Share

4. Pindah

“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.

“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.

“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.

“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”

“Ada papa di luar.”

Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya  yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.

“Mengapa kau tidak bilang padaku?”

“Aku sudah memberitahumu.”

“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.

Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hubungan mereka hanya sebatas itu sekarang.

Hanya lima menit di kamar mandi, Leonel keluar dengan handuk yang melilit pinggang. Ia memunggungi Airin, memilih bajunya sendiri di dalam lemari. Bahkan kini ia tidak ingin mengenakan pakaian yang dipilih oleh istrinya.

Fokus Airin tertuju pada punggung kokoh itu. Ada bekas luka cakaran di sana. Ia lekas bangkit, menghampiri suaminya.

“Punggung kamu kenapa, Mas? Kok kayak bekas cakaran?” Airin mengelus punggung suaminya tepat di mana terdapat luka di sana.

Leonel sedikit pucat mendapati pertanyaan semacam itu. Ia gelagapan, pertanda bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lelaki itu lupa jika percintaan semalam sangat kasar. Ia sudah meminta Livy untuk tidak meninggalkan bekas cupangan sama sekali di tubuhnya agar Airin tidak mencium perselingkuhan mereka. Namun, cakaran itu ….

“Dicakar kucing kemarin.” Leonel menjawab dengan gugup.

“Dicakar kucing? Kok bisa?” Airin bertanya dengan bingung.

Jelas sekali itu jawaban paling konyol. Bagaimana mungkin kucing bisa mencakar dengan posisi seperti itu. Lima luka cakaran di kiri dan kanan.

“Kok bisa dicakar kucing?” Airin terus bertanya.

“Kau sangat cerewet. Itu bukan masalah besar, jangan dibesar-besarkan!” Leonel mulai meninggikan suara, berharap dengan itu Airin akan berhenti bertanya.

Terdengar helaan napas berat berasal dari Airin.

“Aku khawatir, Mas. Wajar kalau aku ingin tahu.”

“Sudahlah, lagipula tidak sakit sama sekali.” Leonel berucap dengan ketus. Lekas ia kenakan pakaiannya, lalu beranjak keluar dari kamar.

Airin mengekor di belakang dengan perasaan yang disabar-sabarkan. Jika bukan karena cinta, sudah ia tinggalkan lelaki itu semenjak ia merasa diabaikan.

“Loh, Pa. Kok bawa koper segala?” Leonel tampak terkejut sekaligus heran melihat ayahnya datang dengan barang bawaan. Ada tiga koper di dekat kaki sofa ruang depan.

“Airin belum mengatakan apa-apa?” Robin bertanya dengan penuh wibawa. Ia tatap sang menantu dengan sorot tidak biasa. Siapa pun bisa menilai jika sorot itu bukan sorot yang sewajarnya.

Leonel menoleh menatap istrinya. Ia sorot Airin dengan tajam, kesal karena tidak diberi info sama sekali.

“Kau tidur sepanjang malam dan baru bangun beberapa saat yang lalu. Bagaimana aku bisa memberitahumu? Papa baru bilang dia ingin tinggal di sini ketika berkunjung malam tadi.” Airin membela diri, tidak ingin Leonel kembali memarahinya lagi.

“Kau baru bangun? Apa saja yang kau lakukan di hari libur seperti ini? Mengapa kau tidak bawa istrimu jalan-jalan?” Robin protes atas sikap putranya.

Leonel menghela napas dengan kasar. Mimik wajahnya tampak kesal atas jawaban sang istri. Bisa-bisanya wanita itu menjelek-jelekkannya di depan sang ayah. Tanpa berkaca sama sekali jika ia tidak perlu dijelek-jelekkan karena sifatnya sudah sangat jelek.

“Itu tidak penting. Ada hal yang lebih penting dari itu. Mengapa Papa mendadak ingin tinggal di sini?”

“Kau keberatan?” Robin menyorot dengan serius. Alis kanannya terangkat, menunggu jawaban dari sang putra.

“Tentu saja. Papa harusnya paham, aku dan Airin butuh waktu untuk bermesraan. Jika Papa tinggal dengan kami, akan sangat canggung untuk melakukan apa yang kami inginkan. Apalagi di sini tidak ada ART, Papa akan menghabiskan sepanjang waktu hanya berdua dengan Airin.” Leonel memberi jawaban yang cukup masuk akal.

“Jika itu masalahnya, kau bisa cari beberapa ART untuk menemani kami.”

“Aku tidak suka orang asing tinggal di rumahku.”

“Kau hanya mencari-cari alasan. Papa tahu kau keberatan.”

Leonel menghela napas.

“Kami butuh alasan mengapa Papa ingin tinggal di sini.”

“Papa kesepian.”

“Di sana ada tiga orang yang menemani Papa.”

“Mereka hanya orang asing yang bekerja di sana.”

“Minta Alex untuk pulang. Anak itu kuliah di dekat sini, tidak perlu sewa apartemen segala.”

“Alex berbeda denganmu. Dia menyewa apartemen dengan uangnya sendiri. Dia kuliah sambil kerja, ingin hidup mandiri tanpa bantuan papa.”

“Ck!” Lagi, Leonel berdecak dengan kesal. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tengah kesal.

“Kau keberatan?” Robin kembali bertanya.

Leonel tidak menjawab, sebagai pertanda bahwa ia memang keberatan.

“Papa akan bayar biasa sewa satu kamar. Anggap saja papa numpang di sini. Papa akan bayar uang makan, uang laundry, dan segala hal yang membutuhkan uang.” Robin berucap dengan tegas. Ia ingin menegaskan bahwa dirinya benar-benar ingin tinggal di sana dan tidak akan menjadi beban, sebab setiap bulan ia masih menghasilkan uang dari saham perusahaan.

“Tidak perlu, Pa.” Airin tampak tidak enak hati dengan tanggapan suaminya. “Gaji Mas Robin masih cukup untuk biaya kita bertiga. Lagi pula rumah ini pemberian Papa.”

Leonel hanya diam dengan wajah masam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Airin sudah setuju. Lelaki itu tidak ingin terlihat jelas bahwa ia yang menolak kehadiran ayahnya. Ia hanya bisa pasrah, terpaksa setuju dengan keinginan sang ayah.

“Biar aku bantu bawain kopernya ke kamar.” Airin bangkit berdiri, hendak menyentuh koper yang ada di sana. Sementara Leonel tampak cuek saja.

“Kau duduk saja, Airin.” Robin menahan. Lelaki itu menoleh pada Leonel yang tampak begitu santai. “Leo, antar barang-barang papa ke kamar!”

Leonel menoleh menatap ayahnya. “Kenapa harus aku? Airin jelas ingin membantu, tapi Papa yang melarang.”

“Kau ini bagaimana sih? Masa istrimu diminta buat angkat-angkat barang berat. Dia itu wanita, Leonel! Kau harus lebih memanjakannya. Orangtuanya bahkan tidak pernah mengizinkannya mencuci piring, dia seperti tuan putri di rumahnya. Tapi di sini, dia melakukan semua hal untukmu. Dia belajar memasak demi kamu, belajar beberes demi kamu. Tangannya tidak pernah menyentuh deterjen, tapi dia mencuci pakaianmu setelah dia menikah denganmu!”

Leonel terdengar muak mendengar kalimat itu. ia bangkit berdiri dengan wajah yang ditekuk, mulai menyeret koper dengan perasaan dongkol. Dalam dada ia menggerutu.

Sungguh, dia menyesal karena memiliki istri seperti Airin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status