Share

Bab 6 Canggung

"Oh, maaf, Bu. Anak ibu dosen berarti," ungkapku sambil menelungkupkan kedua tangan.

"Iya dosen muda, tapi sudah sangat sibuk sekali. Sampai-sampai saya suruh menikah belum mau. Padahal sudah disiapkan perjodohan dengan anak sahabat saya. Ya sudah biar mereka saling mengenal dulu. Hanya saja saya kurang setuju kalau kesana kemari berdua, nggak enak dilihatnya kalau belum halal."

Aku terkekeh pelan mendengar perjodohan di abad sekarang.

"Iya, Bu. Mungkin nanti kalau sudah menemukan jodohnya anak ibu cepat- cepat menikah."

"Semoga, ya. Eh, ini kamar anak saya yang pertama, yang ini yang kedua." Trus paling ujung kamar putri saya, sekarang dia lagi studi di luar negeri."

"Wah kampus yang bagus pastinya, Bu."

"Alhamdulillah. Yang penting anak-anak saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang tinggi. Seperti Mbak Ning juga, semoga ada kesempatan." Aku mengulum senyum sambil mengamini doanya. Melihat-lihat kamar yang berseberangan, aku menghafalkan satu persatu. Ada inisial ZM dan SM di pintunya. Sementara itu, kamar putri Bu Tya pintunya polosan.

"ZM anak sulung, SM anak kedua. Ya, ya nanti juga aku pasti tahu namanya."

Aku menuju balkon yang lurus dengan lorong di antara kamar tadi, sedangkan Bu Tya masuk ke kamar putrinya. Beberapa menit kemudian keluar membawa sebuah kotak sedang.

"Ini ada jilbab dan pakaian santai milik putri saya, kamu bisa kenakan saat di rumah supaya nyaman kalau anak saya pas berada di rumah."

"Baik, Bu. Terima kasih banyak."

Lagi-lagi aku merasa bersyukur sekali. Kekhawatiran kekurangan baju ganti sudah terselesaikan. Aku memang harus menutup aurat saat di rumah besar ini karena pastinya ada suami dan anak-anak Bu Tya.

"Jadi, kalau mau membersihkan lantai atas, cukup dua kamar ini dan itu sama bagian luar ini ya. Anak sulung saya nggak mau privasinya terganggu. Dia akan meminta kalau kamarnya ingin dibersihkan."

"Baik, Bu." Aku merasa sedikit takut mendengar anak sulungnya seperti agak rewel orangnya.

"Ma!" Sebuah seruan dari lantai bawah memaksa kedua wanita beda generasi itu turun ke bawah. Aku mengekori di belakang Bu Tya yang sudah turun lebih dulu.

"Ada apa, Zen?"

"Zen?" Aku mengernyitkan dahi mengingat nama itu. Nama seseorang di masa lalu.

Ah, banyak nama orang yang sama. Aku menepis prasangka.

"Ada minuman hangat nggak, Ma? Mbok Nem kok nggak kelihatan?"

Penasaran, aku sedikit melirik. Namun sedetik kemudian aku memalingkan wajah ke arah lain. Sebab laki-laki yang berjalan dari arah kolam renang menuju dapur hanya memakai handuk kimono. Aku berusaha menundukkan pandangan agar tidak mengganggu kenyamanan laki-laki itu.

"Dia siapa, Ma?"

Entah kenapa aku gugup sendiri saat tanya itu mencuat. Aku belum berani melihat jelas wajahnya. Sampai Bu Tya memperkenalkanku padanya.

"Ning, kenalkan ini anak sulung saya, Zen Maulana. Zen, ini Ning yang mau bantu mama bersih-bersih rumah. Dia juga mau kerja di kantin kampus."

Aku yang baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir terlonjak kaget. Nama itu, tidak asing bagiku. Apa hanya sebuah kebetulan nama lengkapnya sama. Aku memberanikan diri melihat wajah anak sulung Bu Tya.

Brakk, kotak yang kupegang jatuh membuat isinya berhamburan. Rasa-rasanya kepalaku bagai dihantam palu. Aku tidak menyangka akan bertemu laki-laki masa lalu di rumah besar ini. Nasib yang menurutku baik bertemu Bu Tya ternyata disertai kejutan besar bertemu orang yang membuatku tidak tenang di tiga tahun terakhir hidupku.

Zen? Dia benar-benar Zen yang sama. Jadi, ZM itu Zen Maulana. Tanganku mendadak tremor. Bulir keringat sebesar biji jagung bermunculan. Bahkan tenggorokan terasa tercekat. Aku dilanda ketakutan seperti seorang pesakitan yang menanti hukuman.

Kurasakan pandanganku mulai mengabur dan gelap.

Bruk.

"Han!"

Sayup-sayup kudengar ada yang meneriakkan nama panggilan yang biasa Zen sebut untukku. Ah, mungkin itu hanya dalam mimpi.

*****

Aku mengerjap pelan. Kurasakan pening di kepala masih menghinggap.

"Bu Tya."

"Minum dulu, Mbak! Saya sampai khawatir kamu kenapa-napa. Apa ada yang sakit?"

"Hmm, maaf, Bu. Saya tidak apa-apa. Tadi saya merasa tiba-tiba pusing sebelah kambuh."

"Oh, sekarang bagaimana?"

Kuteguk teh manis hangat yang disodorkan Bu Tya. Aku menarik napas panjang, pusing yang mendera sedikit berkurang.

"Terima kasih, Bu. Saya sudah membaik."

"Syukurlah. Kamu istirahat lagi aja. Besok mulai kerjanya."

"Baik, Bu."

"Oya, kalau dengan anak saya Zen tadi. Panggil saja Alan. Dia kurang suka orang asing memanggil dengan sebutan Zen. Sebutan itu hanya untuk orang yang dekat dengannya."

Aku meneguk ludah susah payah. Jadi, dulu Zen mengangapku orang terdekatnya. Rasa bersalah semakin menyeruak di dada.

"Baik, Bu. Mas Alan kemana?"

"Dia sedang ke luar. Katanya ada urusan kampus."

Aku hanya beroh ria. Mendadak perasaan lega itu datang. Aku nggak akan nyaman tinggal seatap dengan Zen. Ingin pergi dari rumah ini sekarang kok rasanya nggak enak sudah ditolong Bu Tya. Kalau lamalama di sini juga aku bisa makan hati.

"Kalau begitu, saya bisa mulai bersih-bersih sekarang Bu."

"Lho tadi katanya nggak enak badan."

"Sudah baikan kok Bu. Hanya kadang-kadang saja pusing sebelah menyerang."

"Hati-hati lho, jangan dipaksakan!"

"Iya, Bu."

Aku mulai membereskan ruang baca. Koleksi buku-buku berjajar rapi di sana. Beberapa bagian berdebu. Bu Tya memintaku membersihkannya. Ada banyak buku tentang ekonomi dan bisnis terpajang angkuh di sana. Menggodaku untuk melahapnya dalam sekali baca.

"Buku-bukunya sepertinya bagus, Bu?" tanyaku pada Bu Tya yang memberi arahan.

"Oh itu koleksi suami saya dan juga milik Zen. Mereka memang penyuka hal-hal berbau bisnis."

Pantas saja Zen pandai bertutur tentang bisnis saat mendampingi usaha keripik bapak. Ternyata makanannya beginian.

"Kalau Mbak Ning mau baca-baca silakan saja lho. Kalau sudah bersih sebunya, bisa saja istirahat sambil baca di sini.

"Iya,Bu. Terima kasih."

Bu Tya pamit meninggalkanku. Katanya mau menyiapkan menu makan untuk nanti malam. Aku memilih mengerjakan dengan hati-hati kegiatan pertamaku. Aku yakin ini tidak akan mudah. Bagaimana nanti kalau harus berhadapan dengan Zen. Apa aku akan bersikap baik-baik saja di depannya.

Aku masih menanggung rasa bersalah pada Zen. Setidaknya aku lega Zen masih bisa menjadi dosen meski sudah dikeluarkan dari kampusnya. Saat ini yang mengganjal di hati adalah Zen ternyata anak orang kaya. Jadi saat itu Zen telah membohongiku dengan berpura-pura menjadi anak pembantu.

"Kamu ternyata pembohong, Zen," lirihku sembari mengelap kaca yang berdebu.

Dibanding berkutat dengan rasa bersalah pada Zen, kini aku merasa seperti orang bodoh. Aku harus menagih jawab pada Zen kenapa dulu sampai membohongiku. Aku paling benci dibohongi.

Dua jam tak terasa debu-debu mulai tidak terlihat lagi. Aku masih punya waktu tersisa sebelum membantu Bu Tya memasak. Netraku terfokus pada sebuah buku tentang strategi bisnis. Aku mengambilnya, lalu duduk di sebuah kursi yang disediakan di ruangan itu. Kubaca dengan seksama barangkali bisnis keripik singkong yang sempat mati bisa hidup kembali.

"Kembalikan buku itu!" Sebuah suara bariton mampu membuat jantungku berdebar kencang. Aku tidak berani langsung menoleh ke arah pintu. Menarik napas dalam, aku baru menoleh saat debaran jantung mulai normal.

"Zen."

Kulihat laki-laki itu menatapku tajam. Wajahnya merah padam membuat bulu kudukku berdiri. Sepertinya aku membuatnya marah karena lancang membaca buku koleksi di ruang baca. Atau bisa juga karena aku salah sebut namanya

"Maaf, Mas Alan," ralatku dengan suara terbata. Tinggiku hanya sepundaknya jika berdiri sejajar. Aku sedikit menunduk supaya Zen tidak menangkap raut ketakutan di wajahku.

"Kenapa kamu bisa ada di sini? Lancang sekali kamu membaca buku-buku milikku!" Teriakannya seperti ujung tombak yang menusuk tepat di jantungku. Sakit tak berdarah. Sebenci itukah Zen padaku.

"Maaf, tadi saya hanya membersihkan debu. Saya tertarik dengan buku ini. Kata Bu Tya, saya diperbolehkan membacanya."

Aku tertunduk lesu. Kedua tanganku saling menjalin dan merem4s satu sama lain. Aku tidak menyangka Zen berubah dingin, sedingin es di gunung Alpen. Kehangatannya yang dulu kukenal sirna sudah. Zen yang pernah kuidamkan jadi pasangan telah hilang ditelan waktu akibat kesalahan yang ibuku rencanakan.

"Kembalikan ke tempatnya."

Bruk.

Sontak aku melempar buku di tanganku ke meja.

"Maaf. Saya akan kembalikan sekarang," ucapku gugup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status