Sarah mengerjapkan kedua matanya saat tubuhnya mulai terasa gerah karena sesuatu yang mendekapnya erat, entah sejak kapan ia tertidur yang jelas sekarang sudah pukul lima sore dan langit mulai menampilkan cahaya senjanya yang indah. Sarah menoleh ke arah Barra yang tengah tertidur lelap di sebelahnya, ia menatap lekat wajah pria yang kini sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya. Barra membuka kedua matanya secara tiba-tiba dan kini pandangan mereka saling bertemu, setelah sekian lama berjauhan akhirnya Barra dapat merasakan lagi momen saat berdekatan seperti ini dengan Sarah. Barra menangkup sebelah wajah Sarah, mencoba mendekati bibir ranum yang sudah lama tidak ia cicipi. Sarah pun mulai tenggelam dalam tatapan Barra, sampai akhirnya mereka hanyut dalam sebuah ciuman yang panas. Tangan Barra mulai menyelinap masuk ke dalam baju Sarah dan menggenggam gundukan kenyal yang hanya terbalut bra tipis, ciuman Barra kini berganti ke leher Sarah yang membuatnya mendesah pelan karena hisapan
Mereka akhirnya sampai di butik dan langsung di sambut penuh hormat oleh karyawan Arista, wanita paruh baya itu langsung memeluk calon menantu kesayangannya dan membawanya ke ruangan fitting sedangkan Barra hanya menunggunya di ruangan Arista. Barra menyapu pandangannya ke setiap sudut ruangan Arista, sampai tatapannya tertuju pada figura kecil di sudut ruangan dengan sebuah foto usang di dalamnya. Enzo Fabiano, rupanya Arista masih terus mengingatnya meskipun pria bajingan itu sudah mencampakkannya dan Barra. Barra mengeluarkan foto itu dari figura, lalu membakarnya hingga terobek sebagian terutama wajahnya. Pria bajingan itu tidak pantas di kenang, ia lebih pantas di lenyapkan dari dunia ini. Kalau Arista tetap kekeuh ingin menyimpan foto itu biarlah, lagipula foto itu hanya tersisa secuil dan menyisakan bagian kakinya saja. "Sayang, aku cari kamu kemana-mana. Aku kira kamu pulang," rengek Luna, ia datang ke ruangan Arista dengan memakai baju pengantin. Barra menendang sisa foto
"Oke saya akan kesana sekarang, terimakasih sudah menghubungi saya Tiwi!" ucap Sarah lalu menutus panggilan teleponnya. Sarah berjalan tertatih menuju ke luar kamar, namun baru saja ia melangkah di ujung tangga tiba-tiba ia di cegat oleh dua pria bertubuh kekar dan berpenampilan seperti bodyguard. "Maaf nona Sarah, anda tidak diizinkan pergi kemana-mana sampai sembuh oleh tuan Barra." ucap salah satunya. "Tapi ada hal penting yang ingin aku lakukan! tolong menyingkir!" Sarah mendorong tubuh kekar itu agar tidak menghalangi jalannya tapi sayang usahanya sia-sia, tubuh itu bahkan tidak bergerak sedikitpun setelah Sarah mengeluarkan tenaganya hingga tetes terakhir. "Kalau kalian tidak mau menyingkir baiklah aku akan melompat ke bawah!" ancamnya yang kali ini sukses membuat wajah kedua bodyguard itu pias. "Nona, tolong jangan mempersulit kami. Kami hanya menjalankan perintah untuk menjaga nona, atau begini saja lebih baik nona hubungi dulu tuan Barra untuk meminta izin." bujuknya.
Setelah semua urusannya di perusahaan selesai, Sarah kembali lagi ke rumah sakit untuk melanjutkan sesi terapinya yang sempat tertunda. Saat melihat Barra yang tengah duduk di sofa seorang diri Sarah langsung menghambur dan memeluknya erat, saat ini Sarah tidak perduli apa status Barra. Yang jelas saat ini Sarah sedang ingin meluapkan semua perasaan yang ada di hatinya, dan hanya di pelukan Barra Sarah dapat melakukan semua itu."Jadi kamu hanya mendapatkan enam puluh persen dari hasil penjualan itu?" tanya Barra. "Iya, itupun aku harus berdebat sengit dulu dengan Mario si pencuri bajingan itu." Kedua mata Sarah membulat lebar, ia baru teringat kalau tadi sempat menampar Mario yang terjangkit HIV. Wajahnya langsung berubah panik dan meminta Barra untuk mengajaknya tes HIV, meskipun hanya menampar Mario Sarah tetap harus waspada karena kesialan bisa datang karena ketidak sengajaan. "Oke, jangan panik. Kita tes sekarang dan sekalian terapi pergelangan kakimu agar bisa berjalan cantik
Beberapa hari di rawat di rumah sakit, kaki Sarah akhirnya sembuh juga dan kini ia tengah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Gabriel membawanya ke sebuah kondominium milik Barra yang baru saja di beli tiga hari yang lalu, sengaja Barra membeli kondominium itu untuk Sarah dan atas nama Sarah karena Barra tau Sarah tidak lagi memiliki tempat untuk bernaung. "Kalian sudah siap?" tanya Gabriel, Sarah dan Helena kompak mengangguk.Helena bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah terjatuh lagi sambil terus memegangi kepalanya, wajah Helena memang sudah pucat sejak datang namun ketika ditanya ia selalu menjawab kalau ia baik-baik saja. "Hel, kita ke dokter aja yuk. Mumpung kita masih di rumah sakit," bujuk Sarah."Tidak usah Sarah, aku baik-baik saja kok. Ini cuma efek alkohol di tubuhku saja yang belum ilang," "Kamu yakin Hel? kamu tidak sedang membohongi aku kan?" tanya Sarah penuh selidik karena setahu Sarah Helena itu kuat minum. "Iya aku yakin, ayo kita pulang. Aku mau liat ko
"Sarah! saya di luar unit kamu, cepat buka pintunya." titah Gabriel di telepon.Sarah yang masih mengantuk keluar dari unit dengan penampilannya yang amat berantakan, Barra benar-benar gila kemarin karena terus mencumbunya dari sore hari hingga tengah malam."Ada apa Gabriel?" tanya Sarah setelah membukakan pintu untuknya."Ganti pakaianmu, kita akan pergi sekarang.""Pergi? pergi kemana? tapi aku belum mandi Gabriel!""Tidak perlu mandi! waktu kita hanya sedikit Sarah, setidaknya ganti dulu pakaianmu dengan yang lebih baik!" ucap Gabriel tidak sabaran.Sarah kembali ke dalam dan mengganti pakaiannya dengan cardigan panjang selutut, setidaknya pakaian ini bisa menutupi bagian tubuhnya dengan baik meskipun tidak rapih."Ayo kita pergi," ajak Sarah setelah berganti pakaian.Gabriel langsung menyeret Sarah ke parkiran mobil, dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang Sarah yakini arahnya menuju ke bandara. Sesampainya di bandara Gabriel langsung membawa Sarah masuk ke dalam sebuah jet p
"Selamat pagi sayang," Barra mengecup bibir Sarah yang masih tertidur nyenyak di sebelahnya. Sarah melenguh ketika Barra mulai memainkan tangannya di gundukan kenyal milik Sarah, lalu melumat bibirnya yang masih terasa bengkak bekas percintaan kemarin. Seharian penuh yang mereka lakukan kemarin hanya bercinta dan bersantai di kamar, hari ini Sarah ingin jalan-jalan dan menikmati pemandangan Cappadocia secara langsung tidak hanya lewat jendela kamar hotel."One more time, baby? please." pinta Barra. "Baiklah, hanya satu kali dan setelah itu kita jalan-jalan. Aku ingin menaiki balon udara bersamamu," "Tentu saja, anything for you honey."Yang terjadi setelahnya adalah Barra ingkar pada janjinya, tiga jam berharga Sarah di hari ini akhirnya terpotong hanya untuk melayani Barra. Sarah yang kesal langsung mandi dengan tergesa-gesa, ia bahkan mengunci pintu kamar mandi agar Barra tidak bisa masuk ke dalam menyusulnya. Barra hanya bisa tertawa melihat wanitanya itu merajuk, bukan salahnya
"Bagaimana tante Arista?" tanya Luna dengan nada angkuhnya. Arista tertunduk dengan perasaan bingung yang bercampur aduk, ia tidak mungkin menyerahkan semua saham miliknya kepada Luna. Jika Arista memberikan semua saham miliknya kepada Luna, itu sama saja dengan membiarkan keluarga Lionel menginjak-injaknya di perusahaan miliknya sendiri mengingat Barra hanya memiliki dua puluh persen saham. Seandainya saja mereka kembali, mungkin Arista bisa meminta pertolongan kepadanya karena mereka pemilik saham tertinggi kedua di Amethyst. Tapi hingga kini Arista tidak tau dimana keberadaan mereka, bahkan keluarganya saja tidak tau atau lebih tepatnya tidak mau tau."Saya minta waktu untuk menunggu Barra dulu, Gabriel bilang mereka akan pulang besok." jawab Arista."Jadi tante tau dimana Barra sekarang?" Arista menggeleng lemah, "Tidak, Gabriel hanya memberitahukan kepada tante kalau Barra akan kembali besok.""Tante tidak sedang berbohong kan?" tanya Luna ragu. "Tidak, untuk apa tante berboho