Tengah malam, Rani melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Suasana rumah begitu sepi, mungkin karena semua penghuninya sudah terlelap.
Kalau Rani tidak menelepon satpam rumah untuk membukakan gerbang, sudah dipastikan Rani akan tidur di luar. Tepat saat Rani melangkah melewati ruang tamu, tiba-tiba saja lampu menyala terang benderang, membuat Rani dapat melihat Alan yang tengah duduk di sofa. Alan duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada dengan sorot mata tajam tepat mengenai Rani. Pria itu memakai setelan piyama dan ada sebuah koper besar di sampingnya. "Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Alan dengan nada yang begitu dingin. Rani melungkarkan bola matanya, malas berdebat dengan Alan tapi di tetap menjawab, "Aku ada lemburan. Makanya pulang malam." "Lemburan atau malah pacaran, hah?" "Alan? Ada apa ini? Kenapa berteriak malam-malam begini?" Teguran dari Hari sontak membuat Alan dan Rani terkejut. Mereka sama-sama menoleh ke arah anak tangga dimana Hari yang juga telah memakai jubah tidur dengan rambut acak-acakan sedang berjalan menuruni tangga. Alan melihat kesempatan ini untuk membuat ayahnya marah pada Rani. Sehingga dia pun menyeringai sambil melirik pada gadis yang wajahnya tampak lesu itu. "Lihat, Ayah! Menantu kesayangan Ayah baru pulang tengah malam begini." Hari berjalan menghampiri Rani yang tertunduk lesu. Pandangan Hari meneliti setiap lekuk wajah Rani dengan penuh kekhawatiran. Perlahan, Hari menarik lembut dagu Rani. "Kamu pasti capek, Rani. Kamu pulang sama siapa? Kenapa kamu nggak suruh Alan buat jemput kamu?" Seketika Alan membelalakkan mata, seolah tak percaya akan sikap ayahnya yang begitu perhatian pada Rani. Sekalipun Alan tak pernah melihat ayahnya begitu perhatian pada Sandra maupun gadis lain, kecuali pada Rani yang tampak diperlakukan berbeda. "Alan, harusnya kalau Rani belum pulang, kamu telepon dia! Tanya dia ada dimana!" "Apa?" Alan mendengus kesal. "Kenapa Ayah malah memarahi aku? Aku ini anak Ayah. Harusnya Ayah bela aku." Seakan tak mendengar layangan protes Alan, Hari kembali menoleh pada Rani dan menggenggam tangannya yang begitu dingin. "Kamu dingin sekali, Rani. Kamu sudah makan? Suruh saja Bi Wati untuk buatkan makan malam ya!" "Aku nggak apa-apa, Ayah. Aku cuma kecapean," ucap Rani masih dengan kepala menunduk. "Enggak. Pokoknya kamu harus makan dulu. Ayah nggak mau kamu sakit," Hari melempar pandang ke arah Alan. "Dan kamu Alan, sebaiknya kamu juga lekas istirahat. Besok Ayah harus bertemu dengan kolega, jadi kamu yang handle meeting di kantor." Hari melangkah pergi meninggalkan Alan dan Rani berdua di ruang tamu. Alan melirik sinis Rani begitu Hari hilang dari pandangan. Sementara Rani juga berniat pergi, mengabaikan tatapan sinis Alan karena dia begitu lelah bekerja. Namun, Alan menarik lengan Rani dan memutar tubuh gadis itu. "Kamu sudah melakukan apa, hah? Sampai-sampai Ayah begitu sayang sama kamu. Dia bahkan lebih sayang sama kamu daripada aku, anaknya sendiri." "Ya mana aku tahu. Aku nggak melakukan apa-apa," ucap Rani seraya menepis tangan Alan. "Heh, dengar! Kamu nggak boleh tidur di kamar aku maupun kamar Jia." Alan mendorong koper sejak tadi ada di samping sofa ke arah Rani. "Ini semua barang kamu. Malam ini kamu pindah di kamar pembantu." Tak ada penolakan atau pun kalimat protes dari Rani. Dia sudah sangat lelah menanggapi Alan yang kasar padanya. Lagipula dia memang sudah terbiasa diperlakukan kasar oleh Yudi. Bagi Rani, perlakuan Alan belum ada apa-apanya dengan penyiksaan yang dilakukan Yudi dan Mega. Namun ketika Rani berjalan melewati Alan, dia mendengar pria itu berkata, "Dasar wanita murahan." Saat itu juga tubuh Rani berhenti bergerak. Dia hanya diam beberapa saat seraya mengetatkan rahang. Entah kenapa ucapan yang melesat dari bibir Alan itu begitu menyakitkan bagi Rani. Dia berbalik. Memutar tubuhnya sehingga dia bisa membalas tatapan dingin Alan. Kedua tangan Rani mengepal kuat. "Apa katamu? Wanita murahan? Jangan asal bicara karena kamu nggak tahu apa-apa tentang aku!" ucap Rani dengan bibir yang bergetar akibat menahan marah. Alan hanya menganggap santai. Bahkan dia masih bisa tertawa kecil lalu menyeringai. "Memang benar kan, kamu itu wanita murahan?" "Aku bukan wanita murahan," Rani berteriak kencang sambil mendorong tubuh Alan. Merasa tidak terima pada Rani yang telah berani mendorongnya, Alan pun naik pitam. Wajahnya mengerut marah dan melangkah maju hingga hanya berjarak lima senti dari Rani. "Kalau kamu bukan wanita murahan, ayo kita buktikan!" Tanpa aba-aba, tanpa pikir panjang, dan tanpa berkata apapun, Alan mencondongkan tubuhnya agar dapat mencium bibir Rani. Kejadian itu berlangsung begitu cepat hingga Rani tak dapat menghindar. Dia juga kaget tak menyangka Alan akan menciumnya. Rani mencoba mendorong dada Alan yang masih menempelkan bibirnya. Bahkan kali ini lidah Alan mencoba menerobos masuk ke dalam rongga mulut Rani dan bergerak brutal di dalam sana. Satu tangan Alan berada di tengkuk Rani agar wanita itu tak dapat melepaskan diri. Sementara pupil mata Rani melebar kala merasakan satu tangan Alan yang terbebas meraba bagian depan badannya. Sekuat tenaga Rani menggeliat, melepaskan diri dari pelukan Alan. Namun, pria yang bertubuh atletis itu tentu saja memiliki tenaga yang lebih besar daripada Rani. Ciuman Alan begitu memabukkan. Itu adalah ciuman pertama Rani bersama seorang pria dewasa. Ditambah lagi sentuhan tangan Alan yang kini sudah menerobos masuk ke balik pakaian, meremas salah satu gundukan daging milik Rani yang membuat sekujur tubuh Rani bergetar lemas. Di keheningan malam hanya terdengar suara denting jarum jam dinding dan suara kecapan dua anak manusia yang sedang menautkan bibir. Tubuh Rani telah terbuai akan ciuman Alan, meski di dalam hati Rani mengutuki dirinya sendiri. Selang beberapa lama, Alan melepaskan ciuman mereka. Dia mundur dua langkah sambil menerbitkan seringai penuh hinaan. "Benar apa kataku, kan? Kamu itu sudah punya pacar, tapi masih saja menerima ciuman dari laki-laki lain. Apa itu namanya kalau bukan wanita murahan." Detik berikutnya, Alan berjalan santai melewati Rani yang kini kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus. "Ini curang namanya. Kamu yang curi-curi kesempatan agar bisa ciuman sama aku," protes Rani yang berteriak kencang. Namun, Alan tak menggubris. Dia terus berjalan ke menaiki anak tangga.Beberapa hari berlalu, Sandra merasakan ada yang janggal pada Alan. Terakhir kali, dia mendapati Alan keluar kamar di tengah malam dengan alasan mencari udara segar. Namun, ada seulas senyum aneh yang terukir di wajahnya saat itu. Senyum yang tidak biasa Sandra lihat. Kecurigaan itu terus menggerogoti hatinya.Malam ini, Sandra memutuskan untuk mengikuti Alan diam-diam. Dengan hati berdebar, ia pura-pura tertidur dan berusaha menunjukkan wajah setenang mungkin saat menyadari Alan bangkit dari ranjang.Hati Sandra semakin berdebar kencang. Ia sedikit membuka mata dan melihat Apan keluar dari kamar. Perlahan Sandra bangkit dan membuntuti Alan yang berjalan menuju belakang rumah.Tanpa menimbulkan suara Sandra berjalan mengendap-endap, lalu dia sedikit mengernyitkan dahi kala mendapati Alan masuk ke dalam kamar Rani.Hati Sandra menjadi semakin berdebar dan banyak pertanyaan liar menyusup ke dalam benaknya. Dia mencoba mendekat dan meraih sebuah bangku kecil untuk menjadi pijakan agar di
"Jadi bagaimana kondisi menantu saya, Dok?"Hari bertanya pada seorang dokter wanita yang baru saja selesai memeriksakan Rani. Dokter itu tersenyum yang membuat Hari menyakini jika kondisi Rani baik-baik saja. Namun, rasa penasaran Hari belum terjawab jika belum mendengarkan penjelasan dokter. Dia menatap sang dokter dengan penuh antusias. Sementara Rani telah duduk di sampingnya."Selamat ya, Pak. Nona Rani sekarang tengah hamil. Usia kandungannya sudah memasuki lima minggu. Tolong jaga asupan makanan dan juga istirahat yang cukup! Saya akan resepkan vitamin serta asam folat untuk Nona Rani."Setelah berkonsultasi dan keluar dari ruang dokter, Hari dan Rani duduk di kursi menunggu obat yang diresepkan oleh dokter.Hari menoleh pada Rani dengan senyum yang mengembang. Tampak jelas kebahagiaan memancar di kedua bola matanya.Namun, tidak dengan Rani. Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya dengan raut wajah bingung.Menyadari pesaraan gelisah yang dialami Rani, Hari pun menghela n
Alan segera bangkit berdiri. Sedangkan Rani membetulkan rambut lalu memberi isyarat pada Alan agar masuk ke dalam kamar mandi.Setelah Alan masuk ke dalam kamar mandi, barulah Rani membukakan pintu kamar. Di depannya, sudah berdiri Sandra dengan pandangan menusuk. Menjadikan Rani menelan ludah meski wajahnya terlihat tetap tenang."Nona Sandra, ada apa?""Ran, kamu lihat Alan, nggak? Aku udah di cari-cari tapi kok nggak ada?"Rani menggelengkan kepala. "Saya nggak tahu, Nona. Mungkin Tuan Alan sudah pergi ke kantor."Sandra menghela nafas. "Nggak mungkin, Rani. Hari ini kan, hari Minggu. Lagian hp sama mobilnya Alan masih ada. Jadi pasti dia ada di sekitaran rumah."Rani menggaruk tengkuknya. Tampak salah tingkah yang membuat Sandra menyipitkan mata. Lalu Sandra menjulurkan leher, seakan ingin menengok isi kamar Rani."Aku boleh masuk ke kamar kamu, nggak?" tanya Sandra yang seketika mengejutkan Rani. Begitu pula dengan, Alan yang ada di dalam kamar mandi. Dia mendengar dengan jelas
Sandra duduk di samping Alan di sebuah sofa panjang yang ada di tepi kolam. Mereka dikelilingi oleh sahabat Sandra yang sedang menikmati hidangan diiringi dengan obrolan receh.Sandra melingkarkan tangan di lengan Alan dengan gayanya yang manja. Lalu dia menyandarkan kepala ke pundak sang suami tercinta. Sementara Alan duduk dengan kedua bola mata terus memandangi Rani. Tampak wanita itu duduk di area sudut taman tengah makan sangat lahap. Melihat itu, Alan tak sadar menyunggingkan sebuah senyum gemas."Sayang, aku haus nih. Boleh ambilin aku minum?"Sejenak Alan terperangah, sadar jika dirinya sedang memandang Rani sejak tadi. Lalu dia pun bangkit berdiri meninggalkan Sandra yang terus saja menceritakan salah seorang teman sosialitanya yang kini menikah dengan bule.Sepeninggalan Alan, seorang teman yang duduk paling dekat dengan Sandra, mencolek lutut Sandra sambil memberi kode melirikan ke arah Alan."San, kamu nggak curiga suami kamu selingkuh?""Hah? Memangnya suamiku selingkuh?
Rani memutuskan untuk menunggu Alan dan Jia di dalam mobil. Selama beberapa menit, Rani mengecek kalender di ponselnya sambil mengingat-ingat terakhir kali dia menstruasi.Detak jantung Rani seketika berdenyut dua kali lebih cepat, begitu pula dengan ujung jemarinya yang mendadak dingin setelah Rani memastikan jika dia sudah terlambat satu bulan.Pintu mobil belakang terbuka dari luar. Membuat Rani tersentak kaget melihat Alan yang tengah kesusahan menggendong Jia dan hendak merebahkan sang putri kecilnya itu ke kursi belakang mobil.Kedua bola mata Jia terlihat sayu, pertanda dia sudah mengantuk berat. Alan membenarkan posisi Jia agar nyaman tidur selama perjalanan pulang. Kemudian dia beralih duduk di kursi pengemudi."Kamu kenapa? Bukannya temenin Jia pilih baju, malah kabur," ucap Alan sinis. Dia meletakan paper bag berisi gaun pesta milik Jia ke pangkuan Rani."Kita bisa nggak, mampir dulu ke apotek. Aku mau beli sesuatu," Rani berkata sambil meremas tali paper bag dengan sangat
Satu bulan kemudian.Krrriingg... Kriiinngg... Krrriinngg...Rani membuka matanya dan menjulurkan tangan untuk mematikan alarm yang menggemparkan seluruh kamar. Dengan sekuat tenaga, Rani bangkit lalu duduk di atas kasur.Dia mengecek beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu diantaranya ialah pesan dari Rian yang mengabari jika dirinya sudah tinggal di rumah yang dibeli oleh Hari.Rian bahkan mengirim beberapa foto sudut rumah yang membuat Rani tersenyum sumringah. Rani sangat bahagia karena kini dia dan adiknya tak lagi hidup menderita di bawah asuhan sang paman.Rani tersadar jika semua itu terjadi berkat kebaikan hati Pak Hari dan seketika itu, Rani tersadar jika dia sama sekali belum menunjukkan sikap apapun sebagai tanda terima kasih pada Pak Hari.Rani menyandarkan punggung ke headboard. Lalu teringat akan saran dari Zahra satu bulan yang lalu untuk mengikuti saja arah takdir membawa diri ke jalan yang mana dan hanya dengan menuruti kemauan Pak Hari, yang bisa Rani lak