Share

5. Positif

**

"Ra, kamu sakit, ya?"

Pagi ini ketika Inara sedang bersiap-siap berangkat bekerja, Ibu Yanti mencegatnya di ambang pintu kamar. Wanita itu menatap Inara lekat-lekat, tampak heran dengan keadaan si gadis yang tidak seperti biasanya.

"Sakit?" Inara mengernyit. "Kayaknya sih iya, Bu. Belakangan aku sering pusing tiba-tiba, kayaknya anemiaku kambuh."

"Jangan capek-capek, Ra. Nanti mampir beli obat penambah darah di apotik dulu sebelum masuk kantor. Jaga kesehatan, karena nggak ada yang bisa kita andalkan selain diri sendiri." Bu Yanti menepuk lembut bahu gadis itu, yang dibalas dengan seulas senyum manis.

Inara merasa bersyukur meski dirinya yatim piatu dan tinggal di panti asuhan sejak kecil, sebab Ibu Yanti selalu siap sedia dengan segala kasih sayangnya. Walau tidak pernah tahu siapa orang tua kandungnya dan bagaimana dirinya berakhir di tempat itu, namun Inara sudah merasa cukup dengan memiliki Ibu Yanti saja.

"Iya, Bu, nanti aku beli. Aku berangkat dulu, ya," ucap Inara sembari meraih tangan sang ibu dan menciumnya sebelum bergegas berangkat.

Hanya saja, mendadak kepalanya kembali terasa pusing begitu tiba di kantor. Perutnya juga tiba-tiba terasa tidak enak. Terpaksa, Inara menyeduh secangkir teh panas. Daripada seharian nanti ia semakin sakit dan tidak bisa melanjutkan bekerja.

"Kamu kenapa? Sakit kah?" tanya kawannya sesama office girl dengan wajah heran saat melihat hal itu, "pagi-pagi udah ngeteh aja. Tumben banget, biasanya nggak pernah begitu."

"Nggak tau. Badanku agak nggak enak. Mungkin masuk angin, agak mual dikit." Inara menjawab dengan mengulas senyum sembari menghirup tehnya. 

Entah mengapa mencium aromanya yang wangi–menenangkan perut Inara yang bergejolak tidak menyenangkan. Ia memejamkan mata, menikmati minuman hangat yang mengalir membasahi kerongkongan. Rasanya nyaman sekali.

"Mual? Kamu kayak ibu hamil aja deh, Ra. Atau jangan-jangan hamil beneran, tuh?" canda sang teman lalu meninggalkannya dengan tawa pelan.

Deg!

Mendengar itu, Inara menelan saliva yang mendadak terasa pahit. Temannya tadi mengucapkan dengan nada bercanda, namun benak Inara menangkap candaan itu dengan rasa ngeri yang hebat.

Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari dalam tas kecilnya untuk memeriksa kalender.

Jika minggu ini adalah minggu ke-4 sejak Inara bekerja di sini, maka sudah sekitar 6 minggu berlalu sejak kejadian naas itu. Gadis itu meletakkan gelas tehnya sebab khawatir benda itu akan jatuh. Tangannya benar-benar gemetar.

"Ini nggak mungkin." Gadis itu menggeleng keras dengan mata yang sudah bersaput kabut. Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan gemuruh yang mendadak menguasai hati. Ini masih pagi, dan masih ada sepanjang hari yang harus ia habiskan di sini. Maka gadis itu hanya bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.

Sayangnya, kekhawatiran itu tak kunjung usai, bahkan setelah gadis itu selesai bekerja. Maka, meski dengan menahan rasa malu dan takut, ia akhirnya memutuskan pergi ke apotek terdekat untuk membeli test-pack. Inara tidak akan merasa tenang sebelum ia membuktikan sendiri bahwa semua ini tidaklah benar. Ya, ia yakin ini hanya masuk angin dan bukan hamil.

Kemudian pada pagi harinya, sekitar pukul setengah lima Inara mengendap-endap keluar dari kamar. Ia memastikan tak seorang pun sudah bangun. Bahkan, Ibu Yanti.

Ia bergegas memasuki kamar mandi dan menyebut segala doa yang bisa ia ingat sebelum menggunakan benda yang seumur hidup baru kali ini ia lihat bentuk aslinya itu. Ya, test-pack itu. Masih Inara pegang dalam hati keyakinan bahwa ia tidak hamil. Ia hanya akan memastikan semua ini.

"Aku harus lakuin ini," ucap gadis itu menguatkan diri. "Aku harus lihat sendiri gimana hasilnya sebelum terlambat. Dan kalau memang terjadi, aku bisa cari jalan keluarnya sesegera mungkin. Ya Tuhan, nggak. Nggak akan terjadi apa-apa, aku yakin."

Masih berdiri dengan gamang di dalam kamar mandi yang dingin, diremasnya kaus pada bagian perut. Nah, bagaimanapun ia meyakinkan diri, namun tetap saja. Sungguh, tak terbayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya pada hari-hari ke depan jika perbuatan Gavin itu menyebabkan sesuatu benar-benar tumbuh di dalam sana.

Hening sesaat sementara Inara menunggu sesuatu terjadi dengan benda di tangannya. Demi Tuhan, detak jantungnya seperti bertalu-talu. Setelah beberapa detik menunggu dalam ketegangan, Inara mengangkat benda persegi panjang kecil itu pelan-pelan. Hanya demi menemukan alat tersebut menunjukkan dua garis–positif.

Kedua tangan gadis itu gemetar hebat. "Nggak, ini nggak benar. Pasti alatnya udah rusak. Aku harus coba lagi!”

Dengan disertai air mata yang mulai berlinangan, Inara mencoba tiga test-pack lain yang sudah ia beli. Dan naas, beberapa benda itu kesemuanya menunjukkan hasil yang sama. Dua garis. Benar, semuanya positif.

Tubuh mungil itu merosot, luruh menuruni dinding dan lunglai di atas lantai kamar mandi. Inara tak lagi mampu menahan tangis. Isaknya bergema, memenuhi kamar mandi pada pagi hari yang dingin itu. "Kenapa ini terjadi sama aku? Apa salahku? Kenapa harus aku yang menanggung semua ini?"

Hancur sudah dua puluh satu tahun yang setengah mati ia perjuangkan. Redam semua harapan dan cita-cita untuk memperbaiki hidup. Inara sama sekali tidak tahu, bagaimana ia melanjutkan hari-hari kedepan sesudah ini.

"Inara? Inara, apa kamu di dalam? Kamu nggak apa-apa, Nak? Kamu baik-baik aja, kan? Inara, buka pintunya, ini Ibu!" Suara Ibu Yanti terdengar di luar kamar mandi seiring dengan ketukan keras pada daun pintu.

Tak ada lagi kekuatan yang dimiliki gadis itu. Maka, ia merangkak menuju pintu dan menarik selot kuncinya hingga terbuka. Membuat Ibu Yanti menjerit tertahan sebab menyaksikannya lunglai di atas lantai.

"Inara! Kamu kenapa? Astaga, ini pasti karena anemia yang kata kamu kemarin, ya?"

"Ibu ...."

"Ayo berdiri, kita masuk ke dalam! Nanti kamu bisa masuk angin! Ayo, nak! Kamu pegang ap–"

Kedua mata Ibu Yanti terbelalak penuh setelah melihat benda kecil yang berserakan di sekitar Inara. Wanita itu perlahan melangkah masuk dan memungut beberapa test-pack yang berjatuhan. Kedua matanya kembali melebar dengan ngeri. Ia menutup mulut, mencegah dirinya sendiri berteriak.

"I-Inara?" Ibu Yanti berusaha tenang sementara memungut beberapa test-pack itu. Wanita itu tahu, bukan saatnya mencecar Inara dengan banyak pertanyaan di sini. Tidak di tempat ini. "Kita beresin ini dulu, lalu masuk sebelum ada orang lain yang lihat, dan sebelum adik-adikmu bangun. Ayo, kita masuk, Nak."

Selama beberapa saat, dua perempuan itu hanya saling berangkulan dalam tangis setelah kembali berada di dalam kamar. Ibu Yanti tak bisa membendung rasa kasihan atas cobaan hidup yang Inara dapatkan.

"Kamu ingat orangnya, Nak? Kamu ingat orang yang melakukan ini sama kamu?" Wanita separuh baya itu mencoba bertanya. Dan hal itu membuat Inara justru kian tergugu.

"Kita cari orangnya, Nak!"

"Bu-buat apa, Bu?" tanya gadis itu di sela tangisnya.

"Minta pertanggungjawaban dari dia! Kamu nggak bisa diam aja, ini nggak adil. Minta dia buat tanggung jawab atas perbuatannya, Ra."

Inara sontak menggeleng. Meminta pertanggungjawaban kepada Gavin? Apakah itu mungkin? Mengingat bagaimana lelaki itu bersikap, Inara yakin pria itu tidak ingat bahwa dirinya sudah melakukan kejahatan sebesar itu. Dan lagi dengan posisi serta status sosial yang lelaki itu sandang? Sekali lagi, Inara menggeleng putus asa.

"Orang seperti dia nggak mungkin sudi tanggung jawab."

"Jadi kamu tahu siapa orangnya?" Ibu Yanti tampak terbelalak. Ia cengkeram erat kedua bahu kecil yang masih bergetar sebab si empunya tak berhenti menangis. "Inara, bilang sama Ibu siapa orangnya! Ibu yang akan bikin perhitungan sama dia! Bilang sama Ibu, di mana dia tinggal!"

Bagaimana Inara bisa mengatakan bahwa orang yang telah menanamkan benih ke dalam rahimnya adalah Gavin Devano Sanjaya? Pimpinan di tempatnya bekerja sekaligus putra keluarga pemilik kerajaan bisnis di negeri ini? 

Maka, Inara hanya bisa memejamkan mata sementara mencoba menenangkan dirinya sendiri, hingga sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ibu, antar aku cari dokter aja, Bu." 

"Dokter?" ujar Ibu Yanti, bingung.

"Antar aku cari dokter buat aborsi janin ini."

"Inara!”

"Dia belum besar, jadi masih bisa dicegah buat tumbuh. Aku tau orang yang ngelakuin ini nggak mungkin sudi tanggung jawab. Ibu, aku nggak bisa memikirkan jalan lain. Aku nggak mau hamil!"

Wanita paruh baya di hadapan Inara menggeleng–tampak tak setuju. "Memangnya siapa orangnya, Ra? Siapa orangnya sampai kamu seyakin itu dia nggak mau tanggung jawab?"

"A-atasanku di kantor. Bos besar pemimpin perusahaan," lirih Inara pelan. Rasanya, percuma juga bila menyembunyikan ini dari wanita yang telah ia anggap ibu kandungnya itu.

"Ya Tuhan!"

"Aku sama sekali nggak tahu, Bu. Aku nggak tahu kalau ternyata dia adalah pimpinan tempat aku bekerja. Aku baru tahu dia orangnya setelah dua minggu berada di sana. A-aku–"

"Inara, minta pertanggungjawaban sama dia!" desak Ibu Yanti. Wanita itu menatap lurus kedua netra Inara yang bersimbah air mata. “Ibu akan bantu.”

Gadis itu kembali menggeleng keras diiringi air mata yang berlinangan. Teringat kembali bagaimana arogannya Gavin saat itu. Mustahil meminta hal sebesar ini kepadanya. Inara yakin, pria itu hanya akan menganggapnya lelucon.

Lebih daripada itu, Inara tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika harus menghabiskan sisa hidup dengan manusia seperti itu. "Dia jahat, Bu! Aku nggak mau mengandung anak dari laki-laki seperti dia!"

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Geger Waluyo
Setelah lahir besarkan dgn kasih sayang
goodnovel comment avatar
Geger Waluyo
Jaga kandungannya dgn baik sampai lahir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status