Share

3. Leonel yang Kasar

“Mas ….” Airin menyambut dengan senyuman ketika Leonel pulang. Ia peluk tubuh atletis itu dengan penuh kasih sayang. Ia bermanja di sana, mendongak menatap wajah suaminya.

“Aku capek, Airin.” Leonel berucap dengan wajah masam. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan. Tampak sekali jika ia merasa sangat risih ketika dipeluk oleh sang istri.

Airin melepas pelukan. Wajahnya tampak berbinar, manik matanya memancarkan cahaya kebahagiaan. Ia menjinjit, memberi kecupan lembut di bibir Leonel.

“Ck!” Leonel berdecak. Ia usap bibirnya untuk menghapus bekas ciuman Airin di sana.

Air wajah Airin tampak berubah. Jelas saja itu sangat menyakiti hatinya. Sebelumnya Leonel masih ingin menciumnya, tapi kini lelaki itu seakan merasa sangat jijik kepadanya.

Leonel berlalu begitu saja, meninggalkan Airin yang tengah berdiri membatu di depan pintu masuk. Wanita itu masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap berpikir positif. Tidak ingin ia menyakiti hatinya dengan berprasangka buruk pada sang suami.

Terdengar helaan napas kasar berasal dari Airin. Wanita itu ikut melangkah setelah sosok suaminya menghilang dari jangkauan pandang. Ia susul lelaki itu menuju kamar. Leonel tengah terkapar di ranjang ketika ia masuk ke sana.

Airin menyunggingkan senyum ketika manik mata mereka saling beradu. Tidak ingin ia menunjukkan wajah kecewanya pada sang suami. Barangkali Leonel telah melewati hari yang buruk di kantor, sehingga mood-nya selalu hancur ketika ia pulang.

Senyum Airin memudar ketika Leonel mengalihkan pandangan. Bukannya membalas senyum sang istri, ia malah membuang muka menatap ke sudut yang lain. Lelaki itu berbalik, memunggungi Airin yang melangkah menuju ranjang.

“Mas, apa aku melakukan kesalahan? Kalau kamu kesal terhadap sesuatu yang aku lakukan, beritahu aku. Aku tidak akan bisa mengetahui kesalahanku jika kamu tidak memberitahuku.” Airin berucap dengan sangat lembut. Ia berlutut di lantai, melepas sepatu dan kaus kaki Leonel seperti yang ia lakukan setiap hari.

Leonel tidak menanggapi. Lelaki itu hanya diam dengan mata yang terpejam.

Airin menghela napas dengan kasar. Ia bangkit berdiri, meletakkan sepasang sepatu itu di sudut kamar. Setelahnya, ia beranjak menuju lemari untuk mengambil pakaian ganti bagi Leonel.

Airin menatap suaminya yang kini telah terlelap dengan pulas. Ia tatap sosok lelaki itu dengan begitu lekat. Berusaha mengingat kesalahan apa yang sudah ia perbuat hingga hubungan mereka menjadi seperti ini. Leonel tidak lagi sehangat yang dulu. Ia tidak lagi pernah menangkap sorot cinta dari setiap tatapan yang Leonel berikan untuknya. Ia bisa merasakan jika kehadirannya dibenci oleh suaminya.

“Mas, makan dulu sebelum tidur.” Airin berucap dengan lembut. Ia mendekat, duduk di tepian ranjang.

Namun, Leonel tidak memberi tanggapan sama sekali.

“Sayang ….” Airin mengguncang tubuh suaminya dengan pelan, membangunkan.

“Apa sih?” Leonel tampak kesal. Ia bahkan mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada Airin.

“Makan dulu. Kamu bisa sakit kalau selalu tidur dengan perut kosong.” Airin berucap dengan penuh perhatian.

“Aku sudah kenyang.” Leonel berucap dengan ketus.

“Kamu makan di kantor?”

“Aku ngantuk, Airin! Apa kau tidak bisa membiarkanku merasa tenang sedikit saja? Kau selalu saja menggangguku!” Leonel berucap dengan kasar. Ia meninggikan suara, menunjukkan bahwa ia tidak suka.

“Kamu marah?” Mata Airin mulai berkaca-kaca. Ia tidak pernah dibentak selama hidupnya, bahkan oleh orangtuanya. Ia selalu  dimanja sedari kecil hingga dewasa. Wajar saja jika bentakan kecil yang Leonel berikan melukai perasaannya. Apalagi ia sangat mencintai lelaki itu. Cintanya pada sang suami lebih besar dibanding rasa cintanya pada diri sendiri.

Leonel tidak lagi berucap. Lelaki itu berbalik, memeluk bantal guling dan kembali melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Dalam sekejap saja, helaan napasnya sudah terdengar begitu teratur. Pertanda bahwa ia sudah terjatuh dalam tidur.

Airin menghela napas dengan kasar. Ia sudah tidak sanggup menahan perasaan. Lekas ia bangkit berdiri, lalu beranjak keluar dari kamar. Tangis wanita itu pecah juga pada akhirnya. Ia tidak berani menangis di dalam kamar karena takut membangunkan suaminya.

Airin menangis tersedu-sedu. Merasa sangat sakit atas perlakuan lelaki itu. Leonel memang tidak menyakitinya secara fisik, lelaki itu juga masih bertanggungjawab atas nafkah materi. Namun, perasannya terasa dicabik-cabik setelah diperlakukan seperti itu.

Bunyi bel menghentikan tangis Airin. Wanita itu menghela napas dengan dalam, berusaha menetralisir perasaan. Ia usap kedua pipinya dengan kasar. Lekas ia menuruni anak-anak tangga, membukakan pintu untuk tamu yang entah siapa.

“Papa.” Airin tersenyum menyambut bapak mertuanya. Ia mencium punggung tangan lelaki itu, lalu mempersilakannnya untuk masuk.

“Kamu habis nangis?” Robin bertanya dengan penuh perhatian. Diusapnya puncak kepala Airin dengan penuh kasih sayang.

“Ah, tidak, Pa.” Airin berbohong menjawab.

Robin menghela napas dengan dalam. Ia tahu jika Airin telah berbohong. Hanya dengan menatap matanya yang sembab, semua orang tahu jika ia baru saja menangis.

“Leo di mana? Belum pulang?” Robin menatap rumah yang tampak sunyi.

“Sudah tidur, Pa. Kelelahan kayaknya.” Airin menghempaskan bokong di sofa berseberangan dengan bapak mertuanya.

“Setiap papa ke sini, anak itu selalu tidur. Apa dia tidur sampai pagi?”

“Iya, Pa.” Airin terus tersenyum.

“Hubungan kalian baik-baik saja? Kau tidak menyembunyikan sesuatu dari papa kan?” Robin menyelidik.

“Apa yang bisa aku sembunyikan dari Papa? Papa selalu tahu segala hal sebelum kuberitahu.” Airin melakukan pembelaan, mencari kalimat yang pas sebagai alasan.

“Lalu, kenapa kau menangis?” Lelaki paruh baya itu menatap dengan dalam. Alis kanannya terangkat menunggu jawaban.

“Aku tidak menangis, Papa.” Airin tetap saja membantah.

“Jangan bohong sama papa.”

Airin menggeleng. Berusaha meyakinkan Robin bahwa ia baik-baik saja.

Robin menatap begitu lekat. Tatapannya untuk Airin lebih dari sekadar tatapan seorang ayah pada anaknya. Manik mata itu menunjukkan perasaan cinta yang berbeda. Pikirannya liar setiap kali ia menatap sosok Airin. Dadanya berdebar, terasa membuncah karena perasaan cinta yang meluap-luap.

“Papa akan tinggal di sini.” Robin berucap dengan nada yang tidak meminta persetujuan sama sekali.

“Ti-tinggal di sini?” Airin tampak gugup mendengar ucapan Robin. Ia tampak resah. Wajahnya sedikit pucat. Hal itu semakin meyakinkan Robin jika ada hal yang tengah disembunyikan oleh Airin. Tidak mungkin wanita itu memberikan ekspresi keberatan jika memang tidak terjadi sesuatu di rumah itu.

“Kau keberatan?” Robin bertanya memastikan. Ia menyorot semakin dalam.

Airin menggigit bibir bawahnya. Ia tampak tengah berpikir dengan berat.

“Aku tidak bisa memutuskan tanpa persetujuan Mas Leo.”

“Leo pasti akan setuju.”

“Tapi, Pa—”

“Apa kau tidak nyaman jika papa tinggal di sini?”

Airin menggeleng dengan pelan. Ia senang jika Robin tinggal bersama mereka, sebab itu bisa sedikit mengisi kekosongan hidupnya. Kehadiran Robin akan mengusir rasa kesepian yang mendera dirinya setengah tahun terakhir. Namun, ia takut jika Robin sampai tahu permasalahan rumah tangga mereka yang sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak ingin mertuanya tahu jika ia dan Leonel tidak seharmonis biasanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status