Bab 15. Kurasa Dia bukan Ainun
Pukul depan pagi, aku kembali tiba di rumah Ustazah Halimah untuk melanjutkan pengajian yang diawali dengan salawatan bersama khusus untuk hari selasa. Aku menghela napas panjang, baru juga tiba sudah langsung bertemu pandang dengan Ayu dan teman-teman lainnya.
Mereka baru keluar dari majlis. Terpaksa aku menghampiri karena dilanda rasa penasaran. "Kok, udah pulang aja?"
"Libur," jawab Ayu ketus.
"Kenapa?"
"Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Biar aku kasih tahu ya, kita libur karena ustazah yang bilang!" Aku sedikit ilfeel mendengarnya meniru gaya bicara laki-laki viral yang rambut model cepak mekar itu.
Tanpa mau menanggapi, aku memilih kembali ke motor. Terkadang dalam sepekan memang diliburkan karena Ustazah Halimah juga punya urusan. Aku tidak berani menanyakan lebih detail pada beliau, hanya menurut sebagai murid.
Namun, di tempat yang sama dengan kemarin, Ayu kembali menghadang. Kali ini mereka berti
Bab 16. Nasihat Ustazah Halimah"Alia, kamu dipanggil Ustazah Halimah," kata seorang lelaki yang tidak aku kenal saat suasana sudah semakin tegang. "Sekarang!" lanjutnya lagi melihat aku yang terpaku di tempat."Emang ustazah ada di mana, kenapa manggil aku?""Aku tidak tahu. Tadi senior nyuruh aku buat nyariin kamu, katanya dipanggil Ustazah Halimah."Tanpa menoleh pada Ainun, aku langsung menyalakan mesin motor, kembali ke rumah Ustazah Halimah dengan rasa penasaran yang begitu mendera. Namun, aku tidak tahu kenapa lelaki itu tahu aku sedang berada di tempat tadi padahal ada bangunan baru yang melindungi jika dia melihat dari rumah ustazah.Selesai memarkir motor di bawah pohon yang lumayan teduh, aku langsung melangkah panjang menuju pintu bernuansa hitam itu. Ponsel berdering, aku tidak mengindahkannya karena khawatir itu adalah pesan dari Ainun yang memberi ancaman lagi, sehingga bisa merusak mood.Pintu terketuk tiga kali, aku tersenyu
Bab 17. Cerita Nizar Abdullah"Siapa, Ma?""Nizar."Jawaban singkat, tetapi berhasil membuat jantungku dag dig dug tak menentu. "Tunggu sebentar, Ma, bilangin."Setelah mama pergi, aku langsung melepas gulungan rambut, lalu menjemur handuk putih ukuran kecil itu di dekat jendela. Rambut masih sedikit basah, tetapi sudah mepet kalau harus mengeringkannya dengan hair dryer.Setelah mengganti pakaian dengan memakai daster rumahan sepanjang gamis, aku menyambar jilbab senada dalam lemari, lalu memakainya langsung tanpa ciput karena rambut tidak akan kelihatan juga.Beres. Aku keluar kamar setelah lima menit berlalu, tanpa memakai bedak dan handbody. Benar-benar alami dan kuharap Nizar tidak pernah memandang ke arahku.Menyibak tirai pemisah ruang tamu dan ruang tengah, aku menunduk. Jantung berdegup tidak normal. Jika hal ini berlangsung lama, takutnya bisa bahaya."Nizar, ada apa?"Lelaki itu menunduk. "Tahu nggak, dulu itu
Bab 18. Lebih Baik Berpisah"Mama kenapa narik tangan aku kasar banget? Sakit ini, Ma." Aku berucap lirih—setelah azan berkumandang—sambil memegangi lengan kanan yang sedikit memerah. Bibir pun sedikit manyun sebagai bentuk protes."Abis kamu itu ...." Mama memejamkan matanya, terdengar helaan napas panjang. Aku sendiri memilih duduk di depan kamar, melepas jilbab setelah menyalakan kipas angin. Segar.Mama ikut duduk di depanku. Dia tidak mau kalah, sama-sama memasang wajah cemberut untuk sepersekian detik. Setelah itu, kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. "Kayak nggak ada cowok lain aja. Mending kita malu sekarang, daripada nanti pernikahan kamu seumur jagung. Atau langgeng, tapi malah nggak bahagia. Hidup sebagai bayang-bayang orang lain itu menyesakkan dada, Lia.""Ma, sebenarnya aku juga sangat lelah. Aku kan sudah bilang, mau pisah sama Nizar saja sebelum terlambat. Kan, bisa dijelasin ke keluarga alasan kita putus lamaran
Bab 19. Alasan NizarSejak hari itu, Nizar tidak pernah datang. Ketika aku tanyakan di chat, tetap saja jawabannya ingin memberitahu secara langsung. Namun, sudah tiga hari berlalu, dia tidak juga memunculkan batang hidungnya.Setelah mengembuskan napas kasar, aku bersandar pada kepala ranjang, memejamkan mata dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Kedua kaki aku tekuk, masih menunggu jawaban yang entah kapan aku peroleh.Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan, apalagi bila tanpa kepastian. Seperti sekarang, aku khawatir kalau saja Nizar sengaja menghilang demi mengulur waktu dengan alasan sibuk agar pernikahan kami tidak batal.Akan tetapi, aku adalah aku. Nizar tidak akan pernah tenang sebelum mengutarakan alasannya. Sekalipun di hari pernikahan, aku akan menanyai lelaki itu sebelum ijab qabul dimulai.Pintu rumah terketuk pelan, aku terperanjat, kemudian berlari ke luar untuk melihat siapa yang datang setelah menyambar mukenah."Niz
Bab 20. Ini Tentang AinunPoV Nizar________________Aku menunduk menyembunyikan wajah, menghindari tatapan mata Alia. Aku tahu, gadis ini sangat penasaran. Sebenarnya ibu melarangku untuk menceritakan ini pada siapa pun, tetapi jika terus merahasiakannya dari Alia, bisa menyebabkan batalnya pernikahan.Sebab, dia tentu tidak mau menikah dengan lelaki yang dianggap melukai hati wanita lain. Setelah kembali mengangkat wajah, Alia berkata penuh penekanan, "cepat katakan, Nizar. Baik aku atau kamu tidak punya waktu luang yang banyak!"Aku mengangguk, mengingat hari itu, lalu menceritakannya pada Alia.Sore hari ketika melihat ibu sedang duduk santai menonton acara televisi, aku mendekat dengan perasaan ragu. Bersyukur bapak belum pulang dari bekerja.Ada perasaan ragu yang meraja di dalam dada. Namun, demi pujaan hati, aku harus mengumpulkan keberanian. Seorang lelaki memang dianjurkan untuk berani, sekaligus mempertanggungjawabkan
Bab 21. Setidaknya Beri Satu AlasanPukul sepuluh pagi, aku langsung berkunjung ke rumah Ainun. Sebenarnya semalam sudah menolak dengan beberapa alasan karena masih belum sanggup menemuinya, tetapi Ainun selalu mendesak.Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu yang setengah terbuka. Setelahnya, Ainun datang, meminta aku masuk dan duduk di kursi. Bu Madinah membuka tirai agar kami masih dalam pantauannya."Kumohon, jangan menangis, Ai!" pintaku memelankan suara begitu melihat matanya berkaca-kaca.Mata indah itu, basah oleh air mata. Aku tidak sanggup untuk melihatnya. Perlahan, tangan kananku merogoh kantong mengambil Fresh Care, lalu mengoles hidung dan pelipis demi menyembunyikan kesedihan.Aku tidak mau Bu Madinah menaruh curiga dan dicap sebagai lelaki tidak bertanggungjawab. Sejujurnya, aku masih sangat mencintai Ainun dan sulit melupakannya, tetapi ibu ... tidak mungkin aku lebih memilih gadis itu daripada dirinya."Nizar, katakan a
Bab 22. Berdamai dengan TakdirPoV Alia_______________Aku sengaja mendekati mereka ketika melihat raut wajah Nizar yang tidak bersahabat. Pak Darsono memang seorang lelaki, tetapi mulutnya pedas seperti wanita. Tidak jarang dia bergabung dengan ibu-ibu tukang gosip, mengajak anaknya serta.Ketika ada Pak Darsono, maka gosip seketika memanas. Apalagi dia selalu mengabadikannya lewat siaran langsung di Face-book tanpa peduli jika ada yang menegur di kolom komentar dan kebiasaan paling tidak bisa dia tinggalkan adalah memuji anak gadis sendiri, menganggapnya mengungguli semua gadis yang ada di negara ini."Bukan pacar, Pak. Tepatnya calon suami Alia." Nizar kemudian memberi jawaban dengan santun.Aku yang tidak tahan langsung memintanya pulang saja daripada masalah semakin runyam. Biasanya jika tetangga sudah ikut campur, maka kita akan kesulitan menemukan jalan keluar karena mereka pintar bicara saja. Selebihnya mencari kekurangan untuk dija
Bab 23. Aku bukan Perebut"Maksud kamu apa, Ainun?"Gadis itu tersenyum sangat manis, tetapi menurutku memiliki makna tertentu."Orang yang tidak tahu masalah kita, pasti menganggap aku sebagai orang ketiga jika aku mendesak Nizar untuk memberiku sebuah alasan paling logis, sementara kamu adalah korban. Padahal pada kenyataanya kamu lah yang hadir merusak segalanya. Aku yang hampir menikah dengan Nizar harus gagal karena dirimu. Aku yakin, kalian memiliki hubungan di belakang aku sejak beberapa minggu yang lalu, betul? Karena tidak mungkin seorang lelaki tiba-tiba melamar orang lain jika sebelumnya tidak selingkuh."Aku menggelengkan kepala. Memang pernah ada kasus di mana seorang wanita diputus lamarannya secara mendadak karena orang ketiga dengan alasan langsung menaruh hati pada pandangan pertama padahal sebenarnya mereka sudah lama memiliki hubungan.Namun, aku tidak sepertinya. Menurut pengakuan Nizar saja, lamaran ini terjadi atas keinginan i