Wajah mama berubah semakin murung, cahaya di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Mama mengerjapkan mata, mungkin tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar. Tentu, aku pun sama karena masih beranggapan bahwa semuanya adalah mimpi.
Tentang Nizar yang memintaku menyampaikan niatnya pada ayah, kemudian datang ke sini membawa orang tua bersama sanak keluarga lainnya. Semua berbahagia, termasuk kami sebagai calon pengantin. Lantas hari ini kacau. Aku menolak percaya pada kenyataan yang digambarkan Ainun.
"Maksud kamu ngomong gitu apa, Alia?"
"Nizar, Ma. Urusannya masih belum selesai. Dia pernah mengikat sebuah janji dan aku nggak mau melangsungkan pernikahan kalau menyebabkan hati wanita lain tersakiti. Aku sudah tahu gimana rasanya ditinggal nikah meski keadaanku sama Ainun berbeda."
"Ainun?"
Kedua mataku melebar, sementara sebelah tangan refleks menutup mulut yang memang suka keceplosan seolah pernah meminum serum kejujuran seperti dalam kisah Harry Potter. Semua sudah terlanjur, aku tidak mungkin terus berusaha menyembunyikan semuanya.
"Tapi jangan bilang sama ayah, Ma. Sebenarnya Nizar pernah dekat sama Ainun, mereka sampai berjanji untuk menikah. Cuma aku nggak tahu kenapa Nizar malah ngelamar aku. Menurut pengakuan Ainun, hubungan mereka renggang dua minggu ini dan Nizar sendiri bilang kalau mereka bukan jodoh dan melamarku termasuk bagian dari takdir. Ma, jangan bawa-bawa Ainun, ya, kalau misal aku sama Nizar nggak jadi nikah. Dia nggak salah, Ainun itu korban. Kalau aku ngalah, semua bakal balik kayak dulu lagi. Aku ikhlas."
Mama menggeleng pelan dan aku tidak tahu apa penyebabnya. Kembali aku menatap langit-langit kamar membiarkan mama memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Ponsel yang tergeletak manja di meja belajar kembali berdering. Aku tidak tahu siapa yang memanggil, diri ini hanya butuh ketenangan untuk sementara.
Saat melirik ke mama, aku bisa melihat air matanya menggenang. Mungkin merasa kasihan padaku yang mengaku ikhlas dilepas oleh Nizar. Tentu saja jika hal itu terjadi, aku bisa menjadi bulan-bulanan para tetangga toxic.
Semua terasa berat. Seperti kata orang, masalah datang untuk melatih kedewasaan kita. Aku berharap setelah masalah ini menemukan titik terang, aku menjadi lebih bijak lagi dalam menyikapi setiap permasalahan dan tidak pernah gegabah dalam mengambil keputusan.
"Mama kenapa diam? Mama setuju sama keputusan aku?"
"Mama tidak akan pernah setuju. Jodoh itu sudah diatur sama Allah. Kalau kamu dilamar sama Nizar, mungkin emang jodoh. Menurut pengetahuan mama, sekalipun kalian sudah dekat selama tujuh tahun, kalau tidak jodoh pasti ada masalah. Entah rasa yang tiba-tiba berubah, pihak keluarga tidak setuju atau bahkan hadirnya orang ketiga. Posisi kamu di sini bukan orang ketiga karena tidak tahu hubungan mereka, bukan? Mungkin Nizar sudah mengakhiri hubungannya dengan Ainun, tetapi Ainun tidak mau menerima kenyataan."
"Oke, kalau itu aku paham, cuma bener kata Ainun, loh. Nizar nikah sama gadis lain mah sakitnya nggak akan sedalam itu. Faktanya, Nizar ngelamar aku yang notabene-nya sahabat Ainun sendiri. Tentu dia ngeliat acara ijab qabul, apalagi Nizar bakal melewati rumah Ainun kalau mau ke sini di hari pernikahan nanti. Jadi, sebelum semuanya terlambat, aku harap Nizar mau memutus lamaran ini, Ma."
Tidak ada jawaban, aku memilih menghadap ke arah timur sengaja membelakangi mama agar mau membantuku membujuk Nizar. Aku mendengus pelan sambil memilin ujung mukenah seraya mengenang moment kebahagiaan agar air mata tidak tumpah.
"Tante minta kamu datang ke sini, sekarang!"
Aku tersentak ketika mendengar suara mama. Saat memutar badan menghadapnya, mama meletakkan ponselku ke tempat semula. Aku lantas bangun, mengikis jarak sambil memicingkan mata. "Mama bicara sama siapa?"
"Tunggu Nizar datang ke sini. Masalah tidak akan selesai kalau lewat telepon atau chat saja. Kamu sebaiknya mandi karena Nizar akan tiba Insya Allah dalam waktu kurang dari setengah jam."
Aku terpaku.
***
Setengah enam sore, Nizar datang seorang diri karena belum memberitahu ibu dan bapaknya tentang keinginanku untuk berpisah. Jari manisku masih tersemat cincin yang Bu Aminah pasang kemarin sebagai calon mertua. Entahlah, aku jadi merasa gatal ingin melepas cincin ini kalau saja tidak sadar bahwa menjaga perasaan seseorang adalah sebuah keharusan.
"Alia sudah menceritakan semuanya, Nizar. Sekarang tante mau nanya, apa ada yang belum selesai antara kamu dan Ainun?"
Nizar menunduk dalam. Aku menaikkan sebelah alis karena penasaran dengan raut wajahnya ketika mendengar nama Ainun. Aku tidak tahu kenapa hati ini berdenyut nyeri. Apa karena cemburu atau takut berpisah dengan Nizar? Ya, lelaki itulah yang secara tidak langsung berhasil membantuku melupakan cinta pertama dulu.
"Tidak ada yang belum selesai antara aku dan Ainun, Tan. Perkara hubungan kami hanyalah masa lalu. Aku sudah menutup lembaran itu dan mencoba membuka lembaran baru bersama Alia. Ini tentang takdir, aku bahkan tidak bisa lari darinya."
"Maksudmu apa bicara begitu? Apa melamar Alia bukan keinginanmu?"
Nizar langsung mengangkat wajahnya sambil mengulum senyum semanis madu. Jika ada sesuatu yang bisa meleleh selain eskrim dan sejenisnya, maka itu adalah hatiku. Segera aku menunduk untuk menyembunyikan senyum akibat hati yang berbunga-bunga juga berusaha menormalkan degup jantung.
"Semua atas keinginan aku, Tan. Aku sudah lama mengenal Alia. Ustazah Halimah pernah membahasnya padaku. Beliau mengatakan Alia adalah murid kesayangan, sama seperti Ainun. Tentang perasaan, bukankah Allah Maha Membolak-balikkan Hati hamba-Nya? Tidak ada kata setia sebelum menikah. Aku dan Ainun hanya sebatas dekat, Tan."
"Sebatas dekat, tetapi menaruh harapan dalam lubuk hatinya?" Aku merasa geram, tidak tahan untuk tetap diam.
"Tuhan sudah menentukan jodoh setiap hamba-Nya dan ikhtiar-ku berujung memilihmu. Sebelum mengabarimu, aku sudah mempertimbangkan banyak hal, juga melakukan salat istikharah dan hatiku lebih condong kepadamu, Alia. Aku mengakui tentang harapan itu, tetapi tidak bisa melawan takdir untuk tetap memilihnya. Ainun gadis yang baik, aku juga mengakui itu." Nizar memalingkan pandangannya.
Aku semakin dilema berada di posisi ini. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kasihan Ainun jika ditinggal begitu saja. Dia adalah korban. Ya, sama sepertiku dulu yang menganggap diri sendiri adalah korban padahal salah telah mencintai dalam diam. Akan tetapi, berbeda dengan Ainun karena cintanya terbalas meskipun pada akhirnya ditinggalkan juga.
Ah, memikirkan andai berada di posisi Ainun menambah sesak di dalam dada. Kalau saja dulu lelaki yang pernah aku cintai melamar Ainun, pasti hatiku akan merasakan sakit. Terutama jika dia pernah melabuhkan perasaannya padaku, membangun sejuta harapan yang kembali dihancurkan begitu saja.
"Bagaimana dengan Ainun?" tanyaku lagi tidak berhenti memikirkan gadis itu.
"Lambat laun, dia akan mengerti. Ibarat sebuah doa yang belum dikabulkan sesuai keinginan kita, suatu hari pasti ada jawaban mengapa doa tersebut baru dikabulkan hari ini, bukan lima bulan lalu sesuai keinginan kita, misalnya? Takdir Tuhan itu selalu indah jika kita melapangkan dada untuk menerima setiap ketetapannya. Ainun pasti selalu meminta jodoh terbaik kepada Tuhan dan mungkin bukan aku jawabannya."Aku tertegun mendengar jawaban dari Nizar. Apa yang dia katakan, semuanya adalah kebenaran. Apalagi tentang takdir yang tidak bisa kita lawan dan hanya bisa berharap merubahnya dengan kekuatan doa.Membahas tentang masalah kami yang diibaratkan pada sebuah doa. Tentu kita merasa Tuhan tidak mengabulkannya karena sudah lewat waktu dalam perhitungan kita, padahal Tuhan selalu mengabulkan doa di waktu yang tepat karena selalu ada hikmah di balik semua itu.Benar pula dugaan Nizar karena Ainun selalu mengatakan kalau dirinya meminta jodoh terbaik kepada Tuhan tanpa menyebut nama seseoran
"Ayah tolong jangan menyalahkan Ainun. Aku mengerti keadaannya. Ainun sebenarnya akan menjadi orang paling bahagia kalau aku dilamar seseorang jika saja orang itu bukan Nizar." Aku menjawab dengan pelan karena takut jika sampai ayah marah. Ayah adalah sosok laki-laki yang selalu tersenyum, mudah beradaptasi serta sering melempar guyonan untuk keluarga demi mencairkan suasana. Namun, untuk masalah serius yang melibatkan kehormatan ini membuat ayah terlihat berbeda. "Jujur, ayah tidak akan menyalahkan Ainun jika dia sudah tidak mendesakmu lagi. Masih gadis begitu malah bucin kebangetan seolah sudah tidak ada lagi lelaki lain di luar sana. Kata kasarnya, terkesan tidak laku. Ayah mencoba memahami karena kalian bersahabat, sayangnya gagal." Aku menunduk dalam, sedikit tersinggung mendengar ucapan ayah tadi. Ainun memang bersalah dalam hal mencintai terlalu dalam serta melambungkan harapan setinggi langit. Namun, jangan lupakan bahwa Nizar berperan penting dalam mempermainkan perasaanny
Bab 7. Katakan Alasanmu!"Aku tidak mungkin menjelaskannya. Ini menyangkut aib Ainun dan kita tidak boleh menyebar aib saudara sendiri.""Aib?" Kedua alisku saling bertaut mendengar kata yang tersusun atas tiga huruf itu. "Apa kalian pernah ...."Sengaja aku menggantung kalimat karena khawatir didengar oleh orang lain. Namun, aku yakin kalau Nizar pasti paham arah pembicaraanku. Untung saja cuaca sedikit mendung sehingga matahari tidak membakar kulit."Astagfirullah, naudzubillah min dzalik. Jangan berpikir ke sana, aku tidak mungkin melakukannya. Selama dekat dengan Ainun, aku tidak pernah menyentuh tangannya apalagi untuk berbuat hal ...." Nizar ikut melirik sekitar. Aku bisa memahami.Akan tetapi, rasa penasaran tentang aib yang dimaksud masih mengusik pikiran. Bukan maksud ingin mencari tahu kekurangan orang lain, hanya saja penasaran alasan mereka berpisah. Aku mana mau menikah dengan lelaki perusak wanita.Melihat lelaki itu masih bisa menahan marah, membuatku semakin yakin tent
Bab 8. Bukan Romeo dan Juliet"Itu berarti kamu menganggap dirimu adalah Juliet dan aku ini Rosaline?"Aku lekas menggeleng, lalu tersenyum. Sebenarnya aku sedang memberanikan diri untuk menatap mata Ainun yang merah memancarkan luka menyekat. Menyedihkan, kalimat itu terlintas begitu saja dalam hati."Mungkin sebagian orang akan menganggap demikian, tetapi aku tidak pernah tahu kalau kalian memiliki hubungan. Sementara Juliet, dia tahu kalau Romeo adalah kekasih Rosaline. Lagi pula, cinta Romeo dan Juliet tidak mendapat restu disebabkan perbedaan kasta, sedangkan aku ...." Aku tidak lagi sanggup menjelaskan pada Ainun bahwa antara aku dan Nizar itu tidak ada ikatan sebelum lamaran.Semua terjadi begitu saja. Dia datang melamar, lalu aku menerima karena mengenal dia sebagai lelaki yang baik. Tentang kekurangan yang dia miliki merupakan hal lumrah di mana manusia pasti memilikinya.Namun, cinta akan menjadikan kekurangan itu sebuah kelebihan. Saat menerima lamaran Nizar, aku telah siap
Bab 9. Pesan-Pesan di WhasAppPandai ilmu agama tidak menjadi tolak ukur seseorang itu suci dari dosa. Faktanya, sebagian dari mereka melakukan aktivitas pacaran yang keharamannya sudah jelas dalam agama.Namun, aku tidak memukul rata semua orang. Pemahaman yang mereka miliki adalah anugerah, sementara kesalahannya pun tidak harus selalu kita sangkut pautkan dengan agama apalagi menyalahkan ilmu dan penampilannya. Akhlak memang sulit diperbaiki dan ujian paling besar seorang penuntut ilmu adalah cinta.Cinta yang arahnya belum jelas. Cinta yang terkadang menyakiti, menguras energi serta dompet sampai harus membohongi orang tua jika ingin bertemu diam-diam.Aku juga merasa tidak pantas menggunjing mereka karena sama-sama memiliki dosa. Jika dia teman, aku pasti memberi sedikit nasihat dengan cara paling halus. Jika menolak, maka pilihan terbaik adalah mendoakan."Bagaimana, Lia? Apa Ainun masih belum mau save nomor Whats-App kamu lagi?" tanya Rania ketika aku memandangi akunnya yang ta
Bab 10. FitnahPagi ini aku tidak menyempatkan diri untuk sarapan pagi karena harus menuju rumah Ustazah Halimah sesuai kebiasaan setiap hari senin dan kamis. Sebagai pemula, tentu saja masih agak kesulitan, berbeda dengan mereka yang telah menguasai ilmu Nahwu.Pengajian kitab kuning yang berlangsung pukul delapan sampai sepuluh pagi itu dihadiri oleh sepuluh pelajar wanita. Sementara untuk lelaki, berada di lantai dua diajar oleh Ustaz Hamka.Nizar? Dia telah menamatkan beberapa kitab dan gurunya pun bukan hanya Ustaz Hamka saja. Ah, kenapa aku teringat pada lelaki itu lagi? Seharusnya aku melupakan dia sejenak demi ketenangan hati dan pikiran."Cie, calon pengantin udah datang!" celetuk Ayu dengan nada mengejek.Gadis itu memang sering meledek teman-temannya yang lain. Aku tidak mengerti kenapa dia masih saja bermulut pedas padahal Ustazah Halimah sering mengingatkan kami untuk menjaga lisan.Dia dan teman se-geng-nya tidak pernah alpa mengerjai santri wati baru terutama yang tingg
Bab 11. PembelaanPertanyaan Ustazah Halimah membuat kami semua menunduk. Aku merasa seperti mendapat malaikat penolong. Dengan hadirnya beliau sudah cukup untuk membuat mereka bungkam.Jika tahu aku dianggap perebut, ustazah pasti kembali menasihati kami semua untuk selalu menjaga lisan karena menyakiti hati sesama manusia adalah perbuatan yang tidak dibenarkan."Kenapa tidak ada yang menjawab? Siapa yang merebut siapa?" Kembali Ustazah Halimah menegaskan, ketika sudah duduk di tempatnya menghadap kami semua yang berbaris rapi di depan bangku kecil memanjang ke samping."Ayu, tadi aku dengar suara kamu ketawa. Sekarang jelaskan, siapa yang merebut siapa? Dan kenapa dagu Alia merah begitu?"Bisa kulihat raut wajah Ayu menunjukkan kekesalannya ketika menatapku. Dia juga mengepalkan sebelah tangan seolah menjadi sebuah isyarat kalau aku akan dipukul sepulang pengajian nanti.Gadis itu tersentak, lalu menunduk ketika Ustazah Halimah kembali menyebut namanya."Aku sudah sering mengingatka
Bab 12. Jangan Membahasnya Lagi"Ainun, jangan pergi dulu!"Ainun menghentikan langkahnya, segera Diqi menghampiri gadis itu sesaat setelah memintaku menunggu sebentar. Sementara Ayu dan teman-temannya dipaksa pulang.Jarak kami terlampau tiga meter. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Sekalipun sering usil, tetapi Diqi selalu bisa menengahi pertengkaran.Ini kali pertamanya aku bermasalah dengan Ainun. Sejak dulu aku selalu mengalah demi menjaga hubungan baik kami agar tidak renggang. Namun, dalam keadaan sekarang, apakah masih pantas untuk mengalah?"Kita ke rumah Ainun dulu. Tidak baik menyelesaikan masalah seperti ini di jalanan. Takut orang-orang pada mengira kalian memperebutkan aku."Aku menanggapi dengan anggukan kecil serta senyum samar, sedangkan Ainun malah mendelik kesal pada Diqi. Dan untuk pertama kalinya, gadis berkerudung hijau muda itu lebih memilih pulang bersama Diqi daripada aku.Sesampainya di