Share

3. Kabar Baik?

**

Perlu waktu satu minggu untuk Inara memulihkan fisik serta psikisnya. Meski sebenarnya ia butuh waktu jauh lebih lama dari itu, tetapi Inara memaksakan diri melawan luka dan trauma. Sebab, ibu pengelola panti tidak akan memberikan toleransi apapun terkait keadaan yang ia rahasiakan. Jadi, Inara harus tetap membantu Ibu Yanti mengurus adik-adiknya seperti biasa. Memaksa diri sendiri untuk melupakan segalanya dan kembali menjalani hari, seperti tak ada yang terjadi.

“Inara? Inara, coba kamu lihat ini!”

Gadis manis itu sedang membantu Ibu Yanti memasak pagi ini. Saat kemudian suara seruan dari wanita itu, yang membuatnya sontak berhenti memotong sayuran dan memandang ke arah pintu.

“Ya, Bu? Ada apa?”

"Ini, lihat ini. Kamu dapat surat, lho." Wanita separuh baya itu menunjukkan amplop putih bersih yang sepertinya baru ia terima. Membuat Inara mengernyitkan dahi. Pasalnya, ia tidak merasa memiliki sahabat pena yang mungkin akan mengiriminya surat.

"Surat dari siapa, Bu?" tanya Inara pada wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri. Ia meletakkan pisau dan mendekat kepada Bu Yanti.

"Nggak tahu, tapi amplopnya bagus dan ada gambarnya, nih. Coba buka sini, Nak."

Rasa was-was memenuhi hati Inara ketika menerima benda itu. Takut kalau-kalau itu adalah surat tuntutan atau apa. Namun, kala terlihat olehnya print out nama pengirim di bagian depan amplop, wajahnya berubah 180 derajat. 

"Ibu, ini dari perusahaan yang aku lamar dua minggu lalu!" Dengan tidak sabar, gadis itu membuka amplop dan mengeluarkan isinya–selembar surat yang tampak resmi. Inara membacanya sekilas sebelum kemudian berseru dengan gembira, "Ibu, aku diterima kerja! Mereka bilang aku boleh kerja di sini!"

"Oh, benarkah? Astaga, syukurlah, Ra. Syukurlah, sepertinya ini perusahaan besar, ya?"

"Besar." Inara mengangguk dengan bersemangat. "Gedungnya tinggi. Yang kerja banyak, semuanya cantik dan ganteng. Aku bener-bener nggak nyangka akan dapat panggilan."

“Semoga ini memang rezeki kamu ya, Nak. Semoga ini bisa menjadi awal yang baik nantinya.”

Inara tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan untuk memeluk Bu Yanti. Rasa bahagia membuatnya melupakan segala yang menjadi ganjalan dalam hatinya beberapa waktu belakangan.

 "Aku hanya akan bekerja sebagai office girl di sana, Bu. Tapi, nggak apa-apa, seenggaknya aku bisa bantu kerja buat adik-adik. Dan lagi, ini perusahaan besar. Office girl pun mereka gaji dengan layak." Inara menambahkan setelah melepas pelukannya.

Ibu Yanti menghela napas. Sebenarnya, ia merasa kasihan dengan Inara yang harus bekerja hanya demi bisa membantu adik-adiknya di panti. Seharusnya, ia bisa bebas menikmati masa muda. Namun bagaimana lagi, Inara adalah kakak tertua. Meski Ibu Yanti tidak pernah meminta, gadis itu cukup tahu diri. Dan lebih daripada itu, Ibu Pengelola pun sering melontarkan sindiran-sindiran pedas terkait keberadaan dirinya.

"Kenapa Ibu kelihatan nggak senang gitu?" Inara bertanya saat terlihat olehnya raut sang ibu yang tampak mendung. "Maaf, mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku cuma punya ijazah SMU, jadi mencari pekerjaan yang bagus agak sulit. Nanti pelan-pelan, aku akan berusaha lagi, Bu."

"Nggak, nggak. Bukan begitu," kilah Ibu Yanti sembari kembali meraih gadis itu dan memeluknya erat-erat, "Ibu hanya sedih karena kamu gak bisa menikmati hasil kerjamu untuk keperluanmu sendiri. Selama ini kamu nggak pernah memikirkan dirimu sendiri, Ra."

Mendengar itu, Inara tersenyum di balik bahu sang ibu. Ia menepuk pelan punggung wanita yang disayanginya sepenuh hati itu.

"Tidak apa, Bu. Aku akan berusaha keras demi Ibu dan adik-adik. Kalian adalah satu-satunya keluargaku. Jadi, ini sudah menjadi kewajibanku juga. Ayo kita lanjutkan dulu masaknya. Kasihan adik-adik, mungkin sudah lapar."

Hanya saja, keyakinan saat menerima pengumuman lolos itu mendadak sirna kala Inara menapakkan kakinya di depan bangunan tinggi berdinding kaca pada hari ini. Rasa percaya dirinya seperti menyusut habis. Sebenarnya, ini kali kedua ia datang kemari, yang pertama adalah saat menyerahkan lamaran pekerjaan sekitar dua minggu yang lalu. Namun, sekarang, entah mengapa rasanya berbeda.

Gadis itu sempat memandang sekilas pantulan bayangan dirinya pada permukaan dinding kaca. Mendesis dengan kecewa, mendapati dirinya terlalu sederhana dibanding dengan para perempuan yang bekerja di sini.

"Seharusnya tadi aku dandan sedikit, biar kelihatan lebih pantas. Ah, tapi nggak apa-apa. Pokoknya aku harus bisa kerja dengan baik." Inara berujar kepada dirinya sendiri disertai senyum optimis, "Anggap aja ini adalah langkah awal buat perbaiki masa depan aku. Ayo, semangat!"

Gadis itu bergegas mengayun langkah menuju pintu front office. Tak lupa, dirapikannya seragam office girl yang sudah ia kenakan sekali lagi, berharap menunjukkan penampilan terbaik meski pekerjaannya mungkin hanya membersihkan kantor. Besok, ia berjanji akan tampil lebih pantas dari hari ini.

"Minggir, minggir! Jangan berdiri di situ, dong!"

Inara tersentak kala bahunya didorong dengan kuat. Ia terhuyung hingga nyaris jatuh sebelum buru-buru berpegangan. Beberapa pegawai perempuan yang berpenampilan agak berlebihan melewatinya dengan langkah buru-buru, tanpa menoleh sama sekali. Sepenuhnya mengabaikan Inara yang terdorong-dorong, seakan gadis itu tidak kelihatan. Inara memilih jalan aman, merapat ke dinding seperti cicak dan membiarkan para perempuan itu lewat dulu.

"Kayaknya hari ini semua orang lagi bersemangat. Mereka sampai lari-lari gitu." Gadis itu bergumam sendiri sembari masih tertegun, memandang para pegawai yang kini berada di sekitar lift. Anehnya, mereka bertingkah seperti tidak sengaja berada di sana, entah apa maksudnya. Inara mengerutkan dahi dengan bingung.

Namun, pertanyaan itu seketika terjawab saat denting suara lift terdengar, disusul pintu berwarna silver yang membuka perlahan.

Menampakkan seseorang yang berjalan keluar dari sana dengan dagu terangkat serta pandangan tajam lurus ke depan.

Para pegawai perempuan yang tadi berbondong-bondong ke sana, menatap terpesona dengan sorot mata memuja pada lelaki yang baru saja keluar dari lift itu.

Namun, tidak dengan Inara. Gadis itu berdiri dengan tubuh membeku, seketika kejadian naas minggu lalu terbayang kembali dalam benaknya dengan sangat jelas.

"Ya Tuhan! Ya Tuhan, apa-apaan itu?" Kepala Inara seperti dipukul keras-keras saat menyadari siapa yang baru saja keluar dari lift.

Segera ia berbalik cepat menuju petugas front office di dekatnya agar tidak berpapasan dengan pria yang masih menjadi pusat perhatian.

"K-Kak, maaf ...." ujarnya terbata-bata kepada perempuan di balik meja.

"Ya?"

"Yang barusan lewat itu siapa, ya?" Inara memberanikan diri bertanya.

"Yang barusan lewat? Maksudmu Pak Gavin? Masa sama bos sendiri nggak kenal, sih?"

"B-bos?" Inara menatap gadis di hadapannya dengan bola mata bergetar tak percaya. Orang ini berkata bahwa iblis itu bosnya?

"Ya. Itu Pak Gavin Devano Sanjaya. Chief Executive Officer sekaligus putra pemilik perusahaan ini, SR Corporation." Si gadis menunjuk huruf-huruf besar berwarna emas yang bertuliskan SR di dinding belakang punggungnya.

"Astaga, CEO? Di sini? Benarkah laki-laki itu?" Lagi-lagi, Inara bergumam tanpa sadar kepada dirinya sendiri.

"Kenapa kamu heran begitu? Kayak yang udah kenal aja sama Pak Gavin."

"Ah? Nggak, Kak. Aku–"

"Kenapa? Kamu mau ikut berpartisipasi juga? Asal kamu tau, sebagian besar perempuan di kantor ini mengidolakan Pak Gavin. Dan kamu bisa lihat sendiri gimana penampilan mereka, kan?"

"Iya, Kak."

"Nah, kalau dibandingkan denganmu, kamu masih mau nekat ikut-ikutan juga? Sebaiknya kamu tahu diri lah. Ngaca sana, kira-kira pantes nggak kalo mau ikut kompetisi macam ini?"

Inara terdiam sembari menunduk. Ia sama sekali tidak peduli kepada gadis-gadis yang sedang berkompetisi menarik perhatian Gavin. Namun lebih daripada itu, ia justru merasa takut.

"Gimana kalau dia tahu aku ada di kantor ini? Gimana kalau dia mau sakitin aku lagi? Atau lebih buruk dari itu, gimana kalau dia mau pecat aku? Ya Tuhan, aku baru masuk kerja hari ini."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status