denting notifikasi itu adalah milik Jonathan. Namun yang dia dapati adalah notifikasi portal gosip digit
Pintu kamar itu sudah menutup beberapa menit lalu, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Amel masih menatap daun pintu, seolah di baliknya Jonathan akan muncul lagi membawa sesuatu yang pasti. Namun yang tersisa hanya sisa aroma sup ayam dan jejak langkah yang tak akan kembali dalam waktu dekat.Di pangkuannya, kartu kecil dengan tulisan tangan itu masih tergenggam erat. Entah bagaimana, satu kalimat sederhana itu sedikit meredam perasaannya yang telah remuk. Ia menarik napas, menunduk. Tapi sebelum ia sempat memulihkan diri, suara ketukan kembali terdengar. Pelan, tapi jelas.Amel menoleh cepat—ada sedikit harap yang tak mau padam. Namun yang muncul bukan Jonathan. Sosok tinggi bersetelan hitam itu berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata gelap yang tak pernah bisa ia terka sepenuhnya.Marcell.Sekilas, wajahnya tampak lebih letih dari biasanya. Namun ada ketenangan dingin di sana—ketenangan yang selalu membuat Amel merasa antara aman dan takut.“Aku boleh masuk?” t
Ucapan tegas itu membuat suasana sempat membeku. Amel kehilangan kata-katanya. Hanya ada kepedihan di sana, karena ia sadar, apa pun yang dipilih Jonathan nanti, hatinya sudah terlanjur retak.Marcell menatap kakaknya dengan sorot tajam yang dingin siap merebut segalanya. Jonathan diam, rahangnya menegang. Matanya menatap lurus, tapi pandangannya tak lagi setegas biasanya. Ada kekalahan di sana.“Kamu pikir kamu siapa harus ikut campur terlalu dalam!” seru Jonathan.Marcell tidak mengalihkan tatapannya. “Aku hanya menawarkan bantuan. Kalau saja Amel ingin dia bisa datang padaku.”“Dia tidak akan!”“Oh, sungguh?” Marcell mengangkat alis. Lalu menatap Amel. “Kamu masih ingat apa yang aku katakan padamu? Kamu bisa datang padaku kapanpun kamu mau. Aku hanya ada untukmu.” Di balik air matanya, Amel menatap dua pria itu. Dua pria dewasa yang sama-sama mengaku ingin menjaganya, tapi dengan cara yang membuatnya sesak. “Tolong berhenti… kalian berdua.” Suaranya bergetar “Amel—”“Cukup!” ser
Pintu kamar itu terbuka pelan. Amel menoleh menatap sayu sosok yang muncul di sana. Kehadirannya menyesakkan—bukan hanya karena semua luka lama yang ikut masuk bersamanya, tapi karena setitik harapan bodoh yang masih disimpan di sudut hatinya. Jonathan mendekat. “Bagaimana keadaanmu?” suaranya pelan, hampir lembut. “Kamu datang untuk apa?” Amel menyambutnya dengan suara tidak mengenakan. Parau dan dingin. Senyum tipis yang sempat muncul di wajah Jonathan pun pudar. “Amel, ada apa?” Amel menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Kamu pura-pura bodoh atau bagaimana?” tanyanya. Tenggorokannya tercekat. “Kamu benar-benar akan bersikap tidak tahu apapun?” Jonathan mendekat ke sisi ranjang. “Amel, aku tidak paham maksudmu. Apa yang terjadi?” Matanya menelusuri wajah istrinya yang pucat, matanya bengkak. “Kamu habis menangis?” Amel menghindar saat Jonathan hendak menyentuh pipinya. “Kamu tahu betapa hancurnya aku hari ini?” suaranya meninggi. “Ada apa, Amel?” Jonathan semaki
Cahaya matahari menembus jendela tinggi ruang kerja Sailendra Corp. Memancar begitu berani di tengah pikiran Jonathan yang kacau. Dia berdiri memunggungi meja, di tangannya, laporan investigasi Raden tampak kusut karena cengkeraman yang terlalu erat. Suara Raden terdengar pelan tapi tegas di belakangnya. “Sudah aku konfirmasi, Marcell memang memanggil beberapa kontak media. Dia bicara dengan dua jurnalis yang dulu dekat dengan Fidya.” Jonathan memejamkan mata, menahan denyut pusing yang menghantam pelipisnya. “Apa yang dia inginkan?” Raden menghela napas. “Aku tidak tahu pasti. Dua jurnalis itu tidak mau memberi informasi apapun meski sudah kuberi tawaran menarik” Hening sejenak. Jonathan menoleh menatap layar komputer di meja. “Dia sepertinya sedang melakukan sesuatu,” ungkapnya. Raden mengangguk pelan. “Dia menemui dua jurnalis itu sebelum berita tentang pernikahan kalian menyebar.” Jonathan menelan ludah. Bukan hanya cemas pada Amel. Tapi juga pada Fidya. Takut ini hany