“Selamat pagi, Bu Hannah. Maaf mengganggu.”“Iya, Pak. Silakan. Maaf sedikit berantakan.” Hannah sedikit bingung dimana bisa menerima tamu itu sedangkan meja makannya sedang berantakan.“Kak, mereka...”“Tenang, Na. Kakak sudah siapkan uangnya. Kamu bikinin kopi dulu ya.”Ziana menatap ragu ke arah Hannah yang sudah mendekati petugas dari bank tempatnya meminjam uang atas jaminan rumah mereka. Kekhawatiran Ziana membuat Mahanta ikut menatap ke arah Hannah lalu bertanya padanya.“Siapa mereka, sayang?”“Petugas bank. Kak Hannah terpaksa meminjam uang untuk modal berjualan kue dan membiayai kuliahku. Seingatku jatuh temponya masih lama, tapi kemarin ada petugas bank itu bilang kalau kak Hannah harus melunasi hutang itu secepatnya.”“Lintang, bantu Bu Hannah. Cepat selesaikan,” titah Mahanta sebelum Ziana bisa mencegahnya.“Baik, Bos.”“Pak Lintang, jangan kesana. Maha, biarin kak Hannah yang... KAK HANNAH!”Ziana menjerit syok ketika melihat Hannah terdorong ke samping oleh petugas bank
“Sherena? Apa maksudmu?”Mahanta menoleh kaget mendengar suara Ziana yang sudah berdiri di belakangnya. Ekspresi perempuan itu sangat dingin, tapi menuntut sebuah penjelasan.“Apa yang dia lakukan? Aku tidak suka dibohongi lagi, Maha. Jawab aku.”Mutlak menuntut jawaban. Tidak ada kesempatan bagi Mahanta untuk berkilah kali ini. Pria itu harus mengatakan yang sebenarnya.“Maafkan aku, Na. Kita bicarakan setelah Lintang kembali ya. Jangan sampai Bu Hannah dengar.”Ziana menahan segala keingintahuannya dan memilih kembali ke tempat duduknya. Rasa mualnya kini berganti menjadi rasa kesal yang teramat sangat pada Mahanta. Lagi-lagi Sherena menjadi alasan Mahanta mengulur waktu.Kepercayaan Ziana pada Mahanta kini berada di ambang krisis lagi. Tidak menutup kemungkinan Mahanta hanya menggunakan Lintang dan Hannah untuk memikirkan alasan lain untuk menutupi kebenaran. Disaat seperti ini, Ziana masih tidak tegas jika berhubungan dengan Hannah.“...Na? Ziana?” panggil Hannah sambil mengguncan
“Malam itu masih sama seperti saat pertama kita, Ziana. Aku masih bisa mendengar suaramu, begitu merdu seperti nyanyian surga. Kulitmu yang lembut, rambutmu yang tergerai berantakan, dan nafasmu membuatku gila, Ziana.”“Maha... jangan bicara omong kosong,” sahut Ziana sambil memutar bola matanya malas.“Buahahahaha!”Ziana dan Mahanta sama-sama menoleh kearah sumber suara yang tiba-tiba tertawa kencang di dekat pintu apartemen. Lintang yang langsung masuk setelah tiba di apartemen Ziana, hampir mengira sedang ada adegan romantis di hadapannya. Nyatanya gombalan Mahanta justru tidak dianggap oleh Ziana.“Sialan! Sejak kapan kamu disini?!”“Sorry, bos. Sejak ‘malam itu masih sama’, bos. Aku pikir nggak akan pernah mendengar kata-kata romantis begitu darimu. Tahunya bisa bucin juga ya.”Padam dan panas, itu yang Mahanta rasakan saat ini. Wajahnya merona sampai telinganya juga ikut membara. Tak ubahnya seperti warna vas bunga yang menjadi saksi bisu kekhilafan yang mungkin akan terjadi ka
Di sofa ruang tengah apartemennya, Ziana sedang membayangkan sebuah pesta mewah yang dihadiri orang-orang penting saja. Mereka yang datang akan memakai pakaian mewah dan berpenampilan elegan. Sudah pasti aroma parfum mahal akan memenuhi ruangan pesta itu.“Sepertinya aku tidak akan bisa bertahan,” gumamnya pelan.“Kenapa? Ada yang salah, sayang?”Mahanta yang baru kembali dari kamar mandi, mendengar kegelisahan Ziana. Setelah Lintang memberitahu tentang undangan pesta ulang tahun Hasan, pria itu pamit pulang. Kini mereka hanya tinggal berdua saja di apartemen itu.“Aku takut mual dan muntahku ini akan membuatmu malu di pesta nanti.”“Tapi kamu harus datang, sayang. Begini saja, kamu bisa muncul belakangan. Aku yang akan menjemputmu saat waktunya papa tiup lilin. Bagaimana?”Ziana mengangguk setuju dengan usulan Mahanta. Diliriknya penampilan pria itu yang lebih segar dengan rambut setengah basah. Melihat tatapan Ziana padanya, Mahanta menyentuh punggung tangan wanita itu lalu menatapn
Setelah membersihkan tubuhnya, Ziana keluar kamar mandi lebih dulu. Tubuhnya sedikit bergidik menggigil lantaran suhu ruangan yang sangat dingin. Perempuan itu segera membuka lemari dan menarik piyama panjang untuk menutupi tubuhnya. Suara yang berasal dari ponsel Mahanta menarik perhatian Ziana. Perempuan itu melongok dari balik lemari dan memanggil Mahanta. “Maha, handphonemu bunyi terus.” “Angkat aja, sayang,” sahut Mahanta yang masih mengeringkan tubuhnya. Ziana mendekati meja sofa dan melihat layar ponsel Mahanta yang menyala terang. Ekspresinya sedikit berubah sinis saat membaca nama Sherena disana. Entah apa maksud wanita itu menghubungi Mahanta via video call. “Boleh kuangkat ‘kan?” tanya Ziana pada dirinya sendiri. Toh, Mahanta juga sudah mengijinkannya. Ziana sengaja menutup kamera ponsel itu dengan jarinya sebelum menekan icon hijau untuk menerima panggilan video dari Sherena. Pemandangan pertama yang dilihatnya membuat Ziana nyaris menjerit kaget. Bukan wajah Sherena
Mahanta menghela nafas panjang, merasa sedikit kesal karena Ziana mengalihkan pembicaraan mereka. Tapi pria itu berusaha maklum karena ulahnya juga yang membuat hati Ziana terluka dan mungkin tidak mudah percaya lagi pada ucapannya.“Maafkan aku sudah menjadi pria brengsek yang menidurimu karena taruhan. Tapi itu dulu. Sekarang aku sangat mencintaimu, Ziana. Mau kamu percaya atau tidak, aku tetap mencintaimu.”Ziana mengangguk lalu menarik kedua sudut bibirnya sambil menatap Mahanta. Tiba-tiba Ziana terpekik kaget dengan kelakuan Mahanta yang kembali memeluknya tanpa aba-aba. Pria itu menggesekkan hidungnya ke perut Ziana lagi, sebelum mendongak menatap Ziana.“Aku nggak kuat. Senyummu manis banget, sayang.”“Dih! Gombal banget.”“Aku serius, dikatain gombal. Sayang, kamu laper nggak? Mau makan apa?”Ziana melirik jendela apartemen yang memperlihatkan keindahan langit yang entah sejak kapan mulai menghitam. Bintang-bintang bermunculan memperindah langit gelap bak hamparan berudru hita
Mahanta melepaskan pitingannya dari kedua sahabatnya lalu ganti memeluk Ziana yang masih kebingungan. Ditariknya paksa tubuh perempuan itu masuk kembali ke dalam kamar tanpa memperdulikan bagaimana kedua tamunya.“Apa-apaan kamu?” sentak Ziana agar Mahanta melepaskan pelukannya.“Gila ya kamu! Ngapain kamu keluar nggak pakai daleman gini?!” bentak Mahanta balik.“Siapa yang nggak pakai daleman?!”Tanpa bisa dicegah, Mahanta menyentuh seluruh tubuh Ziana untuk memastikan sendiri kalau perempuan itu memang sudah memakai pakaian dalamnya sebelum keluar kamar. Sentuhan Mahanta tidak berhenti meskipun pria itu sudah merasakan pakaian dalam Ziana dibalik piyama tebal yang dipakainya. Menyentuh Ziana seperti ini membuat bagian intinya menegang lagi.“Maha, berhenti... ja-jangan,” lirih Ziana kegelian.“Sebentar saja, sayang. Aku tegang,” bisik Mahanta lalu menciumi leher Ziana dengan brutal.“Ekhem! Kalau mau main, minimal pintunya ditutup dong!” seru Arjuna dari luar kamar. Pria itu sengaja
“Nggak usah mikirin dia. Apa kamu nggak mau ketemu Om Tomo dan Tante Juwita?”Senyum cerah seketika menghiasi wajah Ziana. Perempuan itu merasa sangat bahagia karena bisa bertemu lagi dengan dua orang yang sangat baik itu. “Mereka kesini juga? Dimana? Maha, antar aku kesana.”“Coba kita cari kesana ya.”Mahanta menuntun Ziana melewati beberapa tamu undangan yang masih mengantri untuk bisa masuk ke dalam ballroom. Keduanya memasuki ballroom dengan mudah karena anak buah Hasan membuka jalan untuk mereka. Saat Mahanta mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Tomo dan Juwita, seseorang memanggil Ziana.“Ziana sayang,” panggil Juwita yang sudah melihat mereka lebih dulu.“Bu Juwita,” sahut Ziana lalu berjalan mendekati wanita paruh baya itu sambil menarik tangan Mahanta.Juwita menyambut ramah kedatangan Ziana dan langsung memeluk perempuan itu dengan erat. “Kangen banget sama kamu. Kenapa kamu nggak mampir ke rumah kami?”“Ziana lagi ngidam, tante. Dia nggak bisa sering-sering keluar,”