Share

2. Menjadi Sebuah Rahasia

Ibu Yanti, salah seorang pengurus senior di panti–tempat Inara tinggal–terus saja menatapnya dari atas ke bawah sembari memegang ember cuciannya. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan raut terkejut yang tergambar jelas dalam wajahnya saat melihat gadis tertua di panti asuhan ini pulang dalam keadaan sangat tidak baik. Bu Yanti sudah nyaris menyuarakan berbagai macam pertanyaan, namun melihat keadaan gadis di hadapannya, ia berusaha menahan diri

Sementara itu Inara sendiri jelas sama terkejutnya. Meskipun ia merasa bersyukur sebab yang menyambutnya adalah Ibu Yanti–bukan Ibu Pengelola. Karena jika Ibu Pengelola sendiri yang menemukannya dalam keadaan seperti ini, entah apa yang akan dilakukannya pada gadis itu.

“Inara? Kamu baik-baik saja, Nak?”

Mendengar nada cemas dari wanita tersebut, Inara sontak tak bisa lagi menahan tangis. Ia berlari dengan langkah tersendat-sendat sebab rasa nyeri yang hebat pada bagian bawah tubuhnya. "Ibu, tolong aku...."

"Kamu kenapa? Kamu dari mana saja, Nak? Ya Tuhan!" ucap Bu Yanti kebingungan. Wanita itu memegang kedua lengan Inara dan menatapnya lamat-lamat. Hatinya bagai diremas saat melihat air mata berjatuhan membasahi pipi gadis itu.

"Inara, ayo kita masuk! Ayo masuk dulu, Nak. Ya Tuhan, bajumu! Kenapa bajumu seperti itu? Kita masuk sebelum orang lain lihat bajumu!" lanjutnya sembari menoleh ke sekitar, memastikan tidak ada yang memata-matai keduanya.

Inara lantas mengayun langkah tergesa untuk memasuki pintu belakang dapur panti. Ibu Yanti menarik gadis itu untuk memasuki kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Dan setelahnya, Inara sungguh tidak bisa lagi menahan tangis. Isaknya bergema memenuhi sudut-sudut kamar dengan suara pilu.

"Sudah, sudah. Nggak apa-apa, Ibu ada di sini. Sudah, Nak, jangan menangis."

"Ibu, aku udah nggak ada harganya lagi sekarang! Aku nggak ada bedanya sama perempuan panggilan yang menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. Ibu aku jijik sama diriku sendiri, aku udah rusak!"

"Inara!" Wanita itu tersentak. "Apa maksudmu? Kenapa ngomong begitu? Sebenarnya ada apa? Semalam kamu ke mana? Kenapa nggak pulang, bilang sama Ibu!"

Luka itu seperti terbuka dan berdarah kembali kala Inara harus menceritakan lagi memori hitam kelam semalam. Perlahan, ia menuturkan bahwa seseorang telah merebut kehormatan yang susah payah ia jaga, dengan begitu mudahnya. Padahal ia sudah datang dengan bersemangat dan penuh harap saat temannya menjanjikan pekerjaan sebagai waitress itu.

"Ibu, gimana kalau Ibu pengelola panti sampai tahu apa yang terjadi kepadaku? Kalau aku diusir, aku harus ke mana?" tanya Inara panik. Bayangan Ibu Pengelola yang seringkali bersikap ketus kepadanya itu seperti tergambar jelas dalam benak.

"Hei, hei. Nggak ada yang akan mengusirmu, Nak. Kita hanya perlu jaga rahasia ini, oke? Hanya Ibu dan kamu yang tahu hal ini." Ibu Yanti menatap hangat bola mata coklat yang tengah bersaput halimun itu, “sudah, nggak apa-apa, kamu sudah aman sekarang. Kamu nggak akan ketemu sama laki-laki itu lagi, oke?"

"Ibu, gimana kalau aku ...."

"Nggak, Nak. Nggak. Tuhan melindungimu. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja."

Hingga beberapa saat kemudian karena lelah dan sakit mental serta fisik, Inara jatuh tertidur dalam pangkuan Ibu Yanti.

"Malang nian nasibmu, Nak." Wanita itu mengelus surai panjang Inara yang tampak lusuh dan lepek oleh keringat. "Padahal kamu anak baik, mengapa takdir masih pula mempermainkanmu seperti ini? Semoga nggak terjadi apa-apa sesudah ini, ya. Semoga Tuhan selalu melindungimu."

*

Di sisi lain, Gavin Devano Sanjaya tampak baru membuka mata di dalam kamar hotel yang masih remang-remang. Kedua netranya mengerjap, awangnya masih berkelana, berusaha mengingat apa yang terjadi beberapa waktu terakhir. Pengaruh dari alkohol dalam sebotol wine yang ia tenggak hingga habis semalam, membuat kepalanya agak linglung. Sampai kemudian ia terperanjat sebab teringat sesuatu. Pengusaha muda berusia tiga puluh satu tahun itu perlahan beringsut turun dari ranjang. 

"Sudah pergi, kah?" Ia menyapukan pandang ke seluruh penjuru kamar, dan tidak menemukan apa yang ia cari. “Aku tidak begitu mengingat apa yang terjadi. Dia pergi begitu saja? Oh, sial, kepalaku pusing.”

Gavin segera membuka pintu kamar setelah menutupi tubuhnya dengan bathrobe sutra. Tak lama, ia menemukan bawahannya yang tentu saja masih berjaga dengan setia di luar pintu sejak semalam. 

"Kau lihat perempuan itu keluar?" tanya lelaki itu tanpa basa-basi. Membuat si penjaga yang bertubuh tinggi besar terperanjat.

"Gadis yang semalam, Tuan Muda?"

"Yang mana lagi, memangnya?"

"Ah, benar. Benar." Pria penjaga itu tampak mengangguk sembari bergerak salah tingkah. "Tadi pagi-pagi sekali sudah pergi, Tuan Muda. Tapi dia bilang Tuan sendiri yang suruh pergi, jadi saya biarkan saja. Saya tidak tahu dia pergi ke mana."

Gavin mengerutkan kening. "Ck! Dasar pembohong kecil."

"Tuan Muda mau saya cari dan temukan dia? Mudah saja, saya rasa. Dia tidak terlihat seperti gadis yang punya banyak muslihat," tawar sang bawahan tiba-tiba, saat ia lihat wajah Tuan Mudanya yang seperti banyak pikiran.

Gavin termenung sesaat, mengingat kembali gadis semalam yang agak berbeda dengan gadis-gadis panggilan yang biasa ia sewa. Jujur saja, ia tidak akan melupakan kenikmatan yang ia rasakan dari tubuh mungil itu. Ini adalah pertama kalinya, sebab biasanya Gavin akan langsung melupakan perempuan manapun yang pernah menghabiskan malam bersama dirinya. Entah dari mana temannya bisa menemukan yang semacam itu. Meski demikian, pria tampan itu menggeleng.

"Nggak perlu. Dia cuma perempuan panggilan yang biasa disewa Aldo, aku nggak membutuhkannya lagi. Biarkan saja dia pergi. Siapkan mobil segera. Aku harus ke kantor jam sepuluh nanti."

"Baik, Tuan Muda."

"Pastikan tidak ada yang melihatku keluar dari sini, aku tidak mau cari masalah," tambahnya seraya melangkah membalikkan badan.

Bodyguard itu menunduk penuh hormat sebelum bergegas meninggalkan pintu, sementara Gavin kembali masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Pandangannya sesaat jatuh kepada ranjang berseprai putih yang terdapat noda merah kecoklatan di bagian tengahnya. Seringai lebar tersemat di bibir lelaki rupawan itu.

"Perawan?" gumamnya, “menarik. Aldo sepertinya benar-benar berpikir aku tidak berhasrat pada perempuan, sampai nekat membawakan gadis perawan. Sudah kukatakan kepadanya, aku ini normal.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status