Tiga tahun berlalu.....Aku hidup dalam tekanan batin hebat. Sakit kepala sebelah semakin sering menyerangku. Apalagi ditambah bapak yang murka saat mendengarku berbuat mes*m dengan Zen. Hari-hari kulalui tanpa senyum dari beliau. Sungguh menyakitkan dianggap asing oleh laki-laki yang biasanya menatapku penuh kasih sayang."Ampuni Ning, Pak. Ning benar-benar tidak melakukannya." Aku bersimpuh di kaki bapak yang duduk di kursi roda. Sakit gejala struk bapak semakin parah saat mendengar berita buruk yang menimpaku."Pergi dari rumah ini, Ning. Bapak tidak mau melihatmu di sini. Kamu bikin malu bapak dan ibu."Meski ucapan bapak lirih tetapi tetap saja bagaikan sembilu yang menyayat hati. Aku tidak habis pikir dengan tindakan ibu yang menjadikanku korban."Baik, Pak. Ning akan merantau ke Yogya. Ning mau cari uang untuk bapak berobat. Bapak harus sembuh.""Tidak perlu. Bapak tidak butuh uang darimu. Anak tidak tahu diri. Sudah dibesarkan dengan kasih sayang malah melempari bapak ibumu de
"Oh, maaf, Bu. Anak ibu dosen berarti," ungkapku sambil menelungkupkan kedua tangan."Iya dosen muda, tapi sudah sangat sibuk sekali. Sampai-sampai saya suruh menikah belum mau. Padahal sudah disiapkan perjodohan dengan anak sahabat saya. Ya sudah biar mereka saling mengenal dulu. Hanya saja saya kurang setuju kalau kesana kemari berdua, nggak enak dilihatnya kalau belum halal."Aku terkekeh pelan mendengar perjodohan di abad sekarang."Iya, Bu. Mungkin nanti kalau sudah menemukan jodohnya anak ibu cepat- cepat menikah.""Semoga, ya. Eh, ini kamar anak saya yang pertama, yang ini yang kedua." Trus paling ujung kamar putri saya, sekarang dia lagi studi di luar negeri.""Wah kampus yang bagus pastinya, Bu.""Alhamdulillah. Yang penting anak-anak saya mau melanjutkan pendidikan sampai jenjang tinggi. Seperti Mbak Ning juga, semoga ada kesempatan." Aku mengulum senyum sambil mengamini doanya. Melihat-lihat kamar yang berseberangan, aku menghafalkan satu persatu. Ada inisial ZM dan SM di p
Bab 7 TerjebakZen berlalu tanpa kata setelah aku mengembalikan buku miliknya ke almari. Sikapnya benar-benar tak acuh padaku. Bahkan senyum sedikit saja tidak terlihat di wajahnya. Benar-benar dingin, wajahnya kayak kulkas 2 pintu.Ya Rabb kuatkan aku. Kenapa begitu cepat Engkau pertemukan aku dengan orang itu. "Bu Tya, mana yang bisa dibantu?" tanyaku saat menghampiri pemilik rumah besar ini di dapur."Oh ini, Mbak. Sayurannya dipotong kecil-kecil ya. Kita bikin sup ayam lauknya udang crispy dan tempe goreng. Menu itu kesukaan anak-anak sejak kecil hingga dewasa masih lahap."Wah senangnya jadi anak-anak, ibu pandai memasak," pujiku pada Bu Tya."Makasih ya Mbak Ning. Simbok yang biasa membantu anaknya lagi demam jadi nggak bisa kemari.""Saya malah senang bisa membantu, Bu.""Ngomong-ngomong, kenapa kamu nhgak melanjutkan kuliah saja? Kenapa mau kerja di kantin kampus?"Sejenak aku terlempar di masa lalu yang menyedihkan bagiku."Mbak, rapot dan ijazahku bisa diambil, nggak?" lirih
Bab 8 Motor atau Mobil"Katakan?! Siapa yang menyuruhmu kemari?!""Zen. Aku....""Jangan sebut nama itu!""Ma... maaf, Mas Alan. Sa... saya. Ough! Sakit."Entah kenapa sakit kepala sebelahku tiba-tiba menyerang kembali. Akhir-akhir ini aku sering merasakannya. Apa mungkin efek kelelahan dan banyak pikiran, entahlah.Aku berharap Zen tidak menduga kalau aku berbohong."Kamu terlalu pintar untuk menipuku lagi. Tidak usah berpura-pura sakit di depanku. Aku tidak akan kena tipu untuk kedua kalinya."Nyes,Ucapan Zen seperti sembilu yang menyayat hati. Aku berusaha menahan luka yang tak kasat mata. Biarlah sakit hatiku mengalahkan peningnya kepala yang teramat sangat. Berusaha menegakkan kepala agar air mata yidak tumpah, aku memberanikan diri menatapnya. Meskipun tatapan Zen masih sedingin es, aku tidak peduli. Aku tidak ingin menangis di depannya.Beberapa kali aku meringis menahan sakit kepala. "Saya tidak sengaja sampai di rumah ini. Bu Tya yang menolong saya waktu kena copet di termi
Bab 9 Siapa yang Penipu (Pov Author)"Dia nggak protes, kok," sanggah Syam pada kakaknya."Mana berani dia protes!" seru Zen."Kita tanya Ning saja. Ning kamu mau naik motor atau mobil?"Dilema merajai hati, Ning merasa takut melirik wajah dua-duanya."Sudahlah, ayo masuk mobil! Saya nggak terima penolakan."Melihat Zen tak acuh masuk mobil duluan, Ning tidak enak hati. Ia tidak mau membuat laki-laki berambut cepak dengan tinggi sekitar 170cm itu murka."Maaf, Syam. Saya ikut mobil Mas Alan ya."Syam berdecak kesal, sia-sia dia mau bersaing dengan kakaknya. Niat hati sampai kampus pamer dengan teman-temannya kalau ada cewek yang bisa dia boncengin. Ujung-ujungnya detngah jalan ditebas niatnya oleh Zen."Mas Zen menyebalkan."Syam menyantolkan helm yang dipakai Ning ke motor. Gegas ia menghidupkan mesinnya lagi dan melajukan motor sportnya menuju kampus. Sempat menyalip mobil kakaknya dengan membunyikan gas kencang. Rasa kesalnya hilang, Syam mendahului mobil itu.Sepanjang perjalanan h
Bab 10 Bercanda"Iya, kamu kira aku baik secara cuma-cuma. Kamu juga harus balas dengan kebaikan dong.""Maksudnya?""Misalnya jadi pacarku gitu.""Apa?!"Syam tiba-tiba terbahak membuat wajah kaku Ning memudar."Bercanda, Ning. Serius amat, sih.""Ishh, nyebelin kamu Syam."Keduanya berjalan menuju kantin FEB, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Motor Syam sudah dipindahkannya ke parkiran khusus mahasiswa. Kampus yang menjadi impian Ning untuk belajar materi itu merupakan kampus dengan mayoritas mahasiswa menaiki mobil. Entah impiannya akan terwujud atau tidak. Setidaknya Ning sudah pernah mengambah kampus impiannya."Mahasiswa yang kuliah di sini kaya-kaya ya, Syam?" celetuk Ning. Ia masih mengamati mobil yang berjajar di depan gedung. Tahu arah pembicaraan Ning, Syam mengukir senyuman lebar."Ya, nggak semuanya, Ning. Orang biasa pun bisa kuliah di sini. Mobil yang kamu lihat itu mobilnya dosen kali. Tuh, banyak mahasiswa yang ngontel. Bahkan mahasiswa yang jalan kaki pun ada.Ning menangg
Bab 11 Kerja KerasZen mencoba tidak menanggapi ucapan Andre. Ia fokus dengan makanan dan minuman yang baru saja datang."Rupanya gadis itu bukan mahasiswa. Nggak mungkin juga kamu tertarik padanya kan, Al?""Jelas lah, mau ditaruh mana mukaku kalau sampai tertarik penjaga kasir. Kamu becanda, Ndre.""Tapi ya, Al. Sekali melihat wajahnya, pesona alami kecantikannya itu terpancar dari dalam gitu. Coba saja kalau wajahnya dipoles seperti Vina, bakalan nggak kalah cantik.""Jangan membandingkannya dengan Vina. Jelas bagai langit dan bumi."Andre mendecak kesal."Iya-iya, Vina kan calon jodoh kamu. Makanya buruan dihalalin nanti pindah ke lain hati baru tahu rasa.""Jangan ngomong sembarangan, aku dan Vina dari dulu cuma berteman."Zen memang dijodohkan oleh orang tuanya dengan Vina. Orang tua Vina merupakan sahabat orang tua Zen. Namun, Zen hanya menganggap Vina sebagai teman baik. Sebaliknya Vina sudah berusaha mebdekati Zen, tetapi tidak berbalas. Tiga tahun terakhir Zen justru bersika
Bab 12A Ketus"Buruan masuk!" titahnya tak mau dibantah."Hah.""Zen kenapa masih ada di kampus.""Hmm, saya nunggu bus, Pak Alan," ucap Ning basa-basi."Saya tidak tanya. Buruan masuk, atau saya tinggal di sini biar dimangsa nyamuk," ketusnya. Ning hanya menghentakkan kaki.Ning masuk ke mobil dengan perasaan masih ngedumel. Ia hanya melirik ke samping, wajah Zen tetap fokus ke jalan depan. Tanpa disangka mobil keluar dari kampus lalu setelah melewati jalan besar, Zen menepikan mobilnya."Turun!"Ning terkesiap mendengarnya. Ia hampir saja terlelap saking lelahnya."Maksudnya gimana, Mas?""Itu halte masih rame. Kamu bisa menunggu bus di sana.""Astaga, nih orang sengaja bantu setengah-setengah." Masih dengan ngedumel, Ning terima daja perlakuan Zen padanya. Toh dia bukan siapa-siapa laki-laki itu. Meski dulu Ning pernah menyimpan rasa pada Zen. Kali ini, ia akan mengubur rasa itu setelah mengetahui perlakuan Zen yang membencinya.Dengan langkah gontai, Ning menuju halte yang masih