Share

Merebut Perhatian

Penulis: Tria Sulistia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-12 14:08:17

Bi Wati sedikit terheran begitu pagi menjelang karena kamar sebelah yang biasa kosong, pagi ini terdengar samar-samar suara orang berceloteh.

Bi Wati mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu. Namun, ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu yang membuat Bi Wati tersentak kaget.

Rani juga sama kagetnya. Dia yang berniat keluar kamar hendak berjemur, dikejutkan dengan kemunculan Bi Wati di depan pintu.

"Nona Rani? Kenapa Nona dari dalam kamar ini?"

"Ini sekarang kamar aku, Bi."

Dahi Bi Wati mengerut dan matanya menyipit setelah melihat ada benda seperti kelopak bunga yang tersemat di rambut Rani. "Ini apa, Nona? Kenapa ada bunga di rambut Nona Rani?"

"Oh itu," ucap Rani begitu Bi Wati mengambil sebuah kelopak bunga mawar merah dari rambutnya. "Tadi aku habis mandi pakai bunga tujuh rupa."

"Hah? Buat apa?" Kerutan di dahi Bi Wati semakin terlihat jelas.

"Soalnya tadi malam..." Rani segera merapatkan mulut ragu untuk bercerita pada Bi Wati jika semalam dia berciuman dengan Alan.

"Tadi malam apa, Nona?" tanya Bi Wati yang tampak penasaran setengah mati.

"Tadi malam aku dicium dedemit. Oh ya, Bi. Tolong bilangin ke Pak Hari, aku lagi nggak mau sarapan," ucap Rani yang sengaja mengalihkan pembicaraan agar Bi Wati tidak bertanya lebih banyak.

"Kebetulan Tuan Hari memang sudah berangkat tadi pagi-pagi sekali. Sama Tuan Alan juga. Tuan Hari titip pesen supaya saya tanya soal menu sarapan Nona Rani."

"Oh bagus lah kalau begitu. Aku pengin berjemur dulu. Bi Wati nggak perlu repot-repot siapin sarapan. Aku bisa masak sendiri."

Bi Wati mengangguk dan berbalik badan melanjutkan pekerjaannya yang lain. Namun, beberapa langkah berjalan, dia baru menyadari ada yang aneh dengan ucapan Rani.

Dengan dahi mengerut, Bi Wati terus berjalan sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuk ke dagu.

"Eh, bentar. Tadi Nona Rani bilang semalam dicium sama dedemit. Kok bisa ya?"

Dug.

Karena kurang memperhatikan jalan, Bi Wati menabrak Jia yang mendongak dengan kedua mata merah dan berair.

Dari penampilannya, jelas jika Jia baru bangun tidur. Baju tidur merah muda yang dipakai semalam belum dilepas dan rambut gadis itu pun masih acak-acakan.

"Bi, Papa mana?" Isak Jia.

Bi Wati membungkuk agar pandangannya sejajar dengan Jia. "Tuan sudah pergi tadi pagi, Nona Jia. Yang ada cuma Nona Rani di taman belakang. Bagaimana kalau Nona Jia main sama Nona Rani sambil nunggu Tuan pulang?"

Jia mengangguk sambil terisak. Dia bergegas berjalan menuju taman belakang. Sedangkan Bi Wati hanya dapat menghela nafas pendek sembari menatap punggung Jia yang semakin menjauh.

Pancaran mata penuh belas kasih terlihat jelas di kedua manik mata wanita paruh baya itu. Melihat Jia yang kesepian karena ibunya koma dan ayah yang selalu sibuk, membuat hati Bi Wati merasa prihatin.

Sementara Jia yang sudah sampai di taman belakang melihat Rani yang tengah duduk melamun. Rani bahkan tak menyadari jika Jia duduk di sampingnya.

"Tante Rani lagi apa?"

Rani tersentak kaget dan menoleh ke arah Jia, "Eh, Jia. Enggak apa-apa. Tante lagi bosen aja."

"Sama. Jia juga lagi bosen," ucap Jia menyilangkan tangan di depan dada dengan bibir yang dimajukan. Tak berselang lama, Jia tersentak seolah tengah ingat akan suatu hal. "Tante, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?"

Dahi Rani mengerut saat membuat pertimbangan dan beberapa saat dia pun berkata, "Ayo. Tapi kita harus bilang dulu ke papa kamu."

"Enggak usah," seru Jia memanyunkan bibir. "Aku sebel sama Papa. Biarin aja."

Detik berikutnya, Jia melompat turun dari kursi dan berlari ke dalam rumah. Rani yang melihat tingkah Jia hanya bisa mengerutkan dahi. Pasalnya raut muka ngambek Jia begitu mirip dengan Alan.

Rani mengulurkan bibir, menahan tawa. Entah kenapa saat itu juga dia kembali teringat akan Alan dan ciuman tadi malam.

Seketika Rani menggelengkan kepala. Mengusir pikiran nakal yang hendak masuk ke otaknya.

Tak sampai setengah jam, Rani dan Jia sudah berada di mobil bersama seorang supir pribadi. Mereka berniat pergi ke rumah sakit mengunjungi Sandra. Sekalian Rani juga ingin melihat Rian yang sedang menjalani pengobatan.

Supir pribadi yang sudah biasa mengantar jemput Jia kemana saja, langsung menunjukan ruangan Sandra berada.

Awalnya Rani hanya ingin menunggu di luar bersama sang sopir. Namun, rasa penasaran membuatnya melongok ke dalam. Dia melihat Jia yang duduk di samping brankar, bercerita akan kegiatan sekolahnya yang sepi tanpa ditemani oleh ibunya.

Perlahan tapi pasti Rani mulai melangkahkan kaki mendekati Jia. Ditepuk pelan pundak kecil itu yang bergetar karena Jia menangis.

"Mama, kapan bangun sih? Jia kangen. Kalau Mama bangun, Jia pengin Mama temenin aku sekolah. Jia pengin kayak temen-temen Jia. Semuanya selalu sama Mamanya kalau sekolah."

"Jia," panggil Rani lirih. Dia menunduk untuk bisa mengecek raut muka Jia. "Kamu nggak apa-apa?"

Jia mengusap pipi dlmenggunakan satu tangannya yanga mungil. Kedua mata anak itu sudah merah dan basah.

"Jia sedih, Tante. Jia pengin Mama bangun," rengek Jia.

Rani berjongkok di samping Jia, menyejajarkan pandangannya dengan anak kecil yang tengah haus akan kasih sayang itu.

"Kamu nggak usah sedih ya. Mama Jia pasti bangun kok."

"Tapi kapan, Tante?"

Rani terdiam sejenak sebab dia sendiri pun tak tahu jawaban dari pertanyaan Jia. Lalu dia tersenyum sambil mengusap rambut Jia.

"Suatu hari nanti."

"Di sekolah, bakal ada kontes masak cooking with Mommy, Tante. Tapi Jia nggak ada Mama," Jia menarik kuat-kuat ingusnya dan kembali mengusap pipi. "Kata Papa, nanti masaknya sama Papa aja. Tapi aku penginnya sama Mama."

"Jia," Rani mengusap puncak kepala Jia sembari memandang dengan tatapan yang teduh. "Jia tenang ya. Nanti Jia ditemenin sama Tante Rani aja. Nanti kita berjuang sama-sama supaya jadi juara satu. Terus kita tunjukin ke Mama Jia. Mama Jia pasti bangga deh sama Jia."

Terlihat seulas senyum tipis di bibir mungil Jia. Kedua matanya yang masih memerah berbinar memandang Rani bagaikan malaikat penolong.

Kedua wanita beda generasi itu saling berpelukan. Atau lebih tepatnya, Rani yang mulai terlebih dahulu memeluk Jia.

Dari balik bahu Jia, Rani memandang tubuh Sandra yang terbaring di atas ranjang dengan beberapa selang serpasang di badannya.

Maaf. Bukan maksud aku merebut Jia. Tapi aku kasihan melihat anakmu yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Karena aku juga pernah merasakan bagaimana sedihnya kehilangan seorang ibu, batin Rani dalam hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendua Kala Istriku Koma   Pengkhianatan

    Beberapa hari berlalu, Sandra merasakan ada yang janggal pada Alan. Terakhir kali, dia mendapati Alan keluar kamar di tengah malam dengan alasan mencari udara segar. Namun, ada seulas senyum aneh yang terukir di wajahnya saat itu. Senyum yang tidak biasa Sandra lihat. Kecurigaan itu terus menggerogoti hatinya.Malam ini, Sandra memutuskan untuk mengikuti Alan diam-diam. Dengan hati berdebar, ia pura-pura tertidur dan berusaha menunjukkan wajah setenang mungkin saat menyadari Alan bangkit dari ranjang.Hati Sandra semakin berdebar kencang. Ia sedikit membuka mata dan melihat Apan keluar dari kamar. Perlahan Sandra bangkit dan membuntuti Alan yang berjalan menuju belakang rumah.Tanpa menimbulkan suara Sandra berjalan mengendap-endap, lalu dia sedikit mengernyitkan dahi kala mendapati Alan masuk ke dalam kamar Rani.Hati Sandra menjadi semakin berdebar dan banyak pertanyaan liar menyusup ke dalam benaknya. Dia mencoba mendekat dan meraih sebuah bangku kecil untuk menjadi pijakan agar di

  • Mendua Kala Istriku Koma   Curiga

    "Jadi bagaimana kondisi menantu saya, Dok?"Hari bertanya pada seorang dokter wanita yang baru saja selesai memeriksakan Rani. Dokter itu tersenyum yang membuat Hari menyakini jika kondisi Rani baik-baik saja. Namun, rasa penasaran Hari belum terjawab jika belum mendengarkan penjelasan dokter. Dia menatap sang dokter dengan penuh antusias. Sementara Rani telah duduk di sampingnya."Selamat ya, Pak. Nona Rani sekarang tengah hamil. Usia kandungannya sudah memasuki lima minggu. Tolong jaga asupan makanan dan juga istirahat yang cukup! Saya akan resepkan vitamin serta asam folat untuk Nona Rani."Setelah berkonsultasi dan keluar dari ruang dokter, Hari dan Rani duduk di kursi menunggu obat yang diresepkan oleh dokter.Hari menoleh pada Rani dengan senyum yang mengembang. Tampak jelas kebahagiaan memancar di kedua bola matanya.Namun, tidak dengan Rani. Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya dengan raut wajah bingung.Menyadari pesaraan gelisah yang dialami Rani, Hari pun menghela n

  • Mendua Kala Istriku Koma   Hamil

    Alan segera bangkit berdiri. Sedangkan Rani membetulkan rambut lalu memberi isyarat pada Alan agar masuk ke dalam kamar mandi.Setelah Alan masuk ke dalam kamar mandi, barulah Rani membukakan pintu kamar. Di depannya, sudah berdiri Sandra dengan pandangan menusuk. Menjadikan Rani menelan ludah meski wajahnya terlihat tetap tenang."Nona Sandra, ada apa?""Ran, kamu lihat Alan, nggak? Aku udah di cari-cari tapi kok nggak ada?"Rani menggelengkan kepala. "Saya nggak tahu, Nona. Mungkin Tuan Alan sudah pergi ke kantor."Sandra menghela nafas. "Nggak mungkin, Rani. Hari ini kan, hari Minggu. Lagian hp sama mobilnya Alan masih ada. Jadi pasti dia ada di sekitaran rumah."Rani menggaruk tengkuknya. Tampak salah tingkah yang membuat Sandra menyipitkan mata. Lalu Sandra menjulurkan leher, seakan ingin menengok isi kamar Rani."Aku boleh masuk ke kamar kamu, nggak?" tanya Sandra yang seketika mengejutkan Rani. Begitu pula dengan, Alan yang ada di dalam kamar mandi. Dia mendengar dengan jelas

  • Mendua Kala Istriku Koma   Hasil

    Sandra duduk di samping Alan di sebuah sofa panjang yang ada di tepi kolam. Mereka dikelilingi oleh sahabat Sandra yang sedang menikmati hidangan diiringi dengan obrolan receh.Sandra melingkarkan tangan di lengan Alan dengan gayanya yang manja. Lalu dia menyandarkan kepala ke pundak sang suami tercinta. Sementara Alan duduk dengan kedua bola mata terus memandangi Rani. Tampak wanita itu duduk di area sudut taman tengah makan sangat lahap. Melihat itu, Alan tak sadar menyunggingkan sebuah senyum gemas."Sayang, aku haus nih. Boleh ambilin aku minum?"Sejenak Alan terperangah, sadar jika dirinya sedang memandang Rani sejak tadi. Lalu dia pun bangkit berdiri meninggalkan Sandra yang terus saja menceritakan salah seorang teman sosialitanya yang kini menikah dengan bule.Sepeninggalan Alan, seorang teman yang duduk paling dekat dengan Sandra, mencolek lutut Sandra sambil memberi kode melirikan ke arah Alan."San, kamu nggak curiga suami kamu selingkuh?""Hah? Memangnya suamiku selingkuh?

  • Mendua Kala Istriku Koma   Dicek

    Rani memutuskan untuk menunggu Alan dan Jia di dalam mobil. Selama beberapa menit, Rani mengecek kalender di ponselnya sambil mengingat-ingat terakhir kali dia menstruasi.Detak jantung Rani seketika berdenyut dua kali lebih cepat, begitu pula dengan ujung jemarinya yang mendadak dingin setelah Rani memastikan jika dia sudah terlambat satu bulan.Pintu mobil belakang terbuka dari luar. Membuat Rani tersentak kaget melihat Alan yang tengah kesusahan menggendong Jia dan hendak merebahkan sang putri kecilnya itu ke kursi belakang mobil.Kedua bola mata Jia terlihat sayu, pertanda dia sudah mengantuk berat. Alan membenarkan posisi Jia agar nyaman tidur selama perjalanan pulang. Kemudian dia beralih duduk di kursi pengemudi."Kamu kenapa? Bukannya temenin Jia pilih baju, malah kabur," ucap Alan sinis. Dia meletakan paper bag berisi gaun pesta milik Jia ke pangkuan Rani."Kita bisa nggak, mampir dulu ke apotek. Aku mau beli sesuatu," Rani berkata sambil meremas tali paper bag dengan sangat

  • Mendua Kala Istriku Koma   Terlambat Datang Bulan

    Satu bulan kemudian.Krrriingg... Kriiinngg... Krrriinngg...Rani membuka matanya dan menjulurkan tangan untuk mematikan alarm yang menggemparkan seluruh kamar. Dengan sekuat tenaga, Rani bangkit lalu duduk di atas kasur.Dia mengecek beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu diantaranya ialah pesan dari Rian yang mengabari jika dirinya sudah tinggal di rumah yang dibeli oleh Hari.Rian bahkan mengirim beberapa foto sudut rumah yang membuat Rani tersenyum sumringah. Rani sangat bahagia karena kini dia dan adiknya tak lagi hidup menderita di bawah asuhan sang paman.Rani tersadar jika semua itu terjadi berkat kebaikan hati Pak Hari dan seketika itu, Rani tersadar jika dia sama sekali belum menunjukkan sikap apapun sebagai tanda terima kasih pada Pak Hari.Rani menyandarkan punggung ke headboard. Lalu teringat akan saran dari Zahra satu bulan yang lalu untuk mengikuti saja arah takdir membawa diri ke jalan yang mana dan hanya dengan menuruti kemauan Pak Hari, yang bisa Rani lak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status