Kaki jenjang Dokter Arnesh melangkah, menuju ruangan kerjanya. Saat membuka pintu, dia melihat seorang wanita cantik tengah duduk dan bermain ponselnya.Dokter Arnesh membuka stelan kerjanya dan menyampirkan di kursi, dia duduk berhadapan dengan Livya yang menatapnya cemas."Kamu kenapa nggak pulang, Mas? Aku khawatir tahu," kata Livya, jarinya menaut disela-sela jari sang suami.Sembari bersandar, Dokter Arnesh tidak menolak dan berwajah datar, beda dengan sekali saat sedang bersama Gladys."Aku bukan anak kecil, Liv. Nggak perlu kamu khawatirkan," timpal Arnesh.Rasa senang Livya bertemu dengan suaminya kentara, bisa ditebak dari raut wajahnya begitu cerita, padahal Arnesh abai-abai saja."Kangen, pengen peluk," pinta Livya, manja.Tidak suami pada umumnya yang suka dengan sikap manja istrinya. Justru Arnesh malah sebaliknya, dia risih."Gerah," elak Arnesh. Namun tetap saja Livya tidak mendengarkan, seolah menulikan pendengaran dan duduk di pangkuan suaminya.Livya memang begini, l
Arnesh merasakan hal tak biasa, ketika melewati perjalanan bersama dengan Gladys. Seperti senang, tapi Arnesh juga tidak tahu apa yang terjadi. Padahal sikap Gladys cuek-cuek saja padanya.Depan gapura gang, keduanya berhenti. Lantaran mobil tidak bisa masuk ke sana."Kamu nggak usah turun, warga desa sedang ramai-ramainya jam segini," kata Gladys, melarang Arnesh turun.Lantaran di desanya, biasa ramai karena warganya banyak yang pulang kerja."Kan bisa pakai masker, Glad. Kamu emang kuat ngangkut belanjaan?" tanya Arnesh, yang masih ingin ikut dengan Gladys.Gladys menghunuskan tatapan tajam. "Tetap saja mereka akan bertanya, aku nggak mau mereka tahu!"Lagi, Arnesh hanya bisa pasrah saja. Biarpun Gladys cuek dan ketus, setidaknya wanita itu tidak mendiamkannya dan diam saja.Ia juga sudah bilang kepada Livya akan pulang sore, lain waktu Arnesh akan berkunjung ke kediaman istri keduanya.Tangan Arnesh merogoh saku, membawa dompet dan memberikan uang berwarna merah kepada Gladys. Dia
Arnesh sampai, di teras rumah sudah ada seorang wanita cantik yang selalu menunggu dan menyambutnya. Livya terlihat cantik dengan balutan dress melekat di tubuhnya moleknya. Hanya saja, Arnesh biasa-biasa saja, tidak terlalu terpana."Aku malah senang saat bersama Gladys," gumam Arnesh, sebelum akhirnya turun dari mobil.Livya melambaikan tangan, senyuman manis berkembang di bibir yang sudah dipolesi lipstik itu. Sang istri menghampiri, melingkarkan tangan, namun Arnesh segera menghindar, risih."Mas, ih. Kok dilepas terus!" Livya mengerucut, bibirnya manyun saat Arnesh menjauh."Udah tahu aku nggak suka kamu peluk-peluk, masih aja gitu," balas Arnesh."Ada Mama sama Papa lho, Mas. Masa kamu mau cuekin aku terus," Arnesh melirik ke samping. Benar, ada mobil milik orang tuanya terparkir. Entah apa maksud kedatangan mereka ke sini."Aku nggak peduli!" Arnesh berjalan dahulu, Livya mengekori dan memanggil-manggil namanya.Arnesh masuk ke dalam, disuguhkan wajah orang tua yang sudah berdi
Di dalam kontrakan kecil itu, Gladys sedang membereskan rumahnya agar tak berdebu. Tidak seperti biasanya, Gladys tidak merasakan mual dan pening.Dia bahkan merasa, jika dirinya sedang tidak berbadan dua. Gladys lega, setidaknya gejala kehamilannya tidak terlalu menyiksa agar dia bisa fokus kerja.Gladys berjalan ke dapur, membuka plastik belanjaan tadi sore. Ia ingin makan mie instan malam-malam begini."Aish, kenapa kompornya nggak nyala sih?" gumam Gladys, melihat gas elpiji yang ternyata sudah habis.Gladys memukul kening pelan, ia lupa jika dirinya lupa mengganti gas yang baru dibeli. Jika tidak ada, Gladys susah masak nantinya."Mana lagi udah malam," Gladys yang memang sedang lapar mengusap perutnya.Suara ketukan pintu membuat atensi Gladys menatap lurus ke depan. Dia was-was, takut Arnesh yang datang.Ia mengintip dibalik tirai jendela. Ternyata itu Ghani, bukan Arnesh. Tapi ... mau apa pria itu datang?"Mas Ghani ngapain malam-malam ke sini?" Gladys langsung bertanya. Tidak
Gladys bisa bernapas lega, jika Ghani tidak mengejarnya. Ia tidak tahu, bahwa warga desa memergoki dirinya dan Ghani semalam. Padahal Gladys hanya minta bantuan, hanya saja mungkin tidak etis dua orang dewasa disatu ruangan sama.Gladys berjalan sepanjang lorong, mulai memakai seragam kerjanya dan beraktivitas seperti biasa. Dia harus semangat, demi si buah hati.Mengusap perut, Gladys tersenyum simpul. Tingkah anehnya, tak ayal diperhatikan salah satu rekan kerja yang baru saja datang."Gladys, kamu kenapa usap-usap perut terus dari kemarin?" tanya Yulia, pekerja lama di sini.Gladys menjatuhkan tangannya, kaget karena ada Yulia di sini. "Oh, nggak kok, nggak papa. Cuma lapar aja. Belum sarapan," alibi Gladys menghindari kegugupan.Terlihat ketidakpercayaan di wajah Yulia, ia memicingkan mata. Akhir-akhir ini ia sering melihat Gladys seperti itu—mengelus perut dan ngomong sendiri."Iyakah? Aku bawa sarapan di rumah. Makan bareng, yuk. Supaya kamu nggak kelaparan, Glad," ajak Yulia se
Di salah satu kamar Hotel, Livya duduk di tepian ranjang sembari memakai kembali pakaiannya yang dibuka karena melakukan pergumulan panas selama beberapa jam. Badan Livya terasa lengket dan remuk, Daniel tidak membiarkannya istirahat sepanjang percintaan."Andai saja Mas Arnesh memperlakukanku seperti Daniel, aku akan sangat bahagia," gumamnya.Sang pacar sudah terlelap, di ranjang yang berantakan. Livya membalik setengah badan ke belakang, saat Daniel melingkarkan tangannya di perut."Sayang ... kok pakai baju?" panggil Daniel, suara serak pria saat bangun tidur emang enak didengar, Livya pun suka.Livya mengelus rambut Daniel, membiarkan pria itu mengelus bokong dan pahanya. "Udah malam, Sayang. Aku harus pulang. Mas Arnesh pasti curiga kalau aku nggak ada di rumah," balasnya.Daniel menumpukan dagunya di paha sang kekasih, pria yang masih telanjang ini begitu menikmati waktu bersama wanita yang dicinta.Livya menganga, saat Daniel membelai lembut kewanitaannya. "Besok saja pulang.
Gladys menahan debaran di dadanya, saat pasang mata Arnesh terus mengamatinya."Glad, bisa geser?" tanya Arnesh, berhenti di ambang pintu dapur karena Gladys berdiri dan menghalangi jalan lewatnya."Hah?""Mau geser sendiri atau mau aku bantu geser?"Lekas saja Gladys menggeser tubuh, membiarkan Arnesh yang baru selesai mandi dengan mengenakan handuk. Gladys mati-matian menahan ludah, gugup.Dengan tanpa dosanya Arnesh berpenampilan seperti itu. "Mau beli sarapan nggak?" tanyanya."Ngga—""Jangan nolak, Glad. Harus ingat di perut kamu ada anakku," sela Arnesh, menghentikan ucapan Gladys yang hendak berkata.Ya mau bagaimana lagi, saat ini Gladys tidak ada uang, dia juga enggan menerima uang dari Arnesh, gengsi.Arnesh merogoh saku celana, mengambil dompet dan mengeluarkan semua isinya. Dia berbalik, menarik tangan Gladys agar tidak menolak seperti tadi."Untuk kamu."Gladys melotot tak percaya, saat gambar Ir. Soekarno berbaris rapih digenggamannya. Entah berapa nominalnya, intinya it
Kaki Arnesh berpijak di rumah besar dan megah, yang menjadi istananya bersama Livya sejak menikah. Keduanya sepakat, untuk tinggal pisah dengan orang tua, agar Arnesh tidak tertekan Mama Linda yang banyak maunya.Arnesh tidak menemukan siapa pun di kamarnya, Livya tidak ada di sini, di mana dia?"Bi, Livya pergi ke mana? Kenapa di kamar tidak ada?" tanya Arnesh pada Bi Ijum sang pembantu."Nggak tahu, Tuan. Dari kemarin teh Non Livya nggak kelihatan," jawab Bi Ijum apa adanya."Ya udah, Bi Ijum lanjutkan kerja saja."Arensh hanya bisa menimbang-nimang, di mana keberadaan istrinya yang hilang tanpa kabar. Ia sudah cek ponsel, Livya tidak mengabari.Siapa yang tidak kesal, istri tidak ada di rumah dari kemarin. Itu artinya, Livya tidak pulang ke rumah. Ia mencoba menghubungi mertuanya, siapa tahu Livya sedang bersama mereka."Halo, Ar. Tumben kamu nelpon Mama. Ada apa?" tanya Venny—ibu Livya."Livya ada di sana, Ma?" Arnesh balik bertanya."Nggak ada, Ar. Memangnya Livya ke mana? Bagaim