Share

Hampir Saja

Wira akhirnya menemukan kabar tentang Alisa. Sedikit info itu, membawa Wira pada titik terang dimana Alisa berada.

Mata Wira dengan teliti, membaca e-mail yang dikirimkan oleh anak buahnya. Wira masih berkutat dalam laptop, hanya sekadar membaca info tentang Alisa.

"Jadi Alisa, sebenarnya ada di Kota ini. Tapi kenapa, aku dan Modi sangat sulit melacaknya, ya?" ucap Wira bermonolog. Bertanya pada diri sendiri yang tentu saja kebingungan.

Tak ingin berlarut dalam kebingungan, Wira meminta foto terbaru milik Alisa. Mungkin saja, jika Alisa merubah dandanannya.

Wira memperhatikan foto itu. Sepertinya, ia mengenali siapa Alisa, yang berada dalam foto itu. Netra Wira semakin terbelalak, saat melihat foto Alisa yang paling terbaru. 

"Apa?! Jadi,  wanita itu adalah Alisa yang dicari, Pak Bos." Wira benar-benar terkejut mendapat kabar itu. Wira pun lebih terkejut lagi ketika mendengar dari anak buahnya jika yang memberi informasi tentang Alisa adalah sahabat dekat Alisa.

Segera Wira mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

"Apa info yang kamu dapatkan itu benar? Dari siapa kamu dapat info tentang Alisa?"

"Saya mendapat kabar itu dari Rina. Dia yang mengirimkan itu semua. Wanita yang menjadi sahabat dekat Alisa. Namun, selalu iri padanya. Rina mengira, jika kami yang mencari Alisa adalah depkolektor yang menagih hutang. Rina membeberkan semua hal tentang Alisa. Mulai dari dandanan yang berubahnya  juga nama panggilan," tutur Dudit dalam panggilan telepon.

"Ok, terimakasih!" Wira segera memutus sambungan telepon itu.

Memperhatikan dengan dalam, wajah Alisa pada foto yang diberikan Modi juga yang diberikan dengan anak buahnya. Mencoba membandingkan apa saja yang berubah dengan dandanan  Alisa, sehingga dia juga tak dapat mengenali wanita yang sedang dicari itu.

"Jadi Ica itu adalah Alisa, yang selama ini dicari pak bos. Tapi kenapa dia ga memberitahu pak bos, ya? Pasti ada sesuatu hal yang disembunyikan!"

Tak ingin berlarut akan semua pertanyaan itu. Wira segera menaiki mobil dan mengendarai dengan kecepatan sedang. Beragam kemelut pertanyaan berada dalam benak Wira. Tentu saja karena wanita yang bernama Alisa itu menutupi siapa identitas aslinya.

Wira memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ica. Melangkah untuk mencari tau, seluruh alasan Ica menyembunyikan identitasnya itu. Namun, rumah Ica masih padam. Lampu di rumah itu belum ada yang menyala.

'Apa Ica masih belum pulang dan masih di kantor ya? Padahal ini sudah jam 10 malam,' gumam Wira dalam hati.

Wira mencoba menelpon Ica, mencari kabar di mana wanita itu berada. Wira terkesiap ketika suara bass yang menjawab ponsel Ica.

"Oh, jadi kamu ada main dengan sekretaris baruku, ya? Pantas saja, Alisa sampai saat ini belum Kau temukan. Itu semua karena Kamu sibuk dekati sekretaris baru itu," ucapan Modi sangat sinis terdengar cukup mengerikan bagi Wira.

'Pak bos? Kenapa dia yang angkat? Jangan-jangan Ica masih di kantor lagi,' gumam Wira dalam hatinya.

"Kenapa kamu diam saja, Wira?!" Sebuah pertanyaan dengan nada membentak itu lolos begitu saja dari mulut Modi.

Semakin terlonjak, semakin berdebar jantung Wira karena sikap Modi, namun dengan mudah Wira menetralisir perasaan itu semua agar tidak diketahui Modi.

"Begini, Pak Bos, maksud saya menelpon Ica adalah untuk meminta tolong padanya. Besok handle meeting dengan PT Kusuma, karena saya mau bersibuk ria mencari Alisa. Memangnya Ica masih di kantor, Pak Bos?" 

Modi terdiam saat mendengar ucapan Wira. Ternyata dugaannya salah. 'Oh, itu toh maksudnya. Kalau untuk membuat tugas Ica semakin sibuk  tak masalah. Namun, jika untuk Wira menyukai Ica siap-siap saja,' gumam Modi dalam hati.

"Pak Bos, masih di sanakan?"

"Iya, aku masih mendengar cerocos mu itu. Ya, sudah cepat Kau kemari jemput aku juga sekretaris itu. Sepertinya tugas yang Kuberikan hari ini cukup untuk jadi pelajaran baginya." Modi tersenyum menyeringai dengan segala rencana baru, agar wanita yang menolaknya itu menyerah.

Wira kembali tancap gas menuju kantor bos super rese itu. Entah, tugas apalagi yang akan diterima nanti. Eh, dalam perjalanan Modi mewanti-wanti dia agar tidak kepincut Ica. Apa Modi telah mengetahui jika Ica itu Alisa? Tapi, itu tidak mungkin mengingat Modi itu sangat membenci Ica. Haduh, kemelut ini semakin membuat kepala Wira berasa ingin pecah.

Wira langsung memasuki kantor menuju ruangan Modi. Terlonjak kaget saat melihat tumpukan berkas yang berada di meja Ica. 'Si bos, tega amat ye. Si Ica dikasih berkas, eh bujug buneng gile. Itu mah bisa bikin manusia modar bediri,' gumam Wira dalam hati.

Ica yang melihat Wira datang, hanya sebatas tersenyum, kemudian kembali pada layar laptopnya. Memfokuskan diri dalam beberapa pekerjaannya yang belum juga usai. Teringat jika Ica belum makan malam membuatnya merasa lapar dan mencari ponselnya.

"Perasaan aku taruh ponsel di meja. Tapi kok ga da ya?" Ica terus mencari membuka berkas-berkas takut ketimpa. Namun, hasil pencarian itu sialnya nihil. Mencelos itu perasaan Ica saat ini. Ponsel itu cukup berarti baginya karena banyak foto-foto kenangan bersama Dion.

Modi dan Wira keluar dari ruangan, melihat Ica yang sedang kebingungan. Senyuman seringai itu lolos begitu saja dari wajah Modi.

"Mencari ini?" tanya Modi sembari menunjukan ponsel Ica.

"Kok bisa, ponsel saya ada sama Pak Modi?"

Modi berjalan mendekati Ica. 

"Sengaja saya sita, tadi saat kamu lagi ke toilet. Antisipasi agar kamu kerjanya jangan main hp. Biar fokus! Nih, ambil ponsel bututmu!" Modi berlalu setelah melemparkan ponsel itu ke arah Ica.

Ica langsung menangkap ponsel itu. Takut jatuh dan malah rusak jadi lebih repot lagi. 

"Lagian dah tau ponsel butut, ngapain coba diambil kalau ga lagi cari masalah? Dasar bos gendeng!" Gerutu Ica sangat kecil dan Modi pun tak mendengar itu karena sudah jauh pergi.

Modi menoleh ke belakang tubuhnya. Dia bingung karena tak melihat Ica mengikutinya. 'Apa wanita itu tak akan pulang? Hadeh, bikin repot aja,' batin Modi. Modi berbalik badan dan menuju meja Ica.

"Apa Kamu mau menginap di sini, dan tidak mau pulang?" 

Ica terlonjak mendengar suara itu. Tentu saja ia ingin segera menyelesaikan tugas itu kemudian pulang. Toh, ancaman bos gendeng itu kan harus selesai semua tugasnya dulu baru pulang.

"Ya, maulah pulang. Cuma gimana lagi? Saya lagi kena apes jadi sekretaris Bos. Katanya ga boleh pulang, sebelum tugas yang bejibun ini kelar," jawab Ica sambil merepet bagai petasan banting.

Modi segera menarik tangan Ica tanpa berkata apapun.

"Apaan sih, Pak Bos tarik-tarik? Sakit tau. Salah apalagi sih saya sama Bapak?" Ica berusaha melepaskan cekalan tangan itu.

Mata Modi menatap tajam Ica dan melepaskan cekalan tangan itu. 

"Katanya mau pulang?"

"Pulang sih pulang, Pak. Tapi masa lupa kalau laptop ga di matiin dulu. Yang ada data-data yang sudah saya kerjakan nanti ilang semua lagi. Bapak pulang duluan ajalah! Saya mau nyimpen file dan matikan laptop dulu." 

Mendengar ucapan Ica Modi segera berlalu dan menuju lobi. Ternyata, di depan pintu lobi sudah ada Wira, dengan membawa mobil untuk membawanya pulang. Modi ingin melangkah keluar, namun pikirannya masih saja memikirkan Ica. Entah daya tarik apa, yang membuat Modi seperti ingin selalu teringat Ica. Wanita itu seperti memiliki magnet tersendiri untuk Modi.

Dalam rasa bimbang memikirkan Ica, akhirnya Modi berbalik arah untuk menjemput Ica. Tapi akibat kerisauan itu, malah membuatnya berjalan setengah berlari hingga menabrak Ica.

'Bugh'

Hampir saja Ica jatuh terjungkal jika Modi tak menahannya dengan sebelah tangan. 

"Maaf, Pak Bos!" tutur Ica dengan tulus.

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status