**
"Usianya baru empat minggu. Memang belum terlambat untuk memutuskan sekarang, tapi sekali lagi, saya nggak mendukung hal tersebut. Bagaimanapun, dia nggak bisa disalahkan dan kemudian harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan kamu."
Kata-kata dokter itu terus terngiang-ngiang dalam benak Inara. Berputar dalam kepala dan menggores rasa kemanusiaannya dengan tajam.
Kemarin, Ibu Yanti memang menemaninya ke dokter kandungan seperti yang dirinya minta. Namun, Inara belum jadi menggugurkan janinnya saat itu juga, karena bujukan wanita itu. "Semua terserah kamu, Nak. Kamu yang menjalani semua ini. Walau jika memang harus berpendapat, Ibu jelas memilih jangan. Benar kata dokter, bayi ini nggak berdosa. Dia tetap anugerah dari Tuhan, walaupun kamu mendapatkannya dengan cara yang tidak benar."Ah, tapi untuk apa pula dipikirkan lebih lanjut? Untuk siapa ia berkeberatan? Anak itu hanya akan menjadi aib jika suatu saat harus lahir. Bahkan sampai matahari terbit dari barat pun, Inara yakin Gavin tidak akan pernah mau mengakuinya.
Benar sekali, ia tidak perlu memikirkan apa-apa lagi. Sebelum janinnya semakin tumbuh membesar.
“ … Inara!”
“Ra!”
Gadis manis itu sontak terkesiap, sementara cepat-cepat menoleh ke arah suara. Salah seorang temannya sedang memanggil dengan wajah kesal sebab Inara sama sekali tidak mendengar.
"Maaf aku nggak dengar," ucap gadis itu dengan tidak enak hati.
"Pulang ajalah sana kalo kamu dateng kerja cuma buat ngelamun! Masa aku manggil sampai beberapa kali, bengong mulu!"
"Maaf." Inara menelan saliva, kepalanya seketika pusing jika mendengar suara keras atau bentakan seperti barusan. "Ada apa?"
"Pak Gavin manggil kamu ke ruangannya sekarang. Cepet ke sana sebelum kamu kena marah!"
“Pak Gavin?” Inara terkesiap untuk kedua kalinya. Seketika hatinya mencelos mendengar nama itu.
“Cepet, Inara. Jangan kayak orang bodoh begitu. Kamu tahu sendiri Pak Gavin orangnya nggak sabaran.”
Inara hanya bisa mengangguk. Dengan langkah lunglai, perempuan itu pun bangkit dari kursi pantry untuk menuju ruangan sang CEO pemimpin perusahaan di lantai lima. Ia berusaha menahan tangis, sebab perasaannya yang semakin tidak menentu.
Gavin. Nama itu membangkitkan rasa nyeri di hati Inara setiap kali mengingatnya. Mengapa ia harus menemuinya di saat seperti ini? Jika saja bisa, ia pasti sudah memilih mangkir dari panggilan itu."Selamat siang." Inara mengetuk pintu perlahan sembari menarik napas panjang sebelum membukanya. Seketika ia menunduk dan mengalihkan pandangan saat terlihat sosok itu, yang sedang berdiri di depan dinding kaca. “Bapak memanggil saya? Apa ada yang harus saya kerjakan?"
"Sepuluh menit lagi ada tamu," kata Gavin singkat.
Inara terpaksa mengangkat wajah dan melayangkan pandangan sekilas. Pria itu hanya sedang berdiri di sana, di seberang ruangannya dengan ponsel di tangan–tanpa sedikitpun memandang ke arah Inara. Ia berujar dengan wajah datar tanpa warna, seakan tak peduli dengan dunia dan isinya."Siapkan sesuatu buat tamunya. Ada dua orang perempuan. Sepuluh menit dari sekarang, jangan kelamaan," perintahnya lagi.Inara hanya mampu mengangguk, mengiyakan dengan suara pelan. Kemudian membungkuk penuh hormat sebelum berlalu meninggalkan ruangan besar yang megah itu.
Tadi, ia sempat membayangkan dirinya berbicara dengan Gavin di sana–memberitahu lelaki itu bahwa dirinya sedang mengandung hasil perbuatannya dan memintanya bertanggung jawab. Namun, semua itu ditepisnya. Entah bagaimana rasanya justru konyol sekali. Inara dapat membayangkan Gavin Devano Sanjaya bisa saja menghempaskannya bagai debu, atau justru menuduhnya mabuk dan semacam itu. Membayangkannya saja, rasanya sudah terlampau mengerikan.Sepuluh menit kemudian, Inara kembali lagi dengan nampan berisi minuman di tangannya. Begitu ia membuka pintu, para tamu itu ternyata sudah berada di sana. Dua orang perempuan yang terlihat seperti ibu dan anak. Sama-sama cantik dan modis, khas orang kalangan atas.
Nah, entah karena pusingnya sudah sulit dikondisikan atau memang sedang terlalu gugup, tangan gemetar Inara nyaris saja menjatuhkan cangkir berisi minuman panas itu. Beruntung, masih nyaris dan belum terjadi.
"Apa kamu nggak bisa kerja? Gimana kalau airnya tumpah dan kena aku?" Perempuan yang lebih muda menghardik dengan keras, hingga Inara tersentak kaget. Ia sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Menunduk dalam-dalam saat melanjutkan menghidangkan minumannya di atas meja.
"Ma-maaf. Saya nggak sengaja, Nona–"
"Bisa-bisanya orang ceroboh begini diterima kerja di perusahaan besar seperti ini?" Kini, wanita yang lebih tua menimpali. "Gavin, kamu kayaknya harus lebih selektif memilih pekerja. Lihat, gimana kalau sampai Jessica terluka? Sama tamu loh, padahal. Dia bisa kurang ajar begini."
"Ah, maaf." Gavin berucap malas dengan suaranya dan tegas dan dalam. Ekor matanya sempat mengerling Inara yang ketakutan. "Akan saya tegur dia nanti. Mungkin anak baru."
Inara sontak menunduk dalam-dalam seraya melangkah mundur. Ia meremas tangannya yang kembali gemetar. Ditambah rasa pusing yang sedari tadi tak hilang-hilang juga, ia berdoa sepenuh hati agar tidak pingsan di tempat itu.
"Harus! Calon nyonya Gavin nggak boleh sampai terluka, dong! Apa kata orang-orang kalau sampai lihat tangan Jessica nggak cantik lagi, nanti? Ke depannya kan dia yang akan temani kamu kalau ada pertemuan dengan klien besar atau perjalanan bisnis ke luar kota."
Sekali lagi, Inara terkesiap. Wanita itu menyebut calon nyonya Gavin? Berarti perempuan cantik yang nyaris terkena air panas tadi adalah—
"Ngapain Kamu masih berdiri di situ? Kamu mau nguping? Nggak sopan banget ikut nyimak pembicaraan orang. Sana, pergi!" hardik perempuan yang lebih tua kembali tanpa perasaan. Ia mengayunkan tangan dengan pandangan penuh cela, seakan Inara adalah pemandangan buruk yang hanya merusak suasana.
Gadis itu hanya mampu mengangguk sekali lagi sebelum melangkah keluar ruangan sembari membawa beban pikiran baru dalam kepalanya.
Gavin sudah memiliki calon istri? Kalau begitu benar keputusan awalnya untuk menggagalkan kehamilan ini. Apa lagi yang bisa diharapkan?"Benar-benar mustahil kalau sampai aku mengaku hamil kepada manusia semacam Gavin. Aku akan datang lagi ke rumah sakit, semua ini harus segera diselesaikan."
**
"Ibu, aku udah bulat sama keputusanku," ujar Inara dengan wajah mendung begitu tiba di panti asuhan sore itu. "Ibu bisa bantu cari dokter atau bidan yang bersedia, nggak? Secepat mungkin."
Perempuan setengah baya yang tengah memasak itu sontak beralih dari depan kompor. Ia memandang iba kepada Inara. "Kamu yakin, Nak? Emang bener-bener nggak mau bicara dulu sama si ... bos itu? Bapaknya si jabang bayi?"
Inara menggeleng lesu. "Sudah aku bilang, Bu, dia sama sekali nggak mengingatku. Dia bahkan kelihatannya mau menikah."
"Gimana, Ra?"
"Tadi calon istrinya ke kantor." Inara menunduk dalam. Hatinya seperti tercabik-cabik saat mengingat kembali perempuan cantik yang membentaknya tadi siang. Ia menggeleng lirih. "Aku nggak tau kenapa harus aku sendirian yang menanggung ini, Bu. Kenapa dia sama sekali nggak terlihat merasa bersalah? Dia sama sekali nggak ingat sama aku yang sudah dia hancurkan seperti ini."
Air mata gadis itu kembali berjatuhan. Ia membiarkan tubuh kecilnya jatuh terduduk di kursi dapur, tak bisa membendung rasa kalut dan putus asa.
"Sudah, sudah jangan nangis, Nak. Nanti kita cari lagi solusinya sama-sama, ya." Ibu Yanti menepuk-nepuk pundak gadis itu dengan lembut. "Kamu sekarang mandi dulu, terus kita makan sama adik-adikmu. Ini hari Selasa, jadi mungkin nanti kepala panti akan datang berkunjung. Jangan kelihatan berantakan ya, Nak? Nanti malam kita bicara lagi. Ibu pasti akan bantu sebesar yang ibu bisa lakukan."
Inara membersit air matanya. Ia mengangguk dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, kemudian bergegas menuju kamar mandi. Dunia memang tidak pernah adil kepada orang-orang sepertinya, tapi bukan berarti segalanya harus berhenti di sini, kan?
Inara mengangguk kepada dirinya sendiri. Menggugurkan janin dalam kandungannya mungkin memang jawaban yang tepat.
Dipandangnya perutnya yang masih datar itu dengan berbagai macam emosi. “Maaf, ya ….”
***
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi