Share

4. Office Girl

**

"Kamu mau tuker jadwal sama aku, nggak?"

Inara mencolek bahu salah satu teman sesama office girl yang baru saja datang dan masih menyimpan tasnya di dalam loker.

Beberapa saat yang lalu, Inara baru menyadari bahwa dirinya akan bertugas di ruang meeting utama yang digunakan Gavin pagi ini. Jadi, gadis itu buru-buru mengatur strategi. Kalau bisa, ia jangan sampai bertemu dengan Gavin saja.

"Kenapa harus tuker?" tanya gadis yang sebaya dengannya itu seraya mengangkat alis heran.

"Aku sebenernya alergi sama AC. Jadi nggak bisa lama-lama di ruangan meeting." Inara mencoba menjelaskan dengan gestur senatural mungkin. Meski ia harus mengucap dusta, bahkan pagi-pagi seperti ini, saat hari belum lagi dimulai.

Kedua mata gadis teman Inara itu melebar tak percaya. Ia berujar dengan heboh. "Pagi ini, Pak Gavin yang pakai ruang meeting-nya. Hei! Kesempatan, dong! Kamu bisa cari-cari perhatian dikit sama itu pak bos tampan."

"Tapi aku lebih sayang sama badanku," tukas Inara dengan senyum yang masih tersemat di bibir. "Ya? Mau ya, kita tukeran? Nanti kalau aku sakit, aku kan jadi terpaksa nggak masuk kerja. Terus nanti kerjaan kamu tambah banyak. Gimana?"

"Duh, sering-sering ajalah begini. Kalau begitu aku ke ruang meeting sekarang, kamu beresin toilet dan pantry. Eh, ngomong-ngomong, penampilan aku udah oke, kan?"

“Cantik banget.” Inara mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar pula. 

Gadis teman Inara itu berlalu pergi dengan riang setelah berkata demikian–menyisakan Inara sendirian yang justru menghela napas lega. 

Tiga minggu sudah Inara bekerja di kantor sebesar ini, setiap hari ia harus kucing-kucingan agar tidak bertemu muka dengan Gavin. Meski sebenarnya peluang bertemu pun kecil sebab pria tampan itu jarang berkeliaran di dalam kantor–karena terus berada di ruang pribadinya di lantai atas, atau ruang meeting. Nah, tetapi Inara tetap lebih senang jika bisa menghindarinya.

"Aku nggak tahu sampai kapan bisa beruntung terus, bisa hindarin dia seperti ini. Tapi aku harap memang jangan pernah ketemu sama dia lagi. Biarlah yang sudah berlalu, nggak perlu aku ingat-ingat lagi." Gadis itu bergumam kepada dirinya sendiri sembari bersiap-siap mengambil kain untuk mengelap meja pantry. "Pekerjaan ini nggak terlalu berat dan gajinya lumayan. Jadi sayang kalau suatu saat aku terpaksa resign. Susah cari kerja kalau hanya pakai ijazah SMU. Jadi kalau bisa, harus aku pertahan–"

"Hei, kamu! Tolong, buatkan aku kopi."

Inara segera melempar kain lapnya dan berbalik saat mendengar suara memerintah datang dari ambang pintu.

"Baik, Pa–"

Deg!

Gadis itu terpaksa menggantung kalimatnya di ujung lidah kala melihat siapa yang berseru barusan. Ia berdiri tertegun, menatap sosok yang berada di ambang pintu itu. Sesaat Inara rasanya tidak menginjak bumi.

Gavin Devano Sanjaya yang memerintahnya. Benar, Tuan Muda CEO perusahaan sedang berada di ambang pintu pantry dan tengah melayangkan pandangan ketus ke arahnya

Padahal, Inara sudah susah payah menghindarinya sampai rela bertukar shift. Tapi mengapa lelaki itu justru keluyuran hingga ke pantry? Sekarang Inara hanya mampu menunduk dengan tubuh gemetar hebat, menunggu entah apa yang akan Gavin lakukan karena sudah melihatnya di sana. Segala doa gadis itu ucapkan dalam hati, semoga karier bekerjanya yang baru saja dimulai ini masih bisa diselamatkan.

"Kenapa malah diam di situ? Aku bilang buatkan aku kopi. Apa kata-kataku kurang jelas?"

Tersentak kaget, Inara terburu-buru mengangguk dan berbalik untuk menyiapkan apa yang lelaki itu minta. Tangannya gemetaran mengambil cangkir kosong dari rak.

"Antar ke ruang meeting sekalian. Jangan lebih dari lima menit.

"Ba-baik, Pak."

Pintu pantry kembali terbanting menutup–menyisakan Inara yang terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia berdiri tertegun dengan cangkir dalam genggaman.

Apakah Gavin tidak mengenali dirinya? 

"Dia kayaknya bener-bener nggak ingat sama aku," gumam Inara tanpa sadar, "Jadi, buat apa aku repot-repot menghindarinya, kalau sendirinya saja nggak ingat apa yang terjadi?”

Lama, perempuan itu termenung sembari mengerjakan tugasnya. Awangnya berkelana, terpaksa mengingat kembali kejadian malam itu. Ya, Inara yakin seratus persen bahwa pria itu adalah bos besarnya. Ia sama sekali belum lupa dengan wajahnya.

“Tentu saja dia nggak ingat. Memangnya aku siapa? Lagi pun, dia pasti sudah biasa berganti-ganti pasangan.” Sembari menggeleng lirih, diangkatnya nampan berisi secangkir kopi hitam itu dan dengan hati-hati membawanya ke ruang meeting.

Gavin berada di sana sendirian saja. Ah, ada teman Inara yang tadi, sedang membereskan sesuatu di sudut ruangan. Namun tampaknya gadis itu tidak terlihat di mata si bos muda yang tampak asyik sendiri dengan laptopnya. Inara melirik gadis itu sekilas dan melayangkan senyum untuk memberi semangat. 

"S-silakan, Pak. Ini kopi Anda," ucapnya sembari meletakkan cangkir kopinya di depan Gavin dengan tangan gemetaran–merasa belum benar-benar aman berada di dekat lelaki itu. Jika berada pada jarak yang terlampau dekat, rasa takut itu seperti muncul kembali.

Sesudahnya, ia seketika berbalik pergi. Mengayun langkah cepat-cepat untuk menjauh dari Gavin. Hanya saja, langkahnya seketika kembali terhenti kala mendengar seruan dari pria itu. 

"Tunggu!"

Inara sontak melepas handle pintu yang ia genggam. Dengan gugup, ia kembali menghadap sang bos. Tak mampu Inara sembunyikan raut ketakutan dalam wajahnya. 

"Y-ya, Pak?"

"Jangan buat kopi yang terlalu manis. Saya tidak suka." Gavin tampak mengembalikan cangkir ke atas tatakan setelah menghirupnya sedikit.

"Ma-maaf, Pak. Lain kali tidak akan terlalu manis."

"Kamu bisa pergi sekarang."

"B-baik, saya permisi."

Tak tahan lagi, Inara membungkuk kepada Gavin sebelum buru-buru berlalu pergi dari ruangan itu. Jantungnya terasa bertalu-talu dengan keringat dingin mengucur deras serta kepala mendadak pening. Rupanya rasa trauma itu belum sepenuhnya hilang. Meski sikap Gavin biasa saja, seperti bos pada umumnya, namun di mata Inara ia seperti sewaktu-waktu bisa kembali menerkamnya seperti malam naas itu. 

Hanya saja, selama melangkah kembali menuju pantry, ia tak henti berpikir.

Apakah Gavin benar-benar tidak ingat dirinya sama sekali? Padahal, setengah mati Inara berusaha melupakan wajahnya dan kelakuannya yang seperti iblis itu.

Gadis dua puluh satu tahun itu menghela napas pelan. “Apa dia pura-pura?” lirihnya tanpa sadar, “tapi, kalau ini sungguhan dan dia memang benar-benar nggak ingat, haruskah aku bersyukur karena pria iblis itu tidak mengenaliku?”

Beberapa hari kemudian, masih Inara lalui dalam kebimbangan. Apakah pria rupawan itu hanya pura-pura atau benar-benar tidak mengingatnya. Namun kemudian, keraguan yang terus mengganggu benak Inara pun sirna. Setelah beberapa kali kesempatan ia berpapasan dengan Gavin, atau bahkan diminta melakukan sesuatu yang berkaitan dengannya, misalnya membuatkan kopi, pria itu memang sama sekali tidak mengenali Inara sebagai gadis yang pernah ia rebut kehormatannya dengan kejam.

Gavin memang tidak mengenalinya sedikitpun. Semudah itu ia melupakan bencana yang sudah dirinya sebabkan.

Namun sekali lagi, Inara tidak tahu. “Apakah ini adalah hal yang patut aku syukuri?”

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
NENG NURWANIH
lanjut Thor smoga s ceo ingat akan Inara ya thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status