Share

BAB 6: Jin Pohon Jambu

“Toiletnya pasti terlewat.”

Laila berjalan ke arah pojok kamar mandi, memeriksa toilet jongkok berwarna hijau di sana.

“Loh? Kok-“

“Udah bersih kan?,” Nayla berdiri di ambang pintu kamar mandi, dengan suara lembut dan senyum manis yang senantiasa terpatri sejak tadi.

Melihat senyum yang tak biasanya terbit di bibir Nayla, membuat Laila merinding sendiri.

Ada apa dengan gadis itu? Tak biasanya mulutnya berkata selembut kain sarung putra yang baru dicuci? Biasanya hanya dua kata yang keluar dari bibirnya, umpatan dan sumpah serapah.

“Ah, kamu pasti lupa menguras tempat air-“ Laila tertegun ketika ia membuka tutup penampungan air, dan hanya satu kata yang dapat mewakilinya, bersih, tempat itu benar-benar bersih, sampai-sampai tak ada satupun lumut dan jentik nyamuk yang biasanya bersarang di sana.

“Udah gue bersihin, bahkan sudah kugosok pinggirannya, plus keran-kerannya sekalian,” kata Nayla santai, sambil menunjukan sikat gigi yang sudah tak karuan bentuknya, menandakan bahwa gadis itu benar-benar melakukan hukumannya, membersihkan seluruh area kamar mandi santri putri dengan menggunakan sikat gigi.

“At-“

“Atapnya pun sudah bersih, gue jamin gak akan ada lagi laba-laba yang berminat membangun sarang di sana.”

Laila meneguk ludah. Kalau begini, dia tak punya alasan untuk marah. Padahal, Laila pikir, gadis itu akan gagal lagi menyelesaikan hukuman kedua, sama seperti dia yang gagal di hukuman pertama.

“Saya sebenarnya tidak pernah percaya soal ini, tapi sepertinya, saya memang harus bertanya dan memastikan,” Laila menatap Nayla horor, “Apa kamu kerasukan?” tanyanya yang membuat Nayla bengong seketika.

“Maksudku, ini memang kesalahanku, menghukummu di sana pada saat tengah hari, di saat menurut gosip para santri, itulah waktu yang tepat bagi ‘mereka’ untuk berkeliaran selain waktu maghrib dan nanti malam.”

Nayla yang masih belum paham arah pembicaraan, balik menatap Laila dengan ekspresi bingung, “Maksud lo apa?”

“Kerajaan jin,” bisik Laila pelan, “Di bawah pohon jambu itu katanya ada kerajaan jin.”

Laila langsung memegang tengkuknya. Dia mengedikan bahunya merasa ngeri tiba-tiba. Sumpah, Laila tak pernah percaya pada hantu, mistis, dan lainnya. Baginya itu semua hanya omong kosong belaka. Bahkan, Laila tidak pernah percaya desas-desus yang tak sengaja ia dengar dari para santri bahwa area lapangan itu, terutama di bawah pohon jambu itu katanya terdapat istana jin, yang akan mengganggu siapapun yang dianggap mengganggu. Melihat perangai gadis itu yang seenaknya, Laila tak merasa heran jika jin-jin itu kemudain merasa terganggu dan merasuk ke tubuhnya.

“Mungkin sama seperti saya, para jin pun benci kamu. Sehingga mereka menempeli kamu dan membuat kamu berubah seperti ini,” Laila masih ingat bahwa saat pukul empat kemarin, saat dia kembali dari kamar mandi, dia tak menemukan Nayla di lapangan. Setelah mencari, akhirnya Laila menemukan gadis itu yang tengah duduk berjongkok di bawah pohon jambu, dengan pandangan kosong dan wajah yang terus tersenyum.

Pun saat Laila memarahi Nayla dan memutuskan untuk menambah hukuman lain, gadis itu sama sekali tak membantah atau melawan. Dia hanya tersenyum sambil angguk-angguk patuh. Dan kepatuhan gadis itu merupakan hal langka yang sepatutnya Laila curigai dari awal.

“Yang berdiri di hadapan saya ini, seperti bukan Nayla yang pembangkang, tak patuh, menyebalkan, dan menjengkelkan, seperti yang saya temui tadi pagi.”

Ah, Nayla mengerti, dia paham sekarang. Mungkin perubahannnya yang menjadi baik, malah membuat Laila takut dan berpikir macam-macam. Tapi kerasukan? Di jaman sekarang? Bukankah itu terlalu berlebihan.

Tapi, daripada melewatkan kesempatan, apakah lebih baik ia menggunakan kesempatan ini untuk mengerjai perempuan menyebalkan bernama Laila ini? Gak papalah, hitung-hitung pembalasan atas kelancangannya karena memberikan hukuman yang tak masuk akal untuk Nayla. Maka, bukannya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Nayla malah mendapat sebuah ide hebat.

Dia kembali menatap Laila tepat di matanya. Dengan tatapan kosong, dan senyum yang dilebarkan seperti tokoh Joker di film-film. Sontak hal itu membuat Laila takut dan mundur sampai ke terpojok di ujung kamar mandi.

“Hahaha, kau benar, aku memang bukan Nayla!” dalam sekejap, Nayla tiba-tiba tertawa. Bukan hal sulit bagi aktris sepertinya untuk berakting pura-pura kerasukan. Jangan lupakan bahwa di apartementnya di Jakarta, terdapat banyak piala penghargaan yang membuktikan bahwa kemampuan Nayla dalam berakting, tak perlu diragukan.

“Anak ini memang bukan Nayla, dia sudah kerasukan!” Nayla terus menatap tajam Laila, membuat wajah angkuh gadis itu hilang seketika dan berubah menjadi pucat pasi.

“Ke-kerasukan apa?” tanyanya terbata-bata.

“Jin!”

“J-jin? Jin apa?”

“Jin cinta!”

Setelah itu, hanya tawa menggelegar yang terdengar di area kamar mandi. Nayla yang tertawa puas, dan Laila yang tak sadar telah dibodohi. Yang terakhir Nayla ingat, hanyalah Laila yang menjerit lalu berlari tunggang langgang menuju ke area mesjid.

Rasakan!

****

Namanya Nisa. Dia adalah teman sekamar Nayla. Masih ingat ranjang tingkat dengan dua kasur itu? Yap, itu sebenarnya adalah kamar milik Nisa, sebelum Nayla datang dan mendeklarasikan diri sebagai raja yang berkuasa di kamar ini.

Nisa ini seumuran dengan Nayla, hanya berbeda dua bulan saja, dengan hitungan Nayla lebih tua. Gadis itu baik, pemalu, dan pendiam. Tipikal santri solehah yang takut melanggar aturan dan mengambil tantangan. Santri patuh yang teladan dan tanpa cela, berbanding terbalik dengan Nayla yang bar-bar dan urakan.

“Yang sebelah kanan dong, tangan gue pegel nih,” Nayla dengan seenaknya menjulurkan tangan kananya yang langsung dipijat oleh Nisa.

Nisa sama sekali tak keberatan, dia malah dengan senang hati menuruti kata Nayla. Karena baru kali ini dia mendapat teman. Memang dasarnya Nisa ini baik, penyabar, dan naif, sampai mau-mau saja diperintah oleh Nayla.

“Nis.”

“Iya Nayla, kenapa?”

“Kau lupa.” Nayla merajuk.

“Oh iya, maksudnya Nona Nayla, kenapa?”

Mendengar kata ‘Nona’ membuat senyum Nayla kembali terbit, “Gue mau tanya. Lo pernah ngintip pondok putra gak?’

“Astagfirullah!” Nisa langsung melepaskan pijatan tangannya, dan menatap Nayla horor, “Gak lah. Nisa gak pernah ngintip. Itu dosa! Itu melanggar peraturan. Kalau sampai Nisa melanggar peraturan, nanti-“ Nisa mendekatkan bibirnya ke telinga Nayla, “’Yang tak boleh disebutkan namanya’ marah,” bisiknya.

“Yang tak boleh disebutkan namanya?” dahi Nayla berkerut. Sebutan itu mengingatkannya pada salah satu sosok di serial Harry Potter yang juga memiliki pantangan yang sama, yaitu tidak boleh disebutkan namanya. Tapi, ini kan dunia nyata, bukan dunia fantasi buatan J.K Rowling yang harus percaya saja dengan mitos-mitos seperti itu.

“Dia, yang menghukummu tadi.’

“Owhh,” Nayla mengangguk mengerti, “Maksudmu, si menyebalkan Lail- Hmpp!“

Ucapan Nayla terpotong karena tiba-tiba Nisa membekap bibir gadis itu agar tak melanjutkan ucapan yang akan membuat mereka berdua berada dalam masalah besar. Nisa tak mau  berada dalam kondisi mengenaskan seperti yang terjadi pada Nayla.

“Jangan keras-keras nanti dia dengar.”

“Kenapa? Bukannya pondok khusus pengurus keamanan letaknya jauh dari sini?”

Seingat Nayla bahwa salah satu hak yang dimiliki oleh para pengurus adalah, mereka dapat tinggal terpisah di sebuah pondok khusus yang letaknya berdekatan dengan Bumi Ageung. Dan jika diukur dari sini, letak pondok itu lumayan jauh, jadi seharusnya Nisa tak punya alasan untuk takut karena Laila pasti tak akan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Jangan menyepelekan kekuatannya, Nona. Karena katanya, menurut desas-desus yang beredar, dia memiliki kekuatan super yang bisa mendengar dalam radius jarak beberapa puluh meter. Jika sampai ada yang berani menyebutkan namanya, dia akan langsung datang dan tak segan-segan untuk menghukum siapapun.”

“Dan lo percaya?” Nayla bertanya, “Kayaknya lo terlalu banyak nonton film, masa cuman perkara panggil ‘Laila’ aja lo udah ketakutan.”

Mata Nisa membulat, dia tak tahu kalau sahabat barunya ini ternyata sekeras kepala itu.

“Nona tidak tahu ya?” Nisa geleng-geleng kepala, mustahil bagi semua penghuni pesantren jika tak tahu soal ini. Walaupun Nayla masih baru, tapi tahu soal aturan paling atas di pondok ini, sudah seharusnya dia perhatikan.

Dengan cepat, Nisa mengambil tempat di depan Nayla, dan duduk dengan takjim seolah bersiap menyampaikan sebuah informasi yang tingkat urgensinya sangat-sangat penting untuk diketahui, “Nona tahu papan peraturan yang dicetak besar-besar di gerbang masuk pondok?”

Nayla mengangguk, “Yang ukuran tiga meter itu?”

“Ya, tepat.”

“Lalu, memangnya kenapa dengan peraturan itu?” Nayla masih tak paham arah cerita.

“Aturan ini memang tak tertulis, namun ditekankan secara tersirat.”

“Maksudnya?”

“Jika Nona perhatikan, di aturan itu langsung ke peraturan nomor dua, tidak tertulis aturan pertama. Karena aturan pertama seharusnya semua orang sudah tahu. bahkan warga-warga sekitar pesantren pun tahu.”

“Memangnya apa isi aturan pertama?”

“Isi aturan pertama itu adalah-“ Nisa menjeda kalimatnya demi memberikan kesan dramatis, “Jangan pernah sekalipun membuat ‘dia’ marah.”

“Kenapa?” tanya Nayla setelah akhirnya paham siapa ‘dia’ yang dimaksud.

“Karena kalau sampai ada yang berani membuat ‘dia’ marah, orang itu tak akan pernah hidup damai di pesantren ini. SE-LA-MA-NYA!” ujarnya dengan mata melotot dan menekankan kata terakhir.

“Oh berarti gue gak bakal hidup tenang dong di sini, karena gue udah buat dia marah tadi sore.”

“Memangnya apa yang sudah Nona lakukan?”

“Hanya hal kecil,” jawab Nayla enteng.

“Hal kecil seperti apa?”

“Gue cuman buat dia jerit dan lari tunggang langgang karena ketakutan,” ujarnya dengan senyum tanpa beban yang ingin sekali Nisa hadiahi wajah itu dengan sebuah pukulan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status