Share

Bab 6 Bodoamat, pokoknya pengen Mas Bian

Kurang lebih dua tahun Alisya dan Arka berpacaran. Mereka jadian saat akhir semester satu. Arka menembaknya setelah pertandingan basket antar-kelas dan Alisya langsung menerimanya karena ia memang mengagumi pria itu. Hubungan mereka bisa dibilang relationship goals dan banyak yang bilang kalau mereka adalah pasangan yang cocok. Meski begitu, tetap ada saja yang iri dan tak suka. Terutama Tasya, saudari tirinya yang selalu menginginkan apapun yang didapat oleh Alisya.

Alisya benar-benar tak memahami Tasya. Sejak orangtua mereka menikah, Tasya juga selalu mendapatkan hal-hal yang dimiliki oleh Alisya. Tas, perhiasan, bahkan kasih sayang ayah mereka. Saat akan berangkat ke Korea, Alisya mati-matian membujuk ayahnya dengan menagih janji ayahnya yang akan memenuhi satu permintaannya jika ia memberikan kamarnya kepada Tasya kala itu. Ayahnya tak punya pilihan dan akhirnya setuju.

Walaupun ujung-ujungnya ia kembali ke Indonesia karena ketahuan membohongi ayahnya yang percaya bahwa ia pergi ke Korea untuk mengambil kursus bahasa Korea. Padahal saat menjadi trainee, ia tetap mengikuti kelas bahasa. Bahasa Korea-nya sudah lumayan karena ia mengikuti kursus online dari orang Korea langsung. Satu-satunya yang tidak diikuti oleh Tasya karena ia membenci hal-hal berbau Korea.

"Arka masih sayang banget sama lo. Denger-denger, pas lo pergi Tasya agresif banget ngejer dia. Bahkan ngikutin Azka kemana-mana, persis kayak penguntit. Tapi Arka terus-terusan nolak," ucap Feby tadi, membuat perasaan Alisya jadi tak tentu arah.

Saat mereka berpacaran dulu, Arka juga sosok yang membuatnya selalu lupa dengan masalah di rumah. Bersamanya, Alisya merasa memasuki dunia yang berbeda. Tapi beberapa bulan sebelum putus, mereka mengalami pertengkaran-pertengkaran kecil. Arka kesal karena Alisya ribut dengan Tasya, sementara ia sibuk belajar untuk kelulusan. Alisya merasa Arka tak membelanya lagi dan Arka berpikir ia terlalu kekanak-kanakan.

"Kamu kenapa?"

Alisya tersentak karena ditegur oleh Fabian. Pria itu sudah pulang kerja dan mendapati Alisya sedang melamun sendirian di meja makan. Alisya buru-buru menggeleng. "Gak apa, Mas."

"Ada masalah, ya?" tanya Fabian lagi, mendekati Alisya. Lalu ia mengecek suhu tubuh Alisya. "Gak panas."

"Aku gak sakit, kok."

"Terus, ngapain kamu melamun sendirian malam-malam gini? Mikirin apa?" tanya Fabian.

"Mas, kepo ya?" canda Alisya, berusaha mengalihkan topik.

"Homesick?"

Alisya menggerutu dalam hati. Mustahil ia bisa homesick dengan keadaan rumah yang seperti itu. Tapi ia menjawab, "Cuma mikirin gimana rasanya jadi mahasiswa."

"Ooh, wajar sih kalo gugup pas awal-awal masuk," kata Fabian, lalu memilih duduk di hadapan Alisya. "Tapi kamu gak sendiri kok. Mahasiswa baru lain juga pasti ngerasa gugup kayak kamu. Kamu bisa nyari temen baru dari situ. Oh ya, kalau gak mau diisengin senior, kamu jangan terlalu mencolok."

"Jangan terlalu mencolok?"

"Maksudnya jangan terlalu aktif. Mereka biasanya dituntut sok galak ke junior. Selama gak kelewatan, turutin aja perintah mereka. Kalau ada apa-apa, lapor ke pihak kampus atau kasih tau saya."

"Perintahnya suka aneh-aneh ya, Mas?" tanya Alisya dengan raut polos.

Fabian tertawa, mengangguk. "Biasanya memang sengaja iseng."

"Mas pernah jadi senior yang ngisengin junior ya?"

Fabian tersenyum jahil. "Saya pernah gabung organisasi mahasiswa, jadi yah gitulah pas ospek."

"Ngisengin apa aja?"

"Eum, pernah nyuruh jalan jongkok setiap ketemu senior, terus pernah juga nyuruh cium tanah kalo cinta tanah air," jawab Fabian.

"Yang terakhir gak banget deh," sungut Alisya.

Fabian tertawa. "Iya sih, saat itu juga ada yang luka dan saya yang gak tau malah nyuruh dia berlutut buat nyium tanah."

"Oh ya? Trus gimana?"

Fabian terlihat menerawang. "Saat itu, cewek di belakangnya bantuin anak itu. Ternyata lututnya memang luka dan akhirnya dibawa ke ruang kesehatan untuk diobati lebih lanjut. Katanya sempat kecelakaan di jalan, tapi belum diobati karena takut telat. Cewek yang tadi bantuin dia jadinya ikut bantu ngobatin lukanya. Orangnya lembut dan kalo ngomong halus banget."

Entah kenapa Alisya seperti melihat mata Fabian nampak berbinar-binar saat membicarakan gadis itu.

"Ah, ini udah malem. Kamu masih belum mau tidur?" tanya Fabian, mengalihkan pembicaraan.

"Mas duluan aja. Aku pengen bikin teh dulu," ujar Alisya, memberikan senyuman manis kepada Fabian.

Fabian mengangguk dan pamit untuk masuk ke kamarnya. Sudut bibir Alisya menurun seiring dengan kepergian Fabian. Jika melihat dari ekspresi Fabian, entah kenapa Alisya memiliki firasat bahwa gadis yang ia bicarakan tadi adalah sosok yang cukup istimewa dalam hidup Fabian. Mendadak ia tak suka. Tapi tadi Fabian bilang bahwa gadis itu lembut dan nada suaranya halus. Apa tipe ideal Fabian yang seperti itu?

Besoknya, Alisya sibuk mencari-cari di g****e gaya berpakaian wanita dewasa. Kebanyakan adalah pakaian tertutup yang sopan. Memang terlihat elegan, tapi Alisya tidak tahu apa pakaiannya cocok dipakai ke kampus. Masalahnya, karena terbiasa melihat cara berpakaian trainee di Korea, Alisya jadi merasa pakaian yang ada terlalu tertutup. Ia dulu bahkan tak segan memamerkan perut saat berlatih tari.

"Alisya, saya berangkat ke China ya. Kamu baik-baik di rumah."

Suara Fabian terdengar dari balik pintu. Alisya tersentak. Ia lupa hari ini Fabian akan berangkat keluar negeri. Refleks, ia pergi keluar untuk bertemu Fabian sebelum pria itu benar-benar pergi. Terlihat Fabian sudah terlihat rapi dengan memakai celana hitam, kaos putih yang dilapisi jaket hitam berbahan kulit dan kacamata hitam. Untuk sesaat Alisya terpesona, tapi kemudian ia langsung menyadarkan diri. Kenapa setiap hari Fabian semakin terlihat menawan?

"Kamu bisa nginep di rumah Mama aja kalo takut sendirian," ujar Fabian.

"Iya, Mas. Oh ya, Mas kapan pulang?"

"Gak pasti, tapi begitu urusan saya beres saya akan langsung pesan tiket pesawatnya," jawab Fabian. "Kamu bentar lagi kuliah, kan? Nanti kalo ada apa-apa hubungin Mama."

Alisya mengangguk.

"Nah, saya pergi dulu," ucap Fabian sambil menepuk pundak Alisya.

Alisya tetap memasang senyum manis, sampai matanya menyipit. Ia membayangkan Fabian mengecup keningnya sebelum berangkat, juga memeluknya karena tak rela berpisah dengannya. Tapi khayalan tinggal khayalan. Nyatanya Fabian langsung pergi sambil menenteng koper kecilnya dan sekali lagi mengingatkan Alisya untuk menjaga diri baik-baik. Padahal akan sangat romantis jika Fabian memperlakukannya seperti itu. Ah, Alisya jadi semakin tertantang untuk menaklukkan Fabian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status