Jantungku berdegup tidak normal bagai pacuan kuda ketika Nizar menelepon. Mengingat ini karena urusan penting dan aku yakin Nizar sedang khawatir dan penasaran akan sesuatu, maka panggilan itu kubiarkan terhubung.
Aku menyalakan loud speaker, lalu meletakkan ponsel di meja belajar karena takut jatuh ke lantai jika ada kabar yang tidak mengenakkan hati. Nizar mengulang pertanyaan yang sama tentang kenapa aku memintanya untuk membatalkan lamaran.
"Aku sendiri yang mau karena merasa kamu lebih cocok sama Ainun, bukan sama aku. Lupakan tentang lamaran kemarin, tolong dibatalkan saja. Aku tidak mau menari di atas kesedihan sahabatku, Nizar." Aku menjawab tegas karena tidak mau ketahuan kalau hati pun sama perihnya.
"Ainun cerita apa sama kamu? Tolong katakan, aku tidak mau terjadi kesalahpahaman," balas Nizar di balik telepon.
"Kamu menabur harapan dalam hatinya, Nizar. Kalian membahas masa depan dan gadis mana pun pasti akan kecewa begitu tahu kemarin kamu melamar sahabatnya. Tinggalkan aku dan kembali pada Ainun, aku ikhlas. Mama sama ayah pasti tidak keberatan karena mereka mengenal Ainun. Kasihan dia, Ainun hanya tinggal berdua dengan uminya semenjak jadi yatim dan kamu malah menambah kesedihannya."
Beberapa detik hening, aku bisa mendengar Nizar membuang napas kasar. Aku yakin dia merasa resah, tetapi kenapa tidak mau mengaku sejak awal kalau dia dekat dengan Ainun padahal tahu kalau kami sahabatan? Nizar bersalah, aku tidak boleh melupakan itu. Sebelum cinta di antara kami semakin tumbuh, semua harus diakhiri demi menjaga kewarasan Ainun.
Aku tahu mentalnya sedang diserang habis-habisan. Setelah ditinggal oleh Nizar, bisa jadi Ainun memilih menghabiskan sisa hidupnya sendirian. Cinta memang terkadang menghilangkan akal sehat sehingga banyak dari mereka memilih mengakhiri hidup daripada terus mengingat semua kenangan berujung luka 'tak berkesudahan.
"Alia, kamu pasti tahu kalau aku sama Ainun itu tidak berjodoh. Aku tidak ditakdirkan untuk hidup bersamanya. Oke, aku memang salah karena pernah memberinya sebuah harapan, meminta Ainun untuk menunggu, tetapi pada akhirnya meninggalkan. Namun, itu yang dikatakan takdir."
"Takdir? Kamu menyebut semua ini sebagai takdir?"
"Iya," jawab Nizar cepat. "Karena aku mencintaimu."
Aku memejamkan mata, bulir bening semakin deras membasahi pipi. Aku mematikan sambungan telepon karena ragu kalau Nizar mau kembali pada Ainun. Ada apa dengannya? Aku jadi curiga ada sesuatu yang belum selesai antara mereka berdua, bukan hanya tentang perasaan.
Ar-Rahman ... Ar-Rahim ....
Tangan mulai gemetaran, aku menyeka air mata yang hangat saat menyadari ada pesan dari Ainun. Gadis itu pasti butuh jawaban mengingat sekarang sudah sore. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Prahara itu akan tiba, cepat atau lambat. Begitu hatiku berbisik.
Ainun : Bagaimana, Lia? Kamu sudah bilang pada Nizar? Aku chat dia sejak tadi, tetapi tidak ada balasan.
Pesan yang dikirim Ainun beriring tiga emoticon yang menggambarkan kalau dirinya sedang menangis, juga satu gambar hati patah, lalu dibalut dengan perban. Sahabatku itu benar-benar terluka dan diri ini harus mengalah agar dia tidak kehilangan cahayanya.
Kali ini Ainun mengirim sebuah foto dirinya sedang menangis memeluk boneka beruang yang memegang sebuah hati berwarna merah. Di sana tertulis nama Nizar Abdulah. Aku tidak tahu apakah boneka itu dibeli sendiri atau dihadiahkan oleh lelaki yang kini menjadi calon suamiku.
Menerima lamaran kekasih sahabatku, apakah hal itu sebuah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Entahlah, aku juga takut menyampaikan perkaran ini pada mama apalagi ustazah karena mereka pasti memintaku untuk menasihati Ainun.
Ketika seseorang dilanda bunga-bunga cinta, dia akan sulit menerima nasihat. Aku juga takut hubungan persahabatan yang sudah lama terjalin menjadi renggang. Sungguh, aku bisa saja mengalah karena tahu cinta Ainun pada Nizar jauh lebih dalam daripada yang tersimpan di dalam hatiku.
"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Aku tidak menyalahkan Ainun, tetapi ketika menaruh harapan yang tinggi kepada manusia, pasti berujung kecewa. Alia, jangan gegabah, kuharap kamu mau membicarakan masalah ini ke Ainun secara baik-baik atau aku akan meminta orang tua kita untuk kembali bertemu demi meluruskan masalah ini. Sungguh, aku dan Ainun sudah selesai dua minggu yang lalu." Kali ini Nizar mengirim pesan suara.
Aku sengaja mendengarkannya dua kali agar tidak salah menjawab. Apa yang Nizar katakan adalah sebuah kebenaran, tetapi dia tidak boleh melupakan bahwa Nizar sendiri lah yang membuat Ainun melabuhkan pengharapan kepadanya. Hati wanita memang tidak mudah dipahami oleh para lelaki yang mengedepankan egonya.
Rumit. Aku mengusap wajah gusar, lalu menangis sekeras mungkin karena dada semakin terasa sesak. Kenapa beban seperti ini harus ditimpakan kepadaku padahal aku selalu memohon kemudahan kepada Tuhan dalam segala urusan?
Beberapa menit menangis, aku menggigit bibir memaksa diri untuk berhenti ketika seseorang menepuk pundakku. Saat mengangkat kepala dan menoleh padanya, ternyata dia adalah mama yang sudah pulang dari kondangan. Mama duduk di tepi ranjang, mengajakku serta.
"Kenapa, Lia? Kenapa kamu menangis?" tanya mama dengan air muka khawatir.
Aku tidak pernah diajari untuk berbohong, tetapi lebih baik untuk menjaga nama baik Ainun agar mereka tidak salah paham. Setelah mengatur napas dan menghapus air mata yang terus tumpah, aku memberanikan diri membalas tatapan mama lekat.
"Tadi aku minta Nizar untuk memutuskan lamaran, Ma."
"Loh, kenapa, Sayang?"
"Aku tahu mama sama ayah pasti terkejut, tetapi ini keputusan aku. Tolong sampaikan sama Nizar kalau aku merasa tidak cocok sama dia. Lebih baik hubungan ini diakhiri sekarang daripada nanti lebih rumit untuk bercerai, Ma. Sebelum semua orang tahu, daripada ada masalah di hari pernikahan kami."
Mama menggelengkan kepalanya, memegang bahuku yang tertutupi mukenah. Ya, aku sampai lupa melepas mukenah setelah salat dan mengaji tadi karena terburu-buru mengirim pesan pada Nizar yang sekarang malah menjadi rumit. Aku menarik sudut bibir tipis agar mama mengira hati ini baik-baik saja.
"Nizar itu baik dan paham agama, Lia. Dia bisa menuntunmu ke surga. Sudah tahu, kan, kalau dia sering jadi imam dan ceramah atau khutbah di berbagai masjid? Lelaki seperti itu yang mama sama ayahmu cari untuk dijadikan menantu. Tadi pagi mama lihat kamu masih bahagia seolah tidak ada masalah, kenapa sekarang meminta Nizar memutus lamaran?"
Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mama bisa saja memaklumi jika aku terus mengiba, tetapi ayah? Ayah selalu memintaku untuk menjaga nama baik keluarga. Biasanya aku akan patuh, sepertinya sekarang tidak bisa.
"Lia, jawab mama!" desak mama menggoyangkan bahuku.
"Aku tidak bisa menikah dengan kekasih sahabatku, Ma."
Bab 88. Takdir Itu Selalu Indah.Setiap hari selalu sama, diisi dengan warna kehidupan yang indah. Seperti dulu, seolah tidak ada kisah kelam di masa lalu yang menyebabkan hati hancur tanpa kepingan lagi.Ainun bahagia berada di dekat teman-temannya, tetapi tentu saja ada masa dia menangis dalam kesendirian mengingat orang yang telah mendahului.Semua orang bahagia meski tidak ada kabar dari Rania. Semenjak pindah ke Manado, dia menghilang bagai ditelan bumi. Namun, mereka semua berusaha untuk terlihat santai walau khawatir pindah agama.Tak terasa sudah dua tiga berlalu. Usaha bakso meriang pun tidak lagi berada di depan rumah Bu Zahra melainkan di sampingnya. Jadi tetangga sebelah rumah Alia pindah ke luar kota, jadi mereka membeli lokasi itu karena lumayan luas.Rumah diratakan, lalu membangun warung makan yang lebih terkesan mewah dan bersih. Sementara pada tingkat dua adalah rumah Nizar dan Alia."Cie yang mau nikah. Jadinya sama
Bab 87. Pengaruh NgidamAlia pulang ke rumahnya setelah siang karena Nizar yang meminta. Sementara Ainun berkumpul dengan keluarga Diqi, mereka begitu baik karena mau membantu Ainun.Sebenarnya perempuan itu merasa sedih, seolah dilupakan oleh Rania. Dia hanya menanggapi status Face-book tentang kematian sang umi dengan emotikon sedih, tanpa mengirim pesan apalagi memunculkan batang hidungnya.Dia terbuai oleh godaan Cris. Mereka terlalu bucin sampai lupa pada teman dan yang lainnya. Mereka seperti perangko, menempel siang dan malam. Rania melangkah semakin jauh dari Tuhannya."Kamu pake parfum kopi ya?"Sebelah alis Nizar terangkat tipis. "Iya, emang selalu pake, kan?"Alia mengulum senyum, kemudian memeluk erat Nizar padahal posisinya sedang berada di depan rumah. Untung saja lagi sepi pelanggan siang itu karena cuaca benar-benar panas.Menghirup lekat-lekat aroma parfum Nizar, membuatnya mengulum senyum. "Suka banget!""Lepa
Bab 86. Aroma MenyengatPukul delapan pagi, Ainun baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah Nawaf dan Nizar pulang karena harus bekerja, begitu pula dengan kedua mertuanya.Saat tiba di dalam kamar, aroma sabun lemon menguar begitu saja sampai menusuk indra penciuman Alia yang sedang sibuk berkirim pesan dengan suaminya."Ainun!" pekik Alia merasa mual. Dia berlari keluar dari kamar sambil menutup hidung rapat. Kepalanya mendadak pusing, keringat membasahi pelipis.Perempuan yang baru saja ingin mengambil daster panjang dalam lemari pakaian itu mengerutkan kening, bingung. Kenapa Alia menutup hidung seakan mencium bau busuk atau menyengat?Padahal selama ini selera sabun mereka sama. Lantas, kenapa? batin Ainun penasaran.Sementara dalam kamar mandi, Alia muntah sedikit. Setelah itu mengambil minum dan langsung meneguknya setengah gelas. Dia terduduk lesu di meja makan sambil sesekali menghela napas panjang."Kamu kenapa, sih?"
Bab 85. Jangan Tinggalkan Aku"Jangan larut dalam kesedihan, Ainun. Perbanyak doa untuk umi, semoga Allah menerima semua amal kebaikannya," kata Ustazah Halimah begitu melihat perempuan itu duduk di dalam kamarnya, menatap kosong dalam pelukan Alia."Umi sudah nggak ada. Sekarang aku yatim piatu, Ustazah," balas Ainun lirih. Tidak ada lagi air mata yang mengalir di sepanjang pipinya.Puncak dari segala kesedihan adalah ketika mata tak lagi mampu menangis. Kehilangan kedua orang tua sangat menyakitkan, membuat Ainun merasa sendiri di dunia.Sakit yang disebabkan kehilangan itu tidak memiliki obat. Mereka bilang, hati akan pulih seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, menurut Ainun berbeda. Sampai kapan pun, rasa sakit itu akan selalu ada.Apalagi karena kehilangan orang tua, di mana setiap insan tidak bisa terlahir kembali. Orang tua adalah sosok yang tidak ada gantinya. Mereka ada dalam hati, di tempat paling istimewa.Perempuan itu menunduk
Bab 84. Berujung Air MataEmosi Diva meluap sampai ke ubun-ubun. Baru saja si Kemayu itu ingin menyerang Ainun ketika Diqi lantas mendorongnya.Diqi sudah berjanji akan melindungi Ainun dalam keadaan apa pun bahkan jika harus kehilangan nyawa sendiri. Dia memberi tatapan tajam, dingin tak tersentuh pada Diva. "Jangan berani menyentuh istriku atau kamu harus berakhir di rumah sakit!" ancamnya serius."Serius amat, Yang? Padahal kalau kamu bagi nomer Whats-App, kan, gak bakal seribet ini. Ayolah!" Diva mengedipkan sebelah mata, sengaja ingin menggoda Diqi.Namun, siapa yang akan tergoda padanya? Setiap lelaki normal itu mencintai wanita dan bukan waria. Diqi sangat tahu bagaimana Islam melarang perbuatan yang meniru umat terdahulu, sebut saja Kaum Sodom."Minggir!" Ainun dengan penuh keberanian mendorong bahu lelaki kemayu itu sampai harus tersungkur ke belakang. Beberapa pasang memperhatikan mereka. Ada yang merasa kasihan ada pula yang menganggap m
Bab 83. Senyum tanpa Makna"Kamu beneran hamil, Sayang?" tanya Nizar sangat antusias. Kedua matanya berbinar, lalu bulir bening menggenang di sana."Iya, alhamdulillah. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah." Alia mengulum senyum, tidak lama setelah itu Nizar langsung menariknya masuk kamar agar bisa leluasa memeluk sang istri.Sebenarnya bisa saja melakukan itu di luar, tetapi khawatir tertangkap basah sama Bu Aminah dan Pak Abdullah, mereka bisa malu. Di dalam kamar, Nizar memeluk erat istrinya sambil menghujaninya dengan kecupan lembut di seluruh wajah."Makanya tadi aku suruh mandi dulu sebelum ngasih tahu, takut bau jigong!" kata Alia setelah Nizar melonggarkan pelukannya.Namun, lelaki itu tidak menanggapi. Dia menuntun Alia untuk duduk di tepi ranjang, setelah itu dia akan mensejajarkan wajahnya dengan perut Alia yang masih sangat rata.Tangan kanannya mengusap perut perempuan itu. "Anak abi. Apa kabar, Sayang? Oh iya, kamu jangan