Share

BAB 7: Puisi Cinta Nayla

“Matanya coklat indah, bak permata yang berkilau ditimpa sinar mentari,” mata Nayla menatap ke atas, mencoba mendeskripsikan kembali ‘surga dunia’ yang kemarin dilihatnya.

“Gurat wajahnya sempurna. Dengan rahang tegas, alis tebal, bulu mata lentik, dan mata yang menenggelamkan dalam pesonanya,” rupa-rupanya puisi dadakan itu masih belum tamat.

“Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, sangat pas buat dijadiin sandaran hidup gue.”

“Hemm,” hanya deheman itu yang mampu Nisa ucapkan. Pasalnya, doia tak tahu harus merespon dengan cara apalagi. Sejak pagi tadi, ah tidak, pukul tiga tadi, Nayla membangunkannya dengan alasan ‘Pengen curhat soal masalah penting’. Nisa mana tahu kalau ‘Masalah penting’ yang dimaksud gadis itu adalah memuji seseorang dengan puisi dadakan yang terdengar alay.

“Punggungnya tegap, sangat cocok dijadiin tulang punggung buat gue dan anak-anak gue kelak.”

Huh

Nisa menghembuskan napas lelah, ia sudah tak tahan lagi. Ia sudah muak. Sepertinya sahabatnya itu terlalu berlebihan dalam menyanjung manusia yang entah akan ditakdirkan menjadi pasangannya atau tidak. Namun, karena dasarnya  Nisa ini memang anak yang ‘gak enakan’ membuat dia berusaha mati-matian untuk mengontrol diri dengan tak menyumpal mulut Nayla dan tak berteriak di depan wajahnya sambil mengatakan:

“BERHENTI! TELINGAKU SUDAH PANAS MENDENGAR PUISI ALAY BIN LEBAY YANG TERUS KAU UCAPKAN SEJAK PUKUL TIGA DINI HARI!!”

Tapi karena Nisa selalu ingat bahwa Tuhan menyukai hamba-hamba yang bersabar, alhasil yang bisa Nisa lakukan sekarang adalah berpura-pura tersenyum manis dan menanggapi Nayla, smabil satu tangan meremas keras selembar kertas sebagai luapan emosinya.

“Dia, adalah lelaki tertampan yang pernah gue temuin seumur hidup!”

“Siapa dia?” Nisa lekas-lekas mengalihkan topik pembicaraan sebelum Nayla kembali kambuh dan membuat puisi ke tiga puluh tujuhnya kali ini.

“Nah itu masalahnya,” Nayla  mengubah ekspresi wajahnya, “Gue gak tahu siapa dia.”

“Ciri-cirinya seperti apa?”

Sebenarnya Nisa tidak terlalu yakin bahwa dia bisa membantu, tetapi pilihannya daripada telinganya kembali panas mendengar puisi pujangga karangan Nayla, lebih baik mereka membicarakan topik lain saja.

“Dia laki-laki, tinggi, putih, bahu tegap dan-“

“Aku paham Nona, tapi tidak bisakah kau mengatakan ciri-ciri yang lebih spesifik saja?”

“Sebentar, gue inget-inget dulu.” Nayla nampak berpikir, sampai akhirnya, sedetik kemudian, dia menatap Nisa dengan wajah sumringah, “Ah gue tahu. kemarin waktu gue liat, dia bawa sesuatu. Sebuah benda!”

“Benda apa?”

“Tongkat kayu berbentuk ular.”

“Apa?!”

Mata Nisa melotot, dia tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

“Tongkat kayu? Berbentuk ular?” tanyanya memastikan.

“Iya. Pria itu terus menggenggam tongkat berbahan kayu, berukiran bentuk ular.”

Mendengar itu, ekspresi Nisa langsung berubah. Raut wajahnya sulit untuk dapat dibaca.

“Jauhi dia.” Kata Nisa pelan, namun penuh penekanan.

“Kenapa?”

“Karena lelaki itu-“ gadis itu nampak ragu, sebelum akhirnya melanjutkan, “Tak seindah seperti yang terlihat.”

****

Melihat huruf-huruf aneh di papan tulis, dan banyak orang di sekitarnya yang berbicara menggunakan bahasa yang tak ia pahami, membuat Nayla hanya diam di kursinya, tak tau harus melakukan apa.

Pagi tadi, setelah terkantuk-kantuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di mesjid, Nayla diseret paksa Nisa untuk mengikuti kelas. Tak mau kembali mengecewakan kakeknya, dengan berat hati, Nayla mengajak kedua kaki kecilnya melangkah menuju ruang kelas.

“Ini boleh dibuka gak sih?”

Nisa melotot, dan Nayla sepenuhnya tahu bahwa pelototan gadis itu berati ‘Tidak.’

“Panas Nisa, gimana lo bisa bertahan di tengah cuaca terik dengan menggunakan kerudung lebar dan pakaian panjang?” Nayla tak berhenti mengoceh, setelah pagi tadi Nisa menyuruhnya menggunakan sementara gamis-gamis miliknya, sebelum Nayla mendapatkan pakaian yang lebih pantas yang katanya akan abah kirim secepatnya.

“Pakaian ini lebih baik daripada pakaian yang Nona pilih tadi.”

Masih lekat di ingatan, bagaimana hebohnya Nisa melihat Nayla yang akan menghadiri kelas dengan menggunakan sweater dan celana jeans. Sedangkan bagi Nayla sendiri, yang terbiasa dengan menggunakan pakaian minim yang seksi, memakai pakaian tertutup sangat amat bukan ‘style-nya’, pakaian ini sama sekali bukan gayanya.

“Tapi pakaian tadi juga panjang kan? Gak liatin aurat seperti yang lo bilang.”

Nisa menghela napas, mau tak mau, dia harus kembali melakukan ceramah singkat pagi ini.

“Pakaian itu memang panjang dan menutup aurat, tapi tidak sempurna. Pakaian itu masih menampakan lekuk tubuh Nona, dan itu bersebrangan dengan aturan pesantren maupun agama. Agama kita sangat menghargai perempuan Nona, sehingga-“

“Oke, Nisa, cukup, ayok kita pergi. Sepertinya aku lebih suka mengenalmu sebagai Nisa yang pendiam dibandingkan yang banyak bicara.”

****

Pletak!

“Awh!”

Nayla meringis ketika merasakan rasa sakit di area dahinya, membuatnya akhirnya tersadar bahwa sejak tadi, ia tertidur di dalam kelas. Nayla mencari tahu sumber rasa sakit itu sampai akhirnya ia mengambil sebutir kapur berwarna putih yang menjadi inti masalahnya.

“Anda kalau mau tidur, di pondok saja, jangan di kelas saya!” nada suara sinis membuat mata Nayla mengerjap.

“Selain mengganggu pemandangan, Anda juga menghalangi santri lain dalam memahami pelajaran saya!” dihadapannya, seorang wanita bertubuh sedikit gempal, dengan kacamata di matanya, tengah berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang dan mata melotot.

“Ma-maaf, Buk,” cicit Nayla pelan. Entahlah, namun aura mematikan yang dipancarkannya mampu menciutkan nyali Nayla untuk melawan.

“Kerjakan soal nomor 4!” tunjuknya pada papan tulis yang telah diisi banyak soal berbahasa arab.

“Cepat!”

Nayla tak bisa banyak membantah, bahkan untuk meminta bantuan Nisa di sampingnya pun, Nayla tak punya kesempatan.

Sejenak, Nayla membaca soal di hadapannya. Sial! Satupun tak ada yang Nayla paham. Jangankan paham, Nayla bahkan gak ngerti apa yang ditanyakan.

“Emm- yang nomor empat ini kan ya Bu?” Nayla mencoba mengulur waktu, dan memberi kode pada Nisa untuk menolongnya. Namun Nisa yang juga ketakutan, malah geleng-geleng kepala sambil memberi kode lewat tatapan mata, “Maaf Nona, aku gak bisa bantu, Ibu Guru duduk tepat di sampingku! Jika ketahuan aku menolongmu, bisa-bisa kau mendapat hukuman yang lebih berat.”

“Apa saya harus mengulangi perintah yang jelas-jelas tadi sudah kamu dengar?”

“O- i-iya Bu, baik, akan saya kerjakan.”

Nayla kembali berbalik, menatap penuh pengharapan pada soal itu dan berharap agar tiba-tiba dia mendapati suatu fakta bahwa dia adalah keturunan manusia super yang bisa langsung mengetahui apa arti kalimat berbahasa arab di hadapannya. Namun, berulang kali Nayla menutup membuka mata, Nayla masih tak paham artinya.

Otaknya benar-benar kosong. Tak tahu harus menjawab apa.

Kalau sudah begini, Nayla tak punya pilihan lain selain pasrah dan menjawab sesuai intuisinya saja. Maka, dengan harapan agar ibu gendut itu berbelas kasihan padanya, Nayla berbalik dan menjawab ragu-ragu.

“Jawabannya,” Nayla berpikir lagi, haruskah dia menjawab asal saja? Bagaimana jika nanti Nayla malah dipermalukan di hadapan orang-orang yang menatapnya seakan tak sabar menunggunya tercebur dalam lembah penghinaan.

Tapi mau digimanapun juga, Nayla benar-benar tak paham.

Akhirnya, dengan penuh keyakinan, Nayla menatap guru itu sambil menjawab dengan penuh percaya diri.

“45 Bu!”

Mendengar jawaban Nayla, mata guru itu melotot.

“Oh, salah ya Bu? Kalau begitu jawabannya pasti 60, ya hasilnya 60!” jawabnya lagi dengan penuh percaya diri seolah-olah yakin bahwa jawabannya adalah benar.

“Eh salah lagi ya Bu?” Nayla meringis lagi ketika melihat guru itu sampai bangkit dari singgasananya, dan menatap Nayla dengan wajah yang berubah menjadi merah padam.

“Kalu gitu, seratus deh? Atau seratus enam puluh enam? Oh, saya tahu Bu,” Nayla tersenyum, “Jawabannya pasti,” Nayla menjeda kalimatnya, “166,08 centimeter kubik!”

Krekk!

Bu guru itu tak mampu lagi membendung amarahnya. Demi menyalurkan emosi yang sudah sampai ubun-ubun, dia bahkan meremas sebuah kapur di tangannya sampai patah dan berubah menjadi butiran halus.

Di dalam hati bu guru, dia bertanya-tanya, siapa santri yang telah lancang mempermainkan dan mengolok-olok pelajaran kelasnya ini? Dan santri itu bahkan masih berdiri di sana, menatap guru dengan wajah senyum seolah tanpa dosa.

“Gimana Bu, benar kan jawaban saya. Pastilah orang saya ini kan pin-“

Brakk!

Kesabaran guru sudah habis, sampai di tak sadar memukul meja di sampingnya dengan tangan mengepal.

“Keluar!” desis guru penuh penekanan.

“Tap-tapi Bu?”

“SEKARANG?!!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status