Share

Bab 7. Katakan Alasanmu!

Bab 7. Katakan Alasanmu!

"Aku tidak mungkin menjelaskannya. Ini menyangkut aib Ainun dan kita tidak boleh menyebar aib saudara sendiri."

"Aib?" Kedua alisku saling bertaut mendengar kata yang tersusun atas tiga huruf itu. "Apa kalian pernah ...."

Sengaja aku menggantung kalimat karena khawatir didengar oleh orang lain. Namun, aku yakin kalau Nizar pasti paham arah pembicaraanku. Untung saja cuaca sedikit mendung sehingga matahari tidak membakar kulit.

"Astagfirullah, naudzubillah min dzalik. Jangan berpikir ke sana, aku tidak mungkin melakukannya. Selama dekat dengan Ainun, aku tidak pernah menyentuh tangannya apalagi untuk berbuat hal ...." Nizar ikut melirik sekitar. Aku bisa memahami.

Akan tetapi, rasa penasaran tentang aib yang dimaksud masih mengusik pikiran. Bukan maksud ingin mencari tahu kekurangan orang lain, hanya saja penasaran alasan mereka berpisah. Aku mana mau menikah dengan lelaki perusak wanita.

Melihat lelaki itu masih bisa menahan marah, membuatku semakin yakin tentang penilaian orang-orang bahwa Nizar adalah lelaki baik. Sayang sekali, untuk masalah cinta sedikit ada kurangnya.

Meninggalkan gadis yang pernah dia beri harapan adalah sebuah kesalahan. Apalagi menurut Ainun hubungan mereka sedikit renggang saja disebabkan masalah kecil yang tidak mungkin memisahkan mereka.

Aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya apa saja yang terjadi antara Nizar dan Ainun. Pasti ada alasan kenapa Ainun terus mendesak agar aku mengembalikan Nizar padanya. Pikiran buruk menghampiri, tetapi berusaha aku tepis secepat mungkin sebelum semakin menjadi.

"Kalau tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, sebaiknya pulang saja sebelum mama kamu nyariin. Aku mau langsung masuk ke masjid."

"Pembicaraan kita hampir selesai. Ada satu permintaan yang harus kamu terima."

"Katakan, asal tidak menyangkut tentang Ainun."

"Tapi ini tentang Ainun." Nizar bungkam, aku langsung mengambil kesempatan untuk melanjutkan kalimat. "Aku tidak mau menikah sama kamu, Nizar. Jadi, sampaikan pada orang tuamu untuk melamar Ainun saja. Kurasa kalian berlaku tidak adil."

"Alia."

"Tidak, Nizar. Jangan berusaha membujukku. Mulai detik ini, aku akan meninggalkan sekaligus melupakanmu. Masjid ini menjadi saksi perpisahan kita."

"Selangkah saja kamu pergi dengan niat meninggalkan aku, maka kamu harus bersiap mendengar kabar buru. Aku tidak mau mencoreng nama baik keluarga dengan memutus lamaran, karena tetangga dan yang lainnya pasti menuntut jawaban."

"Nizar, kamu mau melakukan apa?"

"Bunuh diri mungkin?"

Aku tersenyum kecut. Ternyata semua lelaki sama saja. Mental mereka lemah, seperti pecundang. Ini pasti sekadar ancaman belaka agar aku tidak sampai meninggalkannya.

Menggadaikan agama demi seorang wanita? Oh tidak, mungkin Nizar hanya mencoba mempertahankan harga diri keluarganya. Aku tidak tahu apa saja yang terjadi di antara mereka. Namun, percaya kalau Nizar sekadar mengancam.

Tidak mungkin dia bunuh diri. Nizar itu fokus pada pengajian kitab kuning, tentu tahu kalau hal itu merupakan dosa besar. Kecuali dia bucin berlebihan, mungkin saja melupakan semua ilmunya.

"Kamu yakin?"

Tidak ada jawaban. Pertanyaan pancinganku berhasil. Kasihan juga jika langsung meninggalkannya sebelum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya menjadi korban dari kedekatan mereka dulu.

"Baiklah. Sekarang aku mau ke rumah Ainun dulu. Sampai jumpa!"

"Jangan percaya pada apa pun yang dia katakan!"

"Hanya aku yang berhak menentukan apa aku percaya atau tidak," balasku lebih tegas, lalu mengucapkan salam perpisahan.

Aku kembali melangkah menuju motor matic yang aku parkir tadi. Memakai helm, lalu meninggalkan tempat itu. Jujur, hati semakin gundah memikirkan bagaimana reaksi Ainun ketika melihatku.

Teringat pesan yang dia kirim mengatakan kalau dia sudah menghapus nomor Whats-App aku karena tidak mau tahu informasi tentang Nizar. Salahku juga telah memasang story bertuliskan namanya. Andai saja story itu aku khususkan untuk si tetangga yang naksir sana aku itu, Ainun pasti tidak curiga.

Ah ya, aku lupa bahwa dalang utamanya adalah Rania. Dia telah memberitahu Ainun tentang lamaran itu atas informasi dari tetangga. Padahal sudah kuminta untuk melamar habis isya saja, Nizar menolak.

"Fokus woy, fokus!" teriak seorang pengendara ketika aku mengarahkan motor ke tengah jalan.

Segera mata melirik spion, menyalakan sen kiri untuk kemudian menepi. Sekelumit pikiran yang bersarang di dalam kepala membuatku hampir kehilangan nyawa.

***

Jam dua belas kurang lima belas menit, aku tiba di depan rumah Ainun. Rumah desain minimalis dengan warna hijau mendominasi. Aku melepas helm, kemudian melangkah menuju pintu rumah bercat putih itu.

"Assalamu'alaikum, Ainun!" panggilku setelah mengetuk pintu.

"Wa'alaikumussalam." Sebuah senyum hangat menyambut. Wanita paruh baya itu adalah umi Ainun.

"Ainun ada, Umi?"

"Ada, di belakang, lagi baca buku kayaknya. Masuk dulu biar umi panggilkan."

Aku mengangguk sopan, kembali melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Dinding ruang tamu rumah Ainun dipenuhi foto ulama dari Hadramaut, Mekah serta Indonesia tentunya.

Adem. Itu yang selalu aku rasakan ketika berada di rumah ini. Makanya, aku selalu lupa pulang karena rasa nyaman itu. Baik karena suasana maupun sikap hangat yang diberikan pemilik rumah.

Mereka tinggal berdua di rumah. Aku menghirup udara dalam, aroma parfum kopi kesukaan Ainun begitu menusuk indra penciuman.

"Alia?" Terlihat jelas keterkejutan di wajah Ainun. Dia pasti tidak menduga kalau aku akan bertamu ke rumahnya. "Ternyata kamu tamunya?" tanyanya lagi masih berdiri di dekat tirai yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga.

"Duduk dulu Ainun. Ada yang mau aku tanyakan."

"Tentang masa lalu aku dan Nizar?" tebaknya memaksa aku menganggukkan kepala.

Gadis itu mendekat, duduk di sampingku dengan tatapan yang sulit di artikan. Pada intinya, sekarang suasananya berbeda dengan saat terakhir kali aku datang ke sini bersama Rania.

Berulang kali aku menarik napas dalam untuk mengumpulkan kekuatan. Apalagi umi ke luar membawa nampan berisi dua gelas es teh dan setoples cemilan. "Terima kasih, Umi," kataku tulus.

"Sama-sama. Umi ke belakang dulu, ya, Nak. Ada urusan."

Aku kembali mengangguk, sambil menatap wanita paruh baya yang selalu dalam balutan khimar-nya. Saat ruangan kembali sepi, pandanganku beralih pada Ainun yang membeku.

"Ainun, tolong kamu jawab dengan jujur. Aku ingin memintamu kembali pada Nizar, tapi kalau alasan kalian berpisah belum jelas begini, aku kesulitan."

"Usaha apa yang sudah kamu lakukan?" Mata Ainun seketika berkaca-kaca.

"Aku meminta Nizar untuk memutuskan lamaran bahkan aku bilang akan melupakannya. Namun, dia mengancam akan bunuh diri saja."

Ainun tersenyum kecut. "Nizar juga pernah bilang gitu sama aku, Lia. Waktu aku minta berpisah sama dia karena lelah menjalani hubungan yang tidak tahu kapan indahnya."

Mendengar pengakuan Ainun, aku memilih diam. Tidak mengapa jika Nizar memiliki kekurangan karena aku pun sama. Bahkan di masa lalu, aku juga pernah meninggalkan salat. Untung saja Tuhan masih memberi kesempatan untuk mengganti semua salat yang aku tinggalkan dulu.

"Kami dekat, bahkan terlalu dekat sampai aku merasa tidak ada alasan untuk kami berpisah. Nizar selalu mengatakan kalau dia akan meminangku, menjadikanku ratu dalam rumah tangga kami. Aku pernah bertanya, bagaimana jika aku meninggal lebih dulu sebelum atau setelah kita menikah, kira-kira siapa yang akan menjadi penggantiku? Dia menjawab, 'aku tidak tahu siapa yang bisa menggantikanmu. Mungkin tidak ada dan tidak akan pernah ada."

"Ainun ...."

"Nyatanya, bahkan sebelum aku meninggal, dia sudah memiliki pengganti. Dan ternyata penggantiku adalah dirimu, sungguh di luar dugaan," lanjutnya lagi seolah tidak memberiku izin untuk berbicara.

Ainun menatap kosong, detik selanjutnya air mata sudah mulai menetes di sepanjang pipinya. Menggigit bibir, Ainun pasti berusaha menelan kesedihan yang menggerogoti jiwanya.

Aku menghela napas. "Ainun, segala sesuatu yang terjadi di muka bumi adalah takdir. Sebagai manusia, kita harus belajar dari kisah cinta Laila Majnun atau mungkin Romeo dan Juliet. Sekalipun saling mencintai sampai tergila-gila, kalau tidak jodoh, pasti ada jalan untuk berpisah. Entah berpisah dengan kematian atau pun hadirnya orang ketiga. Mencintai terlalu dalam, hadirkan rasa kecewa yang dalam pula, hampir dikatakan pasti. Lalu, apa kamu tahu siapa Rosaline?"

"Cinta pertama Romeo." Ainun menjawab malas.

"Awalnya, Romeo sangat mencintai Rosaline. Namun, setelah bertemu Juliet di sebuah pesta, Romeo jatuh cinta padanya. Itu berarti, hati seseorang mudah berubah. Ainun, maafkan aku untuk mengatakan ini ... terimalah setiap takdir yang digariskan Tuhan untukmu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status