Share

Bab 5 Bertemu Masa Lalu

Tiga tahun berlalu.....

Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang.

"Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku.

"Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."

Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban.

"Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh."

"Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu dengan kotoran."

"Pak! Maafkan, Ning! Ning sudah bikin malu bapak."

Aku mencium punggung tangan bapak meski beliau tidak mau memandangku. Aku juga berpamitan meminta doa sama ibu. Meskipun ibu bersikap tidak baik padaku, aku masih membutuhkan doanya.

"Mir, jaga bapak ibu ya. Mbak Titin juga jangan sampai kena tipu lagi."

"Mbak Ning mau kemana? Ke tempat siapa?" tangis Amir meledak saat aku mau berangkat karena sudah ada Mas Eko anak Pak Haji menungguku.

"Jangan cengeng, Mir. Anak laki-laki harus kuat. Mbak pasti kasih kabar lewat Mbak Ayu, oke. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi Mbak lewat Pak Haji atau Mbak Ayu. Misal Mbak Titin mau meminjamkan HPnya ya pakai aja."

Amir mengangguk. Aku segera memboncengkannya menuju ke rumah Haji Ali. Lalu Amir aku minta segera pulang.

"Mas Eko mana, Pak Haji?"

"Wah, nggak tahu ini, Ning. Mendadak Eko nggak bisa jemput kamu. Bosnya ada keperluan mendadak."

"Wah gitu ya. Lalu gimana baiknya Pak Haji?"

"Ayo, Bapak antar kamu sampai ke kota. Nanti kamu naik bis biar di Yogya Eko yang jemput."

"Tapi nggak papa nih ngrepotin Pak Haji?"

"Kamu ini Ning, kayak sama siapa aja."

"Cuma berdua saja Pak?"

"Enggaklah, itu sama tukang kebun kita ajak. Biar Pak Haji pulang nggak sendirian."

"Terima kasih banyak Pak Haji."

Sepanjang perjalanan, aku mengedarkan pandangan menatap tanah kelahiran. Kilasan peristiwa sebelumnya hadir di depan mata. Antara sedih sekaligus lega. Sedih meninggalkan bapak dalam kondisi membenciku, lega karena aku bisa mencari kerja di kota. Harapanku bisa mengumpulkan uang untuk bapak berobat.

"Hati-hati di jalan, Ning. Sampai terminal jangan lupa hubungi Eko."

"Siap, Pak Haji."

Berbekal uang tabungan, aku nekat pergi ke Yogya karena Mas Eko menawari pekerjaan menjadi kasir di kantin kampus. Rencana, kalau memungkinkan aku bisa melanjutkan usaha keripik bapak dengan memasarkannya di Yogya. Ah, kenapa aku jadi ingat Zen. Laki-laki baik yang menjadi korban ibuku.

"Eh, maaf Mbak. Saya buru-buru."

Aku kaget dari lamunanku karena seseorang menabrakku barusan.

"Mbak coba di cek tasnya. Apa ada yang hilang. Soalnya mas-mas tadi kayak ambil sesuatu dari tas Mbak."

"Hah, benarkah, Bu?" Aku tersentak, dadaku bergemuruh. Apakah laki-laki tadi pencopet. Sebab saat ini aku baru saja turun di terminal. Aku kebanyakan melamun tidak lihat sekitar.

"Ya Rabb. Di mana uangku?"

Tubuhku luruh seolah tak ada tulang yang menopang. Kenapa nasib buruk menimpaku lagi.

******

"Mbak siapa tadi namanya?" tanya wanita paruh baya. Beliau masih terlihat cantik dan bugar di usianya yang sudah tidak muda.

"Haningtyas Sari, Bu." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. "Ibu saya biasa memanggil saya, Ning."

"Prasetyawati, panggil saja Bu Tya atau Mama Tya kalau anak-anak saya sering manggil."

"Iya, Bu Tya. Terima kasih sudah memberi saya tempat berteduh," ucapku dengan menunduk sopan.

Aku sedang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah kediaman Bu Tya. Rumah bergaya Eropa dengan perabotan tidak terlalu banyak tetapi tergolong unik.

Jelas, aku terkesima dibuatnya. Melihat desain interior rumah Bu Tya membuatku tidak bosan memandang. Berbeda jauh dengan rumahku di lereng gunung Sumbing.

Aku masih menyisir rumah Bu Tya sampai pada dinding dan ornamennya. Netraku memicing ke arah figura besar yang terpasang gagah dengan modelnya pasti keluarga Bu Tya.

"Ayo, ikut saya, Ning! Ibu tunjukkan ruangan lainnya biar kamu nggak bingung nantinya!" ajak Bu Tya. Aku merutuki diri sendiri yang terlalu larut mengagumi rumah besar itu hingga tergagap mendapat panggilan Bu Tya.

"Ini kamar saya. Kalau kamar anak-anak ada di atas. Kamu tidur di kamar untuk tamu saja supaya lebih nyaman."

"Iya, Bu. Saya berterima kasih sudah diberi tempat untuk tinggal. Nanti kalau sudah menemukan kos, saya akan pindah."

"Nggak usah buru-buru. Toh kampus yang mau kamu daftar juga terjangkau dari sini."

"Maaf, Bu. Sebenarnya saya bukan mendaftar kuliah. Tapi saya mau kerja di sana. Kebetulan ada tetangga yang sudah kerja di sana." Aku sedikit malu mengutarakan. Namun, kejujuran dari awal lebih baik.

"Oh begitu, sayang sebenarnya usia masih muda masih bisa belajar lanjut. Tapi nggak apa-apa. Kerja apa di sana?"

"Di kantin, Bu. Ada lowongan kasir." Lagi, aku lirih menjawab.

"Nggak apa-apa. Kerja apa aja yang penting halal. Nanti siapa tahu ada kesempatan Mbak Ning mendaftar kuliah lewat beasiswa."

Hatiku membumbung mendengar ucapan Bu Tya. Segera aku mengaminkannya.

Bu Tya melangkah kembali menuju kamar untuk tamu. Posisinya dekat dengan ruang keluarga dan jalan menuju ruang makan serta dapur.

"Ini kamar kamu. Sebelahnya ada kamar Mbok Nem. Beliau tetangga yang membantu saya sehari-hari. Terkadang malamnya pulang."

Aku mengangguk paham mendengar penjelasan Bu Tya. Lalu kuletakkan tas gendong di kasur. Kamarnya bersih dan rapi. Hanya berisi kasur, satu lemari dan meja kecil. Aku sangat bersyukur bisa mendapat tempat berlindung. Sebab nasib kurang baik menimpaku di perjalanan. Miris, aku menjadi korban pencopetan saat naik bus kota dari terminal besar di Yogya. Belum juga ketemu Mas Eko, aku sudah mendapat kemalangan.

"Sudah capek ya?" Bu Tya menarik sudut bibirnya ke atas saat melihatku duduk di ranjang lalu meneguk air mineral yang ads di tas.

"Maaf, Bu. Tenggorokan saya agak serak. Kayaknya teriak-teriak mengejar pencopet tadi."

Pertemuanku dengan Bu Tya memang saat aku mengejar copet. Beruntung Bu Tya memberi pertolongan saat melintas di pinggir jalan dekat terminal.

"Oh iya. Ya sudah kamu istirahat saja. Nanti kita lanjutkan naik ke atas lihat bagian mana saja yang perlu dibersihkan."

"Baik, Bu. Saya menumpang salat dulu ya, Bu."

"Oh tentu, kamu bisa salat di mushola kecil arah menuju dapur. Bisa juga di kamar ini. Kalau suami dan anak-anak biasanya ke masjid, lumayan sekitar 100meter dari sini."

Aku menganguk, lalu mengikuti arahan Bu Tya yang menunjukkan kamar mandi di dalam kamar itu. Setelah mengucap terima kasih, Bu Tya meninggalkanku. Gegas aku melepas pasmina dan mengganti jilbab instan. Sebab jilbab instan lebih mudah dipakai saat di dalam rumah. Kata Bu Tya anak-anaknya ada tiga, dua cowok semua tinggal di rumah dan 1 cewek sedang belajar di luar negeri. Kurasa aku harus menjaga diri supaya tidak mengganggu kenyamanan.

Selesai salat, aku belum melepas mukena. Aku menikmati sujud panjang. Berterima kasih pada Allah SWT yang telah mempertemukanku dengan wanita berhati malaikat seperti Bu Tya. Baru pertama kali bertemu tak segan membantu saat aku mendapat kesulitan. Bahkan dalam doaku, berharap di masa depan mendapatkan mertua sebaik Bu Tya. Tidak harus orang kaya, yang penting baik hati.

Selesai beristirahat dan mandi sore, aku sudah berganti pakaian dengan baju santai, celana kulot dipadu kaos lengan panjang dan jilbab instan warna senada.

"Maaf, Bu saya baru selesai mandi," ucapku malu-malu. Aku masih rikuh berada di rumah besar dan mewah milik Bu Tya. Berbeda jauh dengan rumahku di kampung, mungkin hanya seukuran ruang keluarga sampai dapur. Hanya saja masih ada tanah terbuka kalau di kampung, sedangkan rumah ini full bangunan.

Dari arah samping terdengar bunyi gemercik air, ternyata sebuh kolam renang ada di sana. Aku mengernyit sambil memicingkan mata ke arah celah-celah jendela kaca berteralis. Ada laki-laki yang berenang bolak-balik dari ujung ke ujung, sesekali beristirahat mengambil napas.

Seolah mengerti arah pandangku, Bu Tya pun bersuara.

"Oh itu, anak sulung saya. Satu jam yang lalu baru pulang dari kampus," ujar wanita yang kini berganti mengenakan gamis polos dipadu jilbab floral. Terlihat elegan sekali pikirku.

"Anak Bu Tya kuliah juga?" tanyaku untuk berbasa-basi mengakrabkan diri. Aku di sini akan bekerja membantu bersih-bersih di rumah besar milik Bu Tya. Sebisa mungkin aku menjalin komunikasi yang baik dengan tuan rumah. Harapannya, aku bisa mendapat upah sebagai ganti uang saku bekal dari rumah untuk mendaftar kuliah yang habis dicopet.

"Bukan. Anak saya mengajar di kampus."

Aku tertegun, sedikit malu salah menerka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status