Share

Tekanan Batin Shafira

Mengandung Anak Majikan

Bab 4: Tekanan Batin Shafira

Shafira tergugu di kamarnya yang sederhana. Permintaan Tuan Danureja padanya untuk mau menikah dengan Samudra ibarat buah simalakama. Jika ia menyanggupinya, ia tahu konsekuensi yang akan diterimanya sebagai istri dan menantu yang tak diharapkan di keluarga itu. Begitupun sebaliknya, jika ia menolak, maka keluarga besar Tuan Danureja akan menganggapnya sebagai orang yang tak tahu balas budi.

"Mungkin ini waktu yang tepat untuk kita membalas budi baik dari keluarga Tuan Danureja, Nduk!" Mbok Jum mencoba menenangkan hati anak bungsunya itu.

"Tapi, Mbok, kehadiran Shafira ditengah keluarga kaya itu pasti hanya akan dipandang sebelah mata saja. Shafira ini kan cuma anak pembantu, sementara mereka adalah majikan kita." Shafira mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.

Gadis 20 tahun itu paham betul dengan tabiat Samudra, putra majikan ibunya. Dulu ketika dirinya masih sekolah, ibunya sering mengajak Shafira ke rumah Tuan Danureja untuk membantunya.

Nyonya Hapsari sering mengadakan acara arisan di rumahnya yang membutuhkan banyak tenaga untuk membuat makanan, mencuci perabot masak, dan bersih-bersih rumah. Saat itulah Mbok Jum membutuhkan tenaga Shafira untuk membantu pekerjaannya.

Beberapa kali Shafira berjumpa dengan Samudra, dan Samudra selalu memandangnya dengan tatapan merendahkan.

"Shafira, titah Tuan Danureja adalah takdir bagi kita. Kita tak bisa menolaknya. Sudah, apapun yang terjadi, besok pagi-pagi sekali kamu harus bersiap menjadi pengantin." Setelah berkata demikian, Mbok Jum pun meninggalkan Shafira sendirian di kamarnya.

Sebenarnya mudah saja bagi Shafira untuk kabur dari rumahnya malam itu juga. Akan tetapi, ia tak ingin orang tuanya mendapatkan masalah yang berat dari tindakannya itu.

*

"Kamu tidur di situ," perintah Samudra kepada Shafira dingin dan datar.

Karpet, bantal, dan selimut telah dibentangkan Samudra di sudut kamar dekat jendela untuk tempat tidur Shafira.

"Iya, Den." Shafira menjawab cepat sambil menunduk.

Shafira telah mengganti gaun pengantin putih nan indah dengan sepotong gamis lengkap dengan kerudung yang menutup kepalanya. Badannya terasa sangat lelah, karena sejak pagi menjalani prosesi akad nikah yang kemudian diteruskan dengan pesta di gedung.

"Jangan mendengkur! Aku nggak suka dengar cewek mendengkur!" ujar Samudra.

Samudra selalu berbicara seperlunya kepada Shafira, bahkan tanpa menatap padanya. Bagi lelaki tampan itu, kehadiran Shafira bagaikan kotoran yang menjijikkan baginya.

"Iya, Den." Lagi, Shafira hanya menjawab pendek. Lantas ia membaringkan badannya di atas karpet.

Sekejap, ia melirik ke arah kasur, di mana Samudra pun telah berbaring memunggungi dirinya. Maka, ia pun beringsut dan menghadap tembok. Lantas, ia ceritakan semua kegundahan hatinya kepada tembok dingin yang bisu.

Tak terasa, air mata Shafira meleleh kembali. Tanpa suara isak tangis.

*

Pukul 05.30, Shafira turun ke bawah setelah ia melaksanakan sholat Subuh. Langkahnya menuju dapur. Tentu saja ia dan Mbok Jum akan mempersiapkan sarapan untuk keluarga suaminya. Begitu pesan Nyonya Hapsari kemarin malam, selepas pesta pernikahannya dengan Samudra.

Menu sarapan telah terhidang rapi di atas meja makan besar. Saatnya Shafira menuju kamar untuk memanggil Samudra sarapan.

"Sarapan udah siap, Den," ujar Shafira kepada suaminya, Samudra.

"Hmm." Sambil menyisir rambutnya, Samudra menjawab enggan.

Shafira memandangi Samudra yang berdiri di depan cermin. Rupanya, hal itu membuat Samudra tak suka.

"Kenapa masih berdiri di situ?" tegur Samudra ketus.

"Ehm ... maaf, Den." Shafira sedikit membungkukkan badannya, lantas berbalik dan meninggalkan kamarnya. Lebih tepatnya, kamar Samudra.

Semua anggota keluarga telah berkumpul dan duduk melingkari meja makan. Tuan Danureja duduk bersebelahan dengan istrinya, Samudra dan Lintang--adiknya--berhadapan, Eyang putri dan Adi bersebelahan.

"Shafira, tuangkan air putih untukku!" teriak Lintang keras memanggil kakak iparnya itu, saat mulutnya tengah sibuk mengunyah roti bakar selai coklat kesukaannya.

"Iya, Non." Shafira yang sedang mencuci piring di dapur, bergegas mendatangi Lintang. Lantas ia pun menuangkan air putih ke dalam gelas untuk Shafira.

"Shafira, lain kali kalau kami sedang makan, kamu harus standby berdiri di situ, untuk mengambilkan segala sesuatu yang kami butuhkan. Mengerti?" Nyonya Hapsari menunjuk sudut dinding dekat kulkas, untuk memberi tahu Shafira tempat ia harus berdiri menunggu perintah sang majikan.

"Ba ... Baik, Nyonya," jawab Shafira menunduk dalam, merasakan nyeri yang sangat dihatinya.

Mata Mbok Jum mulai berembun, saat dilihatnya Shafira diperlakukan benar-benar sebagai pembantu, bukan sebagai seorang menantu. Seketika itu, terbitlah penyesalan di hatinya.

"Hapsari, bagaimanapun juga, Shafira itu sudah menjadi aggota keluarga kita yang sah secara hukum. Apa tidak sebaiknya kita juga memperlakukannya seperti layaknya seorang menantu?" Eyang Putri berkata pelan kepada Hapsari, anaknya. Ia agak tak tega melihat Shafira mendapat perlakuan tak pantas dari anaknya.

"Ibu nggak ingat, dia itu siapa?" tanya Nyonya Hapsari.

"Dia menantumu, Hapsari," tegas Eyang Putri.

"Betul, Bu. Tapi dengan banyak syarat. Setelah tiga bulan pernikahan laknat ini, dia akan diceraikan oleh Samudra. Dan derajatnya akan kembali lagi seperti sedia kala, yaitu sebagai seorang anak pembantu. Jadi, lebih baik kita tetap memperlakukannya seperti ini saja, biar dia nggak ngelunjak dan besar kepala." Dengan berapi-api, Hapsari menanggapi perkataan Eyang Putri.

"Sudahi pembicaraan tak berguna ini. Kita semua sudah tahu, bahwa status Shafira itu hanya sebagai istri sementara bagi Samudra saja, sesuai perjanjian sebelumnya." Dengan kesal, Tuan Danureja menyudahi sarapannya yang belum selesai itu.

Nyonya Hapsari ikut berdiri dan mengikuti langkah suaminya menuju ruang kerja suaminya.

"Gara-gara kamu, suasana rumah ini jadi nggak nyaman," umpat Lintang sambil menunjuk ke muka Shafira. Lantas ia pun berdiri dan segera berangkat menuju kampusnya.

Shafira meremas ujung bajunya. Aneh, batinnya. Sudah ditolong dari bencana rasa malu, malah menyalahkan posisinya sebagai seorang mantu. Ia protes dalam hati saja. Karena pada kenyataannya, sungguh ia tak berani berbuat apa-apa untuk sekedar membela dirinya.

Tinggal tersisa Samudra dan Eyang Putri yang masih menikmati sarapannya di meja.

"Sini, Shafira, kamu duduk di sebelah Eyang. Belum sarapan, kan?" Eyang Putri menatap Shafira yang masih berdiri di dekat kulkas.

"Sa ... saya makan di belakang saja, Ndoro Eyang," jawab Shafira sambil membalas tatapan Eyang Putri.

"Ndak papa, sini saja. Ayo!"

"Maaf, Ndoro Eyang. Kalau sudah selesai sarapannya, biar saya bereskan saja, ya?"

Bukannya menuruti kemauan Eyang Putri untuk duduk di sebelahnya, Shafira justru mau membereskan meja makan. Karena dilihatnya Samudra dan Eyang Putri telah merampungkan sarapan meraka.

"Kok seperti terburu-buru. Memangnya kamu mau pergi ke mana, Shafira?" tanya Eyang Putri melihat Shafira yang dengan cekatan membereskan piring dan gelas yang kotor.

"Saya mau berangkat bekerja, Ndoro Eyang," jawab Shafira.

"Bekerja? Bekerja di mana?" Reflek, Samudra bertanya. Tatapannya menyelidik ke arah Shafira.

"Di mini market, Den. Jadi kasir."

"Hah ... apa? Nggak salah dengar aku?" Mata Samudra membulat menatap Shafira yang sedikit kaget.

"I ... iya, Den."

"Kamu mau bikin aku malu, gitu? Apa kata orang-orang di luar sana kalau mengetahui bahwa istri Samudra, yang notabene adalah eksekutif muda di perusahaan bonafit, justru hanya jadi kasir rendahan di mini market?" teriak Samudra lantang sambil menggebrak meja makan.

Shafira mengkerut ketakutan demi mendengar suara Samudra yang keras dan melotot kepadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status