Share

Maaf

Ica menghela nafasnya dengan berat. 'Ish, si Bos Gendeng sensi terus apa, ya? Sepertinya tidak bisa kalau melihat aku tenang?' gumam Ica dalam hati. Walaupun hati menggerutu, namun ia tetap melakukan apa yang diminta bosnya itu.

Ica segera menaruh berkas-berkas itu di meja kerja Modi. Untung saja Modi sedang tidak ada di ruangannya. Ica sedikit bernafas lega. Setidaknya dia tidak harus bertemu Bos Gendeng itu. Saat Ica mulai melangkahkan kaki, dan tangannya menarik pintu, pintu tersebut didorong hingga tertutup kembali. Pintu itu didorong seorang pria yang berada di belakang tubuh Ica.

"Mau kemana terburu-buru?" tutur Modi tersenyum menyeringai sambil mendorong pintu. 

Modi sengaja bersembunyi di balik pintu kamar pribadinya, yang juga tak jauh dari pintu ruangannya. Modi sebenarnya ingin tahu alasan yang membuat Ica menjauhinya di saat semua wanita malah berusaha mengejarnya.

Ica terjingkat melihat kejadian itu.

"Astaghfirullahaladzim."

"Apa seseram itu saya di mata kamu?"  tanya Modi dengan nada mengintimidasi.

"Gak kok, Pak Bos! Kalau mau tahu serem apa tidak jangan sama saya, Pak." Ica mencoba berbicara sesantai mungkin. Yah, walaupun ia tak yakin  jika tak akan kena semprot lagi tidak.

"Maksudmu? Jelas-jelas di ruangan ini hanya ada kamu. Lalu saya bertanya pada siapa?" Semakin geram nada bicara Modi pada kariyawannya itu. Modi benar-benar dibuat kesal oleh seorang Ica.

"Kalau Bapak tanya serem atau tidak, coba tanyakan pada Kuntilanak yang duduk di atas pohon sambil kaki bergoyang-goyang. Mungkin dia lebih tahu jawabannya," jawab Ica nyerocos.

Sontak jawaban Ica membuat emosi Modi naik sampai ke ubun-ubun. Modi mencoba meredakan emosinya dengan menarik napas kemudian membuangnya. "Ica, saya itu sedang berbicara serius. Kenapa kamu kalau berhadapan sama saya, seperti melihat hantu?"

"Ya, habisnya bapak mengagetkan saya terus. Bisa jantungan Pak, saya dikagetkan terus." 

"Maaf!" ucap Modi pertama kali pada kariyawannya.

'Eh, apa aku tidak salah dengar, ya? Si Bos Gendeng ini bilang minta maaf? Ish, sepertinya aku harus memeriksakan telingaku,' batin Ica.

Ica termenung dalam lamunan, hingga membuat Modi merasa Ica kesambet setan. 

"Ica … Ica … Ica," panggil Modi selama tiga kali tak dapat respons. Akhirnya Modi menepuk bahu Ica.

"Ica, kamu baik-baik sajakan? Kenapa kamu melamun?" tanya Modi.

"Eh, maaf Pak Bos! Mungkin saya sedikit halu karena mendengar anda mengucapkan kata maaf. Makanya saya diam saja takut-takut kalau itu setan penunggu ruangan ini yang berbicara," celetuk Ica tanpa rasa bersalah.

Modi langsung menyentil kening wanita itu sekadar menyadarkannya. 

"Awh," ringis Ica.

Tak habis pikir dengan wanita itu, hanya karena Modi meminta maaf sampai berfikir memiliki gangguan pendengaran.

"Kalau bicara itu bisa disaring gak sih?" Modi benar-benar menekan emosinya ke tingkat yang paling rendah. "Saya memang meminta maaf sama kamu tadi, jika saya sering mengagetkan kamu. Memangnya ada yang salah?"

"Gak ada yang salah sih, Pak. Hanya aneh saja. Soalnya baru hari ini saya mendengar 'Bos Besar' meminta maaf," ucap Ica dengan nada menyindir.

Tatapan Modi mengintimidasi pada Ica. Sebegitu tidak suka kah? Atau segitu bencikah Ica pada Modi. Segala macam kemelut pertanyaan itu hadir dalam benaknya.

"Saya juga manusia Ica, punya perasaan juga. Memangnya salah jika saya meminta maaf?" Tatapan Modi terpusat pada Ica.

"Tidak ada yang salah sih, Pak. Oh, ya ada apa bapak menahan saya di ruangan ini?" Pertanyaan itu akhirnya lolos juga dari mulut Ica. 

"Jauhi Wira!" titah tegas Modi. "Jangan pernah mengganggu pekerjaannya!"

'Hah'

Mata Ica terbelalak sempurna. 'Siapa yang juga yang mengganggu Wira. Jelas-jelas aku hanya membantunya," batin Ica.

Bersambung….

Maaf ya up sedikit dulu!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status