Share

Bab 4 Harapan

Setelah selesai meredam isak tangis, aku mengikuti langkah bu guru. Sejatinya aku malu, wajahku pasti sudah kuyu. Aku meminta izin membasuh muka terlebih dulu sebelum ke ruang yang bertuliskan ruang kepala sekolah.

"Pak, ini kakaknya Amir," ujar bu guru mengenalkanku pada sosok tegas yang duduk di kursi kerjanya. Laki-laki paruh baya itu menelisikku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu kakaknya Amir?"

"Iya, Pak. Saya Haningtyas, bisa dipanggil Ning." Aku mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Kepala sekolah hanya tersenyum singkat.

"Sepertinya kamu masih sekolah?"

"Saya kelas tiga SMA, Pak. Sudah selesai ujian, tinggal menunggu kelulusan."

"Mohon disampaikan pada orang tua Amir kalau syarat mengikuti ujian kelulusan harus lunas seluruh biaya sekolah," ucap kepala sekolah tegas.

Aku tertunduk malu. Kenyataan keluargaku memang belum punya cukup uang untuk persiapan kelulusan. Tahun ini aku dan Amir lulus berbarengan sehingga kebutuhan uang membengkak. Namun, bapak masih berjanji akan mengusahakan uang pembayaran sekolah. Meskipun sebenarnya aku tidak yakin janjinya terpenuhi. Melihat jualan keripik yang menurun karena sepi pembeli, mau tidak mau aku harus memutar otak dengan bekerja di rumah Haji Ali.

"Baik, Pak. Sepulang kerja, akan saya sampaikan pesan Bapak pada orang tua saya."

Mendengar kata kerja, kepala sekolah terhenyak.

"Kamu bukannya masih sekolah, kenapa sudah kerja?"

"Saya kerja bersih-bersih di rumah tetangga, Pak. Bapak saya keliling dari desa ke desa untuk jualan keripik singkong. Tentu saja uang yang dihasilkan beliau tidak cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Jadi, saya mengumpulkan uang supaya bisa mengambil ijazah dan juga untuk biaya Amir."

Kulihat kepala sekolah memandang miris ke arahku seraya menggangguk.

"Jadi, saya mohon Amir diizinkan mengikuti ujian dulu, Pak. Besok saya akan mengusahakan uang untuk melunasi pembayarannya." Aku mengucap janji, meski dalam hati ragu. Uang yang jumlahnya tidak sedikit bisa aku dapat dari mana dalam 24 jam. Aku mengernyitkan dahi sambil melafazkan doa.

Ya Rabb, Engkau Maha Kaya. Semoga ada rejeki untuk Amir esok hari. Kutarik oksigen banyak lalu kuhembuskan pelan agar rongga dada yang sesak menjadi lega.

"Menurut aturan, tentu tindakan ini sudah menyalahi. Saya khawatir hal ini menimbulkan kesenjangan bagi siswa lain."

Pendapat kepala sekolah benar adanya. Dengan mengabulkan pintaku, otomatis ada perlakuan khusus bagi Amir. Padahal semua siswa berhak mendapat perlakuan sama.

Aku menghilangkan urat malu dengan memohon kembali.

"Saya mohon, Pak. Saya tidak mau adik saya tidak lulus." Sudah kupastikan mataku berkaca-kaca karena tak kuasa menahan perih di dada. Hanya karena ibuku miskin, dan segala tingkah lakunya, Amir ikut menjadi korban. Andai saja uangku tidak diminta ibu. Andai uang itu tidak ibu berikan pada Mbak Titin, aku gegas berlari pulang mengambil dan langsung membayarkannya.

Ah, aku terlalu banyak berandai-andai. Tanpa usaha, hasilpun tidak akan hadir di depan mata. Tanpa aksi, seolah keinginan hanya menjadi sebuah fatamorgana.

"Maaf, Mbak. Kami tidak bisa mengabulkan permintaan, Mbak." Lemas sudah tubuhku seolah tidak tertopang oleh tulang. Aku meraup wajah dengan kedua telapak tangan.

Maafkan Mbak Ning, Mir. Tunggulah, Mbak akan mencari pinjaman.

"Baik, saya permisi dulu, Pak, Bu." Aku melangkah gontai hendak meninggalkan ruang berukuran 4x4 itu. Kulirik sekilas kepala sekolah dan bu guru saling pandang menatapku sendu.

"Tunggu, Mbak!" Sebuah seruan perempuan yang tak lain bu guru menghentikan langkahku.

"Pak, izinkan saya yang membayar uang sekolah Amir terlebih dulu. Supaya anak itu bisa ikut ujian. Nanti biar orang tuanya mengganti uangnya ke saya," ungkap bu guru.

Mataku terbelalak. Apakah benar ini bukan mimpi, batinku. Secercah pelangi seolah hadir menghiasi.

"Tapi, Bu." Aku merasa tidak enak hati. Tidak ada angin ataupun hujan, bu guru yang tidak ada pertalian darah dengan keluargaku tiba-tiba membantu.

"Sstt, sudahlah yang penting Amir bisa ikut ujian kelulusan. Mbak tidak perlu khawatir dan tergesa mencari uang penggantinya. Mbak tinggal membayar ke saya kalau sudah ada uangnya. Kalau belum ada kapan-kapan tidak masalah."

"Ibu, terima kasih banyak telah membantu Amir." Aku mengucap sembari memeluk bu guru. Pelukan hangatnya begitu menenangkan.

"Mir, lain kali jangan menyembunyikan pesan penting lagi, ya!" ujarku memperingatkan Amir yang tertunduk. Aku yakin ia merasa bersalah. Aku tidak memarahinya. Aku tidak mau Amir terbiasa berbohong yang berujung keburukan dengan sikapnya di masa depan.

"Iya, Mbak. Maafkan Amir!"

"Ya sudah, kamu masuk kelas lagi. Kerjakan ujian dengan benar. Jangan kecewakan bapak ibu, ya!"

Amir mengangguk lalu mencium punggung tanganku. Tidak lupa ia berterima kasih pada bu guru yang mengizinkannya mengikuti ujian. Anak itu tidak seharusnya merasakan kegetiran ini. Namun, aku yakin pengalaman hidup ini kelak akan berharga untuknya. 

Amir, kamu anak laki-laki yang kuat. Kelak kamu harus bisa menjadi pelindung keluarga. Mbak yakin, kamu anak tegar dan juga pintar. Sudut bibirku terangkat saat mengintip dari jendela ruang kelas. Amir tengah menyiapkan pensil dan alas lalu bersiap mengerjakan kertas ujian. Punggung tanganku mengusap cairan yang membasahi pipi. 

Selesai dengan urusan Amir, aku mengayuh sepeda menuju rumah Pak Haji. Sekitar lima belas menit akhirnya sepedaku berhenti di halaman depan rumahnya. Kulihat Pak Haji sedang memberi komando pada tukang kebun yang biasa membersihkan halaman luar.

"Assalamu'alaikum, Pak Haji!" seruku sambil menunduk sopan. Aku membetulkan rok selututku yang tertiup angin.

"Ning, tumben terlambat datang. Apa ada masalah?"

Ya, biasanya aku memang datang lebih pagi. Karena ada urusan di sekolah Amir jadilah aku telat sampai di rumah Pak Haji.

"Maaf, Pak Haji. Saya harus mengantar sekolah Amir terlebih dulu. Ada yang harus dipersiapkan karena Amir hari ini mengikuti ujian kelulusan."

Pak Haji mendengarkan penjelasanku sembari menunjuk memberi perintah tukang kebun.

"Oh, Amir lulus tahun ini juga ya?"

"Benar, Pak Haji," jawabku sambil mengiringi langkahnya menuju teras. Rumah Pak Haji tergolong besar di kampung kami. Bahkan terbesar setelah rumah Pak Lurah. Laki-laki usia kisaran setengah abad itu mendaratkan tubuhnya ke kursi malas di teras. Sontak saja aku segera duduk di kursi biasa di seberangnya.

"Lalu, Amir mau melanjutkan sekolah ke mana?" tanyanya penasaran.

"Insya Allah ke sekolah yang tidak memerlukan banyak biaya, Pak," jawabku malu. Tidak mungkin keluarga dengan kondisi ekonomi pas pasan seperti kami memilih sekolah favorit. Itu hanya dalam mimpi pikirku.

"Kenapa nggak masuk ke sekolah yang bagus di SMP 1?" lanjutnya.

"Sepertinya kami nggak mampu ke sana, Pak Haji. Biayanya banyak," lirihku sambil menunduk melihat kedua tanganku sendiri yang saling merem4s.

"Ya, yang penting pilih sekolah yang lingkungannya baik untuk adikmu. Amir laki-laki, Ning. Jangan sampai terjerumus ke lingkungan yang buruk."

"Nggih, Pak Haji." (Ya, Pak Haji)

Pak Haji berusia hampir sepadan dengan bapak. Beliau memiliki satu putra yang bekerja di kota Yogya, namanya Mas Eko. Kata Pak Haji, Mas Eko bekerja sebagai sopir di salah satu kampus ternama di Yogya. Mas Eko dulu teman bermain Mbak Titin. Begitu lulus, dia mengikuti kursus menyetir dan diterima kerja di Yogya. 

Ah, mengingat hal itu hatiku nyeri kembali. Mas Eko saja sudah bisa menghasilkan uang. Apa kabarnya Mbak Titin yang justru kerjaannya menghabiskan uang. Menyedihkan.

"Lalu kamu sendiri setelah lulus mau kemana?" celetuk Pak Haji membuatku tergagap.

"Hmm, itu Pak. Saya....," aku menoleh ke kiri kanan. Otakku mendadak buntu mencari jawaban yang tepat.

Inginku menjawab aku ingin kuliah Pak. Namun, kata sudut hatiku menertawakan. Mimpi ketinggian kamu Ning. Awas jatuh nanti sakit.

"Saya mau menekuni pekerjaan ini biar dapat uang, Pak."

"Kamu mau jadi tukang bersih-bersih gini aja?" ucap Pak Haji terkekeh seraya meremehkanku.

Glek,

Aku hanya menelan ludah dan menahan malu. Cita-citaku ingin menempuh pendidikan setinggi mungkin. Aku ingin tetangga tidak memandang sebelah mata keluargaku. Aku ingin mengangkat derajat bapak ibu. Tapi aku bingung harus mulai dari mana.

"Jadi perempuan mbok yang berpikiran luas dan terbuka, Ning. Kalau cuma bersih-bersih di rumah ini, sayang sekali otak encermu."

Aku hanya menyengir kuda merespon Pak Haji.

"Saya harus kerja apa, Pak Haji? Bersih-bersih di rumah ini dan menyiapkan dagangan keripik singkong sudah cukup menyenangkan bagi saya," jawabku sambil mengulum senyum.

"Ya sudah kalau kamu berpikir begitu. Besok mau ada penyuluhan dari mahasiswa. Siapa tahu usaha keripik singkongmu bisa membawa hidup keluargamu lebih baik."

"Benarkah, Pak Haji?"

"Iya. Saya baru dikabari Pak Lurah. Besok lusa, pagi-pagi kamu ikut ke balai desa saja. Bersih-bersihnya libur, biar Mang Udin yang kerjakan."

"Baik Pak Haji." Reflek wajahku tak berhenti mengulas senyum. Bahkan aku di dapur mencuci piring sudah membayangkan tentang acara esok lusa.

"Ya Illahi, akankah hari esok datang pertolongan-Mu untuk keluargaku yang miskin ini. Semoga saja, amin."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status