Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
"Agni.., cepetan udah telat nih!" seru, Axel seraya melirik ke jam tangannya. Giginya mengertak, tidak tahan menunggu Agni yang selalu ngaret."Agni.., gue jalan duluan nih!" pekiknya kembali. Seorang gadis yang sejak tadi namanya di panggil langsung keluar meski riasan wajahnya masih berantakan."Jangan tinggal gue dong!" wajahnya memelas dengan bibir yang sedikit cemberut"Ahk..., Ha ha..." Axel tak bisa menghentikan gelak tawanya. Yah masa sih Agni mau ke kampus dengan lipstik menor gitu. Kayak tante-tante tau gak."Mending lo hapus deh lipstik lo itu!" Axel turun dari motornya. Berjalan mendekati Agni. Dengan tangannya ia membelai bibir Agni bermaksud menanggalkan warna merah pada birai menggoda itu berganti kembali ke warna alaminya."Nah..,cantik,'kan juga kayak gini lo," tuturnya, terus menatap Agni lekat. Entah mengapa membuat perasaan Agni berdebar tak karuan. Gadis itu tak bisa menjawab sepatah katapun. Alih-alih protes dengan sikap Axel. Agni justru hanya mematut iris matan
“Eh, Agni kemana?” Axel melirik ke sekelilingnya tak nampak temannya itu. Sedang Sherly sudah mendengus kesal sambil bersidekap dada.“Udah pergi. Lagi Sayang, kan ada aku.” Ia mengalungkan tangannya ke lengan Axel.“Minggir gak.., aku mau cari Agni!”“Buat apa sih Xel. Yang cewek kamu itu aku! Bukan dia.” Hilang sudah kesabaran Sherly. Tapi sayangnya, Axel tidak menaruh simpatik pada rengekkan Sherly. Sambil tersenyum miring ia segera membalas ucapan Sherly.“Jangan-jangan kamu yang meminta Agni untuk pergi?” tudingnya.Sherly mengangkat dagunya angkuh “Iya aku. Memangnya kenapa. Lagi dia itu cuma pengganggu kita, Xel.” Axel menggeleng berusaha menahan luapan emosinya.“Kalau diantara kita ada seorang pengganggu yang jelas orang itu bukan Agni tapi kamu!” cowok itu menujuk Sherly.“Maksud kamu?” suara Sherly jadi kaku dengan pupil matanya yang bergerak, menolak pernyataan Axel.“Perlu aku jelasin sekali lagi. Aku bisa kehilangan cewek manapun asal itu bukanlah Agni!” Tak memperdulika
"Lo apa-apaan sih?!" Axel menghempaskan tubuh Sherly untuk menjauh. Tadi mereka sedang cekcok karena lagi-lagi Sherly tidak terima diputuskan Axel begitu saja. Masih dalam obrolan tiba-tiba saja Sherly memajukan wajahnya. Beruntung Axel mengeles, sehingga bibirnya tidak bertemu dengan birai berlipstik nude tersebut."Kita udah putus,ya!" tekan Axel menunjuk Sherly lalu pergi.Sampai siang hari Axel tak pernah lagi menemui Agni di kampus. Biasanya semarah apapun mereka. Axel dan Agni tak akan pernah berpisah begitu lama."Eh, Ta... Lo lihat Agni gak?!" tanya, Axel pada Metta, teman satu jurusan Agni"Agni.., kayaknya dari pagi gak masuk kelas deh," ujar Metta mengingat-ingat"Apa, Agni gak masuk kelas?" gumam, Axel. Bukan tadi Agni jutek padanya beralasan ada kelas?"Egh, kalau gitu makasih,ya, Ta" Axel segera berniat pulang. Ia ingin menanyakan perubahan Agni.Axel sampai di rumah Agni. Ia menghentikan laju motor di pelataran rumah sahabatnya ituSampai disana tak ia dapati Agni diman
Axel tidak ingin terus meratapi. Ia ingin mulai bergerak untuk mencari jejak Agni. Tetapi saat ia ingat kembali, dirinya malah tidak pernah tahu tentang Agni selain tentang semua hal yang pernah Agni ceritakan dari bibirnya begitu saja. Axel memang punya sikap cuek. Ia tidak pernah bertanya duluan tentang keluarga besar Agni karena ia merasa hal itu tidak perlu ditanyakan. Baginya cukup kehadiran Agni disisinya, rasa nyaman adalah alasan yang jelas untuk mereka terus bersama. Tanpa perlu tahu siapa bebet-bobot masing-masing. Yang Axel tahu, ia cuma selalu ingin berada di samping Agni. Menjadi support system bahkan total caregiver untuknya. Axel hanya peduli pada perasaan Agni dan semua kegundahan hati si gadis. Sehingga, ide-ide yang muncul dari benaknya selama ini cuma fokus untuk membuat Agni bahagia.Tanpa Axel pernah bertanya pada hatinya, mengapa ia selalu ingin jadi yang terbaik untuk Agni. Kenapa dirinya ingin menjadi orang pertama yang selalu ada demi menghibur Agni. Ia juga o
Agni sampai di kota kelahirannya. Sebentar, ia memandangi stasiun tua yang jadi tujuannya.Tempat itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya kesini. Kejadian itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ia duduk di kelas tiga SD. Agni ingat. Ayahnya pernah mengajak Axel kesini, sayangnya.., Axel menolak karena alasan takut gak bisa tidur tanpa ibunya. 'Hm, Axel.., Axel, sejak dulu kamu tuh manja. Bilangnya saja berani. Xel, apa kamu juga inget sama nama kota ini?' senandika Agni terus teringat tentang Axel disepanjang perjalanan.Agni sampai di rumah omnya, Damar. Ia yang meminta Agni untuk datang kesini."Agni, akhirnya kamu sampai," Damar segera menyambut Agni seraya terus tersenyum. Agni menyeritkan alisnya. Tumben-tumbenan omnya terlihat sangat baik. Jujur Agni tidak begitu akrab dengan pria itu. Damar yang Agni kenal adalah pria kolot dengan segala kewaspadaannya. Ia bisa mencurigai Agni tanpa rasa bersalah, padahal Agni adalah keponakannya."A
Agni dan Tian sudah berada di mobil pria itu. Kata Tian, ia mau mengajak Agni pergi nonton bioskop. Sampai depan Om Damar, Tian terus memperlakukan Agni dengan baik. Ia bahkan membukakan pintu untuk gadis itu. Namun, setelah mobil melaju cukup jauh. Ia mulai memperlihatkan wujud aslinya pada Agni"Mas Tian, kok kita berhenti?" Agni memindai jalanan luar. Jalanan ini sangat sepi. Tidak ada kemacetan, jadi mengapa Tian menepi.Tian tertawa remeh "Aduh, jangan manggil gue, Mas dong. Kata lo gue emas 24 karat," Agni tercenang. Sebagai orang pribumi, Tian sama sekali tidak menunjukkan gelagat sesuai adat istiadat. Agni memanggilnya Mas. Karena ia menghormati Tian. Agni berusaha tersenyum, tangannya mengepal tali seatbelt "Kalau gitu aku panggil, Kakak saja,ya?" lirih AgniTian sama sekali tidak berniat menjawab. Ia malah melepas tali seatbelt yang melingkar di tubuhnya. Tatapannya ke Agni mengundang banyak tanya di hati Agni. Ia menciutkan tubuhnya otomatis, Agni mengerti.., itu adalah t