“Oke. Kita follow-up itu. Kalau perlu, minggu depan langsung jalan. Kebetulan saya ada beberapa kenalan di sana. Ya kan Dokter Zayn?” tanya Pak Atmaja sambil melihat ke arah putranya.Zayn sempat terdiam sepersekian detik. Otaknya memproses cepat ucapan Pak Atmaja barusan."Kampus Nusa Bangsa…?"Sialnya, itu kampus tempat Qiana kuliah. Dan lebih sial lagi, dia baru saja mendatangi tempat itu kemarin karena sang istri bertengkar dengan Maya di koridor kampus. Dia malas ke sana. Sangat malas.Tapi di hadapannya sekarang bukan sekadar ayahnya—ini atasannya. Dan sebagai profesional, dia tahu, dia tak punya ruang untuk membantah.Zayn menegakkan posisi duduknya sedikit. Ekspresinya tetap tenang, meski napasnya agak berubah.“Iya, Pak. Saya tahu kampus itu.”Pak Atmaja mengangguk puas. “Bagus. Nanti kamu bantu komunikasi awal. Minimal bicarakan teknis dan waktu pelaksanaannya.”Zayn hanya menjawab singkat. “Baik.”Padahal dalam hati, Zayn bergumam, 'Kenapa harus Nusa Bangsa dari semua temp
Zayn membuka pintu dan akan melangkah keluar, ia berhenti sesaat... lalu berbalik sedikit. "Bekalnya mana?” Qiana langsung mendongak. Matanya berbinar. “Di meja!” ucapnya cepat sambil berlari kecil mengambil tas makan. "Sebentar, aku ambilkan!" Mood gadis itu cepat sekali berubah. Qiana berlari kecil ke arah meja makan lalu menyodorkannya ke arah suaminya yang super duper cuek itu. Zayn menerimanya tanpa kata. Dan bergegas keluar dari apartemen. "Haaa..." Qiana menjatuhkan bahunya dengan lesu. Semua trik yang dia punya, bahkan tips dari Mama mertua dan teman-temannya mulai gagal satu persatu. "Aku harus cari cara apa lagi biar hati kamu luluh Dokter Kulkas? Aku harus gimana?" *** Ruangan dengan lampu putih terang itu dipenuhi suara-suara obrolan ringan dari para dokter dan perawat yang sudah duduk melingkar di sekitar meja panjang. Di ujung meja, duduk Pak Atmaja— direktur utama rumah sakit sekaligus pemilik yayasan. Meski usianya memasuki kepala 6, aura karismatiknya masih ku
"Dengar ya! Kalau kejadian seperti tadi terulang lagi, lebih baik kita gak perlu makan malam bersama lagi! SELAMANYA!"WHAT THE—Qiana mendelik kaget. Semua protes sudah ia siapkan di ujung lidah. Akan tetapi, Zayn lebih dulu menatapnya dengan tajam dan penuh ketegasan. "Aku serius Qiana!""Huh... Kejam!" desis Qiana lirih. Namun ucapannya masih bisa Zayn dengar meskipun samar.***Pagi menjelang. Aroma wangi telur dadar, nasi goreng mentega, dan irisan sosis asap menguar dari dapur mungil mereka. Qiana tengah sibuk menyusun bekal di lunch box warna navy—warna favorit Zayn.Ia tampak bahagia pagi itu. Senyumnya kecil, tapi penuh arti. Wajahnya masih segar walau sempat tidur larut. Ada rona merah muda yang tak bisa disembunyikan dari pipinya.Selesai menutup bekal dengan rapi dan memasukkannya ke tas kecil, Qiana bersenandung kecil sambil berjalan ke ruang tengah. Ia menyiapkan termos kopi dan meletakkannya di atas meja.Tapi belum juga ia duduk, suara berat dan sedikit kesal terdengar
ByuuuurGelas air dalam genggamannya tumpah, isinya langsung menyiram bagian bawah Zayn—tepat di area yang cukup sensitif.“ASTAGA!” Zayn mundur ke belakang dengan cepat, tubuhnya reflek menegang.Qiana mendelik kaget. Ia dengan segera . “YA AMPUN! Kak, aku nggak sengaja!! Maaf...""Kamu ini—"Qiana yang makin panik melihat tatapan tajam. Zayn langsung mengambil tisu dan mencoba menyeka bagian celana Zayn yang basah—tapi baru satu usapan, Zayn menahan pergelangan tangannya. Tapi lagi-lagi dia berbuat kesalahan dengan tidak sengaja menyentuh milik Zayn di balik celana..."Ughhh..."Qiana membeku.Tangannya masih berada tepat di atas area sensitif itu. Ia refleks menoleh menatap wajah Zayn—dan langsung menemukan ekspresi lelaki itu berubah total. Mata Zayn membelalak sekilas, lalu rahangnya menegang, otot-otot di tengkuknya tampak mengeras.“Qia...” gumam Zayn pelan, nadanya berat—lebih ke kaget, dan sedikit kesal.Qiana langsung melepas tangannya secepat kilat, seperti habis megang set
Beberapa jam kemudian, saat jam hampir menunjukkan pukul empat sore, Diandra akhirnya mendapati momen yang pas untuk mendekati Zayn. Zayn baru saja keluar dari ruang dokter setelah selesai memeriksa pasien, dan terlihat sendirian di lorong belakang menuju pantry.Diandra segera menghampiri dengan membawa map, berpura-pura seolah ingin konsultasi soal laporan pasien."Dokter Zayn!"Zayn menoleh singkat."Ini, saya mau minta tandatangan untuk laporan gizi pasien bedah kemarin," ujarnya sambil menyodorkan map.Zayn menandatanganinya cepat, tanpa banyak bicara. Tapi Diandra tak pergi. Ia malah berdiri lebih dekat dan bertanya seolah-olah tak ada niat tersembunyi."Kamu kenapa? Kok mukanya tegang banget?"Zayn melirik sekilas, ekspresinya tetap datar. “Tidak.""Mau minum kopi bareng gak? Mumpung jadwal kita sudah selesai?" tawarnya dengan tenang dan manis yang dibuat-buat."Aku masih ada urusan."Bukan Diandra namanya jika menyerah begitu saja. Ia langsung mengekor di belakang Zayn dan seg
"QIA!"Qiana mengerjap. Ia menatap sekeliling. Dan ternyata di sebelahnya sudah ada Jasmine dan Clara yang memasang ekspresi kebingungan."Kamu kenapa ngelamun sih?" tanya Clara heran."Tau ih. Tuh kamu ditinggal sama Pak Su karena kebanyakan bengong."Qiana melihat ke arah Zayn. Dan benar kata Jasmine, pria itu sudah berjalan cukup jauh darinya. Jadi tanpa banyak buang waktu, Qiana segera mengejar pria itu sambil meneriakkan namanya."Kak Zayn?"Pria dengan kacamata minusnya yang khas itu langsung berhenti, ia menoleh ke arah Qiana tanpa bersuara."Kak Zayn, makasih ya udah datang. Aku benar-benar sangat berterima kasih ke kamu." Ia menatap Zayn dengan wajah penuh rasa syukur. "Kalau kak Zayn gak datang dan gak nyaranin Pak Adi buat cek CCTV, pasti aku udah tamat."Zayn menatap Qiana beberapa detik dan mengangguk. Hanya gumaman "hm" yang keluar dari bibirnya sebelum ia berniat untuk kembali pergi."Tunggu Kak!" ucap Qiana sambil meraih pergelangan tangan suaminya."Ada apa lagi? Aku