Mengandung Anak Majikan
Bab: 2 Mencari Pengantin PenggantiDengan beban pikiran yang menggunung dan tubuh yang lunglai, Samudra pulang ke rumahnya.Pikiran Samudra benar-benar kalut, saat kakinya hendak melangkah ke dalam rumah yang terlihat ramai oleh saudara-saudaranya yang telah datang dari jauh. Bahkan ada Paman Surya--Adik ibunya--yang datang dari Sulawesi, khusus untuk menghadiri pernikahannya lusa."Loh, Sam, dari mana? Bukannya kamu lagi dipingit?" Paman Surya yang sedang duduk di teras rumah, dikagetkan dengan kedatangan Samudra."Ada perlu sebentar tadi, Paman," jawab Samudra singkat dan dengan cepat ia berlalu dari hadapan pamannya tersebut.Saat langkah kaki Samudra menapaki anak tangga untuk menuju kamarnya di lantai 2, sang ibu cepat mengekor di belakangnya."Kamu itu gimana, toh, Sam. Udah berapa kali Ibu bilang, kamu itu lagi dipingit! Jadi jangan ke luar rumah terus," omel Nyonya Hapsari.Samudra menarik tangan ibunya untuk cepat memasuki kamarnya."Bu, ada yang mau Sam bicarakan." Setelah Samudra menutup pintu kamarnya, ia mengajak ibunya duduk di tepi kasur."Mengenai apa?" tanya perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu.Samudra mendesah, seolah ingin mengeluarkan beban yang sangat berat yang menghimpit dadanya. Pandangannya luruh ke lantai, seiring mata yang mulai berkabut.Nyonya Hapsari memandang gerak gerik anak sulungnya itu dengan heran, "Sam, kamu kenapa?"Samudra bingung mau menjawab. Ia takut, jika nanti bicara yang sesungguhnya tentang Vanilla, akan terjadi apa-apa dengan ibunya. Akan tetapi, jika ia tidak mengatakan sesungguhnya, maka itupun sebuah kesalahan yang lebih fatal lagi."Kenapa diam saja, Sam?" desak Nyonya Hapsari."Bu, Vanilla ... Vanilla ...." Kegugupan jelas terbaca dari nada suara Samudra."Vanilla kenapa?" Nyonya Hapsari semakin tak sabar dengan kegugupan Samudra."Dia pergi jauh, Bu.""Pergi jauh? Maksud kamu apa?" Kali ini, Nyonya Hapsari berteriak mulai tak terkendali."Samudra juga nggak tahu dia pergi ke mana. Yang jelas dia sengaja pergi jauh dan tak akan datang di hari pernikahan lusa, Bu." Samudra tergugu sambil tangannya meremas-remas rambutnya.Nyonya Hapsari syok seketika. Nafasnya tersengal-sengal, keringat dingin mulai menitik dari keningnya. Sementara itu, tangannya memegangi dada kirinya yang berdenyut nyeri."Sam ... Sam ...." ucapnya terbata-bata sambil terus merasakan nyeri yang sangat di dada kirinya.Samudra bingung dan panik melihat keadaan ibunya yang tiba-tiba tergelepar di atas kasur.Dengan cepat, Samudra berlari ke luar kamar lantas berteriak memanggil siapa saja yang ada di bawah, "Ayah, Paman, Bibi, Pakdhe, Eyang putri, Lintang ... cepat ke sini, Ibu pingsan!"Semua anggota keluarga yang mendengar teriakan Samudra, langsung berlari cepat mendatanginya."Ada apa, Sam?" tanya Tuan Danureja--Ayah Samudra--menerobos masuk kamar anaknya.Demi melihat keadaan sang istri, Tuan Danureja pun lantas cepat memerintahkan Samudra mengambil kotak obat yang ada di kamar ibunya.*Keadaan Nyonya Hapsari telah membaik, begitu meminum obat yang memang selalu tersedia yang telah diresepkan dokter untuknya.Hampir semua keluarga dan saudara dekat telah berkumpul di kamar Samudra, karena mengkhawatirkan keadaan Nyonya Hapsari. Kini, mereka telah bisa bernafas lega kembali.Nyonya Hapsari terlihat menangis sesenggukan, menjadikan tanda tanya besar bagi semua yang melihatnya."Ada apa, Hapsari?" tanya Eyang Putri dengan suara seraknya."Mbak, jawab dulu, nangisnya nanti saja," timpal Surya, adik Hapsari."Samudra, jelaskan semuanya kepada mereka!" perintah Nyonya Hapsari sambil terisak.Kini, semua mata tertuju pada sosok Samudra yang berdiri di pojokan kamar dengan pikirannya yang kalut. Kepalanya tertunduk dalam, berat untuk mengungkapkan kenyataan yang harus dihadapinya."Samudra, kami semua menunggu penjelasan darimu!" Suara tegas dan berwibawa dari Tuan Danureja memenuhi ruangan."Vanilla menghilang, Yah." Singkat, Samudra menjawab dengan pasrah.Semua orang terperangah menatap Samudra. Ada tanda tanya besar di tiap kepala yang berada di ruangan itu.Tak pelak, Tuan Danureja yang tadinya masih tenang dan sabar, menjadi kaget mendengar pernyataan Samudra. Ia ingin sekali tak mempercayainya, tapi apa daya, pendengarannya masih sehat dan sempurna untuk berandai-andai menolak apa yang telah didengarnya barusan."Ayah peringatkan kamu, jangan bercanda dan main-main dengan ucapanmu!" Ancam Tuan Danureja.Samudra mengangkat wajahnya, lalu menjawab, "Samudra tidak bercanda, Yah."Brak.Tuan Danureja menggebrak lemari kayu yang ada di sampingnya. Nyonya Hapsari kaget mendengarnya, ditutupnya kedua telinganya juga matanya, masih sambil seenggukan.Begitu pun dengan semua orang yang sedang berjubel di kamar Samudra. Wajah mereka semua terlihat tegang."Sudah kamu cari dia ke mana-mana?" tanya Tuan Danureja yang dijawab anggukan Samudra."Nomor HP Samudra sudah diblokir oleh Vanilla, sejak dia mengatakan telah pergi jauh dan tidak akan datang di saat akad nikah lusa, Yah.""Bang*at. Dasar perempuan murahan." Teriak Tuan Danureja meluapkan kemarahannya. Reflek, tangannya menghantam cermin yang ada di lemari itu.Pyar.Pecahan kaca berhamburan jatuh ke lantai, sehingga menimbulkan suara berdencah mengiris hati. Nyaris semua orang berteriak kaget melihat kejadian itu.Telapak tangan Tuan Danureja mengeluarkan darah karena terkena pecahan kaca."Mau kutaruh di mana mukaku ini, Sam? Semua undangan telah disebar. Semua orang telah tahu bahwa lusa adalah hari pernikahanmu. Tapi, tapi ... apa yang telah kau perbuat ini? Biadab kalian mau melemparkan kotoran ke muka kami." Seperti Banteng yang sedang terluka, Tuan Danureja berteriak dan memaki anak sulungnya itu.Suasana semakin panas dan tak terkendali. Surya dan Adi--kakak tertua dari Tuan Danureja--berusaha menenangkan kemarahan Tuan Danureja."Sabar, Danu. Cukupkan dulu amarahmu. Mari kita pikirkan sama-sama jalan keluarnya. Jika kamu terus-terusan meluapkan kemarahan, justru tak akan membuat masalah selesai," bujuk Adi memegangi tangan Tuan Danureja yang masih mengucurkan darah segar.Setelah duduk dan minum air putih, terlihat sedikit surut emosi Tuan Danureja tadi yang tersulut.Telapak tangannya pun kini telah diberi obat merah dan diperban.Mereka kini berpindah ke ruang keluarga yang lebih luas untuk mencari jalan keluar dari permasalahan rumit yang tiba-tiba menghimpit keluarga tersebut."Apa pun yang terjadi, pernikahan Samudra harus tetap dilangsungkan. Dengan atau tanpa perempuan lak*at itu," tegas Tuan Danureja."Iya, harus. Karena aku juga tak mau menanggung malu dari cemoohan semua orang," timpal Nyonya Hapsari yang duduk di samping suaminya."Berati, dengan kata lain, kita harus segera mencari calon pengantin wanita sebagai pengganti Vanilla." Surya berucap, yang disambut anggukan oleh semua yang berada di ruang keluarga tersebut."Masalahnya sekarang, siapa perempuan yang mau tiba-tiba menjadi calon istri Samudra dalam waktu yang sangat sempit begini?" timpal Adi.Semua orang kini terlibat diskusi yang seius mencari-cari nama yang akan menjadi kandidat pengantin pengganti. Mulai dari sepupu, kenalan, atau teman-teman perempuan Samudra.Mengandung Anak Majikan 32"Gimana kondisi kaki anak saya ini, Dok?" tanya Nyonya Hapsari saat dokter visit ke ruang rawat inap pasien malam itu."Setelah melihat hasil rontgent, ternyata ada retak sedikit di pergelangan kakinya, Bu. Jadi tidak terlalu parah." Dokter yang mengenakan lab jas putih tersebut menjelaskan kondisi kaki Samudra kepada orang tuanya.Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan dari dokter."Baik lah, Bapak dan Ibu, selama Samudra mengikuti prosedur perawatan yang sudah diatur, insyaa Alloh keadaan kakinya nanti akan pulih seperti sedia kala lagi," ucap dokter tersebut."Terima kasih banyak atas penjelasaanya, Dok." Tuan Danureja menjabat tangan sang dokter sebelum ia meninggalkan ruangan Samudra.Tuan Danureja menghela napas lega setelah dokter itu berlalu."Untung nggak parah, Sam. Kamu bikin jantungan Ibu saja. Besok-besok kalau mau betangkat kerja, Ibu bawain bekal aja dari rumah," repet Nyonya Hapsari."Samudra bukan anak
Mengandung Anak Majikan 31"Tuan Danureja sama Nyonya Hapsari kenapa jalannya terburu-buru seperti itu, ya? Apa jangan-jangan anak beliau ada yang sakit di sini? Tapi siapa?" Sambil bersembunyi di sebuah tiang besar, Mbok Jum bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Kalau ada Tuan dan Nyonya di sini, berarti ada Warso juga. Wah, aku mesti hati-hati ini, jangan sampai salah satu dari mereka ada yang melihatku di sini," gumam Mbok Jum.Setelah Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari tak terlihat lagi dari pandangan mata Mbok Jum, maka ia pun meneruskan langkahnya menuju kantin yang berjarak tinggal beberapa langkah lagi di depannya itu."Teh hangat dua ya, Bang," pesan Mbok Jum kepada penjaga kantin. Ia pun mengambil satu pack roti sobek manis, dua buah arem-arem, dan satu botol air mineral berukuran besar."Berapa semuanya, Bang?" Penjaga kantin itu menghitung semua belanjaan Mbok Jum, lalu berkata, "Total semuanya 36.000, Bu."Mbok Jum mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Setelah mendap
Mengandung Anak Majikan 30Orang-orang yang sedang berlalu lalang di sekitar kejadian tabrakan itu, cepat mengerumuni Samudra dan si pengendara motor yang sama-sama terjatuh ke aspal karena insiden tabrakan tersebut.Samudra meringis kesakitan sambil memegangi lutut dan pergelangan kakinya. Sementara itu, si pengendara motor langsung berdiri dan menghampiri Samudra."Hei, pakai mata dong kalau mau nyebrang. Nggak maen nyelonong aja kayak kerbau!" maki si pengendara motor yang ternyata adalah seorang pemuda seumuran Samudra."Kerbau matamu! Kau itu yang ngebut nggak lihat-lihat ada orang mau nyebrang!" Samudra ganti memaki, tak mau kalah.Cuaca siang yang sangat panas menyengat kulit, semakin membuat panas hati dengan adanya cek cok di pinggir jalan yang ramai penuh polusi dari asap knalpot kendaraan."Nyolot Lu, ya!" si pengendara motor itu tahu-tahu mencengkeram kerah baju Samudra. Tangan kanannya terkepal hendak menghantam tubuh Samudra. Beruntung ada beberapa dari kerumunan orang i
Mengandung Anak Majikan 29Mbok Jum terdiam. Ia belum tahu maksud pembicaraan dari Suster itu."Kuning, kunig gimana maksudnya, Sus?" tanya Mbok Jum."Cucu Nenek mengalami bayi kuning, Nek." Suster tersebut menjeda katanya, "hal ini disebabkan karena cucu Nenek itu kurang cairan.""Terus, gimana Sus?" tanya Mbok Jum terlihat bingung."Sekarang dia masuk inkubator dan disinar Nek. Apakah ibu si bayi sudah bisa ke sini, Nek?""Saya belum tahu, Sus. Dia masih ada di rumah Bidan Nurlela sekarang.""Kalau dia sudah sehat dan bisa ke sini, kabari langsung, Nek. Karena si bayi ini akan cepat pulih kalau dia mendapat ASI dari sang ibu.""Oh gitu ya. Ya udah, saya telpon dulu anak saya itu ya, Sus." Mbok Jum pun meninggalkan Suster itu untuk menghubungi Shafira."Halo, Nduk." Suara Mbok Jum memburu."Halo. Si mbok, ada apa?" jawab Shafira di ujung telpon."Kamu udah sehat belum?""Hmm ... saya tanya Bu Bidan dulu ya, Mbok.""Cepetan ya, ini si mbok lagi minjem HP punya pak sekuriti rumah sakit
Mengandung Anak Majikan 28"Kalau boleh tahu, Ibu ini siapanya si adek bayi, ya?" tanya dokter anak."Saya neneknya, Bu Dokter. Ibunya si bayi masih ada di rumah Bu Bidan, karena masih belum pulih kesehatannya sehabis melahirkan tadi pagi, Bu dokter," jawab Mbok Jum secara rinci."Oh, baik. Saya mengerti, Ibu. Saya lanjutkan lagi penjeladan tentang kondisi bayinya ya, Bu. Jadi, bayinya ini kan berat lahirnya di bawah normal, oleh karena itu secepatnya kita ambil tindakan untuk merawatnya di Intensive Care selama beberapa hari."Dokter anak tersebut memberikan penjelasan secara rinci kepada Mbok Jum. Sesekali, Mbok Jum mengangguk-angguk tanda mengerti. Kemudian, ia pun keluar dari ruang praktek dokter setelah sesi konsultasi mengenai kondisi sang cucu."Suster, boleh nggak saya melihat cucu saya di dalam?" tanya Mbok Jum bertanya kepada seorang suster jaga yang sedang menatap layar komputer di mejanya.Perawat jaga itu menghentikan aktifitasnya sejenak dari depan layar komputer, lalu
Mengandung Anak Majikan 27"Karena berat badan bayi sangat rendah, maka dia rentan terhadap penyakit, Bu. Oleh karena itu, saya sarankan agar dibawa ke rumah sakit, agar mendapat pemeriksaan medis secara menyeluruh dari dokter anak, Bu," ujar Bidan Nurlela memberikan saran.Mbok Jum terlihat memahami apa yang disampaikan oleh Bidan Nurlela barusan. Tapi, nampaknya ia ragu karena memikirkan biaya rumah sakit yang pastinya mahal."Hmm ... kira-kira biaya rumah sakitnya mahal nggak, Bu Bidan?" tanya Mbok Jum sambil memandangi cucunya yang dibaringkan di dalam box bayi di samping bed Shafira."Shafira punya kartu BPJS?" Bidan Nurlela menatap Shafira."Nggak punya, Bu," jawab Shafira lirih.Bidan Nurlela tampak berpikir sejenak."Jadi, gimana ini, Bu? Bayinya dirawat sendiri aja atau mau gimana?" Bidan Nurlela pun ragu dengan pertanyannya sendiri.Mbok Jum mendekati Shafira, lalu bertanya, "Gimana, Nduk? Kita bawa ke rumah sakit nggak bayinya?""Daripada nanti kenapa-napa, lebih baik kita