Share

Menikahi Anak Pembantu

Mengandung Anak Majikan

Bab 3: Menikahi Anak Pembantu

Eyang Putri, Surya, Adi, semua Bibi, Paman, dan sepupu Samudra, masing-masing mengusulkan nama untuk calon pengantin wanita pengganti.

"Angela, 24 tahun, S1 managemen bisnis. Cantik dan bekerja di Bank. Gimana, Sam?" usul Adi sambil memperlihatkan foto seorang gadis di layar HP-nya.

"Paman, yakin gadis secantik itu belum punya pasangan?" Samudra balik bertanya kepada sang paman.

"Dengar-dengar, sih, emang dia sudah ada gandengan. Tapi, apa salahnya kita coba hubungi dulu, sih?" Adi mencoba meyakinkan Samudra, setelah 8 profile perempuan dengan kualifikasi High Quality Jomlo diusulkan satu per satu oleh semua saudara yang sedang rapat darurat itu.

Samudra masih tak tertarik untuk membahasnya. Konsentrasinya masih saja tertuju hanya pada Vanilla. Andai perempuan cantik itu tak pergi meninggalkannya, pasti tak kan pernah ia terbelit dalam masalah yang serumit ini. Kepala Samudra semakin berat dan berputar-putar.

Tak jauh berbeda dengan Samudra, Tuan Danureja pun sama tertekannya memikirkan hal segawat itu. Keningnya yang sudah keriput, tampak semakin keriput dan berlipat-lipat. Wajahnya memancarkan ketegangan di bawah sinar cahaya lampu di ruang keluarga itu.

"Jika kita menghubungi kandidat-kandidat calon pengantin pengganti itu, apa justru tidak membocorkan masalah genting yang sedang kita hadapi? Bukan kah dari mulut mereka nanti tersebar berita tentang menghilangnya calon pengantin wanitanya Samudra? Dan itu berarti, aib keluarga kita akan diketahui masyarakat luas nantinya." Eyang Putri membuka suara, setelah lama terdiam dan berpikir keras.

Demi mendengar penjelasan Eyang Putri, semua orang pun terlihat membenarkan penjelasannya tersebut. Tak ada perdebatan, karena penjelasan tersebut sangat masuk akal.

Mereka semua terdiam. Jalan buntu sepertinya menghadang di tengah jalan. Kini, masing-masing disibukkan dengan pikirannya.

Malam semakin larut dan sunyi. Jam dinding telah menunjukkan pukul 01.30. Satu per satu, anggota keluarga itu pamit untuk pergi tidur. Tinggal tersisa Tuan Danureja, Nyonya Hapsari, Samudra, dan Eyang Putri. Rasa kantuk sama sekali tak menghampiri empat orang yang sedang dalam kekalutan itu.

Dalam diamnya, Tuan Danureja berpikir keras untuk bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik untuk anaknya. Lebih tepatnya, jalan keluar terbaik untuk bisa menutupi rasa malu dan aib yang mengancam nama baik keluarganya.

Tuan Danureja menarik nafas panjang, kemudian ia pun berkata, "Sepertinya, aku sudah mendapatkan solusi untuk masalah kita ini."

"Solusi gimana, Yah?" Nyonya Hapsari menoleh ke arah suaminya dengan raut muka cemas.

"Coba jelaskan, solusi yang seperti apa itu?" Eyang Putri menimpali.

Karena melihat Samudra tak ada reaksi apa pun terhadap ucapan sang ayah, maka Tuan Danureja pun menegurnya, "Sam, kenapa diam?"

Samudra meremas rambutnya dengan frustasi, "Apa pun yang akan Ayah lakukan, aku pasrah dan ngikut aja. Kepalaku sudah sangat berat memikirkan hal ini, Yah."

"Baik. Kalau begitu, dengarkan Ayah. Kamu ingat Shafira?" tanya Tuan Danureja kepada anaknya.

"Shafira ... Shafira yang mana, Yah?" Bukannya menjawab pertanyaan ayahnya, Samudra malah balik bertanya.

Sementara itu, Nyonya Hapsari dan Eyang Putri sama-sama menatap Tuan Danureja dengan tatapan yang penuh selidik.

"Shafira anaknya Mbok Jum," tegas Tuan Danureja.

Begitu mendengar Tuan Danureja menyebut nama Shafira anaknya Mbok Jum, maka seketika itu juga Samudra, Nyonya Hapsari, dan Eyang Putri ternganga tak percaya. Ketiga orang itu kaget, tentu saja, dengan apa yang mereka dengarkan.

"Ayah?" Samudra mengerutkan kening.

"Danureja?" Eyang Putri melongo.

"Yah?" Nyonya Hapsari syok.

"Iya. Shafira, anaknya Mbok Jum." Tegas Tuan Danureja kembali.

"Mbok Jum ... pembantu kita?" Nyonya Hapsari mengguncang bahu suaminya, seolah ingin lebih meyakinkan pendengarannya lagi.

Tuan Danureja mengangguk, "Betul. Pembantu kita."

"Nggak salah dengar kah aku, Yah?" tanya Samudra.

"Nggak. Kupingmu masih normal, Sam."

"Sebentar dulu. Atas dasar alasan apa Ayah memilih wanita yang bukan berasal dari kalangan kasta yang sama dengan kita?" Nyonya Hapsari rupanya tak terima dengan usulan suaminya itu.

"Hapsari, coba tenang dulu. Lebih baik kita dengarkan dulu penjelasan lebih lanjut dari suamimu itu." Eyang Putri memegang tangan Hapsari yang tampak gusar.

Tuan Danureja memperbaiki posisi duduknya, kemudian menghela nafas panjang dan berkata, "Kita sedang dalam kondisi darurat, Hapsari. Sebaiknya, jangan terlalu mempersoalkan dulu masalah kasta. Yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana caranya agar kita terhindar dari bencana memalukan yang sudah jelas-jelas akan kita hadapi."

"Tapi, kenapa harus dengan anak pembantu, Yah?" gusar Hapsari.

"Kamu pikir, ada anak gadis orang dari kalangan terpandang yang ujug-ujug mau dikawinkan dengan anak kita hanya untuk menutupi rasa malu?" sergah Danureja dengan muka memerah.

Hapsari terdiam. Namun begitu, hatinya jengkel dan gondok dengan sang suami. Masak iya, dirinya bakal punya menantu anak pembantunya?

"Shafira lumayan cantik, gitu-gitu juga yang penting dia kan lulusan SMK. Jadi, nggak terlalu rendah kali lah, Hapsari." Eyang Putri agaknya menyetujui usulan Danureja.

"Tapi Samudra nggak suka sama perempuan dekil macam itu, Yah." Samudra menolak.

"Kali ini, Ayah tak meminta pendapatmu, Samudra. Kamu yang menciptakan kekacauan ini, dan kamu juga harus tanggung akibatnya." Danureja melotot ke arah Samudra.

Tuan Danureja berdiri, sebelum ia beranjak meninggalkan ruang keluarga, ia pun berucap, "Keputusan ini sudah final. Besok aku sendiri yang akan berbicara dengan Mbok Jum dan Shafira. Sekarang, kita tidur di kamar masing-masing. Sudah jam tiga pagi.

Maka, keempat orang itu pun mengakhiri rapat darurat tersebut.

*

Pagi itu, Mbok Jum dan anak gadisnya yaitu Shafira, duduk di ruang kerja Tuan Danureja. Kedua anak beranak itu diliputi beribu-ribu tanya tentang panggilan majikannya itu kepada mereka.

"Mbok Jum, sudah berapa tahun kamu bekerja di sini?" tanya Tuan Danureja kepada perempuan 50-an tahun itu, yang sedang duduk berhadapan dengannya di seberang meja.

"Sudah lama, Tuan, sejak Den Samudra masih bayi," jawab Mbok Jum santun menundukkan kepalanya dalam. Sementara itu, Shafira yang duduk di sebelah ibunya pun terlihat menunduk juga, sebagai rasa hormat kepada majikan dari ibunya.

"Selama kamu bekerja di sini, sudah mendapatkan kebaikan apa saja dari kami? Tentunya selain gaji, THR, santunan, dan bonus?"

"Alhamdulillah sudah mendapatkan bantuan-bantuan yang banyak dari Tuan dan Nyonya."

"Bisa disebutkan dengan rinci, apa saja bantuan-bantuan itu?" Dengan nada datar, Tuan Danureja bertanya sambil melipat tangannya di depan dada.

"Waktu Shafira dirawat di rumah sakit kena demam berdarah sekitar 6 tahun yang lalu, Tuan dan Nyonya yang membayar semua biaya rumah sakitnya. Waktu suami saya kecelakaan, Tuan dan Nyonya juga yang membiayai pengobatan di rumah sakit."

"Apa lagi?"

"Waktu saya mau masukin Shafira ke SMK, pas saya nggak punya uang, Tuan dan Nyonya juga yang melunasi biaya masuknya, Tuan. Dan masih banyak lagi bantuan-bantuan Tuan untuk keluarga saya." Mbok Jum tersenyum sambil menganggukkan sedikit kepalanya.

"Bagus kalau kamu masih ingat semuanya itu. Nah, sekarang, giliran aku yang mau minta bantuanmu. Kira-kira, sanggupkah kamu membantu aku, Mbok Jum?" tanya Tuan Danureja penuh wibawa.

"Bantuan seperti apa, Tuan?"

"Shafira menikah dengan Samudra besok pagi."

Shafira tergagap mendengar pernyataan Tuan Danureja. Mulutnya ternganga dan matanya membulat menatap lelaki di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status