Tiga tahun berlalu.....
Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang."Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku."Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban."Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh.""Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu dengan kotoran.""Pak! Maafkan, Ning! Ning sudah bikin malu bapak."Aku mencium punggung tangan bapak meski beliau tidak mau memandangku. Aku juga berpamitan meminta doa sama ibu. Meskipun ibu bersikap tidak baik padaku, aku masih membutuhkan doanya."Mir, jaga bapak ibu ya. Mbak Titin juga jangan sampai kena tipu lagi.""Mbak Ning mau kemana? Ke tempat siapa?" tangis Amir meledak saat aku mau berangkat karena sudah ada Mas Eko anak Pak Haji menungguku."Jangan cengeng, Mir. Anak laki-laki harus kuat. Mbak pasti kasih kabar lewat Mbak Ayu, oke. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi Mbak lewat Pak Haji atau Mbak Ayu. Misal Mbak Titin mau meminjamkan HPnya ya pakai aja."Amir mengangguk. Aku segera memboncengkannya menuju ke rumah Haji Ali. Lalu Amir aku minta segera pulang."Mas Eko mana, Pak Haji?""Wah, nggak tahu ini, Ning. Mendadak Eko nggak bisa jemput kamu. Bosnya ada keperluan mendadak.""Wah gitu ya. Lalu gimana baiknya Pak Haji?""Ayo, Bapak antar kamu sampai ke kota. Nanti kamu naik bis biar di Yogya Eko yang jemput.""Tapi nggak papa nih ngrepotin Pak Haji?""Kamu ini Ning, kayak sama siapa aja.""Cuma berdua saja Pak?""Enggaklah, itu sama tukang kebun kita ajak. Biar Pak Haji pulang nggak sendirian.""Terima kasih banyak Pak Haji."Sepanjang perjalanan, aku mengedarkan pandangan menatap tanah kelahiran. Kilasan peristiwa sebelumnya hadir di depan mata. Antara sedih sekaligus lega. Sedih meninggalkan bapak dalam kondisi membenciku, lega karena aku bisa mencari kerja di kota. Harapanku bisa mengumpulkan uang untuk bapak berobat."Hati-hati di jalan, Ning. Sampai terminal jangan lupa hubungi Eko.""Siap, Pak Haji."Berbekal uang tabungan, aku nekat pergi ke Yogya karena Mas Eko menawari pekerjaan menjadi kasir di kantin kampus. Rencana, kalau memungkinkan aku bisa melanjutkan usaha keripik bapak dengan memasarkannya di Yogya. Ah, kenapa aku jadi ingat Zen. Laki-laki baik yang menjadi korban ibuku."Eh, maaf Mbak. Saya buru-buru."Aku kaget dari lamunanku karena seseorang menabrakku barusan."Mbak coba di cek tasnya. Apa ada yang hilang. Soalnya mas-mas tadi kayak ambil sesuatu dari tas Mbak.""Hah, benarkah, Bu?" Aku tersentak, dadaku bergemuruh. Apakah laki-laki tadi pencopet. Sebab saat ini aku baru saja turun di terminal. Aku kebanyakan melamun tidak lihat sekitar."Ya Rabb. Di mana uangku?"Tubuhku luruh seolah tak ada tulang yang menopang. Kenapa nasib buruk menimpaku lagi.******"Mbak siapa tadi namanya?" tanya wanita paruh baya. Beliau masih terlihat cantik dan bugar di usianya yang sudah tidak muda."Haningtyas Sari, Bu." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. "Ibu saya biasa memanggil saya, Ning.""Prasetyawati, panggil saja Bu Tya atau Mama Tya kalau anak-anak saya sering manggil.""Iya, Bu Tya. Terima kasih sudah memberi saya tempat berteduh," ucapku dengan menunduk sopan.Aku sedang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah kediaman Bu Tya. Rumah bergaya Eropa dengan perabotan tidak terlalu banyak tetapi tergolong unik.Jelas, aku terkesima dibuatnya. Melihat desain interior rumah Bu Tya membuatku tidak bosan memandang. Berbeda jauh dengan rumahku di lereng gunung Sumbing.Aku masih menyisir rumah Bu Tya sampai pada dinding dan ornamennya. Netraku memicing ke arah figura besar yang terpasang gagah dengan modelnya pasti keluarga Bu Tya."Ayo, ikut saya, Ning! Ibu tunjukkan ruangan lainnya biar kamu nggak bingung nantinya!" ajak Bu Tya. Aku merutuki diri sendiri yang terlalu larut mengagumi rumah besar itu hingga tergagap mendapat panggilan Bu Tya."Ini kamar saya. Kalau kamar anak-anak ada di atas. Kamu tidur di kamar untuk tamu saja supaya lebih nyaman.""Iya, Bu. Saya berterima kasih sudah diberi tempat untuk tinggal. Nanti kalau sudah menemukan kos, saya akan pindah.""Nggak usah buru-buru. Toh kampus yang mau kamu daftar juga terjangkau dari sini.""Maaf, Bu. Sebenarnya saya bukan mendaftar kuliah. Tapi saya mau kerja di sana. Kebetulan ada tetangga yang sudah kerja di sana." Aku sedikit malu mengutarakan. Namun, kejujuran dari awal lebih baik."Oh begitu, sayang sebenarnya usia masih muda masih bisa belajar lanjut. Tapi nggak apa-apa. Kerja apa di sana?""Di kantin, Bu. Ada lowongan kasir." Lagi, aku lirih menjawab."Nggak apa-apa. Kerja apa aja yang penting halal. Nanti siapa tahu ada kesempatan Mbak Ning mendaftar kuliah lewat beasiswa."Hatiku membumbung mendengar ucapan Bu Tya. Segera aku mengaminkannya.Bu Tya melangkah kembali menuju kamar untuk tamu. Posisinya dekat dengan ruang keluarga dan jalan menuju ruang makan serta dapur."Ini kamar kamu. Sebelahnya ada kamar Mbok Nem. Beliau tetangga yang membantu saya sehari-hari. Terkadang malamnya pulang."Aku mengangguk paham mendengar penjelasan Bu Tya. Lalu kuletakkan tas gendong di kasur. Kamarnya bersih dan rapi. Hanya berisi kasur, satu lemari dan meja kecil. Aku sangat bersyukur bisa mendapat tempat berlindung. Sebab nasib kurang baik menimpaku di perjalanan. Miris, aku menjadi korban pencopetan saat naik bus kota dari terminal besar di Yogya. Belum juga ketemu Mas Eko, aku sudah mendapat kemalangan."Sudah capek ya?" Bu Tya menarik sudut bibirnya ke atas saat melihatku duduk di ranjang lalu meneguk air mineral yang ads di tas."Maaf, Bu. Tenggorokan saya agak serak. Kayaknya teriak-teriak mengejar pencopet tadi."Pertemuanku dengan Bu Tya memang saat aku mengejar copet. Beruntung Bu Tya memberi pertolongan saat melintas di pinggir jalan dekat terminal."Oh iya. Ya sudah kamu istirahat saja. Nanti kita lanjutkan naik ke atas lihat bagian mana saja yang perlu dibersihkan.""Baik, Bu. Saya menumpang salat dulu ya, Bu.""Oh tentu, kamu bisa salat di mushola kecil arah menuju dapur. Bisa juga di kamar ini. Kalau suami dan anak-anak biasanya ke masjid, lumayan sekitar 100meter dari sini."Aku menganguk, lalu mengikuti arahan Bu Tya yang menunjukkan kamar mandi di dalam kamar itu. Setelah mengucap terima kasih, Bu Tya meninggalkanku. Gegas aku melepas pasmina dan mengganti jilbab instan. Sebab jilbab instan lebih mudah dipakai saat di dalam rumah. Kata Bu Tya anak-anaknya ada tiga, dua cowok semua tinggal di rumah dan 1 cewek sedang belajar di luar negeri. Kurasa aku harus menjaga diri supaya tidak mengganggu kenyamanan.Selesai salat, aku belum melepas mukena. Aku menikmati sujud panjang. Berterima kasih pada Allah SWT yang telah mempertemukanku dengan wanita berhati malaikat seperti Bu Tya. Baru pertama kali bertemu tak segan membantu saat aku mendapat kesulitan. Bahkan dalam doaku, berharap di masa depan mendapatkan mertua sebaik Bu Tya. Tidak harus orang kaya, yang penting baik hati.Selesai beristirahat dan mandi sore, aku sudah berganti pakaian dengan baju santai, celana kulot dipadu kaos lengan panjang dan jilbab instan warna senada."Maaf, Bu saya baru selesai mandi," ucapku malu-malu. Aku masih rikuh berada di rumah besar dan mewah milik Bu Tya. Berbeda jauh dengan rumahku di kampung, mungkin hanya seukuran ruang keluarga sampai dapur. Hanya saja masih ada tanah terbuka kalau di kampung, sedangkan rumah ini full bangunan.Dari arah samping terdengar bunyi gemercik air, ternyata sebuh kolam renang ada di sana. Aku mengernyit sambil memicingkan mata ke arah celah-celah jendela kaca berteralis. Ada laki-laki yang berenang bolak-balik dari ujung ke ujung, sesekali beristirahat mengambil napas.Seolah mengerti arah pandangku, Bu Tya pun bersuara."Oh itu, anak sulung saya. Satu jam yang lalu baru pulang dari kampus," ujar wanita yang kini berganti mengenakan gamis polos dipadu jilbab floral. Terlihat elegan sekali pikirku."Anak Bu Tya kuliah juga?" tanyaku untuk berbasa-basi mengakrabkan diri. Aku di sini akan bekerja membantu bersih-bersih di rumah besar milik Bu Tya. Sebisa mungkin aku menjalin komunikasi yang baik dengan tuan rumah. Harapannya, aku bisa mendapat upah sebagai ganti uang saku bekal dari rumah untuk mendaftar kuliah yang habis dicopet."Bukan. Anak saya mengajar di kampus."Aku tertegun, sedikit malu salah menerka."Oh, maaf, Bu. Anak ibu dosen berarti," ungkapku sambil menelungkupkan kedua tangan."Iya dosen muda, tapi sudah sangat sibuk sekali. Sampai-sampai saya suruh menikah belum mau. Padahal sudah disiapkan perjodohan dengan anak sahabat saya. Ya sudah biar mereka saling mengenal dulu. Hanya saja saya kurang setuju kalau kesana kemari berdua, nggak enak dilihatnya kalau belum halal."Aku terkekeh pelan mendengar perjodohan di abad sekarang."Iya, Bu. Mungkin nanti kalau sudah menemukan jodohnya anak ibu cepat- cepat menikah.""Semoga, ya. Eh, ini kamar anak saya yang pertama, yang ini yang kedua." Trus paling ujung kamar putri saya, sekarang dia lagi studi di luar negeri.""Wah kampus yang bagus pastinya, Bu.""Alhamdulillah. Yang penting anak-anak saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang tinggi. Seperti Mbak Ning juga, semoga ada kesempatan." Aku mengulum senyum sambil mengamini doanya. Melihat-lihat kamar yang berseberangan, aku menghafalkan satu persatu. Ada inisial ZM dan SM di p
Bab 7 TerjebakZen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih
Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi
Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika
Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih
Bab 12B"Syukurlah, Ning ada yang nemenin makan. Kasian kalau makan sendirian.""Iya dong, Ma. Aku kan anak ganteng mama yang paling baik.""Ckkk, ganteng-ganteng tapi masih sendiri, Syam.""Nggak sendiri, Ma. Udah ada Ning, nih.""Syam, apaan sih.""Kalian ini cocok kalau bercanda. Jangan dimasukkan hati ya Mbak Ning.""Iya, Bu.""Oya, Ma. Mbok Nem kemana? Mas Zen minta dibawain minuman dua untuknya sama Mbak Vina di atas.""Wah Mbok Nem lagi mau mijit mama, Syam. Mbak Ning aja yang bawa ke atas ya setelah selesai makan!""Siap, Bu." Ning merasa gusar setelah menjawab dengan mantap."Nggak usah khawatir, Mas Zen nggak mungkin menerkammu, Ning," canda SyamMembuat Ning mendengkus."Nggak lucu, Syam." Syam justru tergelak. Melihat wajah kesal Ning sudah menjadi hobinya. Senyumnya pun mengembang. Ia tidak tahu kalau di dalam hati Ning sudah ketar-ketir. "Habis dari kamar Mas Zen, nanti kita bahas yang kamu omongin kemarin.""Apa?""Ning, masih muda kok sudah pikun. Katanya mau usaha ker