Share

Part 10 : Kedatangan Nindy Kemudian Altara

Sinta masih terus saja berjalan membuntuti Mang Inyong, namun setelah sampai di pintu gerbang tiba-tiba turun hujan begitu deras, Sinta pun berlari menuju rumah agar tidak basah kuyup, namun sesampainya di teras rumah, ia melihat Fero dengan seorang gadis cantik duduk saling berdekatan dengan posisi kepala si gadis bersandar pada bahu Fero. Mereka tampak akrab satu sama lain dan juga begitu mesra. Tentu saja Sinta yang melihat semua itu begitu kaget, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu apalagi mengenal gadis tersebut. Segala perasaan berkecamuk dalam hatinya saat itu, ia yang merasa setelah menikah saja tidak pernah diperlakukan mesra dan manja layaknya gadis itu oleh suaminya, maka dengan segera Sinta bergegas ke dalam rumah kemudian masuk ke dalam kamarnya, setelah itu ditutupnya pintu kamar dan ia pun bersandar pada pintu sambil terduduk lemas.

2 kejadian sekaligus dalam kurun waktu yang hampir bersamaan seolah membuat jantungnya hampir lepas, baru saja ia diganggu oleh segerombol pemuda mabuk, ditambah pula setibanya di rumah ia harus menyaksikan suami yang dicintainya bermesraan dengan wanita lain, kini air matanya pun tumpah ruah sudah tak mampu lagi ia bendung.

"Hiiks…hiiks…hiiks… apakah wanita cantik itu yang bernama Nindy? kalau iya…Fero bilang Nindy adalah masa lalunya, dan aku adalah wanita yang saat ini dicintainya, tapi semuanya dusta, ternyata dari awal pernikahan dia benar-benar tidak mencintaiku, ternyata di hatinya hanya ada wanita lain, kenapa hati ini benar-benar sakit sekali, hiiks..hiiks..hiiks...! kalau dengan cara ini kamu ingin membuatku menderita kamu telah berhasil Fero..!" ratap Sinta dengan begitu sedihnya.

~Dalam waktu yang bersamaan di teras rumah~

"Ada apa sih Mang, kok Sinta berlari ketakutan seperti itu?" tanya Fero

"Itu Tuan, Non Sinta tadi diganggu sama gerombolan pemuda mabuk di persimpangan jalan, tadi tangan Non Sinta ditarik-tarik gitu Tuan, dipaksa ikut dengan mereka, untungnya pas saya lewat, pada saat itu saya melihat Non sinta dikerubutin pemuda mabuk itu, lalu saya mengancam mereka untuk melaporkannya pada Tuan Fero, begitu saya berpura-pura telfon Tuan mereka akhirnya pergi Tuan. Kasihan Non Sinta tuan dia sangat ketakutan sekali!" Mang Inyong menjelaskan dengan detail kepada Fero.

"Sebentar ya sayang, aku lihat dulu dia di dalam!" pamit Fero pada Nindy, sementara Nindy menjawab Fero dengan anggukan kepala.

Dengan terburu-buru Fero berjalan menuju ke kamar Sinta, barisan tangga dihadapannya tersebut ia lalui dengan cepat, karena sudah hafal disetiap tingkatan yang ia pijak meski tanpa melihat bahkan tanpa menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian Fero sudah sampai di depan kamar Sinta, ia pun mengetuk pintu kamar.

"Tok..tok..tok…!"

"Siapa …?" tanya Sinta dari dalam kamar

"Aku…Fero…!" jawab Fero seraya menunggu untuk dibukakan pintu.

"Ada apa?" tanya Sinta dari dalam kamar.

"Buka dulu pintunya, aku mau bicara!" 

Atas permintaan Fero, akhirnya Sinta pun membuka pintu kamar.

"Kamu itu kenapa?" tanya Fero begitu melihat Sinta membukakan Pintu, namun Sinta masih saja diam dan berdiri diantara daun pintu tanpa mempersilahkan Fero untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Aku tidak apa-apa!"

"Kalau tidak apa-apa kenapa kamu menangis?" tanya Fero menyelidik karena terlihat jelas olehnya mata Sinta yang sembab dan pipinya yang masih basah.

"Aku hanya ingin menangis saja!" jawab Sinta singkat.

"Barusan Mang Inyong bilang kalau kamu diganggu oleh gerombolan pemuda mabuk, apa benar begitu?"

"Iya…!"

"Ngapain juga sih kamu itu pergi sampai ke persimpangan sana, apa kamu itu kurang kerjaan?"

"Aku hanya ingin jalan-jalan, aku bosan di rumah!"

"Untung saja tadi ada Mang Inyong, kalau tidak, entahlah tidak tau apa yang akan terjadi?!"

"Sudah selesai belum bicaranya? aku tutup dulu pintunya, aku ngantuk!" sahut Sinta sambil menutup pintu.

"Loh, hey..aku belum selesai bicara, woeyy...!" teriak Fero sambil menggedor pintu.

Sinta tidak menghiraukan teriakan Fero, ia tetap saja menutup pintu kamar dengan rapat. Kemudian direbahkannya dirinya ke tempat tidur, Sinta masih syok dengan 2 kejadian yang baru saja ia alami, sekujur tubuhnya masih gemetaran, antara ketakutan dan sakit hati serasa bercampur aduk menjadi satu. Ia sengaja tidak mengutarakan kekesalannya itu kepada Fero karena baginya memang Fero dengan sengaja melakukan semuanya itu untuk membuatnya sakit hati, sesuai dengan apa yang dikatakan Fero kepadanya di saat awal pernikahan, oleh karena itu meskipun Fero bertanya kepadanya mengapa ia menangis ia tetap saja diam, Sinta memilih untuk memendamnya sendiri tanpa seorang pun yang tau mengenai kepedihannya, penderitaannya, rasa kecewanya, serta luka hatinya. ia lebih memilih untuk tetap menjalaninya dengan tegar semampu yang ia bisa.

~ Keesokan Harinya ~

Setelah memasak untuk sarapan pagi, Sinta jalan-jalan ke halaman belakang rumah.Tak kalah dari suasana halaman depan rumah, di halaman belakang panoramanya juga begitu indah, tatanan bunga yang berwarna-warni serta rerumputan yang menghijau terlihat begitu sempurna. Sinta berjalan mengelilingi halaman belakang sambil mengembangkan senyumnya yang menawan. Akhirnya tiba jualah ia di ujung pagar halaman belakang, di situ ia melihat istal yang sangat luas, karena ingin tahu dan rasa penasaran yang begitu besar, ia pun mendekati istal tersebut.

"Wah… ternyata banyak sekali kuda di sini, bahkan ada 9 kuda yang berjejer dengan begitu rapi dengan dibuatkan sekat yang terbuat dari kayu, warna bulu kuda, serta besarnyapun berbeda satu dengan yang lainnya!" ucap Sinta.

Dilihatnya salah satu kuda yang berwarna putih sedang menjulurkan lehernya keluar pagar. Dengan pelan dan berhati-hati Sinta meraih kepala kuda sambil berjinjit, lalu dielusnya kepala serta rambutnya, sementara kuda itu sendiri seolah menikmati sentuhan lembut dari Sinta bahkan makin menundukkan kepalanya sambil menggerakkannya dengan perlahan.

"Kamu sangat gagah sekali ya! bulumu sangat halus, lembut dan juga bersih!" sapa Sinta pada kuda yang berwarna putih.

"Siapa yang mengijinkan kamu menyentuh kuda itu?" teriak Fero mengagetkan Sinta

"Aku hanya mengelus kepalanya saja!" jawab Sinta singkat.

"Apa bedanya menyentuh dan mengelus? berarti tanpa seijinku kamu telah menyentuhnya kan?"

"Baiklah, aku minta maaf! "

"HHiiikkkk…..!"

Kuda berwarna putih tiba-tiba meringkik sambil mengangkat kakinya ke atas seolah tak terima Fero memarahi Sinta di depannya. Binatang seperti halnya manusia mereka mengerti apa yang terjadi disekitarnya. Karena kaget dengan tingkah kuda tersebut yang sangat tiba-tiba, sontak Sinta membalikkan badan dan berlari ketakutan. Tanpa disengaja Sintapun menabrak tubuh Fero hingga terjatuh dan merekapun saling bertatapan satu sama lain, hingga membuat keduanya hanyut dalam suasana romansa. Menyadari akan hal itu Sinta segera bangun serta menjaga jarak dari Fero.

"Kenapa haa? apa kamu takut aku akan menyentuhmu atau memelukmu? jangan besar kepala ya kamu! sedikitpun aku sama sekali tidak tertarik kepadamu, sudah ku katakan kepadamu kalau aku…,"

"Kalau kamu sedikitpun tidak pernah mencintaiku, kalau kamu sangat membenciku, kalau kamu ingin membalas dendam kepadaku, jangan khawatir aku selalu mengingat hal itu! aku juga sadar kalau aku sama sekali tidak berarti apa-apa bagimu, begitu kan?!" Sahut Sinta, kemudian berlari meninggalkan Fero sambil berderai air mata.

Baru jarak beberapa meter tanpa sengaja pula Sinta menabrak seorang pemuda. Dengan posisi kedua tangan Sinta mengepal serta bersentuhan dengan dada bidang pemuda tersebut, Tentu saja hal itu membuat mereka saling berpandangan dengan jarak yang sangat dekat. Terlihat jelas oleh Sinta pemuda yang sangat tampan, berkulit putih bersih, dan juga gagah.

"Maaf!" Ucap Sinta kepada pemuda tersebut

"Oke nona, tidak apa-apa! kenapa anda menangis sambil berlari sekencang itu?" tanya sang Pemuda.

"Maaf saya harus pergi!" pamit Sinta pergi tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan si pemuda. Ia masih saja terus menatap ke arah Sinta yang sedang berlari menjauh hingga tak nampak lagi dari pandangannya, kemudian ia pun kembali berjalan mendekati Fero yang tengah asik menepuk-nepuk punggung salah satu kudanya.

"Hai Fero apa kabar?" sapa Altara pada Fero

"Hai Bro…kabar baik! kamu sendiri gimana kabar?" jawab Fero semringah sambil berpelukan erat dengan si pemuda.

"Seperti yang kamu lihat, aku juga sehat dan baik-baik saja! aku jenuh dengan suasana Perkotaan, aku ingin pulang kampung untuk beberapa minggu, bagaimanapun juga aku terlahir di sini, suasana sejuk dan juga hijaunya perkebunan membuat aku tidak pernah berhenti untuk merindukannya!" celetuk Altara.

"Oh ya…. serius? lalu kenapa kamu tidak menelfon dulu sesampainya di bandara, aku kan bisa menjemputmu tadi?"

"Ahhh…itu tidak perlu, aku kan bisa naik taxi, oh ya, ngomong-ngomong siapa gadis cantik yang bertabrakan denganku barusan?"

"Maksud kamu Sinta? jadi dia barusan menabrak kamu? dasar ceroboh yang gak ada habisnnya, kalau gak nabrak orang ya pasti jatuh, hanya itu yang bisa dia perbuat setiap hari!" umpat Fero

"Sinta? siapa dia, lalu kenapa dia berlari sambil menangis?"

"Aku baru saja menikah dengan dia beberapa hari yang lalu!"

"Apa menikah, apa kamu serius? terus kenapa kamu tidak mengundang keluarga besar kita, kamu anggap apa kami semua?"

"Ceritanya panjang Al, nanti saja aku ceritakan!"

"Oh ya…?! tapi tadi aku mendengar jelas pembicaraan kalian, apa benar kamu menikahinya hanya untuk balas dendam, apa benar kamu benar-benar tidak mencintainya?"

"Jadi kamu dari tadi sudah ada di sini dan mendengar semua pembicaraan kami?"

"Iya tadi sesampainya di sini aku mendengar semua pembicaraan kalian, dan sepertinya hubungan kalian tidak sedang baik-baik saja?!"

"Ya... seperti yang kamu dengar, semua itu memang benar!"

"Tapi dia terlihat sangat cantik dan juga baik?"

"Ayolah Al, kamu bukan anak kemarin yang hanya melihat seorang wanita itu cukup dengan sekali bertemu dan hanya melihat penampilan luarnya saja kan?!"

"Justru dari pengalaman yang sudah aku geluti menjalin hubungan dengan banyak wanita selama bertahun-tahun itulah, aku bisa melihat karakter seorang wanita cukup dengan sekali melihat dan menatapnya sekilas saja, hallo bro! usiaku memang lebih muda dari kamu, tapi dalam urusan wanita aku jauh lebih berpengalaman dari kamu loh!"

"Dasar kamu masih tetap saja seorang Altara playboy yang suka gonta-ganti wanita, kalau aku tidak sekedar mengandalkan pengalaman saja dalam menyimpulkan sesuatu, tapi aku juga menyelidikinya seakurat mungkin!"

"Sebagai manusia pasti juga akan melakukan kesalahan kan Fero? seyakin-yakinnya kita, seakuratnya informasi yang kita dapat, kalau pada akhirnya ternyata itu salah… kita bisa apa?! "

"Kenapa kamu bisa bicara seperti itu?"

"Kalau menurut Instingku sih, istrimu itu wanita baik-baik, dia sangat menderita dengan perlakuanmu itu, aku merasa kasihan kepadanya, itu saja yang aku rasakan saat melihatnya menangis tadi!"

"Kita sebagai laki-laki diciptakan bukan berdasarkan insting ataupun feeling, tapi berdasarkan logika, ingat itu saudaraku! sudahlah aku males kita berdebat gak jelas seperti ini, ayo kita masuk kedalam rumah, sinar matahari sudah semakin menyengat ini!" ajak Fero

"Oke..oke!" sahut Altara.

****

Hari itu tidak seperti biasanya Fero pagi-pagi sekali pergi ke perusahaan dan tanpa sepengetahuan Fero, sepupunya yang bernama Altara itu membuntutinya dari belakang. Sesampai di ruangan kerjanya, rupanya Nindy sudah berada di sana, ia sedang membaca sebuah majalah sambil duduk dengan posisi menyilangkan kakinya dengan santai di sofa.

"Apa kamu sudah dari tadi sayang?" tanya Fero sambil mengecup kening Nindy.

"Baru saja aku nyampek kok!" jawab Nindy sembari memeluk mesra Fero.

"Betapa beruntungnya aku ini memiliki kekasih yang cantik dan ngegemesin seperti kamu!" goda Fero sambil tersenyum.

"Oh yea?, Are you Serious?"

"Of course…,I’m Serious!" Fero menjawab pertanyaan Nindy sambil menyentuh ujung hidung Nindy dengan lembut. Sementara Altara tanpa sepengetahuan mereka sedang mengamatinya dari balik tirai jendela ruang kerja Fero.

"Ooow….jadi Fero memiliki wanita lain, pantas saja kemarin dia bilang tidak mencintai istri yang sudah dinikahinya itu, ternyata ini sosok wanita yang dicintainya?" celetuk Altara lirih.

Berbagai pertanyaan menyeruak di benak Altara. Ia semakin bingung dengan yang baru saja ia lihat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, lalu beranjak pergi.

Selama mengendarai mobil yang dikemudikannya itu, Altara masih teringat kejadian yang baru saja disaksikannya. Ia mengemudikan laju mobilnya menuju rumah, setelah sampai di halaman, ia pun segera masuk ke dalam rumah kemudian menuju ke dapur.

"Bik…apa bibik tau di mana nyonya sekarang?" tanya Altara pada Bik Narti

"Maksud tuan Al itu Nona Sinta?" tanya Bibik balik.

"Ya iya atu Bik, kan Nyonya rumah ini cuman ada satu?"

"Ooww...tadi Non Sinta bilang pergi ke sungai tak jauh dari sini Tuan!"

"Oke, makasih ya Bik!" ujar Fero.

Setelah menuju sungai tak jauh dari rumah Fero dan sesampainya di sungai yang dimaksud oleh Bik Narti, benar saja ia melihat Sinta sedang duduk di atas bebatuan sambil mengayunkan kedua kakinya di atas permukaan air sungai. Altara pun segera mendekati Sinta.

"Ehemmm… maaf....!, apa boleh saya duduk di sebelah sini?" ucap Al membuka pembicaraan sambil duduk di atas bebatuan yang jaraknya hanya beberapa meter dari Sinta. Sementara Sinta menjawab pertanyaan Fero dengan menganggukkan kepalanya.

"Wooww…. di sini sangat sejuk sekali, pemandangannya juga indah ya?! apa setiap hari kamu ke sini?"

"Ya, kadang-kadang!" jawab Sinta singkat.

"Apa kamu bahagia menikah dengan sepupuku Fero?"

"Jadi kamu sepupunya Fero?"

"Iya benar,  perkenalkan nama saya Altara!" Al memperkenalkan dirinya.

"Sinta!" jawab Sinta sambil tersenyum ramah

"Ayah saya adalah adik kandung ayah Fero, sejak kecil kami sering bermain bersama, kami sering sekali berenang di sungai ini. Saya, Fadli dan juga Fero sejak kecil kemana-mana selalu pergi bertiga, sungguh masa kecil yang tidak bisa dilupakan begitu saja." ungkap Al sambil tersenyum.

"Lalu Fadli itu siapa, mengapa selama di sini saya tidak pernah melihatnya?"

"Jadi kamu tidak tau siapa itu Fadli?"

"Tidak..!"

"Fadli itu kakak kandung Fero yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, Fero sangat terpukul sekali dengan kepergian Fadli, selain sangat mendadak, ia harus menerima kenyataan bahwa kakak kandung satu- satunya itu telah meninggal dengan cara bunuh diri!"

"Oh ya, aku baru ingat sekarang, saat Fero marah ia pernah menyebut nama itu, ya Faaadlliii, jadi Fadli itu adalah nama kakaknya yang meninggal itu?!" tanya Sinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status