DUA TAHUN YANG LALU..
Seorang pria matang dengan garis wajah tegas mengepalkan tangannya di atas meja. Ia baru menerima berita tentang kematian kakak sepupu sekaligus kakak iparnya. Raut sedih dan menyesal tampak jelas di wajah pria itu. Apalagi kematian dua orang yang dianggap berjasa atas kesuksesannya sekarang begitu tragis. Kakak iparnya harus meninggal di meja operasi karena serangan jantung. Begitupun dengan kakak sepupunya, Merli Sita, wanita itu juga meninggal dengan cara mengenaskan. Merli ditemukan bunuh diri di Rumah Sakit Jiwa.Tubuhnya tergantung di kamar mandi karena tak kuat menerima kejatuhan dan kepergian suaminya."Cari keponakanku berada. Telusuri semua wilayah yang sekiranya didatangi Kimberly. Aku tak mau sesuatu terjadi padanya. Dua hari! Kau ku beri waktu dua hari untuk menemukannya."Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu membuat sang asisten menelan paksa salivanya. Bagaimana mungkin dalam dua hari ia bisa menemukan seseorang yang bahkan tak pernah ia jumpai, apalagi gadis itu tinggal di negeri yang berbeda. Informasi tentang biodatanya pun sangat minim."Kenapa? Kau tak sanggup melakukan tugas dariku?"Alan menangkap wajah cemas dari asistennya. Ia menyandarkan punggung di kursi kebesarannya seraya memainkan pulpen di tangan. Matanya tak sedikit pun lepas dari mata pemuda yang telah lama bekerja di perusahaannya."Hh? Ti-- tidak, Tuan. Saya-- akan langsung mencari keberadaan nona Kim."Meski tak percaya diri bisa menemukan Kimberly dalam jangka waktu yang ditentukan oleh tuannya, Akira, sang asisten tak berani menolak. Alan tak pernah menerima sebuah bantahan terhadap titahnya. Meski mustahil sekalipun, anak buahnya harus tetap mengikuti semua perintah pria itu. Mereka digaji cukup besar untuk melakukan semua perintah Alan."Bagus. Ini fotonya. Cari informasi tentang teman-teman Kimberly, dan sebar anak buahmu ke semua wilayah yang ditengarai akan didatangi gadis itu."Akira membungkukkan tubuhnya dan mengambil foto Kimberly yang tergeletak di atas meja. Pemuda itu segera keluar dan langsung melancarkan aksinya. Waktunya hanya dua hari, jika dalam dua hari Akira tak menemukan informasi tentang Kimberly, maka batang lehernya akan menjadi persembahan atas kegagalannya."Hhh.. dimana kau, Kim?"Alan baru bisa menampakkan wajah putus asanya saat sang asisten telah keluar dari ruang kerja pria itu. Ia terus saja merutuki kebodohannya karena terlambat mendapat informasi tentang orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga. Selain Daniel, Merli, dan Kimberly, pria itu memang tak memiliki siapa pun sejak kematian orang tuanya."Maaf, Tuan. Sepuluh menit lagi Anda harus menghadiri rapat pemegang saham."Suara dari interkom di mejanya membuat Alan tersadar dari rasa bersalahnya. Ya, perusahaannya memang sedang membuka cabang besar-besaran di berbagai negara, setelah terakhir ia membuka cabang di San Fransisco.Alan berjalan keluar. Langkah yang tegas membuat pria itu tampak berwibawa dan disegani. Di usianya yang ke 38 tahun, ia sudah berhasil memegang kursi tertinggi perusahaan yang dirintis oleh kakeknya. Meski saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, perusahaan itu sempat goyang karena pimpinan tertinggi mereka meninggal secara mendadak. Daniel lah yang membantu Alan remaja untuk bersiap menggantikan posisi ayahnya. Sebagai seorang pengusaha yang cukup sukses, Daniel mengajarkan beberapa trik agar Alan bisa meneruskan kursi kepemimpinan sang ayah. Selama 10 tahun Alan tinggal bersama keluarga Kimberly. Selain untuk menyelesaikan kuliahnya, Alan juga belajar tentang bisnis pada sang kakak ipar."Selamat siang, Tuan Alan."Para pemegang saham dan dewan direksi berdiri menyambut sang CEO datang."Duduklah," titah Alan."Bagaimana dengan rencana kita untuk memperluas jaringan perusahaan ini ke wilayah Asia Tenggara?" Alan membuka meeting dengan sebuah pertanyaan."Sudah ada beberapa gedung yang bisa kita akuisisi di tiga negara Asia Tenggara, Tuan. Brunei, Singapura, dan Indonesia. Jika kita mengakuisisi salah satunya, kita tak perlu repot-repot membangun gedung baru yang pastinya akan memakan waktu yang cukup lama."Mendengar nama negeri ibunya disebut, tetiba Alan memikirkan sesuatu."Gedung mana yang bisa kita akuisisi di Indonesia?" tanyanya pada salah satu dewan direksi."Gedung di ibu kota bagian Selatan, Tuan. Tapi menurut saya kita lebih baik memilih gedung yang ada di Singapura. Melihat nilainya yang cukup besar namun biaya yang kita keluarkan relatif murah dibanding dengan gedung yang ada di Brunei dan Indonesia."Sebagai seorang pengusaha, cost dan benefit adalah hal utama yang perlu diperhitungkan. Namun kini pria itu tak lagi memikirkan soal uang. Baginya bisa cepat menemukan Kimberly adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu."Bawakan berkas tentang gedung yang ada di Indonesia ke meja kerjaku. Rapat selesai, aku akan memberitahu kalian keputusanku nanti. Kalian bisa kembali."Alan berdiri dan melangkah keluar dengan pasti. Pria itu kembali ke ruangannya dan hanya mampu berada tak lebih dari sepuluh menit di dalam ruang rapat.Setelah Alan keluar, beberapa pasang mata saling memandang satu sama lain dengan wajah bingung."Apa tuan Alan akan membuka cabang di Indonesia?" tanya salah satu anggota rapat."Tidak mungkin. Jika beliau mau membuka cabang disana, sejak dulu pasti sudah dilakukan. Itu adalah negeri kelahiran ibunya."Sementara Alan yang kini sudah kembali ke ruang CEO, kembali tak bisa lepas memikirkan sang keponakan. Kepalanya terasa penuh dengan kenangan-kenangan bersama Kimberly kecil.'Om, kalau nanti aku dewasa, aku mau melamarmu menjadi suamiku.'Alan mengingat celotehan gadis itu saat usianya 10 tahun. Sejak kelahiran Kimberly, pria itu selalu berada di sampingnya hingga Kimberly menginjak usia 13 tahun. Saat itu Alan harus kembali ke Jepang untuk mengemban tugas sebagai pewaris tahta perusahaan ayahnya. Dengan bekal ilmu dari sekolah dan training di perusahaan ayah Kimberly, Alan dirasa sudah cukup mampu untuk menjadi pemimpin tertinggi di perusahaan sang ayah. Perpisahan yang terasa berat bagi Kim ataupun Alan karena mereka sudah bersama cukup lama. Bahkan Alan adalah orang yang sigap mengganti popok gadis itu saat bayi.*Dua hari berlalu, Alan masih menunggu hasil kerja sang asisten. Tiga jam yang lalu, Akira mengirim pesan jika ia akan segera landing di bandara Tokyo setelah dua hari berada di Indonesia. Biasanya Akira hanya mengutus anak buahnya untuk melakukan pekerjaan yang dititahkan Alan, namun kali ini firasatnya mengatakan jika ia harus turun tangan langsung untuk mencari Kimberly.”Kau dimana?”Alan sudah tak sabar untuk mendapatkan informasi tentang Kimberly. Pria itu mengirim pesan bernada dingin pada Akira.”Saya sedang menuju kantor, Tuan. 10 menit lagi saya akan sampai di ruangan Anda.””Kuberi waktu lima menit, jika terlambat lebih baik jangan datang kesini. Atau kau justeru ingin mengantarkan nyawamu!”Titah itu bukanlah omong kosong belaka. Akira sangat hapal perangai buruk sang bos. Alan tak segan-segan menghukum anak buahnya dengan kejam jika tak mengindahkan perintahnya. Bukan hanya gaji yang dipangkas, bahkan mereka bisa kehilangan pekerjaan hingga tak dapat diterima bekerja dimana pun.Akira berlari dari pintu gerbang kantor hingga menaiki lift ke lantai 42. Saat membaca pesan dari sang bos, pria itu meminta sopir yang membawanya menghentikan mobil dan langsung keluar dari sana.Hosh.. hosh.. hosh..Pria Jepang itu membungkukkan tubuhnya saat sudah berada di depan Alan. Akira tengah mengatur napasnya lebih dulu sebelum berbicara. Sedang Keinichiro Alan melihat jam rolex di tangannya. Senyum tipis terulas di bibirnya."Apa yang ingin kau sampaikan?" tanyanya dengan nada tanpa dosa telah membuat asistennya kewalahan."Ma-- maaf.. Tuan! Kami-- hampir saja-- menemukan nona Kimberly, tapi-- kami terlambat datang. Nona sudah pergi lagi dari tempatnya berteduh."Suara Akira masih tampak ngos-ngosan, namun pria itu tetap berusaha memberikan laporan yang ia ketahui akan membuat tuannya murka. Waktu dua hari yang diberi Alan sudah menyita seluruh konsentrasinya hanya untuk menemukan Kimberly, dan disaat detik-detik ia berhasil menemukan Kimberly, gadis itu justeru menghilang lagi. Kini Akira hanya pasrah dengan hukuman yang akan ia terima.Di kursi kebesarannya, Alan menampakkan raut yang tak dapat dibaca. Meski tangannya mengepal, namun tatapannya tak terfokus pada sang asisten yang telah gagal menjalankan perintahnya."Pergilah! Kembali ke Indonesia dan pastikan kali ini kau tak akan gagal. Cepat temukan keponakanku dan pastikan dia dalam keadaan baik. Karena kau datang kurang dari lima menit, kau kulepas dari hukuman karena kegagalanmu. Tapi aku tak menerima kata gagal untuk kedua kalinya. Sebar anak buahmu disana, kalau perlu rekrut orang-orang yang mengenal Kimberly untuk ikut mencarinya."Senyum lega terbit di bibir Akira. Kali ini ia akan lebih fokus untuk mendapatkan informasi keberadaan Kimberly."Trimakasih, Tuan! Saya akan langsung kembali ke Indonesia dan membawa berita tentang nona Kim. Kali ini saya akan kembali membawa keberhasilan," ucap Akira dengan percaya diri.Alan mengangguk kecil dan menyuruh asistennya untuk keluar. Ia tak mau membuang waktu. Selama keberadaan sang keponakan belum diketahui, Alan tak akan bisa tidur nyenyak. Meski ia sadari sejak dirinya dilarang untuk bertemu Kimberly, sejak itu pula Alan tak pernah bisa tidur dengan nyenyak.***"Dia mencintaiku, kan, Bi?""Apa-apaan ini? Kim--" Naina menoleh pada sahabatnya. Kimberly mengambil gawai Feby dari tangan Naina. Terbaca dengan jelas berita pernikahan antara Alan dan Kanaya yang akan dilangsungkan di San Fransisco Meski tanggal tetapnya tidak diumumkan, namun foto yang ditengarai adalah foto prewedding antara Alan dan Kanaya juga dilampirkan disana. "Ini." Kimberly menyerahkan ponsel Feby dan berlalu tanpa kata. Tak ada respon mengejutkan dari gadis itu, ia hanya menampakkan wajah datar dan dingin. "Pergilah," pinta Naina pada Feby "Kim.." "Itu tidak benar, Nai. Alan tidak mungkin menikahi Kanaya begitu saja. Aku tahu dia sedang marah padaku.. tapi dia bukan laki-laki pengecut yang akan meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apa-apa." Kimberly menghentikan sejenak pekerjaannya di wastafel dan tersenyum yakin pada Naina. Meskipun di hatinya tetap saja ada rasa mencelos saat melihat berita tadi. ** "Haha.. bener, kan gue bilang. Alan Satou cuma mau mainin gadis muda yan
"Kim, kau baik-baik saja?" "Hm? Heem.." Gadis berkulit kecoklatan itu tahu kalau sahabatnya tengah berbohong. "Kau bohong! Wajahmu mengatakan yang lain." "Aku baik-baik saja, Nai. Sungguh!" "Apa Alan belum mau bertemu denganmu?" Kimberly menggeleng lemah, "sepertinya dia masih marah padaku. Apalagi kudengar kondisi Kanaya masih mengkhawatirkan. Alan pasti merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi." "Hhh! Mengapa dia harus bertanggung jawab? Wanita itu yang melakukan hal bodoh! Ku kira gadis kaya akan lebih bertindak realistis, ternyata Kanaya hanya wanita melankolis yang bodoh!" Nayla bicara dengan ekspresi berapi-api. "Entahlah, Nai.. kadang aku merasa cintaku pada Alan tak sebesar cinta Kanaya padanya. Tapi berbuat bodoh seperti itu apa bisa disebut cinta?" "Tentu tidak, Kim! Kanaya adalah wanita kaya yang bodoh. Rela mengakhiri hidupnya hanya demi laki-laki yang jelas tak mencintainya." Pernyataan Nayla sekejap mengingatkan cintanya dengan Borne. Sebesar apapun ga
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d