Setelah semua urusannya di perusahaan selesai, Sarah kembali lagi ke rumah sakit untuk melanjutkan sesi terapinya yang sempat tertunda. Saat melihat Barra yang tengah duduk di sofa seorang diri Sarah langsung menghambur dan memeluknya erat, saat ini Sarah tidak perduli apa status Barra. Yang jelas saat ini Sarah sedang ingin meluapkan semua perasaan yang ada di hatinya, dan hanya di pelukan Barra Sarah dapat melakukan semua itu."Jadi kamu hanya mendapatkan enam puluh persen dari hasil penjualan itu?" tanya Barra. "Iya, itupun aku harus berdebat sengit dulu dengan Mario si pencuri bajingan itu." Kedua mata Sarah membulat lebar, ia baru teringat kalau tadi sempat menampar Mario yang terjangkit HIV. Wajahnya langsung berubah panik dan meminta Barra untuk mengajaknya tes HIV, meskipun hanya menampar Mario Sarah tetap harus waspada karena kesialan bisa datang karena ketidak sengajaan. "Oke, jangan panik. Kita tes sekarang dan sekalian terapi pergelangan kakimu agar bisa berjalan cantik
Beberapa hari di rawat di rumah sakit, kaki Sarah akhirnya sembuh juga dan kini ia tengah bersiap untuk keluar dari rumah sakit. Gabriel membawanya ke sebuah kondominium milik Barra yang baru saja di beli tiga hari yang lalu, sengaja Barra membeli kondominium itu untuk Sarah dan atas nama Sarah karena Barra tau Sarah tidak lagi memiliki tempat untuk bernaung. "Kalian sudah siap?" tanya Gabriel, Sarah dan Helena kompak mengangguk.Helena bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah terjatuh lagi sambil terus memegangi kepalanya, wajah Helena memang sudah pucat sejak datang namun ketika ditanya ia selalu menjawab kalau ia baik-baik saja. "Hel, kita ke dokter aja yuk. Mumpung kita masih di rumah sakit," bujuk Sarah."Tidak usah Sarah, aku baik-baik saja kok. Ini cuma efek alkohol di tubuhku saja yang belum ilang," "Kamu yakin Hel? kamu tidak sedang membohongi aku kan?" tanya Sarah penuh selidik karena setahu Sarah Helena itu kuat minum. "Iya aku yakin, ayo kita pulang. Aku mau liat ko
"Sarah! saya di luar unit kamu, cepat buka pintunya." titah Gabriel di telepon.Sarah yang masih mengantuk keluar dari unit dengan penampilannya yang amat berantakan, Barra benar-benar gila kemarin karena terus mencumbunya dari sore hari hingga tengah malam."Ada apa Gabriel?" tanya Sarah setelah membukakan pintu untuknya."Ganti pakaianmu, kita akan pergi sekarang.""Pergi? pergi kemana? tapi aku belum mandi Gabriel!""Tidak perlu mandi! waktu kita hanya sedikit Sarah, setidaknya ganti dulu pakaianmu dengan yang lebih baik!" ucap Gabriel tidak sabaran.Sarah kembali ke dalam dan mengganti pakaiannya dengan cardigan panjang selutut, setidaknya pakaian ini bisa menutupi bagian tubuhnya dengan baik meskipun tidak rapih."Ayo kita pergi," ajak Sarah setelah berganti pakaian.Gabriel langsung menyeret Sarah ke parkiran mobil, dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat yang Sarah yakini arahnya menuju ke bandara. Sesampainya di bandara Gabriel langsung membawa Sarah masuk ke dalam sebuah jet p
"Selamat pagi sayang," Barra mengecup bibir Sarah yang masih tertidur nyenyak di sebelahnya. Sarah melenguh ketika Barra mulai memainkan tangannya di gundukan kenyal milik Sarah, lalu melumat bibirnya yang masih terasa bengkak bekas percintaan kemarin. Seharian penuh yang mereka lakukan kemarin hanya bercinta dan bersantai di kamar, hari ini Sarah ingin jalan-jalan dan menikmati pemandangan Cappadocia secara langsung tidak hanya lewat jendela kamar hotel."One more time, baby? please." pinta Barra. "Baiklah, hanya satu kali dan setelah itu kita jalan-jalan. Aku ingin menaiki balon udara bersamamu," "Tentu saja, anything for you honey."Yang terjadi setelahnya adalah Barra ingkar pada janjinya, tiga jam berharga Sarah di hari ini akhirnya terpotong hanya untuk melayani Barra. Sarah yang kesal langsung mandi dengan tergesa-gesa, ia bahkan mengunci pintu kamar mandi agar Barra tidak bisa masuk ke dalam menyusulnya. Barra hanya bisa tertawa melihat wanitanya itu merajuk, bukan salahnya
"Bagaimana tante Arista?" tanya Luna dengan nada angkuhnya. Arista tertunduk dengan perasaan bingung yang bercampur aduk, ia tidak mungkin menyerahkan semua saham miliknya kepada Luna. Jika Arista memberikan semua saham miliknya kepada Luna, itu sama saja dengan membiarkan keluarga Lionel menginjak-injaknya di perusahaan miliknya sendiri mengingat Barra hanya memiliki dua puluh persen saham. Seandainya saja mereka kembali, mungkin Arista bisa meminta pertolongan kepadanya karena mereka pemilik saham tertinggi kedua di Amethyst. Tapi hingga kini Arista tidak tau dimana keberadaan mereka, bahkan keluarganya saja tidak tau atau lebih tepatnya tidak mau tau."Saya minta waktu untuk menunggu Barra dulu, Gabriel bilang mereka akan pulang besok." jawab Arista."Jadi tante tau dimana Barra sekarang?" Arista menggeleng lemah, "Tidak, Gabriel hanya memberitahukan kepada tante kalau Barra akan kembali besok.""Tante tidak sedang berbohong kan?" tanya Luna ragu. "Tidak, untuk apa tante berboho
"Let me go! son of a bitch!" pekik Enzo saat tubuhnya di seret paksa oleh orang bayaran Barra. "Shut your nagging mouth, Enzo! Or do you want me to give you a few more punches." Enrique menendang pinggang Enzo hingga pria itu mengerang kesakitan. Enrique melempar Enzo ke dalam sebuah rumah yang tidak Enzo ketahui siapa pemilik rumah tersebut, aura dari rumah ini begitu elegan namun terbalut dengan kesan yang dingin hingga membuat Enzo merinding. Setelah di seret cukup jauh, akhirnya Enzo di lemparkan ke hadapan seorang pria muda yang memiliki wajah ras campuran. Enzo menatapnya lekat, sampai akhirnya ia terdiam dengan mulut menganga karena saking terkejutnya."Kau, apakah kau putranya Arista?" tunjuk Enzo, berada di Indonesia cukup lama membuat Enzo fasih berbahasa Indonesia. "Apa kau mengenaliku, pria brengsek?" Barra bangkit menghampiri Enzo yang terkulai lemah di lantai. Semakin Barra mendekat, semakin Enzo yakin kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah putranya. Barra Ars
Sarah melangkah gontai ke dalam kondominium, hari ini pekerjaan di kantor begitu banyak dan melelahkan untuknya. Saat membuka pintu kamar netra Sarah melihat sosok yang sudah dua hari ini sangat ia rindukan, pria itu kini tengah duduk di bibir ranjang dengan handuk melilit tubuh bagian bawahnya dan segelas wine di tangannya. Sarah langsung berlari ke arahnya dan memeluknya erat, mereka baru tidak bertemu selama dua hari tapi rasanya seperti sudah dua abad. "Sebegitu rindunya kah kamu kepadaku, Sarah?" tanya Barra."Tentu, apa kamu tidak merindukan aku?" tanya Sarah ketus."Aku tidak bilang begitu," "Lantas kenapa malah bertanya seperti itu?""Aku hanya menggodamu sayang, kenapa kamu sensitif sekali. Apa kamu sedang datang bulan?" Sarah tersenyum lebar dengan bola mata berbinar, "Aku tidak sedang datang bulan, tapi aku sedang hamil." "Oh, kamu sedang hamil." angguk Barra santai, "Apa Sarah?! kamu hamil? aku tidak salah dengar kan?" "Tidak, aku memang sedang hamil." Barra langsung
Sarah tiba di kota J pada sore hari dengan di temani oleh Barra dan Gabriel, saat mereka tiba di rumah sakit jenazah Helena rupanya baru saja selesai di autopsi dan hendak dimandikan oleh pihak rumah sakit. Dokter mengatakan jika Helena mengalami tindak kekerasan dengan bukti pukulan benda tumpul di tengkorak kepalanya, juga pendarahan di area intimnya yang diyakini karena percobaan pengguguran kandungan. "Kami menemukan jejak seseorang yang terakhir keluar dari unit apartemen itu lewat rekaman kamera pengawas," "Saya ingin melihatnya, boleh?" pinta Sarah, karena sepertinya ia memiliki firasat jika yang melenyapkan Helena adalah Tyo. "Silahkan ikut saya," Ternyata tebakan Sarah benar, yang melenyapkan Helena adalah Tyo bahkan lelaki itu masih sempat-sempatnya menyetubuhi Helena di titik terakhir nafas Helena. Bola mata Sarah memerah menampakkan kebencian yang begitu mendalam, tangannya mengepal erat hingga kukunya tertancap di telapak tangan. "Pria itu adalah Tyo Hartanto, seoran