Share

Tantangan Berat

"No. Saya enggak setuju," tegas Adian setelah mendengar niat Erlin untuk menggugurkan kandungan.

"Lho, ini hidup saya dan saya bisa memperjuangkan masa depan saya sendiri. Bapak enggak berhak melarang," balas Erlin dengan ketus.

Erlin sudah tidak peduli sekalipun laki-laki itu adalah dosennya. Dia pikir mereka tidak sedang dalam proses belajar mengajar di kampus jadi tak masalah jika dia sedikit mengabaikan etika. Perdebatan akhirnya terjadi di antara mereka berdua.

"Tapi yang ada dalam kandungan kamu itu anak saya. Kamu enggak bisa ambil keputusan secara sepihak," kata Adian keberatan.

"Kok jadi ribet begini sih urusannya? Saya enggak punya kewajiban buat nurut sama bapak karena bapak juga bukan suami saya," ujar Erlin tak mau kalah.

Adian terdiam karena dia memang tidak punya status lebih atas Erlin. Tapi dia jelas tidak mau jika calon anaknya sampai dibunuh dengan cara aborsi. Adian sangat menginginkan kehadiran anak itu.

"Lagian kenapa sih bapak pakai cara inseminasi segala? Kenapa enggak nikah aja? Apa jangan-jangan bapak enggak normal ya?" ucap Erlin mengoceh sekenanya.

"Heh jangan sembarangan bicara kamu ya," tegas Adian memperingati.

"Lalu apa alasannya?" tantang Erlin. Adian tampak mengatur napas mungkin untuk meredam emosinya. Dia merasa tidak perlu membagi alasan yang berkaitan dengan pengalaman masa lalunya pada orang asing seperti Erlin.

"Begini ya, Erlin. Kondisi ini berada di luar kendali kita. Semua terjadi secara tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau kamu yang akan menjadi korbannya. Saya juga mengerti kalau kamu tidak salah sehingga wajar kamu merasa marah," ujar Adian berusaha berbicara dengan tenang. Namun berbeda halnya dengan Erlin yang masih menggebu-gebu.

Sekali lagi Adian tampak menghembuskan napas berat agar tidak terbawa emosi. Itu salah satu alasan lainnya dia tidak begitu suka berhubungan dengan perempuan. Sulit dimengerti dan mau menang sendiri.

Adian menjelaskan bahwa dia sudah berusaha melakukan semua prosedurnya dengan benar. Dia juga sudah menyiapkan perempuan lain yang bersedia mengandung bayinya. Meskipun dia tidak juga membagi dengan jelas alasan pribadinya yang tidak mau menikah.

Adian hanya mengatakan bahwa dia ingin memiliki seorang anak tapi tidak ingin istri. Pemikiran yang menurut Erlin justru sangat menggelikan. Erlin berpikir di luar sana banyak orang yang hanya bersenang-senang berhubungan bebas lalu melakukan aborsi ketika hamil.

Ada pula yang menikah tapi sepakat untuk tidak memiliki anak atau istilah kerennya child free. Sedangkan Adian justru kebalikannya. Erlin sangat heran menghadapi laki-laki di sampingnya itu.

Erlin pikir sebagai seorang yang berpendidikan, Adian seharusnya dan pasti mengerti tentang proses produksi manusia. Tapi Adian malah memanfaatkan rekayasa teknologi hingga kini salah sasaran dan akibatnya harus Erlin yang menanggung.

"Apa dia melakukan ini untuk membuktikan penemuan konsep baru bahwa seseorang bisa punya anak tanpa harus menikah?" batin Erlin masih tak paham.

"Baiklah, Erlin. Seperti yang pernah saya ajukan pada perempuan yang sebelumnya, sekarang saya juga akan menawarkan kesepakatan ini padamu. Kamu sudah terlanjur mengandung anak saya dan saya pasti akan bertanggung jawab," kata Adian. Erlin masih menyimak dengan baik penawaran seperti apa yang dimaksud oleh Adian.

"Jadi saya akan menanggung semua kebutuhan kamu selama hamil dan melahirkan. Setelah persalinan, kontrak kita berakhir dan anak itu akan menjadi milik saya seutuhnya. Kamu tidak perlu melakukan tugasmu sebagai seorang ibu karena saya akan menyewakan perawat atau pengasuh untuknya. Kamu bisa tetap bebas, melanjutkan pendidikan lagi dan saya juga akan memberikan imbalan finansial secara khusus," jelas Adian.

Bagi seseorang yang berjiwa materialistis mungkin itu adalah sebuah penawaran yang fantastis. Adian juga menyebutkan nominal uang yang akan dia berikan di luar semua biaya hidup yang juga dia tanggung. Singkatnya, Erlin bisa hidup bersenang-senang selama sembilan bulan atau bahkan setahun ke depan.

Namun bukannya merasa riang, Erlin justru terdiam. Sikapnya membuat Adian heran hingga laki-laki itu kembali mempertanyakan kepastian Erlin.

"Jadi bagaimana, Erlin? Apa kamu setuju?" tanya Adian memecah keheningan.

"Apa seperti ini pemikiran bapak bisa menominalkan harga diri seorang perempuan?" ujar Erlin sarkas.

"Apa bapak anggap semua perempuan serendah itu hingga bisa hamil sembarangan, melahirkan lalu dibayar? Dan apa yang bapak katakan tentang seorang ibu? Saya tidak perlu melakukan tugas sebagai seorang ibu? Bahkan ketika dinyatakan hamil, di situlah tugas dan peran ibu dimulai."

"Mau tidak mau, sengaja atau tidak, tindakan bapak sudah membuat saya harus menjadi seorang ibu sekarang. Lalu bapak ingin saya menjual anak saya sendiri setelah lahir? Saya tidak menyangka orang seperti Pak Adian punya pemikiran sedangkal ini," ujar Erlin.  Adian hanya diam tidak bisa membantah.

"Kenapa bapak hanya fokus pada keinginan bapak saja tanpa memikirkan akibatnya untuk saya? Saya perempuan, Pak. Status seorang perempuan lebih sering dipermasalahkan oleh masyarakat. Saya belum pernah menikah. Tapi dengan menuruti semua tawaran bapak, setelahnya saya tetap akan dicap sebagai perempuan bekas walau tidak pernah disentuh," lanjut Erlin dengan suara mulai merendah tapi tetap ada ketegasan dalam nada bicaranya.

"Sekarang pikirkan saja, laki-laki mana yang mau menikahi perempuan bekas? Para orang tua juga mungkin akan berpikir berkali-kali untuk menikahkan putranya dengan perempuan yang menjadi relawan untuk mengandung dan melahirkan anak orang lain tanpa menikah. Orang-orang akan mencibir saya sebagai perempuan yang tidak punya hati karena menjual anaknya sendiri. Ini bukan hanya tentang pendidikan. Tapi saya tidak mau hal semacam itu menghantui hidup saya di masa depan. Apa saya tidak seberharga itu?" ujar Erlin bahkan kini sudah meneteskan air mata.

Kombinasi lelah, marah, kecewa, dan segala perasaan tidak enak lainnya sudah membuncah dalam dada. Dia tidak tahan lagi untuk tidak mengurangi bebannya dengan menangis. Sekarang pun dengan perlakuan yang ditunjukkan Adian, batinnya benar-benar merasa terpukul.

Sementara Adian kebingungan karena Erlin menangis. Gadis itu sesenggukan di sampingnya tapi Adian tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Kali itu dia merasa tak berdaya dengan air mata perempuan.

Perasaan keras dalam hatinya yang selama ini menolak kehadiran seorang perempuan perlahan meluruh. Sedikit banyak Adian termakan oleh perkataan Erlin. Sekarang dia merasa bersalah sendiri.

Dia memikirkan kembali kata-katanya tadi. Dia memberi sejenak jeda bagi mereka berdua. Dia membiarkan Erlin juga menikmati tangisnya.

"Baiklah. Kesimpulannya adalah kamu tidak setuju pada penawaran saya," kata Adian setelah melihat Erlin cukup lebih tenang.

"Jadi sekarang katakan cara bertanggung jawab seperti apa kamu inginkan?" tanya Adian.

Adian akan setuju untuk memberi jika seandainya Erlin meminta imbalan yang lebih banyak lagi. Tapi apa yang diminta gadis itu justru adalah sesuatu yang sulit untuk Adian penuhi. Erlin tidak meminta materi namun justru berkaitan dengan trauma yang sampai saat itu tak bisa Adian obati.

"Bapak harus menikahi saya."

"Menikah?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status