Share

Bab 3. Aku Mencintaimu

Jantungku berdegup tidak normal bagai pacuan kuda ketika Nizar menelepon. Mengingat ini karena urusan penting dan aku yakin Nizar sedang khawatir dan penasaran akan sesuatu, maka panggilan itu kubiarkan terhubung.

Aku menyalakan loud speaker, lalu meletakkan ponsel di meja belajar karena takut jatuh ke lantai jika ada kabar yang tidak mengenakkan hati. Nizar mengulang pertanyaan yang sama tentang kenapa aku memintanya untuk membatalkan lamaran.

"Aku sendiri yang mau karena merasa kamu lebih cocok sama Ainun, bukan sama aku. Lupakan tentang lamaran kemarin, tolong dibatalkan saja. Aku tidak mau menari di atas kesedihan sahabatku, Nizar." Aku menjawab tegas karena tidak mau ketahuan kalau hati pun sama perihnya.

"Ainun cerita apa sama kamu? Tolong katakan, aku tidak mau terjadi kesalahpahaman," balas Nizar di balik telepon.

"Kamu menabur harapan dalam hatinya, Nizar. Kalian membahas masa depan dan gadis mana pun pasti akan kecewa begitu tahu kemarin kamu melamar sahabatnya. Tinggalkan aku dan kembali pada Ainun, aku ikhlas. Mama sama ayah pasti tidak keberatan karena mereka mengenal Ainun. Kasihan dia, Ainun hanya tinggal berdua dengan uminya semenjak jadi yatim dan kamu malah menambah kesedihannya."

Beberapa detik hening, aku bisa mendengar Nizar membuang napas kasar. Aku yakin dia merasa resah, tetapi kenapa tidak mau mengaku sejak awal kalau dia dekat dengan Ainun padahal tahu kalau kami sahabatan? Nizar bersalah, aku tidak boleh melupakan itu. Sebelum cinta di antara kami semakin tumbuh, semua harus diakhiri demi menjaga kewarasan Ainun.

Aku tahu mentalnya sedang diserang habis-habisan. Setelah ditinggal oleh Nizar, bisa jadi Ainun memilih menghabiskan sisa hidupnya sendirian. Cinta memang terkadang menghilangkan akal sehat sehingga banyak dari mereka memilih mengakhiri hidup daripada terus mengingat semua kenangan berujung luka 'tak berkesudahan.

"Alia, kamu pasti tahu kalau aku sama Ainun itu tidak berjodoh. Aku tidak ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Oke, aku memang salah karena pernah memberinya sebuah harapan, meminta Ainun untuk menunggu, tetapi pada akhirnya meninggalkan. Namun, itu yang dikatakan takdir."

"Takdir? Kamu menyebut semua ini sebagai takdir?"

"Iya," jawab Nizar cepat. "Karena aku mencintaimu."

Aku memejamkan mata, bulir bening semakin deras membasahi pipi. Aku mematikan sambungan telepon karena ragu kalau Nizar mau kembali pada Ainun. Ada apa dengannya? Aku jadi curiga ada sesuatu yang belum selesai antara mereka berdua, bukan hanya tentang perasaan.

Ar-Rahman ... Ar-Rahim ....

Tangan mulai gemetaran, aku menyeka air mata yang hangat saat menyadari ada pesan dari Ainun. Gadis itu pasti butuh jawaban mengingat sekarang sudah sore. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Prahara itu akan tiba, cepat atau lambat. Begitu hatiku berbisik.

Ainun : Bagaimana, Lia? Kamu sudah bilang pada Nizar? Aku chat dia sejak tadi, tetapi tidak ada balasan.

Pesan yang dikirim Ainun beriring tiga emoticon yang menggambarkan kalau dirinya sedang menangis, juga satu gambar hati patah, lalu dibalut dengan perban. Sahabatku itu benar-benar terluka dan diri ini harus mengalah agar dia tidak kehilangan cahayanya.

Kali ini Ainun mengirim sebuah foto dirinya sedang menangis memeluk boneka beruang yang memegang sebuah hati berwarna merah. Di sana tertulis nama Nizar Abdulah. Aku tidak tahu apakah boneka itu dibeli sendiri atau dihadiahkan oleh lelaki yang kini menjadi calon suamiku.

Menerima lamaran kekasih sahabatku, apakah hal itu sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Entahlah, aku juga takut menyampaikan perkaran ini pada mama apalagi ustazah karena mereka pasti memintaku untuk menasihati Ainun.

Ketika seseorang dilanda bunga-bunga cinta, dia akan sulit menerima nasihat. Aku juga takut hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin menjadi renggang. Sungguh, aku bisa saja mengalah karena tahu cinta Ainun pada Nizar jauh lebih dalam daripada yang tersimpan di dalam hatiku.

"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Aku tidak menyalahkan Ainun, tetapi ketika menaruh harapan yang tinggi kepada manusia, pasti berujung kecewa. Alia, jangan gegabah, kuharap kamu mau membicarakan masalah ini ke Ainun secara baik-baik atau aku akan meminta orang tua kita untuk kembali bertemu demi meluruskan masalah ini. Sungguh, aku dan Ainun sudah selesai dua minggu yang lalu." Kali ini Nizar mengirim pesan suara.

Aku sengaja mendengarkannya dua kali agar tidak salah menjawab. Apa yang Nizar katakan adalah sebuah kebenaran, tetapi dia tidak boleh melupakan bahwa Nizar sendiri lah yang membuat Ainun melabuhkan pengharapan kepadanya. Hati wanita memang tidak mudah dipahami oleh para lelaki yang mengedepankan egonya.

Rumit. Aku mengusap wajah gusar, lalu menangis sekeras mungkin karena dada semakin terasa sesak. Kenapa beban seperti ini harus ditimpakan kepadaku padahal aku selalu memohon kemudahan kepada Tuhan dalam segala urusan?

Beberapa menit menangis, aku menggigit bibir memaksa diri untuk berhenti ketika seseorang menepuk pundakku. Saat mengangkat kepala dan menoleh padanya, ternyata dia adalah mama yang sudah pulang dari kondangan. Mama duduk di tepi ranjang, mengajakku serta.

"Kenapa, Lia? Kenapa kamu menangis?" tanya mama dengan air muka khawatir.

Aku tidak pernah diajari untuk berbohong, tetapi lebih baik untuk menjaga nama baik Ainun agar mereka tidak salah paham. Setelah mengatur napas dan menghapus air mata yang terus tumpah, aku memberanikan diri membalas tatapan mama lekat.

"Tadi aku minta Nizar untuk memutuskan lamaran, Ma."

"Loh, kenapa, Sayang?"

"Aku tahu mama sama ayah pasti terkejut, tetapi ini keputusan aku. Tolong sampaikan sama Nizar kalau aku merasa tidak cocok sama dia. Lebih baik hubungan ini diakhiri sekarang daripada nanti lebih rumit untuk bercerai, Ma. Sebelum semua orang tahu, daripada ada masalah di hari pernikahan kami."

Mama menggelengkan kepalanya, memegang bahuku yang tertutupi mukenah. Ya, aku sampai lupa melepas mukenah setelah salat dan mengaji tadi karena terburu-buru mengirim pesan pada Nizar yang sekarang malah menjadi rumit. Aku menarik sudut bibir tipis agar mama mengira hati ini baik-baik saja.

"Nizar itu baik dan paham agama, Lia. Dia bisa menuntunmu ke surga. Sudah tahu, kan, kalau dia sering jadi imam dan ceramah atau khutbah di berbagai masjid? Lelaki seperti itu yang mama sama ayahmu cari untuk dijadikan menantu. Tadi pagi mama lihat kamu masih bahagia seolah tidak ada masalah, kenapa sekarang meminta Nizar memutus lamaran?"

Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mama bisa saja memaklumi jika aku terus mengiba, tetapi ayah? Ayah selalu memintaku untuk menjaga nama baik keluarga. Biasanya aku akan patuh, sepertinya sekarang tidak bisa.

"Lia, jawab mama!" desak mama menggoyangkan bahuku.

"Aku tidak bisa menikah dengan kekasih sahabatku, Ma."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status