Mengandung Anak Majikan
Bab 5: Pagar Ayu yang Terenggut"Pekerjaan rendah. Memalukan!" Samudra berteriak hingga terlihat menonjol urat-urat lehernya. Terlihat sekali ia sedang dikuasai amarah.Shafira terlonjak kaget mendengar teriakan keras Samudra, disusul suara meja yang digebrak oleh kepalan tangan Samudra yang kokoh. Tumpukan piring kotor yang masih berada di atas meja pun hampir berhamburan jatuh."Kamu resign detik ini juga!" perintah Samudra sambil jarinya menunjuk tepat di muka Shafira.Wajah Shafira pucat pasi. Badannya gemetaran. Ia tak berani menatap mata Samudra yang menyalak garang.Mendengar kegaduhan yang terdengar dari ruang makan, Tuan Danureja dan Nyonya Hapsari cepat-cepat mendatangi mereka."Ada apa, Samudra? Kenapa bisa ada keributan pagi-pagi begini? Bahkan teriakanmu sampai ke mana-mana." Nyonya Hapsari berdiri sambil memperhatikan Samudra, lalu tatapannya berbalik melihat Shafira yang tampak ketakutan."Tanya saja ke mantu Ibu yang miskin itu!" geram Samudra."Shafira?" Nyonya Hapsari menaikkan dagunya di hadapan sang mantu, ingin meminta penjelasan."Sa ... saya ... mm ... mau ...." Suara Shafira tersendat, sedetik kemudian suara itu berubah menjadi isakan."Duduk dulu, Shafira. Sini minum dulu, biar perasaanmu sedikit tenang." Eyang Putri menggamit lengan Shafira agar duduk di dekatnya.Shafira menerima gelas berisi air yang disodorkan Eyang Putri, lantas meminumnya hingga tandas tak bersisa."Bisa kamu jelaskan apa yang sudah terjadi, Shafira?" tanya Tuan Danureja penuh wibawa.Setelah Shafira sedikit tenang, ia pun menjawab, "Den Samudra marah karena mengetahui kalau saya mau berangkat kerja sebagai kasir di mini market, Tuan. Dia menyuruh saya resign.""Ya pantas saja Samudra marah. Masa iya, kamu masih harus jadi karyawan rendahan begitu." Nyonya Hapsari mencibir dan memiringkan senyumnya."Ja ... jadi, saya harus gimana, Nyonya?""Loh, pakai nanya. Ya resign lah. Malu-maluin aja kamu ini," jawab Nyonya Hapsari ketus."Hmm ... kalalau saya resign, terus saya mau ngapain di rumah Nyonya?" Tanya Shafira lagi."Masak, nyuci piring, nyapu, ngepel, nyuci baju, dan banyak lagi yang bisa kamu kerjain. Hitung-hitung kamu bisa membantu meringankan tugas ibumu yang sudah mulai lemot karena makin tua itu!"Perkataan Nyonya Hapsari sangat jelas di telinga Shafira. Sepatah kata pun, Shafira tak berani membantahnya.Mbok Jum memeluk tubuh Shafira sambil menitikkan air mata, saat mereka sedang membersihkan dapur. Mbok Jum melihat semua kejadian itu. Dan hatinya pun ikut sedih."Nggak papa, Mbok. Insyaa Alloh Shafira kuat menghadapinya untuk tiga bulan mendatang. Sesudah itu, Shafira kembali hidup normal lagi," ujar Shafira mencoba menenangkan hati perempuan yang telah melahirkannya itu.Maka, hari-hari pun dilalui Shafira dengan penuh kelelahan. Mulai dari sikap dingin dan kasar Samudra, hinaan dan ejekan Lintang, hingga intimidasi Nyonya Hapsari.Hanya Eyang Putri saja yang bersikap lunak kepada Shafira. Juga Tuan Danureja yang memilih bersikap objektif dalam segala hal.*Shafira merasakan beban mental yang dipikulnya sangat berat. Ia memahami bahwa pernikahannya adalah sandiwara saja. Ia juga memahami perbedaan kelas antara dirinya dengan keluarga sang majikan. Namun, sebagai manusia yang normal, jauh dalam lubuk hatinya ia pun ingin mendapatkan perlakuan yang baik dari mereka.Tak berbeda jauh dengan Shafira, sebenarnya Samudra pun sangat tertekan menjalankan pernikahan itu. Cinta matinya kepada Vanilla, selalu menghantui pikirannya.Malam itu, Samudra pulang sangat larut malam dan dalam keadaan mabuk berat. Ia memasuki rumah dipapah oleh sopirnya hingga ke kamarnya.Suasana kamar yang temaram, membuat pandangan matanya menjadi begitu kabur. Ia melihat sosok Shafira yang tertidur di atas karpet, seolah-olah adalah Vanilla yang sangat dirindukannya.Berbotol-botol alkohol yang ditenggaknya telah membuat kerja otaknya menjadi kacau."Den Samudra mau apa?" tanya Shafira gemetaran takut karena satu demi satu pakaiannya dilepas secara kasar oleh Samudra.Bibir Samudra dengan kasar memagut bibir Shafira. Tangannya mulai menjamahi tubuh mungil perempuan berwajah manis itu."Jangan, Den." Shafira berusaha berontak dan mendorong tubuh Samudra untuk menjauhinya.Samudra menyeringai dan mencengkeram kuat lengan Shafira. Nafasnya yang berbau menyengat itu semakin memburu mencumbu Shafira yang tubuh langsingnya terkunci dibawah himpitan badan Samudra yang kekar.Shafira menangis sambil merasakan rasa perih yang sangat di bagian intimnya. Untuk yang pertama setelah sebulan hidup seatap, pagar ayunya berhasil didobrak oleh sang suami. Celakanya, hal itu dilakukan saat Samudra sedang tak sadar.*"Shafira, kamu tahu kenapa kamu duduk di hadapan saya?" Pagi itu, Tuan Danureja memanggil Shafira ke ruang kerjanya."Tahu, Tuan," jawab Shafira."Bagus kalau sudah tahu. Hari ini, tepat tiga bulan kamu menikah dengan Samudra. Itu berarti, perjanjian kalian sudah berakhir, " Tuan Danureja menjeda kata, ia menyesap kopi yang masih mengepul di cangkir hitam, " Perceraian kalian sudah diurus oleh kuasa hukum kami."Shafira menegakkan kepalanya. Ia memandang ke manik Tuan Danureja, "Ma ... maaf, Tuan. Saya mau mengatakan sesuatu kepada Tuan.""Tentang apa?" Dahi Tuan Danureja berkerut, "Apakah uang yang kuberikan untukmu sebagai ucapan terima kasih itu masih kurang?"Shafira diam. Ia ragu sendiri dengan apa yang ingin diungkapkannya. Bulan ini, ia tak mendapatkan haidnya. Dan ketika ia memeriksakan diri ke bidan, ternyata ia dinyatakan hamil."Kenapa diam?" Desak Tuan Danureja tak sabar."Sa ... saya ... ha-mil." Akhirnya sebuah pengakuan keluar dari mulut Shafira.Bak disambar petir, Tuan Danureja terlonjak dari duduknya."Kamu mengada-ada saja, kan?"Shafira menggeleng, "Saya hamil 6 minggu, Tuan.""Mana mungkin Samudra mau menyentuhmu? Atau, ini hanya akal-akalanmu agar Samudra tak menceraikanmu?" Suara lelaki paruh baya itu menguat dan naik beberapa oktaf.Lantas dengan singkat, Shafira menceritakan kejadian malam di mana Samudra dalam keadaan mabuk berat. Ia pun menunjukkan tes kehamilan yang bergaris merah dua.Tuan Danureja mendengkus kesal. Matanya memerah menahan gejolak amarah di dadanya."Apa pun yang terjadi, hari ini kamu harus keluar dari rumahku. Dan ingat, hanya aku saja yang boleh tahu tentang kehamilanmu ini." Ancam Tuan Danureja yang kemudian menambahkan segepok uang lagi ke dalam tas Shafira."Tapi, Tuan, bagaimana dengan nasib bayi saya nanti?" Shafira memberanikan diri bertanya kepada Tuan Danureja."Kamu pikir, aku akan percaya begitu saja dengan pengakuanmu itu?""Kenapa Tuan nggak percaya sama saya?""Bisa saja kamu hamil dengan lelaki lain, kan? Tapi karena ingin menutup aibmu, kamu ngarang cerita bahwa Samudra sedang mabuk?" tuduh Tuan Danureja untuk memojokkan Shafira."Demi Alloh, saya berkata apa adanya, Tuan!" tegas Shafira. Bagaimanapun, ia tak terima dengan tuduhan hina dari lelaki itu."Sudah cukup, Shafira. Cepat kamu kemasi barang-barangmu dari sini dan pergi, jangan pernah menampakkan batang hidungmu lagi!" usir Tuan Danureja penuh kemarahan.Rupanya, bukan hanya Shafira saja yang harus angkat koper dari rumah megah itu. Akan tetapi, Mbok Jum juga diberhentikan setelah hampir 27 tahun mengabdi sebagai pembantu di situ.Shafira tak tahu harus bagaimana. Ia bingung dengan masa depannya nanti. Terlebih, dengan masa depan bayi yang ada dalam rahimnya.Mengandung Anak Majikan Bab 6: Pulang ke Rumah"Gimana dengan bayi yang ada dalam rahimku ini, Mbok?" tangis Shafira getir. Tangannya meraba-raba perutnya yang masih belum terlihat perubahan apa pun itu."Sudahlah, Nduk. Kita ini orang kecil, yang hanya bisa berdoa saja pada Allah. Tapi kamu jangan khawatir, ya, Nduk, si mbok akan selalu ada di sampingmu." Mbok Jum--ibunya Shafira--pun kemudian memeluk Shafira erat.Kedua anak beranak itu saling bertangisan di kamar pembantu yang ukurannya hanya 3x3 M, dengan perabotan yang sangat sederhana di dalamnya."Mbok, ayo cepat kita berkemas, sebelum Tuan dan Nyonya mengusir kita." Shafira mengurai pelukan dari ibunya sambil menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Lantas, dengan gerakan cepat, mulailah ia memasukkan baju-bajunya ke dalam sebuah tas besar berwarna hitam pudar yang teronggok di sudut kamar.Mbik Jum pun melakukan hal yang dengan Shafira. Perempuan tua itu merasakan kegetiran di hatinya. Bagaimana tidak? Selama 27 tahun ia te
Mengandung Anak MajikanBab 7: Shafira Hamil MudaDengan langkah yang cepat, Mbok Jum meninggalkan Bu Merry sebelum bibir dengan lipstik merah menyala milik Bu Merry berubah menjadi TOA Masjid."Et dah, belagu amat, yak! Jabatan cuma pembokat anak beranak aja pun, ditanya baik-baik malah ngeloyor." Suara cempreng Bu Merry terdengar nyaring, tembus hingga 10 rumah.Mbok Jum dan Shafira yang mendengar olokan Bu Merry, mencoba berlapang dada dan memakluminya.Sebenarnya, jarak rumah Mbok Jum dan Bu Merry lumayan dekat. Hanya selisih tujuh rumah saja. Jadi, mereka sudah terbiasa dengan segala polah tingkah tetangga mereka yang satu itu.Shafira membuka pintu rumah yang telah tiga bulan ditinggalkannya. Hawa pengap menyeruak dari dalam ruangan begitu pintu kayu itu terbuka."Assalamualaikum." Shafira dan Mbok Jum bersamaan mengucap salam ketika memasuki rumah mereka sendiri."Mbok, aku mau bersih-bersih rumah dulu, ya. Mbok istirahat aja dulu, pasti capek, kan?" tanya Shafira yang sigap me
Mengandung Anak Majikan 8"Ibu." Teriak Samudra, Lintang, dan Tuan Danureja bersamaan."Aduh, gelas sia^lan, pakai jatuh segala!" umpat Nyonya Hapsari karena gelas yang sudah terisi kopi itu jatuh, pecah, dan berserakan di lantai."Lintang, sini bersihin lantainya dari tumpahan kopi dan beling-beling gelas ini!" perintah Nyonya Hapsari pada anak perempuannya."Nggak mau, ah, Bu. Lintang buru-buru, takut terlambat masuk." Lintang pun cepat berlalu dan pergi menuju kampusnya."Sini, biar aku yang membersihkan. Kamu sana ganti rokmu yang kena tumpahan kopi, Hapsari." sahut Eyang Putri yang segera mengambil gagang pel di dapur.Nyonya Hapsari pun berlalu meninggalkan dapur yang kotor itu.Samudra yang melihat sang nenek akan membersihkan pecahan gelas kopi itu, bergegas masuk ke dapur dan merebut gagang pel dari tangan neneknya."Eyang, biar Samudra aja yang bersihin, ya? Eyang duduk aja lanjutin sarapan," ujar lelaki berparas tampan itu yang sigap membersihkan sisa kekacauan yang dibuat
Mengandung Anak Majikan 9Badan Shafira yang semakin hari semakin kurus itu, perlahan jatuh melorot ke lantai di depan kamar mandi. Tak ada yang menolongnya, karena sang ibu baru saja pergi meninggalkannya ke warung makan padang Salero Kito sebagai tukang cuci piring di sana.Tak lebih dari 30 menit, kesadaran Shafira kembali lagi. Ia mengerjapkan kedua matanya yang tertimpa sinar mentari pagi yang menerobos masuk melalui celah dinding dapur. Pelan, ia bangkit dari lantai dan duduk."Astaghfirulloh," gumamnya pelan meminta ampunan dari Tuhan. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia mencoba mengingat-ingat, mengapa sampai ia berada di depan kamar mandi dalam keadaan terkapar."Oh, iya, aku tadi pingsan setelah muntah-muntah." Shafira menjawab sendiri pertanyaan batinnya.Ting ... ting ... ting"Sabu ... sabu ... sarapan bubur. Bubur ayamnya ibu-ibu, tante-tante. Ayo dibeli."Terdengar suara nyaring seorang penjual bubur ayam di luar rumah yang biasa berkeliling. Seketika, t
Mengandung Anak Majikan 10Hoek.Terdengar suara orang yang sedang mual dari dalam sebuah rumah. Dan rumah itu adalah rumah Shafira."Eh, Bu Atun ... Bu Atun, tuh, denger nggak?" Bu Merry menajamkan cuping telinganya yang lebar itu."Iya, denger. Orang muntah, kan?" sahut Bu Atun melihat sekelilingnya."Sst, kayaknya, suaranya dari dalam rumah Shafira, deh." Bu Merry bergumam, kakinya melangkah memasuki halaman rumah Shafira.Baru saja Bu Merry hendak mengetuk pintu rumah Shafira, seorang anak laki-laki kecil umur 6 tahun meneriakinya, "Mami, lama amat sih beli buburnya. Babe udah marah-marah tuh, nungguin buburnya nggak dateng-dateng.""Elah, Tong, gagalin investigasi Mami aja, Lu," omel Bu Merry sambil menjewer anak lelakinya itu."Hua ... sakit, Mami!" teriak anak itu sambil menangis dan berlari kabur dari hadapan ibunya.Mamang bubur terkekeh melihat pemandangan lucu di pagi hari itu. Begitu pun Bu Atun."Yee ... malah diketawain. Udah, ah, Bu Atun. Saya pulang dulu. Udah ditunggu
Mengandung Anak Majikan 11Semua orang menatap ke arah Shafira kini. Shafira pun dibuat gelagapan dengan pertanyaan dari Bu Atun yang tiba-tiba dan membuatnya kaget itu."Loh, Bu Atun ini ada-ada saja pertanyaannya," ujar Budhe Marni."Ada-ada gimana Budhe? Kan Shafira beli rujak, wajar dong saya tanya dia lagi ngidam atau nggak?" sahut Bu Atun membela diri."Masak iya tiap orang yang beli rujak itu syaratnya harus ngidam dulu? Kan enggak harus begitu toh, Bu Atun?" tanya Budhe Marni sambil tertawa.Bu Atun yang seolah kena skak mat dari Budhe Marni, lantas tertawa meringis sambil garuk-garuk kepalanya, "He ... he ... bener juga, sih, yang diomongin Budhe Marni ini.""Nah, itu tahu. Contohnya Bu Atun nih yang pesan tiga bungkus rujak, apa sekarang juga lagi hamil muda?" Dengan santai, Budhe Marni membalik pertanyaan Bu Atun.Wajah Bu Atun memerah, ia malu tampaknya. Dengan cengiran di sudut bibir, ia pun menjawab, "Ya nggak, Budhe. Anak saya yang bontot kan baru berumur dua tahun kura
Mengandung Anak Majikan 12Shafira menghentikan makannya. Begitu pun dengan Mbok Jum."Biar Shafira yang membukakan pintunya, Mbok. Bentar, Shafira cuci tangan dan pakai kerudung dulu."Shafira cepat bergegas ke dapur dan cuci tangan. Lantas menyambar kerudung yang tergantung di balik pintu kamarnya."Assalamualaikum." Terdengar suara dari balik pintu depan."Waalaikumsalam ...." Begitu Shafira menjawab salam dan membuka pintu, maka kaget lah ia dibuatnya.Pak Warso--sopir Tuan Danureja--telah berdiri di ambang pintu. Namun, bukan Pak Warso yang membuat Shafira kaget. Akan tetapi, sesosok tinggi nan gagah dari seorang pria yang berdiri di samping kanan Pak Warso lah yang membuat Shafira kaget dan mendadak jantungnya berdebar tak menentu."Neng, Bapak ke sini cuma ngantar si Aden aja." Tanpa dimintai penjelasan, Warso langsung memberi tahu alasannya berkunjung ke rumah Shafira."Hai. Aku datang ke sini cuma mau ngantar ini, benda milikmu yang tertinggal di kamarku," ucap pria yang mema
Mengandung Anak Majikan 13Si TOA Masjid.Ya, itu lah sebutan Bu Merry, perempuan bertubuh gemuk dengan dandanan yang selalu berlebihan. Bukan Mbok Jum atau Shafira yang memberinya julukan si TOA Masjid, akan tetapi warga di kampung itu lah yang menyematkan sebutan itu untuk Bu Merry. Karena berita sekecil dan paling nggak penting sekalipun, akan cepat tersebar luas ke seluruh penjuru kampung melebihi kecepatan internet."Malam-malam gini makan bakso, pada kelaparan ya, Mbok?" tanya Bu Merry dengan senyum lebarnya."Iya, Bu Merry. Lah, Bu Merry juga mau beli bakso, lagi kelaparan juga, ya?" tanya Mbok Jum balik."Wah iya, dong, Mbok. Perut saya ini suka protes kalau kerasa lapar dikit aja. Jadi, saya nggak boleh lengah untuk menjaganya dari rasa lapar," jawab Bu Merry sambil merobek plastik kemasan krupuk yang ada di tangannya.Kriuk ... kres.Suara renyah khas yang dihasilkan ketika kerupuk digigit terdengar dari mulut Bu Merry. Baru dua krupuk yang dikunyahnya, tangannya sudah berpi