Share

Bab 4. Melamarmu Bagian dari Takdir

Wajah mama berubah semakin murung, cahaya di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Mama mengerjapkan mata, mungkin tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Tentu, aku pun sama karena masih beranggapan bahwa semuanya adalah mimpi.

Tentang Nizar yang memintaku menyampaikan niatnya pada ayah, kemudian datang ke sini membawa orang tua bersama sanak keluarga lainnya. Semua berbahagia, termasuk kami sebagai calon pengantin. Lantas hari ini kacau. Aku menolak percaya pada kenyataan yang digambarkan Ainun.

"Maksud kamu ngomong gitu apa, Alia?"

"Nizar, Ma. Urusannya masih belum selesai. Dia pernah mengikat sebuah janji dan aku nggak mau melangsungkan pernikahan kalau menyebabkan hati wanita lain tersakiti. Aku sudah tahu gimana rasanya ditinggal nikah meski keadaanku sama Ainun berbeda."

"Ainun?"

Kedua mataku melebar, sementara sebelah tangan refleks menutup mulut yang memang suka keceplosan seolah pernah meminum serum kejujuran seperti dalam kisah Harry Potter. Semua sudah terlanjur, aku tidak mungkin terus berusaha menyembunyikan semuanya.

"Tapi jangan bilang sama ayah, Ma. Sebenarnya Nizar pernah dekat sama Ainun, mereka sampai berjanji untuk menikah. Cuma aku nggak tahu kenapa Nizar malah ngelamar aku. Menurut pengakuan Ainun, hubungan mereka renggang dua minggu ini dan Nizar sendiri bilang kalau mereka bukan jodoh dan melamarku termasuk bagian dari takdir. Ma, jangan bawa-bawa Ainun, ya, kalau misal aku sama Nizar nggak jadi nikah. Dia nggak salah, Ainun itu korban. Kalau aku ngalah, semua bakal balik kayak dulu lagi. Aku ikhlas."

Mama menggeleng pelan dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Kembali aku menatap langit-langit kamar membiarkan mama memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ponsel yang tergeletak manja di meja belajar kembali berdering. Aku tidak tahu siapa yang memanggil, diri ini hanya butuh ketenangan untuk sementara.

Saat melirik ke mama, aku bisa melihat air matanya menggenang. Mungkin merasa kasihan padaku yang mengaku ikhlas dilepas oleh Nizar. Tentu saja jika hal itu terjadi, aku bisa menjadi bulan-bulanan para tetangga toxic.

Semua terasa berat. Seperti kata orang, masalah datang untuk melatih kedewasaan kita. Aku berharap setelah masalah ini menemukan titik terang, aku menjadi lebih bijak lagi dalam menyikapi setiap permasalahan dan tidak pernah gegabah dalam mengambil keputusan.

"Mama kenapa diam? Mama setuju sama keputusan aku?"

"Mama tidak akan pernah setuju. Jodoh itu sudah diatur sama Allah. Kalau kamu dilamar sama Nizar, mungkin emang jodoh. Menurut pengetahuan mama, sekalipun kalian sudah dekat selama tujuh tahun, kalau tidak jodoh pasti ada masalah. Entah rasa yang tiba-tiba berubah, pihak keluarga tidak setuju atau bahkan hadirnya orang ketiga. Posisi kamu di sini bukan orang ketiga karena tidak tahu hubungan mereka, bukan? Mungkin Nizar sudah mengakhiri hubungannya dengan Ainun, tetapi Ainun tidak mau menerima kenyataan."

"Oke, kalau itu aku paham, cuma bener kata Ainun, loh. Nizar nikah sama gadis lain mah sakitnya nggak akan sedalam itu. Faktanya, Nizar ngelamar aku yang notabene-nya sahabat Ainun sendiri. Tentu dia ngeliat acara ijab qabul, apalagi Nizar bakal melewati rumah Ainun kalau mau ke sini di hari pernikahan nanti. Jadi, sebelum semuanya terlambat, aku harap Nizar mau memutus lamaran ini, Ma."

Tidak ada jawaban, aku memilih menghadap ke arah timur sengaja membelakangi mama agar mau membantuku membujuk Nizar. Aku mendengus pelan sambil memilin ujung mukenah seraya mengenang moment kebahagiaan agar air mata tidak tumpah.

"Tante minta kamu datang ke sini, sekarang!"

Aku tersentak ketika mendengar suara mama. Saat memutar badan menghadapnya, mama meletakkan ponselku ke tempat semula. Aku lantas bangun, mengikis jarak sambil memicingkan mata. "Mama bicara sama siapa?"

"Tunggu Nizar datang ke sini. Masalah tidak akan selesai kalau lewat telepon atau chat saja. Kamu sebaiknya mandi karena Nizar akan tiba Insya Allah dalam waktu kurang dari setengah jam."

Aku terpaku.

***

Setengah enam sore, Nizar datang seorang diri karena belum memberitahu ibu dan bapaknya tentang keinginanku untuk berpisah. Jari manisku masih tersemat cincin yang Bu Aminah pasang kemarin sebagai calon mertua. Entahlah, aku jadi merasa gatal ingin melepas cincin ini kalau saja tidak sadar bahwa menjaga perasaan seseorang adalah sebuah keharusan.

"Alia sudah menceritakan semuanya, Nizar. Sekarang tante mau nanya, apa ada yang belum selesai antara kamu dan Ainun?"

Nizar menunduk dalam. Aku menaikkan sebelah alis karena penasaran dengan raut wajahnya ketika mendengar nama Ainun. Aku tidak tahu kenapa hati ini berdenyut nyeri. Apa karena cemburu atau takut berpisah dengan Nizar? Ya, lelaki itulah yang secara tidak langsung berhasil membantuku melupakan cinta pertama dulu.

"Tidak ada yang belum selesai antara aku dan Ainun, Tan. Perkara hubungan kami hanyalah masa lalu. Aku sudah menutup lembaran itu dan mencoba membuka lembaran baru bersama Alia. Ini tentang takdir, aku bahkan tidak bisa lari darinya."

"Maksudmu apa bicara begitu? Apa melamar Alia bukan keinginanmu?"

Nizar langsung mengangkat wajahnya sambil mengulum senyum semanis madu. Jika ada sesuatu yang bisa meleleh selain eskrim dan sejenisnya, maka itu adalah hatiku. Segera aku menunduk untuk menyembunyikan senyum akibat hati yang berbunga-bunga juga berusaha menormalkan degup jantung.

"Semua atas keinginan aku, Tan. Aku sudah lama mengenal Alia. Ustazah Halimah pernah membahasnya padaku. Beliau mengatakan Alia adalah murid kesayangan, sama seperti Ainun. Tentang perasaan, bukankah Allah Maha Membolak-balikkan Hati hamba-Nya? Tidak ada kata setia sebelum menikah. Aku dan Ainun hanya sebatas dekat, Tan."

"Sebatas dekat, tetapi menaruh harapan dalam lubuk hatinya?" Aku merasa geram, tidak tahan untuk tetap diam.

"Tuhan sudah menentukan jodoh setiap hamba-Nya dan ikhtiar-ku berujung memilihmu. Sebelum mengabarimu, aku sudah mempertimbangkan banyak hal, juga melakukan salat istikharah dan hatiku lebih condong kepadamu, Alia. Aku mengakui tentang harapan itu, tetapi tidak bisa melawan takdir untuk tetap memilihnya. Ainun gadis yang baik, aku juga mengakui itu." Nizar memalingkan pandangannya.

Aku semakin dilema berada di posisi ini. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kasihan Ainun jika ditinggal begitu saja. Dia adalah korban. Ya, sama sepertiku dulu yang menganggap diri sendiri adalah korban padahal salah telah mencintai dalam diam. Akan tetapi, berbeda dengan Ainun karena cintanya terbalas meskipun pada akhirnya ditinggalkan juga.

Ah, memikirkan andai berada di posisi Ainun menambah sesak di dalam dada. Kalau saja dulu lelaki yang pernah aku cintai melamar Ainun, pasti hatiku akan merasakan sakit. Terutama jika dia pernah melabuhkan perasaannya padaku, membangun sejuta harapan yang kembali dihancurkan begitu saja.

"Bagaimana dengan Ainun?" tanyaku lagi tidak berhenti memikirkan gadis itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status