“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.
“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”“Ada papa di luar.”Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.“Mengapa kau tidak bilang padaku?”“Aku sudah memberitahumu.”“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hubungan mereka hanya sebatas itu sekarang.Hanya lima menit di kamar mandi, Leonel keluar dengan handuk yang melilit pinggang. Ia memunggungi Airin, memilih bajunya sendiri di dalam lemari. Bahkan kini ia tidak ingin mengenakan pakaian yang dipilih oleh istrinya.Fokus Airin tertuju pada punggung kokoh itu. Ada bekas luka cakaran di sana. Ia lekas bangkit, menghampiri suaminya.“Punggung kamu kenapa, Mas? Kok kayak bekas cakaran?” Airin mengelus punggung suaminya tepat di mana terdapat luka di sana.Leonel sedikit pucat mendapati pertanyaan semacam itu. Ia gelagapan, pertanda bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lelaki itu lupa jika percintaan semalam sangat kasar. Ia sudah meminta Livy untuk tidak meninggalkan bekas cupangan sama sekali di tubuhnya agar Airin tidak mencium perselingkuhan mereka. Namun, cakaran itu ….“Dicakar kucing kemarin.” Leonel menjawab dengan gugup.“Dicakar kucing? Kok bisa?” Airin bertanya dengan bingung.Jelas sekali itu jawaban paling konyol. Bagaimana mungkin kucing bisa mencakar dengan posisi seperti itu. Lima luka cakaran di kiri dan kanan.“Kok bisa dicakar kucing?” Airin terus bertanya.“Kau sangat cerewet. Itu bukan masalah besar, jangan dibesar-besarkan!” Leonel mulai meninggikan suara, berharap dengan itu Airin akan berhenti bertanya.Terdengar helaan napas berat berasal dari Airin.“Aku khawatir, Mas. Wajar kalau aku ingin tahu.”“Sudahlah, lagipula tidak sakit sama sekali.” Leonel berucap dengan ketus. Lekas ia kenakan pakaiannya, lalu beranjak keluar dari kamar.Airin mengekor di belakang dengan perasaan yang disabar-sabarkan. Jika bukan karena cinta, sudah ia tinggalkan lelaki itu semenjak ia merasa diabaikan.“Loh, Pa. Kok bawa koper segala?” Leonel tampak terkejut sekaligus heran melihat ayahnya datang dengan barang bawaan. Ada tiga koper di dekat kaki sofa ruang depan.“Airin belum mengatakan apa-apa?” Robin bertanya dengan penuh wibawa. Ia tatap sang menantu dengan sorot tidak biasa. Siapa pun bisa menilai jika sorot itu bukan sorot yang sewajarnya.Leonel menoleh menatap istrinya. Ia sorot Airin dengan tajam, kesal karena tidak diberi info sama sekali.“Kau tidur sepanjang malam dan baru bangun beberapa saat yang lalu. Bagaimana aku bisa memberitahumu? Papa baru bilang dia ingin tinggal di sini ketika berkunjung malam tadi.” Airin membela diri, tidak ingin Leonel kembali memarahinya lagi.“Kau baru bangun? Apa saja yang kau lakukan di hari libur seperti ini? Mengapa kau tidak bawa istrimu jalan-jalan?” Robin protes atas sikap putranya.Leonel menghela napas dengan kasar. Mimik wajahnya tampak kesal atas jawaban sang istri. Bisa-bisanya wanita itu menjelek-jelekkannya di depan sang ayah. Tanpa berkaca sama sekali jika ia tidak perlu dijelek-jelekkan karena sifatnya sudah sangat jelek.“Itu tidak penting. Ada hal yang lebih penting dari itu. Mengapa Papa mendadak ingin tinggal di sini?”“Kau keberatan?” Robin menyorot dengan serius. Alis kanannya terangkat, menunggu jawaban dari sang putra.“Tentu saja. Papa harusnya paham, aku dan Airin butuh waktu untuk bermesraan. Jika Papa tinggal dengan kami, akan sangat canggung untuk melakukan apa yang kami inginkan. Apalagi di sini tidak ada ART, Papa akan menghabiskan sepanjang waktu hanya berdua dengan Airin.” Leonel memberi jawaban yang cukup masuk akal.“Jika itu masalahnya, kau bisa cari beberapa ART untuk menemani kami.”“Aku tidak suka orang asing tinggal di rumahku.”“Kau hanya mencari-cari alasan. Papa tahu kau keberatan.”Leonel menghela napas.“Kami butuh alasan mengapa Papa ingin tinggal di sini.”“Papa kesepian.”“Di sana ada tiga orang yang menemani Papa.”“Mereka hanya orang asing yang bekerja di sana.”“Minta Alex untuk pulang. Anak itu kuliah di dekat sini, tidak perlu sewa apartemen segala.”“Alex berbeda denganmu. Dia menyewa apartemen dengan uangnya sendiri. Dia kuliah sambil kerja, ingin hidup mandiri tanpa bantuan papa.”“Ck!” Lagi, Leonel berdecak dengan kesal. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tengah kesal.“Kau keberatan?” Robin kembali bertanya.Leonel tidak menjawab, sebagai pertanda bahwa ia memang keberatan.“Papa akan bayar biasa sewa satu kamar. Anggap saja papa numpang di sini. Papa akan bayar uang makan, uang laundry, dan segala hal yang membutuhkan uang.” Robin berucap dengan tegas. Ia ingin menegaskan bahwa dirinya benar-benar ingin tinggal di sana dan tidak akan menjadi beban, sebab setiap bulan ia masih menghasilkan uang dari saham perusahaan.“Tidak perlu, Pa.” Airin tampak tidak enak hati dengan tanggapan suaminya. “Gaji Mas Robin masih cukup untuk biaya kita bertiga. Lagi pula rumah ini pemberian Papa.”Leonel hanya diam dengan wajah masam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Airin sudah setuju. Lelaki itu tidak ingin terlihat jelas bahwa ia yang menolak kehadiran ayahnya. Ia hanya bisa pasrah, terpaksa setuju dengan keinginan sang ayah.“Biar aku bantu bawain kopernya ke kamar.” Airin bangkit berdiri, hendak menyentuh koper yang ada di sana. Sementara Leonel tampak cuek saja.“Kau duduk saja, Airin.” Robin menahan. Lelaki itu menoleh pada Leonel yang tampak begitu santai. “Leo, antar barang-barang papa ke kamar!”Leonel menoleh menatap ayahnya. “Kenapa harus aku? Airin jelas ingin membantu, tapi Papa yang melarang.”“Kau ini bagaimana sih? Masa istrimu diminta buat angkat-angkat barang berat. Dia itu wanita, Leonel! Kau harus lebih memanjakannya. Orangtuanya bahkan tidak pernah mengizinkannya mencuci piring, dia seperti tuan putri di rumahnya. Tapi di sini, dia melakukan semua hal untukmu. Dia belajar memasak demi kamu, belajar beberes demi kamu. Tangannya tidak pernah menyentuh deterjen, tapi dia mencuci pakaianmu setelah dia menikah denganmu!”Leonel terdengar muak mendengar kalimat itu. ia bangkit berdiri dengan wajah yang ditekuk, mulai menyeret koper dengan perasaan dongkol. Dalam dada ia menggerutu.Sungguh, dia menyesal karena memiliki istri seperti Airin.[Sayang, kau tidak jadi ke sini? Ini sudah hampir jam delapan malam. Kau bilang kau akan datang jam lima sore.] Sebuah pesan masuk dari Livy.Leonel menghela napas dengan dalam. Ia menoleh, menatap istri dan ayahnya yang tengah berbincang di depan televisi. Keduanya tampak sangat akrab. Ada banyak hal yang tengah mereka bicarakan.[Aku sudah rindu goyanganmu. Ah, aku sudah basah hanya dengan membayangkanmu saja. Aku sangat horny sekarang.] Wanita itu kembali mengirimkan pesan.[Aku akan ke sana sebentar lagi. Aku harus mencari alasan karena ayahku ada di sini.][Apa dia akan melarangmu? Sementara istri bodohmu itu tidak pernah melarang kau pergi ke mana saja.][Aku takut pada ayahku.][Apa dia galak?][Sangat.][Aku menunggumu, cepatlah datang.]Lagi, Leonel menghela napas dengan dalam. Ia bangkit berdiri, meraih kunci mobil dan hendak beranjak pergi.“Mau ke mana kau?” Robin bertanya dengan sorot begitu dalam menatap sang putra.“Aku keluar sebentar, mau cari angin. Ini malam minggu,
Airin bahkan hampir kehilangan napas dengan wajah memerah. Wanita itu sama sekali tidak bisa menghirup oksigen.Lampu mobil yang mati membuat Airin tidak bisa mengenali wajah para pelaku.“Hantam saja biar dia berhenti memberontak.” Salah satu dari mereka berucap.Plak! Wajah Airin digampar dengan sangat kuat. Membuat wanita malang itu langsung kehilangan kesadaran. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak dan biru lebam.Salah satu dari lelaki itu menjilat wajah Airin. Lidahnya dengan kasar menghapus darah yang mengalir dari hidung wanita itu. Seakan cairan merah itu berupa sirup manis baginya.“Kalung ini sepertinya mahal.” Kalung berlian yang Airin kenakan ditarik dengan kasar. Lalu, dikantongkan.“Sepertinya dia anak orang kaya. Kita bisa kesusahan jika membebaskannya. Sebaiknya dia kita bunuh saja.” Salah satu dari mereka berucap.Ponsel yang berada di dalam tas Airin berdering. Tertulis nama sang bapak mertua di sana. Tampaknya lelak
Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. “Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan l
“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
TIT!“Dokter! Dokter!” Robin berlari memanggil petugas ketika Airin memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan siuman.Tidak lama berselang, Robin kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa kondisinya. Benar saja, saat dokter tiba di sana, Airin telah membuka mata. Wanita itu berkedip berulang kali untuk menyesuaikan pandangan dengan cahaya. Ia tampak begitu terganggu dengan cahaya ketika pertama kali membuka mata di saat bangkit dari koma.Airin seperti orang linglung, masih setengah sadar ketika ia menatap sekitar. Para petugas tampak sibuk dalam memeriksa kondisinya.Robin tampak begitu senang hingga matanya berkaca-kaca. Seminggu sudah Airin tidak sadarkan diri dan kini akhirnya bisa bangun kembali meski kondisinya masih belum membaik sama sekali.Airin tidak bisa berbicara, bahkan untuk membuka mulut pun ia tidak snaggup karena rahangnya masih terasa sangat sakit. Untung saja rahangnya hanya bergeser, tidak patah. Jadi, penyembuhannya tidak memakan wa