**
Perlu waktu satu minggu untuk Inara memulihkan fisik serta psikisnya. Meski sebenarnya ia butuh waktu jauh lebih lama dari itu, tetapi Inara memaksakan diri melawan luka dan trauma. Sebab, ibu pengelola panti tidak akan memberikan toleransi apapun terkait keadaan yang ia rahasiakan. Jadi, Inara harus tetap membantu Ibu Yanti mengurus adik-adiknya seperti biasa. Memaksa diri sendiri untuk melupakan segalanya dan kembali menjalani hari, seperti tak ada yang terjadi.
“Inara? Inara, coba kamu lihat ini!”
Gadis manis itu sedang membantu Ibu Yanti memasak pagi ini. Saat kemudian suara seruan dari wanita itu, yang membuatnya sontak berhenti memotong sayuran dan memandang ke arah pintu.
“Ya, Bu? Ada apa?”
"Ini, lihat ini. Kamu dapat surat, lho." Wanita separuh baya itu menunjukkan amplop putih bersih yang sepertinya baru ia terima. Membuat Inara mengernyitkan dahi. Pasalnya, ia tidak merasa memiliki sahabat pena yang mungkin akan mengiriminya surat.
"Surat dari siapa, Bu?" tanya Inara pada wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri. Ia meletakkan pisau dan mendekat kepada Bu Yanti.
"Nggak tahu, tapi amplopnya bagus dan ada gambarnya, nih. Coba buka sini, Nak."
Rasa was-was memenuhi hati Inara ketika menerima benda itu. Takut kalau-kalau itu adalah surat tuntutan atau apa. Namun, kala terlihat olehnya print out nama pengirim di bagian depan amplop, wajahnya berubah 180 derajat.
"Ibu, ini dari perusahaan yang aku lamar dua minggu lalu!" Dengan tidak sabar, gadis itu membuka amplop dan mengeluarkan isinya–selembar surat yang tampak resmi. Inara membacanya sekilas sebelum kemudian berseru dengan gembira, "Ibu, aku diterima kerja! Mereka bilang aku boleh kerja di sini!"
"Oh, benarkah? Astaga, syukurlah, Ra. Syukurlah, sepertinya ini perusahaan besar, ya?"
"Besar." Inara mengangguk dengan bersemangat. "Gedungnya tinggi. Yang kerja banyak, semuanya cantik dan ganteng. Aku bener-bener nggak nyangka akan dapat panggilan."
“Semoga ini memang rezeki kamu ya, Nak. Semoga ini bisa menjadi awal yang baik nantinya.”
Inara tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangan untuk memeluk Bu Yanti. Rasa bahagia membuatnya melupakan segala yang menjadi ganjalan dalam hatinya beberapa waktu belakangan.
"Aku hanya akan bekerja sebagai office girl di sana, Bu. Tapi, nggak apa-apa, seenggaknya aku bisa bantu kerja buat adik-adik. Dan lagi, ini perusahaan besar. Office girl pun mereka gaji dengan layak." Inara menambahkan setelah melepas pelukannya.
Ibu Yanti menghela napas. Sebenarnya, ia merasa kasihan dengan Inara yang harus bekerja hanya demi bisa membantu adik-adiknya di panti. Seharusnya, ia bisa bebas menikmati masa muda. Namun bagaimana lagi, Inara adalah kakak tertua. Meski Ibu Yanti tidak pernah meminta, gadis itu cukup tahu diri. Dan lebih daripada itu, Ibu Pengelola pun sering melontarkan sindiran-sindiran pedas terkait keberadaan dirinya.
"Kenapa Ibu kelihatan nggak senang gitu?" Inara bertanya saat terlihat olehnya raut sang ibu yang tampak mendung. "Maaf, mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku cuma punya ijazah SMU, jadi mencari pekerjaan yang bagus agak sulit. Nanti pelan-pelan, aku akan berusaha lagi, Bu."
"Nggak, nggak. Bukan begitu," kilah Ibu Yanti sembari kembali meraih gadis itu dan memeluknya erat-erat, "Ibu hanya sedih karena kamu gak bisa menikmati hasil kerjamu untuk keperluanmu sendiri. Selama ini kamu nggak pernah memikirkan dirimu sendiri, Ra."
Mendengar itu, Inara tersenyum di balik bahu sang ibu. Ia menepuk pelan punggung wanita yang disayanginya sepenuh hati itu.
"Tidak apa, Bu. Aku akan berusaha keras demi Ibu dan adik-adik. Kalian adalah satu-satunya keluargaku. Jadi, ini sudah menjadi kewajibanku juga. Ayo kita lanjutkan dulu masaknya. Kasihan adik-adik, mungkin sudah lapar."
Hanya saja, keyakinan saat menerima pengumuman lolos itu mendadak sirna kala Inara menapakkan kakinya di depan bangunan tinggi berdinding kaca pada hari ini. Rasa percaya dirinya seperti menyusut habis. Sebenarnya, ini kali kedua ia datang kemari, yang pertama adalah saat menyerahkan lamaran pekerjaan sekitar dua minggu yang lalu. Namun, sekarang, entah mengapa rasanya berbeda.
Gadis itu sempat memandang sekilas pantulan bayangan dirinya pada permukaan dinding kaca. Mendesis dengan kecewa, mendapati dirinya terlalu sederhana dibanding dengan para perempuan yang bekerja di sini.
"Seharusnya tadi aku dandan sedikit, biar kelihatan lebih pantas. Ah, tapi nggak apa-apa. Pokoknya aku harus bisa kerja dengan baik." Inara berujar kepada dirinya sendiri disertai senyum optimis, "Anggap aja ini adalah langkah awal buat perbaiki masa depan aku. Ayo, semangat!"
Gadis itu bergegas mengayun langkah menuju pintu front office. Tak lupa, dirapikannya seragam office girl yang sudah ia kenakan sekali lagi, berharap menunjukkan penampilan terbaik meski pekerjaannya mungkin hanya membersihkan kantor. Besok, ia berjanji akan tampil lebih pantas dari hari ini.
"Minggir, minggir! Jangan berdiri di situ, dong!"
Inara tersentak kala bahunya didorong dengan kuat. Ia terhuyung hingga nyaris jatuh sebelum buru-buru berpegangan. Beberapa pegawai perempuan yang berpenampilan agak berlebihan melewatinya dengan langkah buru-buru, tanpa menoleh sama sekali. Sepenuhnya mengabaikan Inara yang terdorong-dorong, seakan gadis itu tidak kelihatan. Inara memilih jalan aman, merapat ke dinding seperti cicak dan membiarkan para perempuan itu lewat dulu.
"Kayaknya hari ini semua orang lagi bersemangat. Mereka sampai lari-lari gitu." Gadis itu bergumam sendiri sembari masih tertegun, memandang para pegawai yang kini berada di sekitar lift. Anehnya, mereka bertingkah seperti tidak sengaja berada di sana, entah apa maksudnya. Inara mengerutkan dahi dengan bingung.
Namun, pertanyaan itu seketika terjawab saat denting suara lift terdengar, disusul pintu berwarna silver yang membuka perlahan.
Menampakkan seseorang yang berjalan keluar dari sana dengan dagu terangkat serta pandangan tajam lurus ke depan. Para pegawai perempuan yang tadi berbondong-bondong ke sana, menatap terpesona dengan sorot mata memuja pada lelaki yang baru saja keluar dari lift itu.Namun, tidak dengan Inara. Gadis itu berdiri dengan tubuh membeku, seketika kejadian naas minggu lalu terbayang kembali dalam benaknya dengan sangat jelas.
"Ya Tuhan! Ya Tuhan, apa-apaan itu?" Kepala Inara seperti dipukul keras-keras saat menyadari siapa yang baru saja keluar dari lift.
Segera ia berbalik cepat menuju petugas front office di dekatnya agar tidak berpapasan dengan pria yang masih menjadi pusat perhatian.
"K-Kak, maaf ...." ujarnya terbata-bata kepada perempuan di balik meja.
"Ya?"
"Yang barusan lewat itu siapa, ya?" Inara memberanikan diri bertanya.
"Yang barusan lewat? Maksudmu Pak Gavin? Masa sama bos sendiri nggak kenal, sih?"
"B-bos?" Inara menatap gadis di hadapannya dengan bola mata bergetar tak percaya. Orang ini berkata bahwa iblis itu bosnya?
"Ya. Itu Pak Gavin Devano Sanjaya. Chief Executive Officer sekaligus putra pemilik perusahaan ini, SR Corporation." Si gadis menunjuk huruf-huruf besar berwarna emas yang bertuliskan SR di dinding belakang punggungnya.
"Astaga, CEO? Di sini? Benarkah laki-laki itu?" Lagi-lagi, Inara bergumam tanpa sadar kepada dirinya sendiri.
"Kenapa kamu heran begitu? Kayak yang udah kenal aja sama Pak Gavin."
"Ah? Nggak, Kak. Aku–"
"Kenapa? Kamu mau ikut berpartisipasi juga? Asal kamu tau, sebagian besar perempuan di kantor ini mengidolakan Pak Gavin. Dan kamu bisa lihat sendiri gimana penampilan mereka, kan?"
"Iya, Kak."
"Nah, kalau dibandingkan denganmu, kamu masih mau nekat ikut-ikutan juga? Sebaiknya kamu tahu diri lah. Ngaca sana, kira-kira pantes nggak kalo mau ikut kompetisi macam ini?"
Inara terdiam sembari menunduk. Ia sama sekali tidak peduli kepada gadis-gadis yang sedang berkompetisi menarik perhatian Gavin. Namun lebih daripada itu, ia justru merasa takut.
"Gimana kalau dia tahu aku ada di kantor ini? Gimana kalau dia mau sakitin aku lagi? Atau lebih buruk dari itu, gimana kalau dia mau pecat aku? Ya Tuhan, aku baru masuk kerja hari ini."
***
**"Kamu mau tuker jadwal sama aku, nggak?"Inara mencolek bahu salah satu teman sesama office girl yang baru saja datang dan masih menyimpan tasnya di dalam loker.Beberapa saat yang lalu, Inara baru menyadari bahwa dirinya akan bertugas di ruang meeting utama yang digunakan Gavin pagi ini. Jadi, gadis itu buru-buru mengatur strategi. Kalau bisa, ia jangan sampai bertemu dengan Gavin saja."Kenapa harus tuker?" tanya gadis yang sebaya dengannya itu seraya mengangkat alis heran."Aku sebenernya alergi sama AC. Jadi nggak bisa lama-lama di ruangan meeting." Inara mencoba menjelaskan dengan gestur senatural mungkin. Meski ia harus mengucap dusta, bahkan pagi-pagi seperti ini, saat hari belum lagi dimulai.Kedua mata gadis teman Inara itu melebar tak percaya. Ia berujar dengan heboh. "Pagi ini, Pak Gavin yang pakai ruang meeting-nya. Hei! Kesempatan, dong! Kamu bisa cari-cari perhatian dikit sama itu pak bos tampan.""Tapi aku lebih sayang sama badanku," tukas Inara dengan senyum yang ma
**"Ra, kamu sakit, ya?"Pagi ini ketika Inara sedang bersiap-siap berangkat bekerja, Ibu Yanti mencegatnya di ambang pintu kamar. Wanita itu menatap Inara lekat-lekat, tampak heran dengan keadaan si gadis yang tidak seperti biasanya."Sakit?" Inara mengernyit. "Kayaknya sih iya, Bu. Belakangan aku sering pusing tiba-tiba, kayaknya anemiaku kambuh.""Jangan capek-capek, Ra. Nanti mampir beli obat penambah darah di apotik dulu sebelum masuk kantor. Jaga kesehatan, karena nggak ada yang bisa kita andalkan selain diri sendiri." Bu Yanti menepuk lembut bahu gadis itu, yang dibalas dengan seulas senyum manis.Inara merasa bersyukur meski dirinya yatim piatu dan tinggal di panti asuhan sejak kecil, sebab Ibu Yanti selalu siap sedia dengan segala kasih sayangnya. Walau tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu, namun Inara sudah merasa cukup dengan memiliki Ibu Yanti saja."Iya, Bu, nanti aku beli. Aku berangkat dulu, ya," ucap Inara sembari me
**"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam. Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inar
** "Ada apa denganmu? Kamu sakit?" Ibu kepala pengelola panti asuhan bertanya dengan wajah heran, pada malam harinya ketika mereka semua sedang makan malam bersama. Inara sontak menggeleng gugup. Nyaris saja ia tersedak. "Ng-nggak, Bu. Saya nggak sakit, kok. Saya sehat." "Tapi, kamu kelihatan pucat sekali.” Perempuan yang berusia sebaya dengan Ibu Yanti itu menatap Inara dengan seksama–membuat yang bersangkutan gugup luar biasa. Sungguh, Inara merasa seperti ditelanjangi hanya dengan tatapan penuh telisik seperti itu. “Sudah periksa ke dokter? Serius, kamu kelihatan lagi nggak sehat.” "Saya baik-baik aja, Bu,” balas Inara cepat, “Mungkin, ini hanya kecapekan, karena saya bekerja sekarang." "Ah, begitu?" Wanita itu masih pula menatap penuh telisik, sementara Inara mengangguk kecil. "Kamu harus jaga kesehatan, Inara. Karena kamu adalah kakak yang paling tua di panti asuhan ini dan bertanggung jawab membantu adik-adikmu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Mereka semua masih kecil." Ibu
[Lima tahun kemudian]“Siapkan saja mobilnya. Nanti saja di jalan, baru aku pikirkan aku mau ke mana.” Gavin Devano Sanjaya berdiri dari atas kursinya setelah mematikan ponsel. Ia menyimpan benda pipih itu di dalam saku, mengancingkan blazer seraya melangkah menuju pintu. Belum sampai ia menyentuh handle, seseorang dari balik ruangan sudah mendorong pintunya hingga terbuka. “Gavin!” Tanpa sadar lelaki itu mendesis tidak sabar. Ia memandang acuh kepada perempuan cantik yang baru saja muncul dan mencegat langkahnya. “Gavin, kamu mau ke mana? Aku bawakan makan siang.” “Aku ditunggu driver di bawah, maaf Jes.” “Tap– Gavin!” Lelaki rupawan itu mengayun langkah cepat menuju pintu lift di ujung ruangan. Dalam hati membatin dengan jengkel, harus ke kolong langit sebelah mana lagi ia pergi agar perempuan bernama Jessica itu tidak terus mengekorinya. Sebelum Jessica sempat menyusul hingga ke basement, Gavin segera memasuki mobil yang sudah siap menunggu. “Kita jalan ke mana, Pak?” tany
** Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu. Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri. Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini? “Mama? Mama!” Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar. “Mama, kok malah diam?” “Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila. “Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Be
Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?' Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang. “Halo?” “Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.” “Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?” “Sekarang.” Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu. “Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya. “Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?” Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk
**Hari masih sangat pagi dan matahari belum lagi terbit saat Inara membangunkan Aylin. Dengan wajah yang cemas, perempuan itu mengemasi barang-barang penting yang ia perlukan.“Mau ke mana?” tanya sang putri kecil dengan kerutan halus di dahi.“Pergi sebentar, Nak.” Inara tersenyum, mengusap rambut gadis cilik itu. Berusaha tetap tenang meski dalam hati rasanya ingin segera pergi meninggalkan tempat yang ia rasa tak lagi aman. “Aylin mandi sendiri, ya. Mama akan siapkan baju-baju kamu.”“Kita mau pergi ke mana, Mama?”Entahlah, batin Inara gusar. Semuanya begitu mendadak sehingga ia tak punya banyak waktu untuk memutuskan akan pergi ke mana. Asal segera menyingkir dari tempat ini dulu saja, nanti sisanya akan ia pikirkan belakangan.“Nanti Mama kasih tahu kalau sudah di jalan, ya. Cepat ke kamar mandi, nanti kita ketinggalan kereta.”Aylin anak yang penurut. Meski ia punya banyak pertanyaan, ia memilih melaksanakan dulu apa yang dikatakan ibunya ; pergi ke kamar mandi dan membersihka