Ziana mengusap sudut matanya yang basah lalu tersenyum tipis pada Mahanta. “Kak Hannah menunggu kita di rumah. Bisa ‘kan?”“Iya. Kita ke rumahmu nanti ya,” sahut Mahanta lembut.“Kalau gitu, saya titip kue saja ya untuk keluargamu. Sebentar saya pesan dulu,” ucap Intan.“Jangan merepotkan, Bu.”“Tidak repot. Nanti sama Maha ngambilnya. Kue di toko ini enak banget ‘loh. Saya langganan disana.”Ziana mengangguk pelan lalu membiarkan Intan sibuk sendiri dengan ponselnya. Tapi setelah beberapa saat, raut wajah Intan sedikit berubah.“Yah, tokonya tutup hari ini. Aneh banget. Padahal tadi pagi ownernya masih posting story kue hari ini loh.”“Memangnya mama mau beli kue apa?” tanya Mahanta.Intan membalik ponselnya dan menunjukkan gambar beberapa jenis kue basah. Sejenak Ziana merasa tidak asing dengan gambar tersebut. Tapi perempuan itu tidak bertanya lebih lanjut.“Kue ini mama paling suka. Jarang banget ada toko kue seperti ini di dekat sini. Kamu ‘kan suka juga kue soes ‘kan? Lemper jug
“Kakak nggak bohong, Ziana. Sudah ya. Ada yang mau bayar,” ucap Hannah lalu memutuskan sambungan teleponnya.Ziana tidak bisa terima begitu saja. Feelingnya bisa merasakan ada sesuatu yang Hannah sembunyikan. Perempuan itu beranjak dari atas tempat tidur, lalu keluar dari ruangan itu. Sejenak Ziana tertegun karena Mahanta tidak ada di kursinya.“Kemana dia?”Tapi Ziana tidak punya waktu untuk mencari keberadaan Mahanta. Setelah keluar dari ruang kerja pria itu, Ziana langsung menyambar tasnya dan pergi dari sana. Dalam pikirannya saat ini hanya memikirkan untuk segera pergi ke toko kue Hannah.Dengan menaiki gocar, Ziana akhirnya sampai di depan toko kue itu. Sejenak ia tertegun melihat toko yang terlihat sepi. Seharusnya semakin sore, toko kue itu semakin ramai. Biasanya seperti itu. Tapi kini hanya ada satu mobil yang terparkir di depan toko kue itu.“Dari bank?” gumam Ziana lalu turun dari gocar yang ditumpanginya.Ziana berjalan cepat mendekati pintu toko yang terbuka lebar, lalu
Kaca jendela mobil itu terbuka memperlihatkan seorang wanita kaya yang elegan. Intan menatap toko kue itu sebelum bertanya pada sopirnya. “Apa benar disini?”“Sesuai peta, memang disini, Nyonya.”“Tapi kok sepi? Coba cek, tutup beneran atau nggak?”Sopir itu berlari menuju pintu dan melongok ke dalam toko kue. Tepat saat itu, Hannah menoleh ke arah pintu.“Maaf, kami tutup hari ini,” ucap Hannah lembut.“Tunggu! Bisa minta tolong buatkan lemper? Ini penting sekali,” pinta Intan yang sudah turun dari mobil.“Mertua saya sedang sakit dan tidak mau makan. Dia ingin sekali makan lemper dari toko ini. Saya langganan disini. Saya Ibu Intan.”Hannah terdiam sejenak, mengingat nama Intan diantara nama pelanggan yang biasa memesan kue dari tokonya. Sampai Hannah mengangguk lalu tersenyum ramah.“Ibu Intan, kita baru pertama bertemu ya. Kalau lemper, saya hanya punya sedikit adonan saja. Tidak apa-apa, Bu?”“Iya, tidak apa-apa. Asalkan bisa. Berapa lama saya harus menunggu?”“Sekitar sepuluh me
{“Maha, mama minta kamu pulang sekarang juga. Ini penting! Mama tunggu!”}Mahanta mengerut membaca chat dari Intan saat pria itu kembali ke ruangannya. Setelah Ziana masuk ke ruang pribadinya, Lintang memberitahu Mahanta kalau ada salah satu klien yang ingin bertemu dengannya. Karena itu Mahanta tidak ada di ruangannya saat Ziana pergi dari sana.“Ada apa ya?” gumam Mahanta yang bisa didengar Lintang.“Kenapa, bos?”“Mama menyuruhku pulang. Penting katanya. Padahal setelah ini, aku harus ke rumah Ziana.”“Coba ditelpon dulu, bos.”Mahanta menyetujui usulan Lintang dan menelpon Intan. Setelah menunggu, Intan tidak kunjung mengangkat teleponnya. Merasa ada yang tidak beres karena mamanya itu jarang meminta hal seperti itu, Mahanta memutuskan untuk pulang sebentar.“Aku akan pulang. Nanti aku balik lagi ke sini. Kabarin kalau Ziana sudah bangun ya. Kamu jangan pulang dulu sampai Ziana bangun,” titah Mahanta.“Siap, bos. Yang penting bonus lancar.”“Dasar matre!”“Realistis, bos. Hari gin
Ziana yang baru sampai di rumah, mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Sejak terakhir memesan gocar setelah menjemput Rania, Ziana tidak memperhatikan ponselnya lagi. Keningnya mengerut saat melihat ponselnya sepi tanpa adanya notifikasi yang biasanya ramai.“Kok sepi banget ya. Biasanya jam segini ada notifikasi like dari postingan kak Hannah,” gumamnya sambil mengutak-atik ponsel itu. “Astaga! Kuotanya habis.”“Kenapa, Na?” tanya Hannah yang kembali dari dapur.“Kuotaku habis, kak. Pinjam hotspot dong.”Hannah menyodorkan ponselnya lalu beranjak ke kamar Rania untuk mengajaknya mandi. Baru saja Ziana menyambungkan ponselnya dengan hotspot Hannah, beberapa chat langsung masuk membuat ponsel Ziana sangat berisik.“Banyak banget. Maha?”Ziana hampir membuka chat dari Mahanta, tapi pria itu sudah lebih dulu menelponnya. Perempuan itu segera mengangkat teleponnya dan mendengar teriakan kekhawatiran Mahanta.[“Sayang, kamu dimana?! Kenapa nggak aktif? Tolong katakan kamu dimana sekarang?
“Rania itu__”“Kenapa Bapak bisa bertanya seperti itu? Apa sebelumnya kalian pernah...” Renan memotong ucapan Hannah yang ingin menjelaskan siapa Rania sebenarnya. Lirikan mata pria itu membuat Hannah menunggu Mahanta menjawab pertanyaan Renan.“Kak Renan!” seru Ziana dengan wajah merona merah.Rasanya tidak pantas bagi Renan untuk menanyakan hal pribadi seperti itu. Ziana merasa Renan memiliki rencana lain kalau sampai Mahanta mengatakan yang sebenarnya. Perempuan itu sedikit paham dengan jalan pikiran Renan.“Dia Rania, keponakanku. Anaknya kak Hannah dan kak Renan,” sambung Ziana cepat.Mahanta termangu sejenak sebelum kembali bertanya. “Lalu kenapa dia memanggilmu ‘buna’?”“Sejak lahir, Rania lebih sering diasuh oleh Ziana. Saya sebagai ibunya harus bekerja membuat pesanan kue untuk membantu mas Renan. Bukan hanya Bapak yang salah paham, tapi tetangga di sekitar sini juga sering mengira kalau Rania adalah anaknya Ziana,” jelas Hannah.“Saya mengerti.” Mahanta mengangguk dan merasa
“Jangan macam-macam, Maha. Nanti kakakku lihat.” Ziana menggeser posisinya sedikit menjauh lalu membuka bungkusan bento yang terlihat lezat.Aroma enak membuat Ziana tersenyum senang lalu mulai mengambil peralatan makan yang tersedia di dalam bungkusan bento itu. Tanpa menawari Mahanta, Ziana segera melahap bento itu hingga kedua pipinya menggelembung seperti kelinci yang sedang makan.“Pelan-pelan makannya. Tidak ada yang akan merebut makananmu,” ucap Mahanta sambil membuka botol air mineral untuk Ziana. “Habis kamu makan, es buahnya akan meluncur kesini.”“Kok tahu lagi?!”Ziana mencoba mengingat darimana Mahanta bisa mendapatkan informasi tentang apa yang diinginkannya. Ekspresi wajahnya sedikit berubah saat teringat dengan status yang dibuatnya ketika menjemput Rania tadi. Ziana memang melihat gambar bento dan es buah yang lewat di sosial medianya. Hanya gambar tapi bisa membuat salivanya membanjiri mulutnya.“Lain kali kalau ada yang kamu inginkan, kasih tahu aku. Jangan diam saj
Hannah kembali ke kamar Ziana sambil membawa segelas kopi dan kue buatannya. Diletakkannya kopi dan kue itu diatas meja Ziana, lalu keluar lagi. Wanita itu ingin menidurkan Rania dulu. Melihat lemper kesukaannya, Mahanta langsung mengambil kue itu lebih dulu. “Enak banget. Rasanya sama banget kayak yang dibeli mamaku. Ini kakakmu yang buat?” “Iya. Itu semua kue yang dijual kak Hannah di toko kuenya. Padahal kak Hannah selalu memakai bahan-bahan yang bagus. Aneh kalau ada kuenya yang basi sampai separah di berita itu. Kak Hannah juga tidak pernah menjual kue hari kemarin lagi. Kalau ada yang tersisa, dia akan membawanya pulang atau memberikannya pada orang yang kurang mampu yang ditemuinya di jalan.” Mahanta mengangguk mengerti lalu meraih kue lemper lagi. Sampai tiga kue lemper habis, Mahanta baru meneguk kopinya. “Enak?” “Banget. Besok aku pesan lemper lagi ya. Aku mau lima. Biasanya kakakmu bisa bikin berapa?” “Bisa 50 bungkus. Karena harus bikin kue yang lain lagi. Kalau cuma