Bab 9. Pesan-Pesan di WhasAppPandai ilmu agama tidak menjadi tolak ukur seseorang itu suci dari dosa. Faktanya, sebagian dari mereka melakukan aktivitas pacaran yang keharamannya sudah jelas dalam agama.Namun, aku tidak memukul rata semua orang. Pemahaman yang mereka miliki adalah anugerah, sementara kesalahannya pun tidak harus selalu kita sangkut pautkan dengan agama apalagi menyalahkan ilmu dan penampilannya. Akhlak memang sulit diperbaiki dan ujian paling besar seorang penuntut ilmu adalah cinta.Cinta yang arahnya belum jelas. Cinta yang terkadang menyakiti, menguras energi serta dompet sampai harus membohongi orang tua jika ingin bertemu diam-diam.Aku juga merasa tidak pantas menggunjing mereka karena sama-sama memiliki dosa. Jika dia teman, aku pasti memberi sedikit nasihat dengan cara paling halus. Jika menolak, maka pilihan terbaik adalah mendoakan."Bagaimana, Lia? Apa Ainun masih belum mau save nomor Whats-App kamu lagi?" tanya Rania ketika aku memandangi akunnya yang ta
Bab 10. FitnahPagi ini aku tidak menyempatkan diri untuk sarapan pagi karena harus menuju rumah Ustazah Halimah sesuai kebiasaan setiap hari senin dan kamis. Sebagai pemula, tentu saja masih agak kesulitan, berbeda dengan mereka yang telah menguasai ilmu Nahwu.Pengajian kitab kuning yang berlangsung pukul delapan sampai sepuluh pagi itu dihadiri oleh sepuluh pelajar wanita. Sementara untuk lelaki, berada di lantai dua diajar oleh Ustaz Hamka.Nizar? Dia telah menamatkan beberapa kitab dan gurunya pun bukan hanya Ustaz Hamka saja. Ah, kenapa aku teringat pada lelaki itu lagi? Seharusnya aku melupakan dia sejenak demi ketenangan hati dan pikiran."Cie, calon pengantin udah datang!" celetuk Ayu dengan nada mengejek.Gadis itu memang sering meledek teman-temannya yang lain. Aku tidak mengerti kenapa dia masih saja bermulut pedas padahal Ustazah Halimah sering mengingatkan kami untuk menjaga lisan.Dia dan teman se-geng-nya tidak pernah alpa mengerjai santri wati baru terutama yang tingg
Bab 11. PembelaanPertanyaan Ustazah Halimah membuat kami semua menunduk. Aku merasa seperti mendapat malaikat penolong. Dengan hadirnya beliau sudah cukup untuk membuat mereka bungkam.Jika tahu aku dianggap perebut, ustazah pasti kembali menasihati kami semua untuk selalu menjaga lisan karena menyakiti hati sesama manusia adalah perbuatan yang tidak dibenarkan."Kenapa tidak ada yang menjawab? Siapa yang merebut siapa?" Kembali Ustazah Halimah menegaskan, ketika sudah duduk di tempatnya menghadap kami semua yang berbaris rapi di depan bangku kecil memanjang ke samping."Ayu, tadi aku dengar suara kamu ketawa. Sekarang jelaskan, siapa yang merebut siapa? Dan kenapa dagu Alia merah begitu?"Bisa kulihat raut wajah Ayu menunjukkan kekesalannya ketika menatapku. Dia juga mengepalkan sebelah tangan seolah menjadi sebuah isyarat kalau aku akan dipukul sepulang pengajian nanti.Gadis itu tersentak, lalu menunduk ketika Ustazah Halimah kembali menyebut namanya."Aku sudah sering mengingatka
Bab 12. Jangan Membahasnya Lagi"Ainun, jangan pergi dulu!"Ainun menghentikan langkahnya, segera Diqi menghampiri gadis itu sesaat setelah memintaku menunggu sebentar. Sementara Ayu dan teman-temannya dipaksa pulang.Jarak kami terlampau tiga meter. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Sekalipun sering usil, tetapi Diqi selalu bisa menengahi pertengkaran.Ini kali pertamanya aku bermasalah dengan Ainun. Sejak dulu aku selalu mengalah demi menjaga hubungan baik kami agar tidak renggang. Namun, dalam keadaan sekarang, apakah masih pantas untuk mengalah?"Kita ke rumah Ainun dulu. Tidak baik menyelesaikan masalah seperti ini di jalanan. Takut orang-orang pada mengira kalian memperebutkan aku."Aku menanggapi dengan anggukan kecil serta senyum samar, sedangkan Ainun malah mendelik kesal pada Diqi. Dan untuk pertama kalinya, gadis berkerudung hijau muda itu lebih memilih pulang bersama Diqi daripada aku.Sesampainya di
Bab 13. Sahabat yang Baik?"Ainun, jangan begitu. Apa kamu lupa kalau Alia itu sahabat terbaik kamu? Disaat susah dan senangmu dia selalu ada. Coba pikir, jika ada masalah di antara kalian, siapa yang selalu mengaku salah, selalu mengalah meskipun dirinya benar? Hanya Lia. Sementara Ayu, dia kerap menggunjingmu, mengataimu tidak punya abi. Siapa yang membelamu? Hanya Alia."Mata Ainun seketika mengeluarkan bulir bening. Dia berdiri dengan gerak cepat, lalu mengikis jarak denganku. Detik selanjutnya, Ainun menghamburkan diri dalam pelukanku.Air mataku mengalir deras. Luka Ainun semakin terasa sakitnya di dalam dada. Bahunya terguncang, aku mengusap punggungnya pelan."Nah, kalau akur gitu kan enak. Jadi nggak ada kesalahpahaman lagi. Pokoknya kita hidup itu santai aja. Kalau baik syukuri, kalau bikin sedih tetap syukuri. Alhamdulillah ala kulli haalin, yakni di setiap keadaan. Jangan mencari kebahagiaan, tetapi ciptakan kebahagiaan itu.""Ini adala
Bab 14. Tertangkap Basah"Te-teman yang mana, Ma?"Suara Diqi terdengar gugup. Ah, kami salah karena tidak memikirkan hal ini tadi. Bu Ruqayyah tentu saja bertanya karena kami tiba-tiba hilang sementara dirinya bilang ingin menyiapkan minuman. Semua karena tanpa rencana yang matang dan semoga saja Diqi mampu memberi alasan logis.Pasalnya, Nizar bukan lelaki bodoh. Dia bisa saja membaca raut wajah Diqi jika mencoba berbohong. Bingung, aku dan Ainun hanya bisa terpaku menunggu jawaban Diqi."Oh, Rania? Dia sudah pulang, Ma, sejak tadi.""Rania? Emang tadi itu Rania? Mama kira–""Mama ini kan nggak sering ketemu teman aku, pasti lupa-lupa ingat lah sama wajah mereka. Udah, Mama jangan mikirin si Rania itu. Sini minumannya biar buat aku sama Nizar saja."Setelahnya, tidak terdengar suara Bu Ruqayyah lagi membuatku bernapas lega. Mungkin mereka sedang minum, padahal kami juga kehausan di sini."Kok, ada tiga gelas? Emang Rani
Bab 15. Kurasa Dia bukan AinunPukul depan pagi, aku kembali tiba di rumah Ustazah Halimah untuk melanjutkan pengajian yang diawali dengan salawatan bersama khusus untuk hari selasa. Aku menghela napas panjang, baru juga tiba sudah langsung bertemu pandang dengan Ayu dan teman-teman lainnya.Mereka baru keluar dari majlis. Terpaksa aku menghampiri karena dilanda rasa penasaran. "Kok, udah pulang aja?""Libur," jawab Ayu ketus."Kenapa?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Biar aku kasih tahu ya, kita libur karena ustazah yang bilang!" Aku sedikit ilfeel mendengarnya meniru gaya bicara laki-laki viral yang rambut model cepak mekar itu.Tanpa mau menanggapi, aku memilih kembali ke motor. Terkadang dalam sepekan memang diliburkan karena Ustazah Halimah juga punya urusan. Aku tidak berani menanyakan lebih detail pada beliau, hanya menurut sebagai murid.Namun, di tempat yang sama dengan kemarin, Ayu kembali menghadang. Kali ini mereka berti
Bab 16. Nasihat Ustazah Halimah"Alia, kamu dipanggil Ustazah Halimah," kata seorang lelaki yang tidak aku kenal saat suasana sudah semakin tegang. "Sekarang!" lanjutnya lagi melihat aku yang terpaku di tempat."Emang ustazah ada di mana, kenapa manggil aku?""Aku tidak tahu. Tadi senior nyuruh aku buat nyariin kamu, katanya dipanggil Ustazah Halimah."Tanpa menoleh pada Ainun, aku langsung menyalakan mesin motor, kembali ke rumah Ustazah Halimah dengan rasa penasaran yang begitu mendera. Namun, aku tidak tahu kenapa lelaki itu tahu aku sedang berada di tempat tadi padahal ada bangunan baru yang melindungi jika dia melihat dari rumah ustazah.Selesai memarkir motor di bawah pohon yang lumayan teduh, aku langsung melangkah panjang menuju pintu bernuansa hitam itu. Ponsel berdering, aku tidak mengindahkannya karena khawatir itu adalah pesan dari Ainun yang memberi ancaman lagi, sehingga bisa merusak mood.Pintu terketuk tiga kali, aku tersenyu