Hari Sabtu tepatnya malam Minggu yang ditunggu warga kompleks akhirnya datang juga. Malam itu adalah pertemuan arisan yang di adakan ibu-ibu di sana setiap bulan. Ada sekitar 50 orang anggota yang ikut bergabung dalam arisan tersebut dengan pungutan 5 juta rupiah per anggota yang dikumpulkan setiap awal bulan atau minggu pertama bulan baru. Sungguh angka yang cukup fantastis bukan? Setiap bulan akan keluar seorang pemenang dengan total penarikan 250 juta rupiah. Anggota arisan itu tentu saja mereka yang memiliki rumah di kompleks perumahan elit tersebut, berhubung jangka waktu arisan yang cukup lama.
Pengundian pemenang arisan bulan ini diselenggarakan di kediaman Jeng Devi yang mungkin pantas di sebut istana di kawasan itu. Rumah besar bertingkat dua dengan taman yang sangat luas serta di lengkapi pula dengan kolam renang di sisi kanan bangunan itu. Di dalam garasi juga terparkir 3 unit mobil mewah keluaran tahun terbaru. Keluarga Jeng Devi memang bukan keluarga sembarangan. Ia memiliki suami yang pintar mencari uang sehingga kehidupan mereka sangatlah mewah. Suami Jeng Devi menduduki jabatan empuk di sebuah perusahaan migas milik negara. Mereka memiliki sepasang anak remaja. Putra tertua mereka kuliah di Singapura, sedangkan putri kedua atau anak bungsu mereka kuliah di sebuah Universitas ternama di Jakarta.Kediaman Jeng Devi mulai di datangi para tamu undangan. Selain anggota arisan, Jeng Devi juga mengundang penghuni kompleks lainnya tidak terkecuali Nova. Jeng Devi dan Nova dari hari ke hari semakin akrab saja. Entah apa yang membuat mereka seperti itu. Bahkan Nova tidak sungkan-sungkan terkadang menitipkan Tiara di rumah Jeng Devi karena kabarnya baby sitter gadis kecil itu telah berhenti bekerja karena akan melangsungkan pernikahan di kampung halamannya. Malam itu taman rumah Jeng Devi sudah di sulap bagaikan sebuah syurga kecil. Lampu kerlap-kerlip menambah suasana terasa sangat semarak. Taman itu memang selalu di jadikan oleh wanita yang mulai memasuki usia paruh baya itu untuk berbagai hajatan dan pesta. Kebetulan Jeng Devi memang sangat menyukai pesta sehingga ia sering mengundang warga kompleks pada berbagai acara di rumahnya.“Selamat datang, Alena!” Jeng Devi menyambut langsung kedatangan Alena yang baru saja memasuki area pesta.“Hai Jeng...! Jeng kelihatan sangat cantik!” puji Alena menatap takjub penampilan Nyonya rumah tersebut. Jeng Devi memakai gaun panjang berwarna biru langit dengan rajutan benang emas di beberapa bagian gaun itu. Kali ini Jeng Devi memakai perhiasan terbaru berwarna biru pula dengan model terbaru. Lehernya di biarkan terbuka seakan ingin memamerkan perhiasan barunya yang harganya tentu saja membuat para rakyat jelata naik darah.“Hahaha... Kamu bisa aja, Alena! Aku sudah terlalu tua untuk dikatakan cantik!” ujar Jeng Devi dengan wajah berseri-seri dan tawa berderai.“Silahkan, Alena! Cari tempat duduk yang nyaman untukmu!” sambung Jeng Devi sambil memanjangkan sebelah tangannya mempersilahkan Alena memilih kursi yang di atur melingkar mengelilingi beberapa buah meja bundar. Ada sekitar 25 buah meja di sana yang masing-masing dilengkapi 5 kursi yang sudah di tata apik dan sangat cantik.Alena menuju sebuah kursi yang mengelilingi sebuah meja yang berada pada deretan kedua. Dari sana ia bisa melihat para tamu yang mulai berdatangan.Sekitar 10 kemudian, para tamu undangan sudah datang sekitar 70%. Tawa dan candaan terdengar sangat riuh dan ramai.“Hai kamu sudah datang Alena?” tiba-tiba Bu Ratih menepuk bahu Alena.“Eh Bu Ratih! Panitia masa baru datang?” sahut Alena sembari mengerlingkan mata kepada Bu Ratih yang memang bertindak sebagai pengumpul uang arisan.“Hehhe.. Iya Alena. Aku harus mengurus keperluan suamiku yang akan berangkat keluar kota. Ia mengunjungi Ibunya.” ucap Bu Ratih tersenyum. Lalu wanita itu berpamitan untuk menuju ke pintu taman untuk menyambut tamu-tamu.Kursi-kursi yang mengelilingi meja Alena kini hampir dipenuhi oleh anggota arisan yang lain. Ada Bu Asmi, Bu Wati dan Bu Shinta. Mereka bersenda gurau sambil menikmati kue-kue dan minuman yang disajikan di atas meja.Tak lama kemudian Nova terlihat memasuki gerbang taman pesta. Ia terlihat cantik dan anggun dengan memakai gaun panjang berwarna putih berenda. Sepintas lalu Nova seperti bidadari atau Ibu Peri yang turun ke bumi. Ditambah lagi dengan rangkaian mutiara yang menghias leher dan bermekaran di dadanya. Sekitar sepuluh mata berlian menghiasi kalung indah nan mahal tersebut.“Hai sayang... Aku kira kamu tidak datang!” sambut Jeng Devi terdengar sangat berlebihan. Kedua wanita cantik beda usia itu sekejap berangkulan dan cipika-cipiki. Cup..cup..cup...“Ih, tumben Jeng Devi sangat akrab begitu? Makin hari tingkah lakunya makin kecentilan!” celutuk seorang ibu yang berada tidak jauh di belakang Alena.Alena juga terperangah. Apalagi saat membayangkan kemesraan Jeng Devi dengan Arkhan di cafe beberapa malam sebelumnya.“Ada apa dengan mereka berdua? Kolaborasi atau di sertai kompensasi?” dua pertanyaan muncul membelah keheranan Alena melihat tingkah laku Jeng Devi dan Nova.“Ah, mana mungkin saya tidak datang, Jeng. Undangan Jeng Devi adalah sesuatu yang sangat penting yang maha wajib untuk saya penuhi.” Terdengar pula Nova menyahuti sambutan Jeng Devi.“Hahaha... Silahkan duduk, Nova! Aku akan menemanimu setelah menyambut semua tamu!” ujar Jeng Devi mempersilahkan Nova dengan sangat ramah.Sepuluh menit lagi acara akan dimulai, terlihat Bu Winda datang dengan mengenakan gaun malam berwarna lila. Wanita empat puluh tahun itu tiba-tiba saja suka berdandan. Padahal biasanya ia lebih suka tampil simpel dan tidak banyak gaya.Berbeda dengan menyambut kedatangan Nova, Jeng Devi menyambut kedatangan Bu Winda dengan wajah masam dan pandangan tidak bersahabat. Padahal biasanya mereka cukup akrab dan mengobrol hangat jika bertemu.Menyaksikan semua itu Alena hanya tersenyum geli. Mereka berdua tidak ubahnya seperti anak sekolah yang tengah berebutan cinta pertama. Jeng Devi meninggalkan pintu taman pesta yang merupakan pintu masuk. Ia bergegas berjalan menuju tempat duduk Nova dan membiarkan Bu Ratih dan beberapa orang panitia arisan lainnya saja yang menyambut kedatangan Bu Winda.“Selamat datang, Bu Winda!” sapa Bu Ratih sambil menganggukkan kepala dengan ramah ke arah Bu Winda.“Apakah Alena sudah datang, Bu Ratih?” tanya Bu Winda setengah berbisik ke arah Bu Ratih.“Sudah dari tadi, Bu! Tuuu dia..!” seru Bu Ratih sambil menunjuk ke arah Alena dengan jempol tangan kanannya.“Oh, terima kasih!” sahut Bu Winda lalu buru-buru menuju ke arah Alena.Di samping Alena kebetulan ada sebuah kursi kosong tersisa. Bu Winda segera menempati kursi kosong itu.“Kamu tidak berubah pikiran kan, Alena? Jika nama kamu keluar sebagai penerima arisan, kamu akan mengalihkan kepadaku?” tanya Bu Winda terlihat sedikit harap-harap cemas memandang Alena.“Tidak Bu Winda! Aku tidak akan mengingkari janjiku.” sahut Alena tersenyum balas menatap Bu Winda yang duduk di sampingnya.“Terima kasih, Alena!” sahut Bu Winda terlihat lega.Alena hanya mengangguk dan kini perhatiannya telah tertuju ke atas panggung kecil yang sengaja di buat untuk memutar pengundian penerima arisan. Lebih dari seratus pasang mata para tamu menatap ke arah panggung. Sebagian tamu adalah peserta arisan, dan sebagian lagi hanya tamu undangan untuk meramaikan acara bulanan tersebut.“Baiklah, kita akan memulai mengundi penerima arisan bulan ini. Peraturannya masih seperti biasa bahwa yang keluar namanya akan menerima dana bulan ini, dan jika yang bersangkutan belum mau menerima sekarang, bisa di alihkan kepada anggota lain yang ditunjuk oleh yang bersangkutan. Namun bila tidak ada anggota yang di tunjuk maka pengundian akan dilakukan kembali untuk mendapatkan penerima pengganti.” Terdengar suara Bu Ratih membuka acara. Di sampingnya berdiri Jeng Devi selaku Nyonya rumah dan dua orang panitia arisan lainnya.Tepuk tangan yang gemuruh menyahuti kata sambutan dari Bu Ratih. Acara puncak ini memang sangat di tunggu-tunggu terutama bagi anggota yang sedang membutuhkan uang.Di dalam sebuah toples kaca besar bening, terdapat bola-bola berwarna merah. Isi toples di aduk-aduk oleh Bu Ratih dengan tangan kanannya beberapa saat lalu ia mengambil sebuah bola merah sebesar kelereng.Semua mata tertuju kepada gerakan tangan Bu Ratih yang kini tengah mengeluarkan secarik kertas kecil dari dalam bola merah tersebut. Setelah membuka dan membacanya ia terlihat tersenyum lalu memberikan kertas itu kepada Jeng Devi.Sementara itu Bu Winda berkali-kali menghela nafas panjang. Jelas sekali ia terlihat gelisah. Alena melirik Bu Winda dengan sejuta tanda tanya di kepala.“Bu Winda butuh duit untuk apa? Bukankah bulan sebelumnya ia menolak ketika namanya keluar sebagai penerima?”Hmmm...Alena hanya hanya mendesah.“Penerima arisan kita bulan ini adalaaaah...!” Jeng Devi sengaja memutus kalimatnya untuk membuat para hadirin tegang.“Alenaaaaa...!!”Tepuk tangan yang meriah menyambut pembacaan pemenang arisan malam itu. Lebih-lebih Bu Winda, ia sampai berteriak histeris karena gembira. Beberapa pasang mata menoleh heran kepada Bu Winda.“Alena dipersilahkan naik ke panggung!” kembali terdengar suara Jeng Devi menggunakan mikrofon dari atas panggung.“Ayo cepat naik Alena! Jangan sampai Bu Ratih mengundi kembali.” ucap Winda sedikit menarik tangan Alena untuk berdiri.Alena segera menuju panggung dan menerima mikrofon dari tangan Jeng Devi.“Selamat malam semua! Terima kasih kepada Nyonya rumah dan para panitia! Saya bersyukur mendapat kesempatan menjadi penerima arisan untuk bulan ini.” Alena berhenti sejenak dan membiarkan tepuk tangan para tamu pesta mereda.“Namun karena saya belum mempunyai rencana penggunaan dana dalam waktu dekat, maka saya memutuskan untuk mengalihkan penerimaan dana kepada Bu Winda!” ucap Alena yang langsung di sambut tepuk tangan Bu Winda namun di tanggapi dengan wajah masam oleh Jeng Devi. Nova terlihat sangat gembira begitu Alena mengumumkan keputusannya untuk mengalihkan kemenangannya malam itu kepada Bu Winda. Senyum miring segera menghias wajah cantiknya. Ia mulai mereka-reka barang mewah apa yang akan dibelinya dalam waktu dekat ini.********
Sore hari di lapangan senam.Alena sudah bersiap untuk datang ke lapangan untuk memandu senam sore itu. Seperti biasa, ia datang dengan menggunakan sepeda gunung dan bersepeda memutar kompleks perumahannya untuk sekedar melenturkan otot sebelum melakukan gerakan-gerakan senam.Melintasi rumah Jeng Devi, terlihat rumah itu sepi. Biasanya jam segini Jeng Devi sudah bersiap untuk berangkat ke lapangan.Ketika melewati rumah Bu Winda yang kini memang tidak berpenghuni, Alena teringat kalau Bu Winda telah memintanya untuk memasarkan rumah itu secepat mungkin. Alena langsung menghentikan langkahnya dan turun dari sepeda yang ia tunggangi. Beberapa kali jepretan ia tujukan ke rumah tersebut sebagai bahan baginya untuk memasarkan bangunan tersebut. Setelah merasa cukup, Alena melanjutkan perjalanannya menuju lapangan.Seperti biasa sudah banyak ibu-ibu yang berkumpul ketika Alena memarkirkan sepedanya. Memang selalu begitu, ibu-ibu datang satu jam lebih dulu sebelum wakt
“Huh.. dasar perempuan..! Arkhan mengomel sendiri sembari melangkahkan kaki menjauhi wanita cantik yang tadi menggodanya. Seorang Arkhan biasanya akan melayani tantangan wanita berkelas seperti itu. Tapi, bukan untuk mencintainya, tapi hanya untuk membuat wanita itu sendiri menderita. Yah.. menderita. Itu ia lakukan sebagai pembalasan dendam kepada seorang wanita istri kedua ayahnya yang telah membuat keluarga mereka berantakan dan ayahnya meninggal didalam penderitaan. Sementara itu Alena sudah sampai di halaman parkir dan bersiap membuka pintu mobilnya. Bermacam rasa berkecamuk dipikiran dan perasaan Alena. Yang jelas wanita itu sangat kecewa mendengar pengakuan Nova yang menyebutkan bahwa ia dan Arkhan masih berstatus suami istri.Kekecewaan Alena bukan tersebab karena ia berkeinginan untuk mendapatkan Arkhan. Tidak... Alena kesal karena teman dan tetangganya sudah menjadi korban penipuan Arkhan dan Nova.“Sungguh biadab!” maki Alena sambil membanting pintu mobilnya.Kunci diputar
“Hipnotiiiis....!!”Jeng Nisa kembali berteriak dan beberapa orang yang berkumpul ikut-ikutan meneriaki Nova.Sadar dirinya diteriaki penghipnotis, Nova langsung ambil langkah seribu. Bergegas ia memacu mobilnya sebelum suasana semakin tidak terkendali.“Sial! Hampir saja aku dikeroyok di gedung itu. Syukur aku cepat-cepat pergi.” Nova menarik nafas dalam sambil memperlambat laju kendaraannya setelah merasa suasana cukup aman. Ia sudah jauh meninggalkan kantor Tuan Suryo dan tidak mungkin ada yang mengejarnya. Setidaknya begitulah pikiran Nova.Tidak sampai 10 menit lagi ia akan sampai di rumah sakit tempat Tiara dirawat oleh Dokter Marwa.Nova melirik perhiasan Jeng Devi yang tadi ia minta paksa kepada perempuan itu. Satu paket perhiasan super mahal tersebut masih tergetak begitu saja di jok sebelah kiri dari Nova yang mengemudi. Wajah Nova berubah menjadi sumringah dan dengan tangan kirinya ia raup satu set perhiasan b
Di waktu yang sama di pagi menjelang siang itu, di rumah sakit tempat Tiara dirawat tengah terjadi pertengkaran cukup sengit antara Arkhan dan Dokter Marwa. Arkhan bersikeras untuk memindahkan Tiara ke rumah sakit lain karena merasa tidak puas dengan pengobatan yang dilakukan oleh rumah sakit itu khususnya Dokter Marwa. Selama ini Tiara memang selalu di rawat di rumah sakit tersebut atas paksaan Nova. Arkhan tidak tahu sama sekali bahwa Tiara sudah dijadikan korban untuk melancarkan aksi Nova yang bersekongkol dengan Dokter Marwa.“Anda tidak bisa memindahkan pasien seenaknya saja, Tuan Arkhan.”“Kenapa tidak? Tiara adalah putriku! Aku berhak menentukan yang terbaik untuk putriku!” tandas Arkhan menatap tajam tepat ke kedua mata Dokter Marwa. Sekali-kali ia mengalihkan pandangannya ke arah Tiara yang terbaring lemah dengan hanya sedikit saja tanda kehidupan terlihat di tubuhnya. Dadanya masih turun naik walau itu terlihat sangat lambat. Sement
Sementara itu di dalam toilet kantor Tuan Suryo, Jeng Devi belum kuasa memberantas ketakutannya. Nafasnya tersengal sehingga menarik perhatian dua orang ibu-ibu yang tengah merapikan dandanannya di hadapan sebuah cermin besar yang ada di sana.“Jeng tidak apa-apa, Jeng?” Satu orang dari dua wanita itu memegang kedua bahu Jeng Devi yang terlihat sempoyongan.“Terima kasih! Saya tidak apa-apa.” ucap Jeng Devi sambil menoleh ke wajah perempuan yang menolongnya.“Jeng Nisa?”Jeng Devi menyebut nama perempuan yang menolongnya itu begitu mereka berbalas tatapan.“Oh, Jeng Devi? Ooh... Saya pikir tadi siapa?” sahut perempuan yang ternyata bernama Nisa.Nisa adalah istri dari rekan kerja Tuan Suryo dulunya sewaktu Tuan Suryo masih bertugas di kantor pusat Jakarta.“Apa kabar, Jeng? Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”“Oh kabar baik Jeng. Jeng Nisa bagaimana?”&
Di pagi yang sama Alena juga terlihat bergegas memacu mobilnya. Pagi itu Alena bermaksud menjenguk Bu Winda di penjara setelah beberapa kali niatnya itu terhalang oleh berbagai persoalan yang menyambangi hidupnya.Sebagai tetangga yang hubungannya cukup baik dengan Bu Winda, tentu saja ia merasa tidak enak jika tidak memberi perhatian kepada wanita itu. Bu Winda masih berstatus tahanan di sebuah kantor polisi yang tengah mendalami kasusnya.Sebelum sampai ke tempat yang ingin ditujunya, Alena mampir dulu ke sebuah toko makanan dan buah-buahan. Alena membeli beberapa jenis roti-rotian dan juga buah segar.“Semoga Bu Winda sedikit terhibur dengan kedatanganku.” bisik hati Alena sambil tersenyum menatap barang bawaannya. “Setelah menjenguk Bu Winda, barulah aku ke rumah sakit untuk menjenguk Tiara. Kasihan sekali anak itu. Hmm.. andaikan aku punya anak tidak akan mungkin aku sia-siakan ya Allah.”Alena menyetir mobilny