Share

Bab 5. Lupakan Kalau Kita Sahabat

"Lambat laun, dia akan mengerti. Ibarat sebuah doa yang belum dikabulkan sesuai keinginan kita, suatu hari pasti ada jawaban mengapa doa tersebut baru dikabulkan hari ini, bukan lima bulan lalu sesuai keinginan kita, misalnya? Takdir Tuhan itu selalu indah jika kita melapangkan dada untuk menerima setiap ketetapannya. Ainun pasti selalu meminta jodoh terbaik kepada Tuhan dan mungkin bukan aku jawabannya."

Aku tertegun mendengar jawaban dari Nizar. Apa yang dia katakan, semuanya adalah kebenaran. Apalagi tentang takdir yang tidak bisa kita lawan dan hanya bisa berharap merubahnya dengan kekuatan doa.

Membahas tentang masalah kami yang diibaratkan pada sebuah doa. Tentu kita merasa Tuhan tidak mengabulkannya karena sudah lewat waktu dalam perhitungan kita, padahal Tuhan selalu mengabulkan doa di waktu yang tepat karena selalu ada hikmah di balik semua itu.

Benar pula dugaan Nizar karena Ainun selalu mengatakan kalau dirinya meminta jodoh terbaik kepada Tuhan tanpa menyebut nama seseorang. Ketika doanya dikabulkan dengan menjauhkan Nizar darinya karena bukan yang terbaik menurut-Nya, Ainun seketika merasa menjadi korban harapan palsu.

Namun, aku tidak akan mengatakan ini pada Ainun. Hatinya sedang sensitif, jadi lebih baik mendoakan saja agar dia mau berlapang dada menerima setiap ketentuan dari takdir. Kalau saja boleh meminta, aku tidak pernah menginginkan masalah seperti ini menimpa kami karena bersahabat dengan Ainun adalah keberuntungan bagi diriku sendiri.

"Kalian dekat sejak masih sekolah sampai belajar di rumah Ustazah Halimah. Pasti Ainun bisa memahamimu juga. Ainun butuh waktu, Alia," tambah mama memegang bahuku lembut.

Aku bisa melihat Nizar mengulum senyum. "Jadi, masalah sudah selesai, ya? Tidak ada pembatalan lamaran dan tanggal pernikahan tetap sama?"

"Iya," jawabku yang hampir terdengar seperti gumaman.

Setelah itu, Nizar langsung pamit karena tidak lama lagi mentari kembali ke peraduan digantikan oleh rembulan. Sekalipun sinarnya kalah terang, tetapi kita lebih leluasa menatap bulan. Ah, apa yang aku katakan? Lupakan semua itu, aku hanya ingin tenang.

***

Selesai mencuci piring, aku langsung kembali ke kamar. Ayah belum juga pulang, mungkin masih ada pekerjaan lain, sementara mama langsung masuk kamar karena kelelahan.

Aku menekuk lutut di samping tempat tidur sambil memandangi layar ponsel menunggu balasan dari Ainun. Ya, pertama-tama aku hanya mengirim salam dahulu sambil menunggunya online.

Nur Ainun Jamilah dan Nizar Abdullah memang kelihatan cocok saat bersama. Sementara aku? Mungkin orang-orang akan menuduhku sebagai perebut jika tahu kalau mereka berdua pernah memiliki hubungan istimewa. Sakit? Tentu saja.

'Biar Tuhan menjadi saksi kalau aku tidak pernah memiliki niat merebut kebahagiaan orang lain apalagi jika dia orang terdekatku.'

Sengaja aku memasang story seperti itu di aplikasi hijau agar Ainun semakin yakin kalau aku sebenarnya masih memikirkan dia. Namun, tidak berhasil mengembalikan Nizar. Sekalipun aku ingin, kalau Nizar menolak, maka semua akan percuma. Aku kasihan pada Ainun dan semoga saja ego tidak membunuh imannya.

Notifikasi Whats-App mengalihkan perhatian. Lekas aku kembali pada kolom percakapan dan membuka balasan Ainun. Bukan balasan salam semata, gadis itu juga menanyakan kejelasannya dengan Nizar karena nomornya sudah diblokir duluan.

Tidak lama kemudian, panggilan masuk dari nomor Ainun. Aku menghela napas panjang, melafazkan dzikir dan doa Nabi Musa berharap Ainun bisa mengerti penjelasan aku nantinya. Panggilan terhubung dan Ainun langsung menodong dengan banyak pertanyaan.

"Betul, aku sudah menyampaikannya sama Nizar. Aku membujuk sebisa mungkin bahkan mengaku menolak untuk melanjutkan hubungan ini sampai ke pernikahan. Namun, ternyata semua usahaku tidak membuahkan hasil padahal aku sudah minta Nizar untuk menikahimu saja dan bukan aku."

"Apa alasannya bertahan selain takdir, Lia? Aku tahu, Nizar pasti mengatakan semuanya adalah takdir."

Berulang kali aku mengusap wajah gusar karena napas memburu. "Tidak, Ainun."

"Katakan atau mulai detik ini kita bukan sahabat lagi!"

"Dia mencintaiku ... katanya." Aku menjawab malas padahal hati berbunga-bunga.

Tidak ada jawaban lagi, hanya isakan kecil yang kini terdengar jelas. Sekali lagi aku memahami keadaan Ainun. Meskipun di luar sana banyak lelaki yang jauh lebih tampan dan mapan, hati tidak bisa berbohong hendak memilih pelabuhan mana untuk berlabuh.

"Kalau begitu lupakan aku sebagai sahabat kamu, Lia. Aku nggak sanggup kalau nanti ngeliat story kamu tentang Nizar. Aku tidak mau cemburu pada seseorang yang bukan milikku sekaligus mencintai orang lain."

"Ainun, kamu itu bilang apa, sih? Nggak ada mantan sahabat. Sampai kapan pun aku bakal nganggap kamu saudara aku meskipun tidak sedarah. Jangan katakan itu lagi!" balasku sedikit emosi mendengar ucapan Ainun.

Terdengar embusan napas kasar dari balik telepon. Ainun memang kadang cepat marah dan susah pulihnya kecuali setelah dibujuk selama tiga kali. Entah benar atau tidak, gadis yang lahir pada hari selasa memang cenderung mudah marah sekaligus membesar-besarkan masalah karena mereka ibarat sebuah api.

"Aku bakal tetap hapus nomor kamu, Lia, sampai hatiku benar-benar pulih atau kamu mengembalikan Nizar untukku. Aku mencintainya dan mungkin tidak ada yang bisa menggantikan Nizar di dalam hati ini."

"Ai–"

"Kalau kamu emang menganggap aku saudara, tidak mungkin kamu menyakiti aku. Alia, kalau aku nggak bisa dapatin Nizar, kamu atau orang lain pun sama."

Setelah itu panggilan diputus sepihak. Aku semakin bersalah dibuatnya. Ingin menyampaikan pada Nizar juga ragu karena bisa-bisa dia menganggap Ainun sebagai gadis aneh yang sulit melupakan padahal tidak terjadi sesuatu di antara mereka.

Aku menggertakkan gigi. Masalah ini membuatku ingin mendaki gunung, kemudian berteriak sekencang mungkin agar unek-unek yang terpendam hilang dibawa angin. Tuhan, apa kesalahanku di masa lalu sehingga Engkau memberi ujian seperti ini?

Nizar Abdullah memang memikat hati gadis mana pun yang menginginkan suami salih. Matanya teduh, mampu memukau siapa saja yang memandang. Ternyata aku adalah calon pemenang di antara banyaknya gadis yang mengharapkan Nizar menjadi suaminya.

"Alia, kamu sudah tidur?" panggil mama di balik pintu kamar.

Aku beranjak, lalu membuka pintu lebar. "Kenapa, Ma?"

"Ayah kamu mau bicara. Dia sudah tahu tentang Ainun karena mama nggak bisa memikirkannya sendiri. Boleh?"

"Iya, Ma." Aku mengangguk lantas maju tiga langkah, duduk di depan televisi. Ayah tidak tersenyum, padahal biasanya sering bercanda terutama saat malam seperti ini.

Aku mendesah putus asa, lalu memberanikan diri berbicara. "Ayah mau bicara apa?"

"Apa kata Ainun? Apa dia masih mendesakmu untuk pisah sama Nizar? Atau kamu terlalu lemah dan tidak mau memberitahu Ainun kalau kita menjunjung tinggi harga diri, Alia?" Pertanyaan ayah seperti sebuah sindiran. Aku menelan saliva, menundukkan kepala dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status