Sarah duduk di depan cermin besar dan memperhatikan penampilannya lekat, ini memang bukan pernikahan pertamanya namun entah mengapa Sarah merasa gugup sekali melebihi saat menikah dengan Mario dulu. Sarah mengambil secarik foto usang yang selama ini selalu ia bawa kemanapun, hanya ini satu-satunya kenangan yang bisa mengobati rasa rindu Sarah kepada mereka. Lewat batin, Sarah memohon restu kepada kedua orangtuanya dan memanjatkan harapan kalau Barra adalah pelabuhan terakhirnya hingga menutup usia nanti. "Anda sudah sangat cantik nyonya, tidak perlu cemas seperti itu." ucap si penata rias saat melihat Sarah yang nampak gelisah, Sarah hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan penata rias tersebut.Penata rias itu keluar dari kamar Sarah setelah tugasnya selesai, namun beberapa saat kemudian seorang wanita paruh baya masuk ke kamarnya dan menatapnya dengan penuh kebencian. "Ibu Arista?" "Kamu benar-benar wanita yang tidak tau diri Sarah!" Arista melayangkan tangannya hendak menampar Sar
"Sudah lama saya mencari keberadaan Indah dan Petra, ternyata saya malah menemukan putrinya." ujar Arista seraya memandangi foto ibunya Sarah. "Apa ibu mengenal kedua orang tuaku?" tanya Sarah. "Tentu, ibumu adalah sahabat terbaik saya Sarah. Tapi dimana dia sekarang?" "Ibu dan ayah sudah meninggal dunia, karena kecelakaan." jawab Sarah lirih. Arista terkejut bukan main, "Ya Tuhan, kapan itu terjadi Sarah? tapi kenapa keluarga ibumu malah mengatakan kalau mereka tidak tau dimana keberadaan Indah?" "Saat aku kuliah semester dua, karena ibu tidak lagi di akui sebagai anak mereka sejak ibu nekat menikah dengan ayah." Arista mengambil dokumen yang ada di dalam tasnya, sebuah surat kepemilikan saham yang selama ini Arista simpan rapat-rapat atas nama Indah. Seharusnya saham ini jatuh ke tangan Indah, tapi karena Indah sudah tiada maka saham ini akan jatuh ke tangan Sarah. "Apa ini bu?" tanya Sarah. "Surat kepemilikan saham milik ibumu di Amethyst, ibumu memiliki saham di perusahaan
Barra terbangun dari tidurnya saat merasakan ada tangan kecil yang mengelus pelan wajahnya, lembut dan hangat bahkan sesekali mencubit ujung hidungnya. Dhafin beringsut mundur ketika mata Barra terbuka sempurna, "Maaf, aku pasti mengganggu." "Tidak apa-apa, sekarang sepertinya sudah pagi ya?" tanya Barra sembari meregangkan tubuhnya, Dhafin mengangguk. "Dimana ibumu?" "Mama sedang di dapur menyiapkan makan untuk kita semua," Barra bangkit dan menggandeng Dhafin keluar dari kamar, harum aroma masakan Sheila merebak ketika mereka tiba di meja makan. Sheila memang pintar memasak jenis makanan apapun, karena dulu ia sempat mengikuti kursus memasak agar bisa memasak semua makanan kesukaan Barra."Kalian sudah bangun? ayo silahkan dinikmati, mumpung masih hangat." Sheila menuangkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Barra dan juga Dhafin. Dhafin yang tidak tebiasa memakan nasi, agak tidak bersemangat saat melihat sarapannya. Dhafin mendorong makanan tersebut bahkan sebelum mencicipinya
Sarah tiba di rumah bertepatan dengan kembalinya Barra setelah mengajak Dhafin jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, terlihat dari bagasi mobil Barra yang nampak penuh juga paper bag yang Gabriel bawakan dengan merek pakaian anak-anak terkenal. Sarah agak terkejut saat melihat Dhafin, namun Arista segera menyadarkannya agar bersikap tenang. Sarah maju mendekati Barra dan memeluknya dengan penuh cinta, meskipun saat ini ia sangat marah karena Barra meninggalkannya di malam pernikahan mereka hanya demi menemui Sheila. Barra pun sempat tercengang saat melihat Sarah datang bersama ibunya, padahal yang ia tau Arista sangat tidak menyukai Sarah bahkan sempat menentangnya. Tapi hari ini mereka muncul di hadapan Barra seperti seorang ibu dan anak, bahkan Arista sangat perhatian pada Sarah melebihi ke Luna dulu. "Kalian darimana?" tanya Barra dengan wajah heran. "Dari dokter kandungan, ibu kan mau lihat calon cucu ibu." ujar Arista seraya mengelus perut Sarah. "Oh ya? kenapa kamu tidak menung
Sarah dan Barra menghampiri Dhafin di kamarnya setelah urusan pribadi mereka selesai, Sarah tadinya enggan menghampiri Dhafin karena ia tau Dhafin mungkin akan menolaknya tapi Barra terus memaksanya untuk ikut. Sarah berjalan mengekori Barra di belakang, ia membawa sebuah pesawat remote control yang baru saja Gabriel bawakan demi membuat Sarah bisa mendekati Dhafin. "Dhafin ini ayah, boleh ayah masuk?"Tidak lama pintu kamar terbuka, begitu melihat Barra Dhafin langsung menghambur ke dalam pelukannya namun saat melihat Sarah tatapan polosnya berubah menjadi ketakutan. "Halo sayang, tante bawa sesuatu untuk kamu." ucap Sarah seraya mengacungkan pesawat remote di tangannya.Dhafin menepis pesawat remote tersebut hingga menabrak dinding dan patah sayapnya, "Aku gak mau! tante jahat! tante ibu tiri jahat!" Barra mulai tidak bisa menahan kesabarannya lagi, meskipun Dhafin adalah anak kandungnya namun tingkah Dhafin benar-benar sudah kelewatan. Dhafin bahkan belum mengenal Sarah, tapi di
Sesuai janji Barra, mereka hari ini mendatangi rumah Sheila namun kali ini Sarah ikut bersama mereka. Sarah membawakan beberapa perlengkapan memasak untuk Sheila karena Barra bilang Sheila suka sekali memasak, Sarah juga berharap dengan kedatangannya kali ini hubungannya dengan Sheila bisa terjalin dengan baik. Mungkin saja Sheila tidak seburuk yang Arista katakan, Sarah juga harus menilai Sheila dari pandangannya sendiri meskipun ia harus tetap bersikap waspada.Awalnya Sheila begitu senang saat melihat Barra dan Dhafin datang mengunjunginya, namun rasa senang itu langsung musnah sampai ke akar ketika ia melihat Sarah ikut serta bersama mereka. Tapi di depan Sarah Sheila tetap mempertahankan wajah ramahnya, ia harus bermain cantik untuk menyingkirkan Sarah dari Barra hingga tidak ada yang tau bagaimana sifat aslinya. "Kata Barra kamu pintar memasak, jadi aku memberikan alat masak ini untuk kamu. Semoga kamu suka," ucap Sarah sembari meletakkan peralatan memasak itu di meja makan."A
"Sheila, aku minta maaf sama kamu dan Dhafin. Aku benar-benar tidak sengaja menyakitinya, tolong maafkan aku." pinta Sarah memohon dengan mata berkaca-kaca.Melihat Sheila yang tidak kunjung bergeming meskipun Sarah sudah memohon maaf membuat Barra sedikit jengkel, Barra menarik Sarah keluar dari apartemen Sheila tanpa pamit karena tidak tahan melihat Sarah memohon sampai seperti itu. Sarah merasa sangat bersalah, meskipun ia tidak sengaja menyakiti Dhafin namun faktanya ia memang memukul pipi Dhafin. "Barra, aku benar-benar tidak sengaja menyakiti Dhafin. Tolong percaya padaku," ucapnya seraya memegangi ujung lengan kemeja Barra. "Aku tau Sarah, tapi kita tidak bisa berbuat apapun untuk membuktikan kalau kamu memang tidak sengaja memukul Dhafin." "Tapi kamu lihat sendiri kan tadi pipinya Dhafin bentol seperti terkena gigitan nyamuk, tidak ada jejak telapak tanganku disana.""Iya aku melihatnya, sekarang tenangkan dirimu dulu Sarah. Lagipula Dhafin sudah baik-baik saja," "Tapi dia
Sheila terbangun di pagi hari saat alarm di ponselnya berbunyi, senyum sumringah mengembang di bibirnya kala membayangkan rencana yang ia sudah susun akan berjalan sesuai rencana. Namun senyum Sheila mendadak lenyap ketika ia tiba di kamar Dhafin, tubuh kecil itu terbaring di lantai dengan wajah pucat pasi dan nafas yang nyaris tidak terasa. Suhu tubuh dhafin begitu tinggi, ia bahkan tidak merespon ketika Sheila berkali-kali berusaha membangunkannya. Sheila membawa tubuh Dhafin ke dalam gendongannya, ia lalu membawa Dhafin ke rumah sakit terdekat dari apartemennya. Sheila menangis memohon maaf pada Dhafin, ia tidak menyangka jika rencananya ini akan mencelakakan anaknya sendiri. "Ananda Dhafin mengalami dehidrasi, juga demamnya yang cukup tinggi hampir 40°. Kami sudah memberikan obat lewat dubur untuk menurunkan panasnya, juga infus." ujar dokter UGD yang menangani Dhafin. "Baik dok terimakasih," sahut Sheila. Dhafin masih terus terpejam meskipun kini sudah diberi obat, keadaannya