Akhirnya malu sendiri "Sombong sekali kau. Baru mengenal Tuan Nathan saja sudah ngaku-ngaku." Timpal bik Misna. Namun, Herlina tidak mendengarkan ucapan itu. Dia tetap duduk dengan angkuh di sana. Sang manajer mall itu langsung memberikan kursi untuk Herlina duduk. Manajer itu juga menawarkan makanan juga minuman untuknya. Tapi Herlina menolak dengan cara angkuh. Merasa muak dengan semua itu, Tina melangkah untuk pergi dari sana. Namun, lagi lagi Herlina menghentikannya. "Sudah aku bilang, kamu itu cocoknya sama juragan itu. Masih ingin saja tetap tinggal dengan Nathan dan jadi babu lagi. Tidak masalah sih, artinya kamu siap jadi babu ku." Tina tidak menjawab, matanya memicing pelan ke arah kakaknya itu. *** "Ada apa ini ribut-ribut?" Mendengar suara itu semua orang termasuk juga manajer nya menoleh ke arah sumber suara. "Maaf, Tuan. Mereka berdua membuat keributan disini dengan calon Anda." Nathan berhenti sejenak lalu melangkah kembali.
Herlina yang licik Hari itu, Tina duduk bersandar di dinding balkon. Matanya menatap kosong ke arah perkebunan kecil miliknya. Matanya mulai berkaca-kaca, seolah hatinya sedang meratapi kehidupan pahit yang dia alami. Dirinya hamil tanpa adanya pernikahan. Pria yang menodainya malah mengucilkan nya tanpa mau menikahinya. Cukup besar sudah penderitaan yang dia alami. "Lihat apa, Non? Cicipilah bibi ada bawakan cemilan dan susu hangat untukmu." "Terimakasih bik," Bik Misna pun ikut duduk bersamanya di sana. Tidak ada perbincangan, hanya ada suara angin yang mengangguk pelan. *** Empat bulan kemudian, tampak perut Tina kini sudah membuncit. Kondisi dan tenaganya telah mengalahkannya. Tina terlihat begitu pucat. Kandungan ini tidak bisa di gugurkan, jika nekat untuk menggugurkan kandungan ini maka Nyonya tidak akan bisa untuk hamil lagi. Kondisi kandungan nya sangat lemas, sulit dalam kondisi seperti ini untuk mempertahankan kehamilan. Maka dari itu kandungan in
. Perasaan yang aneh Tiga hari berlalu Tina di rawat di rumah sakit. Bik Misna tampak merawat Tina dengan baik,hingga hari ini Tina sudah boleh pulang ke rumah. "Siapa gadis itu? Dia cantik sekali." Tanya dokter Arul, yang merupakan teman akrab Nathan juga sekaligus dokter yang merawat Tina. "Diam kamu! Tugasmu di sini merawatnya, bukan kepo soal dia." "Iya sih. Tapi boleh gak dia untukku. Jika belum ada yang punya." "Bicara lagi aku ketok kepalamu." Tak berani lagi bicara lebih banyak. Dokter Arul akhirnya diam. Tapi hatinya terus bertanya-tanya. Setibanya di rumah, bik Misna langsung menuntunnya ke kamar dan membantunya untuk kembali berbaring. Masih sok cuek, Nathan hanya meliriknya sebentar lalu bergegas pergi. Namun belum menjauh melalui pintu, Tina bertanya dengan pertanyaan polosnya. "Kenapa aku malah di bawa ke rumah sakit? Kenapa tidak di biarkan saja? Hmmm bagaimana jika kandungan ini di gugurkan saja?" Mendengar ucapan Tina, yang beg
Reaksi Nathan Keesokan paginya, Tina minta ikut bik Ina ke pasar. Dengan alasan dia ingin menemani bik Ina berbelanja. Nathan juga mengizinkannya. Setelah sebentar menemani bik Ina, Tina melihat di seberang sana ada Koto apotek. Tina pun bergegas menuju ke sana. Tujuannya Tina ingin beli alat testpack untuk mengecek perutnya hamil atau tidak. Begitu mereka tiba di rumah, Tina langsung menuju kamar mandi yakni untuk segera melakukan testpack tersebut. Tina begitu merasa terkejut kala melihat hasil tes tersebut. Garis dua. Artinya dia positif hamil. Hati Tina kembali terasa sesak dan teriris. Dirinya yang belum sanggup menghadapi kehamilannya itu. "Sudah kamu tes? Bagaimana hasilnya?" tanya Nathan datar. "Tuan, aku ingin keluar saja dari sini." jawab Tina tanpa berani menatapnya. Nathan melihat Tina yang sudah siap dengan tas di tangannya. Dengan jawaban itu Nathan mengerti bahwa Tina hamil. Nathan menghembuskan nafas berat namun tanpa ekspresi.
Perasaan yang tertekan Setelah waktu yang hampir dua bulan ini, Tina yang sering kali di tidurin oleh Nathan saat dia tidak sadar, saat ini ia merasa lebih lelah saat bekerja. Badannya terasa berbeda dari sebelumnya. "Ada apa, non? Apa kamu sakit?" tanya bik Ina yang terus memperhatikannya dalam dalam. "Tidak ada apa apa, bik. Mungkin aku hanya lelah saja." "Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja dulu. Jangan terlalu di paksakan kalau lagi tidak sanggup." Tina mengangguk dan lalu membaringkan tubuh mungilnya di kasurnya. Bik Ina pun segera keluar kamar dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. "Di mana Tina?" tanya Nathan pada bik Ina. "Ada di kamar Tuan. Ada perlu apa ya, biar saya panggilkan." jawab bik Ina sopan. "Tidak ada. Ahh tidak perlu di panggilkan bik. Kau bisa melanjutkan kerja mu saja." "Baik, Tuan. Non Tina terlihat begitu pucat dan lemas. Bibi minta dia untuk istirahat sebentar." ujar bik Ina. Nathan tak menjawab,
"Hutang? Apa aku ada hutang sama Tuan? Hutang apa ya?" tanya Tina dengan polos. "Iya hutang. Aku hanya bicara saja soal hutang dan kamu harus bayar. Jika tidak begitu maka kamu sudah di seret paksa olehnya." walau begitu Nathan tetap sabar memberi penjelasan padanya. Padahal sosok Nathan begitu cuek dan tak peduli pada orang lain. Tapi, kenapa kali ini dia peduli pada Tina? Para pelayan pun pada heran semuanya. Ibunya dan ayahnya juga pada heran padanya. Ada apa ini? *** "Maaf Tuan. Kita punya rapat penting saat ini. Dan Tuan harus menghadirinya." ujar sekretaris nya. Tanpa menjawab apapun, Nathan langsung melangkah menuju ruang rapat. Karena di kantor begitu sibuk, membuat Nathan jadi bingung. Sepulang kerja pun, Nathan tidak langsung pulang kerumah. Nathan malah mampir ke club di mana tempat teman temannya sudah menunggu dirinya. Kebiasaan. Jika Nathan sudah begitu pusing dan frustasi, dia selalu pergi ke club malam untuk memenangkan diri. Bergaul dan membeli wani