“Kenapa bisa gini?” Nisa mengusapkan lagi kapas yang telah diberi obat merah ke lutut Nayla yang terluka.“Gue gagal masuk ke area itu,” jawabnya sambil meringis merasakan perih dan sakit di lututnya yang berdarah ketika obat itu bereaksi. “Area itu dijaga, malahan gue yang dimarahi.”Nisa menghela napas lelah. Se-tergila-gila itu kah sahabatnya sampai nekat melakukan segala cara untuk bisa mengejar lelaki itu? Tak tahukah Nayla bahwa obsesinya ini mungkin akan membuatnya berada dalam zona ‘bahaya’? Yang terpenting, tak sadarkah Nayla bahwa saat ini ia mengejar-ngejar manusia yang sebenarnya tak pantas mendapatkan cintanya? Manusia itu memiliki hati yang terlalu keras untuk bisa dipecahkan Nayla begitu saja. Dan gadis itu malah seakan memberi kesempatan, menyerahkan diri sendiri untuk dapat dihancurkan oleh lelaki itu.“Itu pondok khusus laki-laki, tentu saja dijaga. Mustahil santri lain, apalagi perempuan bisa masuk ke sana.”Nisa tak paham jalan pikiran Nayla. Sejauh ini, 20 tahun
Pagi ini, sekitar lima belas menit lagi menuju adzan pertama sholat subuh, Laila sudah berjalan dengan gagahnya menelusuri setiap jengkal pondok putri. Seperti tugasnya setiap hari, Laila akan melaksanakan pemeriksaan intensif dan berkala di seluruh area demi memastikan tidak ada santri lain sejenis Nayla yang bersembunyi dan bolos sholat subuh berjamaah. Tuk Tuk Tuk Ketukan sepatu boots berwarna coklat kebanggannya, nampak berbunyi setiap kali ia melangkah, seakan memberi peringatan bagi para santri yang berniat bolos, untuk jangan macam-macam dengan Laila. “Sepertinya sudah aman, lorong-lorong tempat persembunyian mereka pun kosong,” gumamnya pelan setelah meninjau area yang biasa digunakan para santri untuk bersembunyi. Merasa udara semakin dingin, Laila membenarkan posisi jasnya, sebuah jas dengan warna hijau neon yang mencolok, yang menjadi ciri khas dari si penanggung jawab keamanan pondok putri itu. Laila dikenal memiliki gaya berpakaian yang unik, dia lebih senang memadu
“Kita mau ke mana, Abah?”Belum sempat Nayla masuk ke kelas tadi, tiba-tiba gadis itu dikejutkan dengan suara abah yang memanggilnya. Tentu awalnya Nayla merasa senang, karena setelah dua hari perang dingin, akhirnya abah mau juga berbicara dengannnya.“Ke suatu tempat,” jawaban template itu lagi. ini sudah kali ke sekian Nayla mendapatkannya. Bukannnya apa-apa, hanya saja Nayla penasaran, ke mana abah akan membawanya pergi.“Apa Abah akan menghukumku lagi? Seingatku, aku tak melakukan kesalahan besar akhir-akhir ini,” Nayla mencoba mengingat-ingat lagi, barangkali akhir-akhir ini ia membuat satu tindakan yang secara tak sadar telah membuat abah marah dan kembali memberinya hukuman.Eh tunggu? Apakah ini soal Laila? Apakah dia yang mengadu pada abah soal kejadian kemarin?“Kalau soal Laila, Abah, aku udah baikan kok sama dia, jadi kumohon jangan menghukumku lagi.”“Laila? Kenapa Neng bawa-bawa namanya?”Jawaban bingung abah membuat Nayla tahu bahwa ini bukan tentang kejadian kemarin.
“Sa.”“Sa-nya digigit.”“Tsa.”“Pinter,” pujinya sambil mengusap pelan puncak kepala Aisha.“Kalau ada huruf hiajiyah dengan bentuk mangkok dan tiga titik di atas, dibacanya bukan ‘sa’ tapi ‘Tsa’, pelafalannya diujung lidah. Mengerti?”Aisha mengangguk sambil tersneyum. Begitupun dengan seorang perempuan dewasa yang nampak duduk sambil terpesona melihat pemandangan indah di depan mata.Sejak satu jam lalu, sejak langkah kaki pertama Ustadz Zayyan masuk ke dalam kelas, sudah membuat wajah gadis itu berubah drastis. Dari yang tadinya sebal, kesal nan emosi, menjadi riang, gembira dan senyum yang senantiasa terpatri.Ya, bagaimana tidak senyum, jika tepat satu meter di depannya, sang pujaan hati yang sejak kemarin dia cari-cari akhirnya nongol sendiri di depan mata. Selain bisa melihat ketampanan sang pangeran, hal yang membuat hati Nayla seakan tengah mengadakan konser itu, adalah ketika melihat begitu lembutnya pria itu mengajari anak-anak belajar huruf hijaiyah.“Man mungkin lelaki se
Sebelum matahari menyingsing, sebelum sinarnya menyapa bumi, seorang gadis terlihat sudah duduk manis di atas sebuah kursi kecil berwarna merah muda. Dia nampak tak bisa diam, seakan tak sabar menunggu kelas pagi yang baru akan dilaksanakan sekitar satu jam lagi.Pagi tadi, sebelum menunggu penceramah selesai memberikan materi khusus seusai sholat subuh, Nayla ijin pergi ke kamar mandi, namun sampai sekarang, Nayla bahkan tak pernah kembali. Rupa-rupanya gadis itu malah kabur dan berlari menuju sebuah kelas bercat warna-warni dan plang di depan pintu bertuliskan:KELAS 1 A“Pokoknya aku harus jadi yang pertama, biar Ustadz Zayyan tahu kalau aku orangnya rajin dan disiplin,” Nayla bergumam kepada dirinya sendiri, “Aku gak sabar liatin tugas yang udah berhasil dikerjain, kira-kira pujian apa yang yang bakal dia kasih?”Sejak semalam, Nayla tak bisa tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, yang terlihat hanya gambaran Ustadz Zayyan yang membuatnya seakan tak mau berhenti membayangkan tenta
“Japar punya satu cara.”“Bagimana caranya?” tanya Nayla penasaran. Sepertinya, lama berada di tempat ini membuat otak Nayla agak tergeser sedikit, sehingga bodohnya dia percaya saja pada bocah kecil yang mengaku memiliki kemampuan magis untuk men-comblangkan pasangan.Japar celingak-celinguk, memastikan bahwa tak ada siapapun yang akan mendengar rencana brilian yang akan ia utarakan. Seakan sedang bertransaksi barang terlarang, Japar mendekatkan wajahnya sambil berbisik dan berkata,“Surat Cinta, itulah caranya.”****“Nis, kamu pernah buat surat cinta?” tanya Nayla di sela-sela kegiatannya yang tengah menghitung cicak di atap kamar. Sedangkan Nisa, yang siajak bicara, terlihat tengah sibuk memasukan pakaian-pakaian yang baru selesai di setrika ke lemari kecil di pojok ruangan.“Gak, aku gak pernah buat surat kayak gitu. Tapi-“ Nisa menghentikan kegiatannya sebentar, “Aku gak pernah kirim, tapi kayaknya aku pernah dapat beberapa.”Mendengar itu, Nayla yang tengah rebahan di kasurnya
“Hadeuh, ini gak ada steak atau salad gitu?” Nayla kembali mengeluh ketika melihat menu makanan di atas piringnya.“Masa cuman makan sama tempe, sama sayur kangkung? Gak elit banget sih,” keluhnya lagi smabil melempar sendok dan garpu ke atas meja yang menghasilkan bunyi denting yang nyaring.“Jangan menghina makanan, Nona, seharusnya kita bersyukur masih diberi rezeki untuk makan, sedangkan masih banyak yang nasibnya tidak seberuntung kita, benarkan Aish?” ujar Nisa bijak sambil meminta persetujuan pada bocah kecil yang tengah asyik mengunyah tempe goreng di sampingnya.Dengan mulut penuh yang membuat pipinya tambah chubby, Aisha mengangguk sambil berucap, “Benar Kak, yang terpenting itu sehat, semua nutrisi terpenuhi. Bukan seberapa mahal atau murahnya makanan, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa tetep bersyukur dan mendapatkan keberkahan juga manfaat dari makanan yang kita konsumsi.”Nisa tersenyum, ia tak bisa menahan diri untuk tak mengusap pipi Aisha sebagai wujud perasaa
Matamu, magis apa yang dimilikinya sehingga mampu membuatku jatuh sedalam ini?Daya tarik apa yang dimilikinya sehingga mampu menenggelamkan dan mengurungku dalam pesonanya.Sehingga rasa-rasanya, walaupun aku berhasil menampik magismu, yang bisa kulakukan hanya pasrah dan kembali mengorbankan diri untuk jatuh pada jebakanmu, dan berharap aku akan terjebak di sana selamanya.Apakah aku yang terlalu payah, atau personamu yang terlalu kuat?Sehingga segalanya tentangmu, sekecil apapun, adalah istimewa?Sialnya, hanya dengan melihat dirimu bernapas, atau melihatmu masih berjalan di muka bumi saja, sudah cukup menjadi alasanku untuk tetap hidup.Aku berharap bisa memiliki lebih banyak waktu.Untuk melihatmu dan terus berharap agar kau pun melihatku.Pada akhirnya, menemukanmu membuatku menyadari bahwa cinta masih ada di sebuah tempat.Di ruang kecil yang berwarna coklat.Di matamu.Tertanda,Dari aku yang mengagumimuUntuk kamu, duniaku.“Dari siapa surat itu?” Terdengar suara tawa dari