Share

4. Office Girl

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-07 13:20:36

**

"Kamu mau tuker jadwal sama aku, nggak?"

Inara mencolek bahu salah satu teman sesama office girl yang baru saja datang dan masih menyimpan tasnya di dalam loker.

Beberapa saat yang lalu, Inara baru menyadari bahwa dirinya akan bertugas di ruang meeting utama yang digunakan Gavin pagi ini. Jadi, gadis itu buru-buru mengatur strategi. Kalau bisa, ia jangan sampai bertemu dengan Gavin saja.

"Kenapa harus tuker?" tanya gadis yang sebaya dengannya itu seraya mengangkat alis heran.

"Aku sebenernya alergi sama AC. Jadi nggak bisa lama-lama di ruangan meeting." Inara mencoba menjelaskan dengan gestur senatural mungkin. Meski ia harus mengucap dusta, bahkan pagi-pagi seperti ini, saat hari belum lagi dimulai.

Kedua mata gadis teman Inara itu melebar tak percaya. Ia berujar dengan heboh. "Pagi ini, Pak Gavin yang pakai ruang meeting-nya. Hei! Kesempatan, dong! Kamu bisa cari-cari perhatian dikit sama itu pak bos tampan."

"Tapi aku lebih sayang sama badanku," tukas Inara dengan senyum yang masih tersemat di bibir. "Ya? Mau ya, kita tukeran? Nanti kalau aku sakit, aku kan jadi terpaksa nggak masuk kerja. Terus nanti kerjaan kamu tambah banyak. Gimana?"

"Duh, sering-sering ajalah begini. Kalau begitu aku ke ruang meeting sekarang, kamu beresin toilet dan pantry. Eh, ngomong-ngomong, penampilan aku udah oke, kan?"

“Cantik banget.” Inara mengacungkan jempolnya dengan senyum lebar pula. 

Gadis teman Inara itu berlalu pergi dengan riang setelah berkata demikian–menyisakan Inara sendirian yang justru menghela napas lega. 

Tiga minggu sudah Inara bekerja di kantor sebesar ini, setiap hari ia harus kucing-kucingan agar tidak bertemu muka dengan Gavin. Meski sebenarnya peluang bertemu pun kecil sebab pria tampan itu jarang berkeliaran di dalam kantor–karena terus berada di ruang pribadinya di lantai atas, atau ruang meeting. Nah, tetapi Inara tetap lebih senang jika bisa menghindarinya.

"Aku nggak tahu sampai kapan bisa beruntung terus, bisa hindarin dia seperti ini. Tapi aku harap memang jangan pernah ketemu sama dia lagi. Biarlah yang sudah berlalu, nggak perlu aku ingat-ingat lagi." Gadis itu bergumam kepada dirinya sendiri sembari bersiap-siap mengambil kain untuk mengelap meja pantry. "Pekerjaan ini nggak terlalu berat dan gajinya lumayan. Jadi sayang kalau suatu saat aku terpaksa resign. Susah cari kerja kalau hanya pakai ijazah SMU. Jadi kalau bisa, harus aku pertahan–"

"Hei, kamu! Tolong, buatkan aku kopi."

Inara segera melempar kain lapnya dan berbalik saat mendengar suara memerintah datang dari ambang pintu.

"Baik, Pa–"

Deg!

Gadis itu terpaksa menggantung kalimatnya di ujung lidah kala melihat siapa yang berseru barusan. Ia berdiri tertegun, menatap sosok yang berada di ambang pintu itu. Sesaat Inara rasanya tidak menginjak bumi.

Gavin Devano Sanjaya yang memerintahnya. Benar, Tuan Muda CEO perusahaan sedang berada di ambang pintu pantry dan tengah melayangkan pandangan ketus ke arahnya

Padahal, Inara sudah susah payah menghindarinya sampai rela bertukar shift. Tapi mengapa lelaki itu justru keluyuran hingga ke pantry? Sekarang Inara hanya mampu menunduk dengan tubuh gemetar hebat, menunggu entah apa yang akan Gavin lakukan karena sudah melihatnya di sana. Segala doa gadis itu ucapkan dalam hati, semoga karier bekerjanya yang baru saja dimulai ini masih bisa diselamatkan.

"Kenapa malah diam di situ? Aku bilang buatkan aku kopi. Apa kata-kataku kurang jelas?"

Tersentak kaget, Inara terburu-buru mengangguk dan berbalik untuk menyiapkan apa yang lelaki itu minta. Tangannya gemetaran mengambil cangkir kosong dari rak.

"Antar ke ruang meeting sekalian. Jangan lebih dari lima menit.

"Ba-baik, Pak."

Pintu pantry kembali terbanting menutup–menyisakan Inara yang terbelalak tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia berdiri tertegun dengan cangkir dalam genggaman.

Apakah Gavin tidak mengenali dirinya? 

"Dia kayaknya bener-bener nggak ingat sama aku," gumam Inara tanpa sadar, "Jadi, buat apa aku repot-repot menghindarinya, kalau sendirinya saja nggak ingat apa yang terjadi?”

Lama, perempuan itu termenung sembari mengerjakan tugasnya. Awangnya berkelana, terpaksa mengingat kembali kejadian malam itu. Ya, Inara yakin seratus persen bahwa pria itu adalah bos besarnya. Ia sama sekali belum lupa dengan wajahnya.

“Tentu saja dia nggak ingat. Memangnya aku siapa? Lagi pun, dia pasti sudah biasa berganti-ganti pasangan.” Sembari menggeleng lirih, diangkatnya nampan berisi secangkir kopi hitam itu dan dengan hati-hati membawanya ke ruang meeting.

Gavin berada di sana sendirian saja. Ah, ada teman Inara yang tadi, sedang membereskan sesuatu di sudut ruangan. Namun tampaknya gadis itu tidak terlihat di mata si bos muda yang tampak asyik sendiri dengan laptopnya. Inara melirik gadis itu sekilas dan melayangkan senyum untuk memberi semangat. 

"S-silakan, Pak. Ini kopi Anda," ucapnya sembari meletakkan cangkir kopinya di depan Gavin dengan tangan gemetaran–merasa belum benar-benar aman berada di dekat lelaki itu. Jika berada pada jarak yang terlampau dekat, rasa takut itu seperti muncul kembali.

Sesudahnya, ia seketika berbalik pergi. Mengayun langkah cepat-cepat untuk menjauh dari Gavin. Hanya saja, langkahnya seketika kembali terhenti kala mendengar seruan dari pria itu. 

"Tunggu!"

Inara sontak melepas handle pintu yang ia genggam. Dengan gugup, ia kembali menghadap sang bos. Tak mampu Inara sembunyikan raut ketakutan dalam wajahnya. 

"Y-ya, Pak?"

"Jangan buat kopi yang terlalu manis. Saya tidak suka." Gavin tampak mengembalikan cangkir ke atas tatakan setelah menghirupnya sedikit.

"Ma-maaf, Pak. Lain kali tidak akan terlalu manis."

"Kamu bisa pergi sekarang."

"B-baik, saya permisi."

Tak tahan lagi, Inara membungkuk kepada Gavin sebelum buru-buru berlalu pergi dari ruangan itu. Jantungnya terasa bertalu-talu dengan keringat dingin mengucur deras serta kepala mendadak pening. Rupanya rasa trauma itu belum sepenuhnya hilang. Meski sikap Gavin biasa saja, seperti bos pada umumnya, namun di mata Inara ia seperti sewaktu-waktu bisa kembali menerkamnya seperti malam naas itu. 

Hanya saja, selama melangkah kembali menuju pantry, ia tak henti berpikir.

Apakah Gavin benar-benar tidak ingat dirinya sama sekali? Padahal, setengah mati Inara berusaha melupakan wajahnya dan kelakuannya yang seperti iblis itu.

Gadis dua puluh satu tahun itu menghela napas pelan. “Apa dia pura-pura?” lirihnya tanpa sadar, “tapi, kalau ini sungguhan dan dia memang benar-benar nggak ingat, haruskah aku bersyukur karena pria iblis itu tidak mengenaliku?”

Beberapa hari kemudian, masih Inara lalui dalam kebimbangan. Apakah pria rupawan itu hanya pura-pura atau benar-benar tidak mengingatnya. Namun kemudian, keraguan yang terus mengganggu benak Inara pun sirna. Setelah beberapa kali kesempatan ia berpapasan dengan Gavin, atau bahkan diminta melakukan sesuatu yang berkaitan dengannya, misalnya membuatkan kopi, pria itu memang sama sekali tidak mengenali Inara sebagai gadis yang pernah ia rebut kehormatannya dengan kejam.

Gavin memang tidak mengenalinya sedikitpun. Semudah itu ia melupakan bencana yang sudah dirinya sebabkan.

Namun sekali lagi, Inara tidak tahu. “Apakah ini adalah hal yang patut aku syukuri?”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
NENG NURWANIH
lanjut Thor smoga s ceo ingat akan Inara ya thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   163. Semuanya Baik-Baik Saja

    **Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   162. Dia Sudah Berubah

    **Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   161. She's Back?

    **“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   160. Usaha Menyatukan

    **Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   159. Memang Lucu

    **“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   158. Rencana Bertemu

    **Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status