Share

4. Pindah

Penulis: Rich Ghali
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-23 14:14:16

“Sayang ….” Airin memanggil dengan sangat lembut. Ia usap rambut belakang suaminya, membangunkan.

“Hmmm.” Leonel hanya mendehem. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain, tetap tidur dengan posisi telungkup.

“Ayo bangun, sudah siang.” Ditepuknya pundak Leonel dengan pelan.

“Aku masih mengantuk. Ini hari libur, biarkan aku tidur.”

“Ada papa di luar.”

Mendengar kalimat itu, seketika rasa ngantuk Leonel mendadak menghilang. Ia lekas duduk, matanya  yang semula sayu, kini berubah menjadi sangat segar.

“Mengapa kau tidak bilang padaku?”

“Aku sudah memberitahumu.”

“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak turun dari ranjang. Secepat kilat ia beranjak menuju kamar mandi.

Airin menghela napas dengan dalam. Ia ikut bangkit, beranjak menuju lemari untuk menyiapkan baju ganti. Hal yang paling ia sukai adalah ketika Leonel mengenakan pakaian yang ia pilih, juga memakan masakan yang ia hidangkan. Hanya dua hal itu kini yang bisa membuat hatinya senang. Sebab, hubungan mereka hanya sebatas itu sekarang.

Hanya lima menit di kamar mandi, Leonel keluar dengan handuk yang melilit pinggang. Ia memunggungi Airin, memilih bajunya sendiri di dalam lemari. Bahkan kini ia tidak ingin mengenakan pakaian yang dipilih oleh istrinya.

Fokus Airin tertuju pada punggung kokoh itu. Ada bekas luka cakaran di sana. Ia lekas bangkit, menghampiri suaminya.

“Punggung kamu kenapa, Mas? Kok kayak bekas cakaran?” Airin mengelus punggung suaminya tepat di mana terdapat luka di sana.

Leonel sedikit pucat mendapati pertanyaan semacam itu. Ia gelagapan, pertanda bahwa ia telah melakukan kesalahan. Lelaki itu lupa jika percintaan semalam sangat kasar. Ia sudah meminta Livy untuk tidak meninggalkan bekas cupangan sama sekali di tubuhnya agar Airin tidak mencium perselingkuhan mereka. Namun, cakaran itu ….

“Dicakar kucing kemarin.” Leonel menjawab dengan gugup.

“Dicakar kucing? Kok bisa?” Airin bertanya dengan bingung.

Jelas sekali itu jawaban paling konyol. Bagaimana mungkin kucing bisa mencakar dengan posisi seperti itu. Lima luka cakaran di kiri dan kanan.

“Kok bisa dicakar kucing?” Airin terus bertanya.

“Kau sangat cerewet. Itu bukan masalah besar, jangan dibesar-besarkan!” Leonel mulai meninggikan suara, berharap dengan itu Airin akan berhenti bertanya.

Terdengar helaan napas berat berasal dari Airin.

“Aku khawatir, Mas. Wajar kalau aku ingin tahu.”

“Sudahlah, lagipula tidak sakit sama sekali.” Leonel berucap dengan ketus. Lekas ia kenakan pakaiannya, lalu beranjak keluar dari kamar.

Airin mengekor di belakang dengan perasaan yang disabar-sabarkan. Jika bukan karena cinta, sudah ia tinggalkan lelaki itu semenjak ia merasa diabaikan.

“Loh, Pa. Kok bawa koper segala?” Leonel tampak terkejut sekaligus heran melihat ayahnya datang dengan barang bawaan. Ada tiga koper di dekat kaki sofa ruang depan.

“Airin belum mengatakan apa-apa?” Robin bertanya dengan penuh wibawa. Ia tatap sang menantu dengan sorot tidak biasa. Siapa pun bisa menilai jika sorot itu bukan sorot yang sewajarnya.

Leonel menoleh menatap istrinya. Ia sorot Airin dengan tajam, kesal karena tidak diberi info sama sekali.

“Kau tidur sepanjang malam dan baru bangun beberapa saat yang lalu. Bagaimana aku bisa memberitahumu? Papa baru bilang dia ingin tinggal di sini ketika berkunjung malam tadi.” Airin membela diri, tidak ingin Leonel kembali memarahinya lagi.

“Kau baru bangun? Apa saja yang kau lakukan di hari libur seperti ini? Mengapa kau tidak bawa istrimu jalan-jalan?” Robin protes atas sikap putranya.

Leonel menghela napas dengan kasar. Mimik wajahnya tampak kesal atas jawaban sang istri. Bisa-bisanya wanita itu menjelek-jelekkannya di depan sang ayah. Tanpa berkaca sama sekali jika ia tidak perlu dijelek-jelekkan karena sifatnya sudah sangat jelek.

“Itu tidak penting. Ada hal yang lebih penting dari itu. Mengapa Papa mendadak ingin tinggal di sini?”

“Kau keberatan?” Robin menyorot dengan serius. Alis kanannya terangkat, menunggu jawaban dari sang putra.

“Tentu saja. Papa harusnya paham, aku dan Airin butuh waktu untuk bermesraan. Jika Papa tinggal dengan kami, akan sangat canggung untuk melakukan apa yang kami inginkan. Apalagi di sini tidak ada ART, Papa akan menghabiskan sepanjang waktu hanya berdua dengan Airin.” Leonel memberi jawaban yang cukup masuk akal.

“Jika itu masalahnya, kau bisa cari beberapa ART untuk menemani kami.”

“Aku tidak suka orang asing tinggal di rumahku.”

“Kau hanya mencari-cari alasan. Papa tahu kau keberatan.”

Leonel menghela napas.

“Kami butuh alasan mengapa Papa ingin tinggal di sini.”

“Papa kesepian.”

“Di sana ada tiga orang yang menemani Papa.”

“Mereka hanya orang asing yang bekerja di sana.”

“Minta Alex untuk pulang. Anak itu kuliah di dekat sini, tidak perlu sewa apartemen segala.”

“Alex berbeda denganmu. Dia menyewa apartemen dengan uangnya sendiri. Dia kuliah sambil kerja, ingin hidup mandiri tanpa bantuan papa.”

“Ck!” Lagi, Leonel berdecak dengan kesal. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tengah kesal.

“Kau keberatan?” Robin kembali bertanya.

Leonel tidak menjawab, sebagai pertanda bahwa ia memang keberatan.

“Papa akan bayar biasa sewa satu kamar. Anggap saja papa numpang di sini. Papa akan bayar uang makan, uang laundry, dan segala hal yang membutuhkan uang.” Robin berucap dengan tegas. Ia ingin menegaskan bahwa dirinya benar-benar ingin tinggal di sana dan tidak akan menjadi beban, sebab setiap bulan ia masih menghasilkan uang dari saham perusahaan.

“Tidak perlu, Pa.” Airin tampak tidak enak hati dengan tanggapan suaminya. “Gaji Mas Robin masih cukup untuk biaya kita bertiga. Lagi pula rumah ini pemberian Papa.”

Leonel hanya diam dengan wajah masam. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Airin sudah setuju. Lelaki itu tidak ingin terlihat jelas bahwa ia yang menolak kehadiran ayahnya. Ia hanya bisa pasrah, terpaksa setuju dengan keinginan sang ayah.

“Biar aku bantu bawain kopernya ke kamar.” Airin bangkit berdiri, hendak menyentuh koper yang ada di sana. Sementara Leonel tampak cuek saja.

“Kau duduk saja, Airin.” Robin menahan. Lelaki itu menoleh pada Leonel yang tampak begitu santai. “Leo, antar barang-barang papa ke kamar!”

Leonel menoleh menatap ayahnya. “Kenapa harus aku? Airin jelas ingin membantu, tapi Papa yang melarang.”

“Kau ini bagaimana sih? Masa istrimu diminta buat angkat-angkat barang berat. Dia itu wanita, Leonel! Kau harus lebih memanjakannya. Orangtuanya bahkan tidak pernah mengizinkannya mencuci piring, dia seperti tuan putri di rumahnya. Tapi di sini, dia melakukan semua hal untukmu. Dia belajar memasak demi kamu, belajar beberes demi kamu. Tangannya tidak pernah menyentuh deterjen, tapi dia mencuci pakaianmu setelah dia menikah denganmu!”

Leonel terdengar muak mendengar kalimat itu. ia bangkit berdiri dengan wajah yang ditekuk, mulai menyeret koper dengan perasaan dongkol. Dalam dada ia menggerutu.

Sungguh, dia menyesal karena memiliki istri seperti Airin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   146. Extra Part 35

    “Alice!” Airin berlari menghampiri, hendak memberikan pelukan untuk melepas keresahan.Alice menghindar, tidak mengizinkan wanita itu untuk menyentuh dirinya. Tampak ada kebencian dan juga kekesalan yang begitu besar. Matanya memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata.“Alice ….” Airin memanggil dengan lemah. Merasa sangat sakit ketika tatapan itu kembali ia dapatkan, tatapan penuh kebencian. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain dibenci oleh orang yang disayang.Alice mengusap wajah dengan kasar, berjalan menyamping dengan punggung yang menempel pada dinding. Ia benar-benar menjaga jarak dari kedua orangtuanya. Seperti yang telah mereka lakukan terhadapnya.“Om sudah janji tidak akan memberitahu siapa pun. Ternyata tidak ada yang benar-benar bisa dipercaya. Pandanganku pada Om telah berubah.” Alice menatap Zayyan dengan kecewa. Sebab, lelaki itu telah menghubungi ayahnya.“Sayang—”“Jangan panggil aku dengan sebutan menjijikkan itu! Aku tahu kau tidak pernah menyayangi

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   145. Extra Part 34

    “Kamu bawa siapa?” Wanita paruh baya itu menatap Alice dengan kening berkerut. Selama hidupnya, ini pertama kali sang putra membawa pulang seorang wanita. Jika dilihat-lihat dari tampangnya, jelas itu masih gadis di bawah umur.“Anaknya teman.” Zayyan menjawab dengan mantap.“Kamu tidak sedang melarikan anak orang kan?”“Aku bukan pedofil.”“Kenapa bisa sama kamu?”“Itu bukan masalah penting, Ma. Malam ini dia akan menginap di sini.” Zayyan menegaskan. Lelaki itu mengajak Alice untuk masuk, meminta pelayan menyiapkan kamar, juga menghidangkan sepiring makanan.Alice duduk di kursi makan. Zayyan ikut menemani di kursi seberang. Lelaki itu menikmati sepiring potongan buah seraya memberi nasihat. Gadis lima belas tahun itu tidak mendengar sama sekali. Ia menikmati hidangan dengan lahap. Sebab, ia sudah terlampau lapar karena hanya makan sedikit siang tadi.“Besok om antar pulang.” Zayyan berucap dengan helaan napas kasar, sebab Alice benar-benar tidak mendengar.Gadis itu berhenti mengun

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   144. Extra Part 33

    Alice memasukkan semua barangnya ke dalam koper. Barang-barang yang sengaja ia tinggal di rumah itu agar tidak perlu repot jika ingin menginap di sana. Gadis itu benar-benar kesal dengan sikap ibunya. Bisa-bisanya anak orang lain lebih ia manja. Apalagi itu anak dari orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Setelah ini, ia tidak akan pernah kembali lagi. Sebab, ia benar-benar emosi.“Alice!” Lenzy mengetuk pintu kamar, sebab daun pintu terkunci dari dalam.“Alice!” Lenzy kembali memanggil, disertai dengan ketukan yang cukup keras.Daun pintu terbuka dengan kemunculan Alice di baliknya. Wajahnya tampak sembab karena bekas tangisan.Lenzy menatap koper kuning yang ada di tangan cucunya. Ia tersenyum, berusaha memberikan rayuan.Alice menatap jauh ke depan sana, bahkan ibunya tidak ingin mengejar. Hanya Lenzy yang menghampiri dirinya. Ia semakin merasa bahwa dirinya tidak diinginkan oleh ibunya.“Kamu mau ke mana?” Lenzy bertanya dengan penuh kelembutan.“Alice mau pulang.”“Ini ruma

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   143. Extra Part 32

    “Alice, kamu beruntung sekali ya. Banyak yang sayang sama kamu.” Belvina berucap dengan rasa iri yang menggelayuti hati.Alice hanya tersenyum sebagai tanggapan. Ia tidak menyadari itu selama ini. Tampaknya ia lebih beruntung dari Belvina.“Ini kamar kamu sama Alya, barang kalian taruh di dalam saja. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan buat minta sama mbak-mbak pekerja. Aku mau keluar sebentar, mau nemuin papa.”Belvina mengangguk, lalu mengajak adiknya untuk masuk.Alice kembali ke ruang tamu, Robin masih duduk di sana. Bercengkerama bersama Airin berdua. Ia tidak pernah melihat ibunya sebahagia ketika tengah bersama Robin. Usia bukan penghalang bagi keduanya. Tatapan mereka tidak bisa dibohongi jika mereka masih saling cinta.“Papa makan siang di sini?” Alice duduk di sisi kanan ayahnya. Ia mulai bergelayut manja di sana.“Dia harus pulang, Alice. Kursi makan tidak cukup, kau sudah membawa dua teman.” Arie menanggapi entah dari mana.“Makan siang di luar saja, yuk! Kan belum pernah

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   142. Extra Part 31

    “Kamu mau ikut? Aku mau nginap di rumah mama. Mumpung besok libur.” Alice menatap Belvina dengan sorot begitu lembut. Ia merasa kasihan, sebab gadis itu selalu menangis dan murung setiap hari setelah kedua orangtuanya selalu bertengkar tanpa ada ketenangan. Berulang kali Leonel meminta cerai, tapi Livy selalu menolak.Jika Leonel memang berniat untuk cerai, harusnya ia datangi saja pengadilan. Ternyata tidak semudah itu untuk memutus hubungan mereka. Tampaknya Alice harus mencari cara lain. Kesalahan tidak bisa hanya dilimpahkan pada Leonel. Ia juga harus mencari cara untuk membuat Livy merasa tersudut dan terpojok sehingga tidak bisa mengelak jika dirinya bersalah. Namun, Alice belum bisa mencari cara. Sebab, Livy benar-benar menjadi ibu rumahan yang tidak pernah ke mana-mana. Sulit untuk membuat rancangan seolah Livy yang berkhianat.“Boleh?” Belvina bertanya memastikan. Barangkali itu hanya ajakan basa-basi.“Tentu saja.” Alice langsung mengiyakan.“Aku bawa Alya, ya?” Belvina beru

  • Mengandung Bayi Mantan Mertua   141. Extra Part 30

    Alice mengendap-endap memasuki kamar Leonel ketika semuanya tengah sibuk sendiri. Ia baru pulang dari sekolah, sementara Belvina masih ada kegiatan dan pulang sedikit terlambat. Livy tengah meditasi di halaman belakang. Gerak-geriknya tidak ada yang memerhatikan. Gadis itu menaruh kertas nota palsu berisi transferan belasan juta yang dikirim berkali-kali tertuju untuk seorang wanita. Nama pengirimnya adalah Leonel. Ia juga menaruh bungkus kontrasepsi di keranjang pakaian kotor yang masih kosong. Tidak lupa dengan bukti pembayaran kamar hotel dengan tanggal bertepatan ketika Leonel keluar kota selama dua malam.Ketika keluar dari kamar, tidak ada yang memergokinya telah melakukan hal barusan. Ia berlagak seperti biasa, seakan tidak terjadi apa-apa.“Alice!”“Ya, Pa!”“Papa mau keluar sebentar, kamu mau ikut?”Alice berlari menghampiri Robin, tersenyum seraya mengangguk. Pasangan ayah dan anak itu beranjak menuju mobil. Keduanya semakin dekat sekarang. Alice juga tampaknya jadi lebih le

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status