Ibu Yanti, salah seorang pengurus senior di panti–tempat Inara tinggal–terus saja menatapnya dari atas ke bawah sembari memegang ember cuciannya. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejut yang tergambar jelas dalam wajahnya saat melihat gadis tertua di panti asuhan ini pulang dalam keadaan sangat tidak baik. Bu Yanti sudah nyaris menyuarakan berbagai macam pertanyaan, namun melihat keadaan gadis di hadapannya, ia berusaha menahan diri
Sementara itu Inara sendiri jelas sama terkejutnya. Meskipun ia merasa bersyukur sebab yang menyambutnya adalah Ibu Yanti–bukan Ibu Pengelola. Karena jika Ibu Pengelola sendiri yang menemukannya dalam keadaan seperti ini, entah apa yang akan dilakukannya pada gadis itu.
“Inara? Kamu baik-baik saja, Nak?”
Mendengar nada cemas dari wanita tersebut, Inara sontak tak bisa lagi menahan tangis. Ia berlari dengan langkah tersendat-sendat sebab rasa nyeri yang hebat pada bagian bawah tubuhnya. "Ibu, tolong aku...."
"Kamu kenapa? Kamu dari mana saja, Nak? Ya Tuhan!" ucap Bu Yanti kebingungan. Wanita itu memegang kedua lengan Inara dan menatapnya lamat-lamat. Hatinya bagai diremas saat melihat air mata berjatuhan membasahi pipi gadis itu.
"Inara, ayo kita masuk! Ayo masuk dulu, Nak. Ya Tuhan, bajumu! Kenapa bajumu seperti itu? Kita masuk sebelum orang lain lihat bajumu!" lanjutnya sembari menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada yang memata-matai keduanya.
Inara lantas mengayun langkah tergesa untuk memasuki pintu belakang dapur panti. Ibu Yanti menarik gadis itu untuk memasuki kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Dan setelahnya, Inara sungguh tidak bisa lagi menahan tangis. Isaknya bergema memenuhi sudut-sudut kamar dengan suara pilu.
"Sudah, sudah. Nggak apa-apa, Ibu ada di sini. Sudah, Nak, jangan menangis."
"Ibu, aku udah nggak ada harganya lagi sekarang! Aku nggak ada bedanya sama perempuan panggilan yang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. Ibu aku jijik sama diriku sendiri, aku udah rusak!"
"Inara!" Wanita itu tersentak. "Apa maksudmu? Kenapa ngomong begitu? Sebenarnya ada apa? Semalam kamu ke mana? Kenapa nggak pulang, bilang sama Ibu!"
Luka itu seperti terbuka dan berdarah kembali kala Inara harus menceritakan lagi memori hitam kelam semalam. Perlahan, ia menuturkan bahwa seseorang telah merebut kehormatan yang susah payah ia jaga, dengan begitu mudahnya. Padahal ia sudah datang dengan bersemangat dan penuh harap saat temannya menjanjikan pekerjaan sebagai waitress itu.
"Ibu, gimana kalau Ibu pengelola panti sampai tahu apa yang terjadi kepadaku? Kalau aku diusir, aku harus ke mana?" tanya Inara panik. Bayangan Ibu Pengelola yang seringkali bersikap ketus kepadanya itu seperti tergambar jelas dalam benak.
"Hei, hei. Nggak ada yang akan mengusirmu, Nak. Kita hanya perlu jaga rahasia ini, oke? Hanya Ibu dan kamu yang tahu hal ini." Ibu Yanti menatap hangat bola mata coklat yang tengah bersaput halimun itu, “sudah, nggak apa-apa, kamu sudah aman sekarang. Kamu nggak akan ketemu sama laki-laki itu lagi, oke?"
"Ibu, gimana kalau aku ...."
"Nggak, Nak. Nggak. Tuhan melindungimu. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja."
Hingga beberapa saat kemudian karena lelah dan sakit mental serta fisik, Inara jatuh tertidur dalam pangkuan Ibu Yanti.
"Malang nian nasibmu, Nak." Wanita itu mengelus surai panjang Inara yang tampak lusuh dan lepek oleh keringat. "Padahal kamu anak baik, mengapa takdir masih pula mempermainkanmu seperti ini? Semoga nggak terjadi apa-apa sesudah ini, ya. Semoga Tuhan selalu melindungimu."
*
Di sisi lain, Gavin Devano Sanjaya tampak baru membuka mata di dalam kamar hotel yang masih remang-remang. Kedua netranya mengerjap, awangnya masih berkelana, berusaha mengingat apa yang terjadi beberapa waktu terakhir. Pengaruh dari alkohol dalam sebotol wine yang ia tenggak hingga habis semalam, membuat kepalanya agak linglung. Sampai kemudian ia terperanjat sebab teringat sesuatu. Pengusaha muda berusia tiga puluh satu tahun itu perlahan beringsut turun dari ranjang.
"Sudah pergi, kah?" Ia menyapukan pandang ke seluruh penjuru kamar, dan tidak menemukan apa yang ia cari. “Aku tidak begitu mengingat apa yang terjadi. Dia pergi begitu saja? Oh, sial, kepalaku pusing.”
Gavin segera membuka pintu kamar setelah menutupi tubuhnya dengan bathrobe sutra. Tak lama, ia menemukan bawahannya yang tentu saja masih berjaga dengan setia di luar pintu sejak semalam.
"Kau lihat perempuan itu keluar?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi. Membuat si penjaga yang bertubuh tinggi besar terperanjat.
"Gadis yang semalam, Tuan Muda?"
"Yang mana lagi, memangnya?"
"Ah, benar. Benar." Pria penjaga itu tampak mengangguk sembari bergerak salah tingkah. "Tadi pagi-pagi sekali sudah pergi, Tuan Muda. Tapi dia bilang Tuan sendiri yang suruh pergi, jadi saya biarkan saja. Saya tidak tahu dia pergi ke mana."
Gavin mengerutkan kening. "Ck! Dasar pembohong kecil."
"Tuan Muda mau saya cari dan temukan dia? Mudah saja, saya rasa. Dia tidak terlihat seperti gadis yang punya banyak muslihat," tawar sang bawahan tiba-tiba, saat ia lihat wajah Tuan Mudanya yang seperti banyak pikiran.
Gavin termenung sesaat, mengingat kembali gadis semalam yang agak berbeda dengan gadis-gadis panggilan yang biasa ia sewa. Jujur saja, ia tidak akan melupakan kenikmatan yang ia rasakan dari tubuh mungil itu. Ini adalah pertama kalinya, sebab biasanya Gavin akan langsung melupakan perempuan manapun yang pernah menghabiskan malam bersama dirinya. Entah dari mana temannya bisa menemukan yang semacam itu. Meski demikian, pria tampan itu menggeleng.
"Nggak perlu. Dia cuma perempuan panggilan yang biasa disewa Aldo, aku nggak membutuhkannya lagi. Biarkan saja dia pergi. Siapkan mobil segera. Aku harus ke kantor jam sepuluh nanti."
"Baik, Tuan Muda."
"Pastikan tidak ada yang melihatku keluar dari sini, aku tidak mau cari masalah," tambahnya seraya melangkah membalikkan badan.
Bodyguard itu menunduk penuh hormat sebelum bergegas meninggalkan pintu, sementara Gavin kembali masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Pandangannya sesaat jatuh kepada ranjang berseprai putih yang terdapat noda merah kecoklatan di bagian tengahnya. Seringai lebar tersemat di bibir lelaki rupawan itu.
"Perawan?" gumamnya, “menarik. Aldo sepertinya benar-benar berpikir aku tidak berhasrat pada perempuan, sampai nekat membawakan gadis perawan. Sudah kukatakan kepadanya, aku ini normal.”
**Perlu waktu satu minggu untuk Inara memulihkan fisik serta psikisnya. Meski sebenarnya ia butuh waktu jauh lebih lama dari itu, tetapi Inara memaksakan diri melawan luka dan trauma. Sebab, ibu pengelola panti tidak akan memberikan toleransi apapun terkait keadaan yang ia rahasiakan. Jadi, Inara harus tetap membantu Ibu Yanti mengurus adik-adiknya seperti biasa. Memaksa diri sendiri untuk melupakan segalanya dan kembali menjalani hari, seperti tak ada yang terjadi.“Inara? Inara, coba kamu lihat ini!”Gadis manis itu sedang membantu Ibu Yanti memasak pagi ini. Saat kemudian suara seruan dari wanita itu, yang membuatnya sontak berhenti memotong sayuran dan memandang ke arah pintu.“Ya, Bu? Ada apa?”"Ini, lihat ini. Kamu dapat surat, lho." Wanita separuh baya itu menunjukkan amplop putih bersih yang sepertinya baru ia terima. Membuat Inara mengernyitkan dahi. Pasalnya, ia tidak merasa memiliki sahabat pena yang mungkin akan mengiriminya surat."Surat dari siapa, Bu?" tanya Inara pada
**"Kamu mau tuker jadwal sama aku, nggak?"Inara mencolek bahu salah satu teman sesama office girl yang baru saja datang dan masih menyimpan tasnya di dalam loker.Beberapa saat yang lalu, Inara baru menyadari bahwa dirinya akan bertugas di ruang meeting utama yang digunakan Gavin pagi ini. Jadi, gadis itu buru-buru mengatur strategi. Kalau bisa, ia jangan sampai bertemu dengan Gavin saja."Kenapa harus tuker?" tanya gadis yang sebaya dengannya itu seraya mengangkat alis heran."Aku sebenernya alergi sama AC. Jadi nggak bisa lama-lama di ruangan meeting." Inara mencoba menjelaskan dengan gestur senatural mungkin. Meski ia harus mengucap dusta, bahkan pagi-pagi seperti ini, saat hari belum lagi dimulai.Kedua mata gadis teman Inara itu melebar tak percaya. Ia berujar dengan heboh. "Pagi ini, Pak Gavin yang pakai ruang meeting-nya. Hei! Kesempatan, dong! Kamu bisa cari-cari perhatian dikit sama itu pak bos tampan.""Tapi aku lebih sayang sama badanku," tukas Inara dengan senyum yang ma
**"Ra, kamu sakit, ya?"Pagi ini ketika Inara sedang bersiap-siap berangkat bekerja, Ibu Yanti mencegatnya di ambang pintu kamar. Wanita itu menatap Inara lekat-lekat, tampak heran dengan keadaan si gadis yang tidak seperti biasanya."Sakit?" Inara mengernyit. "Kayaknya sih iya, Bu. Belakangan aku sering pusing tiba-tiba, kayaknya anemiaku kambuh.""Jangan capek-capek, Ra. Nanti mampir beli obat penambah darah di apotik dulu sebelum masuk kantor. Jaga kesehatan, karena nggak ada yang bisa kita andalkan selain diri sendiri." Bu Yanti menepuk lembut bahu gadis itu, yang dibalas dengan seulas senyum manis.Inara merasa bersyukur meski dirinya yatim piatu dan tinggal di panti asuhan sejak kecil, sebab Ibu Yanti selalu siap sedia dengan segala kasih sayangnya. Walau tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu, namun Inara sudah merasa cukup dengan memiliki Ibu Yanti saja."Iya, Bu, nanti aku beli. Aku berangkat dulu, ya," ucap Inara sembari me
**"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam. Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inar
** "Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama. Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat." "Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.” "Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang." "Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil." Ibu
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk