Bab 18. Lebih Baik Berpisah
"Mama kenapa narik tangan aku kasar banget? Sakit ini, Ma." Aku berucap lirih—setelah azan berkumandang—sambil memegangi lengan kanan yang sedikit memerah. Bibir pun sedikit manyun sebagai bentuk protes.
"Abis kamu itu ...." Mama memejamkan matanya, terdengar helaan napas panjang. Aku sendiri memilih duduk di depan kamar, melepas jilbab setelah menyalakan kipas angin. Segar.
Mama ikut duduk di depanku. Dia tidak mau kalah, sama-sama memasang wajah cemberut untuk sepersekian detik. Setelah itu, kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. "Kayak nggak ada cowok lain aja. Mending kita malu sekarang, daripada nanti pernikahan kamu seumur jagung. Atau langgeng, tapi malah nggak bahagia. Hidup sebagai bayang-bayang orang lain itu menyesakkan dada, Lia."
"Ma, sebenarnya aku juga sangat lelah. Aku kan sudah bilang, mau pisah sama Nizar saja sebelum terlambat. Kan, bisa dijelasin ke keluarga alasan kita putus lamaran
Bab 19. Alasan NizarSejak hari itu, Nizar tidak pernah datang. Ketika aku tanyakan di chat, tetap saja jawabannya ingin memberitahu secara langsung. Namun, sudah tiga hari berlalu, dia tidak juga memunculkan batang hidungnya.Setelah mengembuskan napas kasar, aku bersandar pada kepala ranjang, memejamkan mata dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Kedua kaki aku tekuk, masih menunggu jawaban yang entah kapan aku peroleh.Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan, apalagi bila tanpa kepastian. Seperti sekarang, aku khawatir kalau saja Nizar sengaja menghilang demi mengulur waktu dengan alasan sibuk agar pernikahan kami tidak batal.Akan tetapi, aku adalah aku. Nizar tidak akan pernah tenang sebelum mengutarakan alasannya. Sekalipun di hari pernikahan, aku akan menanyai lelaki itu sebelum ijab qabul dimulai.Pintu rumah terketuk pelan, aku terperanjat, kemudian berlari ke luar untuk melihat siapa yang datang setelah menyambar mukenah."Niz
Bab 20. Ini Tentang AinunPoV Nizar________________Aku menunduk menyembunyikan wajah, menghindari tatapan mata Alia. Aku tahu, gadis ini sangat penasaran. Sebenarnya ibu melarangku untuk menceritakan ini pada siapa pun, tetapi jika terus merahasiakannya dari Alia, bisa menyebabkan batalnya pernikahan.Sebab, dia tentu tidak mau menikah dengan lelaki yang dianggap melukai hati wanita lain. Setelah kembali mengangkat wajah, Alia berkata penuh penekanan, "cepat katakan, Nizar. Baik aku atau kamu tidak punya waktu luang yang banyak!"Aku mengangguk, mengingat hari itu, lalu menceritakannya pada Alia.Sore hari ketika melihat ibu sedang duduk santai menonton acara televisi, aku mendekat dengan perasaan ragu. Bersyukur bapak belum pulang dari bekerja.Ada perasaan ragu yang meraja di dalam dada. Namun, demi pujaan hati, aku harus mengumpulkan keberanian. Seorang lelaki memang dianjurkan untuk berani, sekaligus mempertanggungjawabkan
Bab 21. Setidaknya Beri Satu AlasanPukul sepuluh pagi, aku langsung berkunjung ke rumah Ainun. Sebenarnya semalam sudah menolak dengan beberapa alasan karena masih belum sanggup menemuinya, tetapi Ainun selalu mendesak.Menghela napas panjang, aku mengetuk pintu yang setengah terbuka. Setelahnya, Ainun datang, meminta aku masuk dan duduk di kursi. Bu Madinah membuka tirai agar kami masih dalam pantauannya."Kumohon, jangan menangis, Ai!" pintaku memelankan suara begitu melihat matanya berkaca-kaca.Mata indah itu, basah oleh air mata. Aku tidak sanggup untuk melihatnya. Perlahan, tangan kananku merogoh kantong mengambil Fresh Care, lalu mengoles hidung dan pelipis demi menyembunyikan kesedihan.Aku tidak mau Bu Madinah menaruh curiga dan dicap sebagai lelaki tidak bertanggungjawab. Sejujurnya, aku masih sangat mencintai Ainun dan sulit melupakannya, tetapi ibu ... tidak mungkin aku lebih memilih gadis itu daripada dirinya."Nizar, katakan a
Bab 22. Berdamai dengan TakdirPoV Alia_______________Aku sengaja mendekati mereka ketika melihat raut wajah Nizar yang tidak bersahabat. Pak Darsono memang seorang lelaki, tetapi mulutnya pedas seperti wanita. Tidak jarang dia bergabung dengan ibu-ibu tukang gosip, mengajak anaknya serta.Ketika ada Pak Darsono, maka gosip seketika memanas. Apalagi dia selalu mengabadikannya lewat siaran langsung di Face-book tanpa peduli jika ada yang menegur di kolom komentar dan kebiasaan paling tidak bisa dia tinggalkan adalah memuji anak gadis sendiri, menganggapnya mengungguli semua gadis yang ada di negara ini."Bukan pacar, Pak. Tepatnya calon suami Alia." Nizar kemudian memberi jawaban dengan santun.Aku yang tidak tahan langsung memintanya pulang saja daripada masalah semakin runyam. Biasanya jika tetangga sudah ikut campur, maka kita akan kesulitan menemukan jalan keluar karena mereka pintar bicara saja. Selebihnya mencari kekurangan untuk dija
Bab 23. Aku bukan Perebut"Maksud kamu apa, Ainun?"Gadis itu tersenyum sangat manis, tetapi menurutku memiliki makna tertentu."Orang yang tidak tahu masalah kita, pasti menganggap aku sebagai orang ketiga jika aku mendesak Nizar untuk memberiku sebuah alasan paling logis, sementara kamu adalah korban. Padahal pada kenyataanya kamu lah yang hadir merusak segalanya. Aku yang hampir menikah dengan Nizar harus gagal karena dirimu. Aku yakin, kalian memiliki hubungan di belakang aku sejak beberapa minggu yang lalu, betul? Karena tidak mungkin seorang lelaki tiba-tiba melamar orang lain jika sebelumnya tidak selingkuh."Aku menggelengkan kepala. Memang pernah ada kasus di mana seorang wanita diputus lamarannya secara mendadak karena orang ketiga dengan alasan langsung menaruh hati pada pandangan pertama padahal sebenarnya mereka sudah lama memiliki hubungan.Namun, aku tidak sepertinya. Menurut pengakuan Nizar saja, lamaran ini terjadi atas keinginan i
Bab 24. Air MataAku menepikan motor, tidak lama kemudian Diqi ikut melakukan hal yang sama. Aku memutar bola mata malas tidak menduga kalau dia lah yang memanggilku tadi karena suaranya samar terbawa angin.Membasahi bibir dengan lidah, lalu bertanya, "kenapa?""Kenapa, kenapa. Jelasin, tadi bahas apa sih sama Ainun dan Nizar? Jangan-jangan kamu udah nyerah, terus maksa Nizar buat balikan lagi sama Ainun?" tebaknya membuatku semakin malas saja."Nggak. Ainun cuma ngejelasin sesuatu biar Nizar nggak salah paham. Lagian kamu kok bisa ada di sini, bukannya sibuk apa kek. Sengaja mantau apa emang kebetulan lewat doang? Ah, masa sih, lewat doang orang kamu tahu kalau tadi aku ketemu Nizar sama Ainun padahal Nizar sendiri sudah pulang lebih dulu menyusul Ainun." Mataku memicing mencari jawaban.Pasalnya, Diqi itu tipe orang yang selalu mencari tahu apa pun yang membuatnya penasaran dan aku yakin kalau saat ini dia sedang memantau demi sebuah jawaban yan
Bab 25. Alasan yang LainAku memarkir motor di depan rumah Ainun, sengaja menjemputnya karena malu berangkat sendirian. Memang sudah lama ikut pengajian di rumah Ustazah Halimah, tetap saja malu kalau tidak sengaja bertemu santri yang lain. Sementara Ainun, dia orangnya super pede.Kadang-kadang, hehe.Cuaca hari ini cukup terang, mentari menampilkan senyum terindahnya di sisi awan tebal serupa kapas bercahaya. Kurasa, hari ini akan ada kabar baik. Semoga itu nyata."Alia, masuk dulu!" panggil Ainun ramah.Kaki melangkah panjang melewati pintu rumahnya, duduk di sebuah kursi dengan nyaman. Aku tidak mengerti kenapa perasaan senang itu datang di dalam hati, padahal tidak ada kabar baik pagi ini dari siapa pun.Berselang lima menit, Ainun kembali, memintaku duduk duduk dulu karena dia harus mengantar kue pesanan orang. Sementara itu, umi menyusul, duduk di depanku masih dengan senyum ramah seperti kemarin."Umi sudah dengar cerita dari
Bab 26. Undangan PernikahanPoV Author________________Berbicara tentang takdir, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku hanya percaya skenario terindah dari Tuhan.Cinta?Aku juga tidak tahu bagaimana menjabarkannya. Makna cinta itu luas, termasuk cinta kepada makhluk-Nya. Itu sesuatu yang wajar. Kita bahkan tidak bisa mengatur hati harus berlabuh kepada siapa karena cinta datang tanpa kita duga.Terkadang pada pandangan pertama atau bisa juga pada pendengaran pertama, yakni jatuh cinta setelah mendengar tentangnya dari banyak orang padahal belum pernah bertemu dengannya.“Jantungku di sini, setiap detaknya di sana. Hati ini adalah milikku, sedangkan detaknya adalah dirimu.” — Maulana Jalaluddin Rumi.~~~~~Nizar mengembuskan napas kasar ketika selesai membaca surat dari Ainun yang disampaikan oleh Diqi. Lelaki berkulit sawo itu tidak tahu lagi bagaimana cara menyadarkan Ainun tentang takdir ya