Dian keluar dari gedung nusantara dengan wajah semringah. Wawancara dengan narasumber selesai dilakukan, setelah menunggu hampir dua jam. Memang tidak mudah mewawancarai anggota DPR, apalagi jika yang bersangkutan tidak berada di kantor. Harus menunggu terlebih dahulu hingga datang.
“Pantesan aja artis banyak yang minat jadi anggota DPR. Duitnya gila!” gumam Dian bermonolog dengan kaki melangkah menuju area parkiran.
“Kerja bisa nyantai, duit masuk ratusan juta. Beda sama gue yang harus pontang-panting kerja demi sedikit cuan,” racaunya lagi setengah berbisik.
Ponsel bergetar di dalam saku ketika ia membuka pintu mobil. Dian mengetuk sekali earphone bluetooth yang terpasang di telinga kiri. Dalam hitungan detik terdengar suara pria di seberang sana.
“Gimana, Di? Sukses?” tanya suara bas.
Dian memutar bola mata seraya meletakkan tas ransel di kursi penumpang kiri mobil. “Sukses dong, Pak. Dian gitu loh!” sahutnya bangga.
“Krisdayanti bilang apa tentang statemen sebelumnya?” Pertanyaan lain diajukan oleh redaktur.
Gadis itu duduk di dalam mobil, kemudian menyalakan mesin. Dia bersandar seraya memukul pelan pundak dengan kepalan tangan.
“Biasa, Pak. Meluruskan berita sebelumnya. Katanya sih dana reses itu nggak masuk ke dana pribadi, tapi untuk kegiatan aspirasi daerah,” jelas Dian sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Krisdayanti saat wawancara tadi.
Dia baru saja mewawancarai penyanyi kondang Indonesia yang sekarang duduk di kursi DPR. Sang Artis sebelumnya sempat membuat geger dengan pernyataannya mengenai detail gaji dan uang yang diterima oleh masing-masing anggota perbulan.
“Kirim beritanya sekarang, biar saya masukkan berita headline,” suruh redaktur tempat Dian bekerja.
“Sekarang, Pak?” Mata hitam itu membulat sempurna.
“Iya sekarang!”
“Yah, nggak bisa sekarang banget, Pak. Belum saya tulis artikelnya,” sahut Dian dengan wajah mengerucut.
“Lima menit bisa ya?”
Bibir tipis Dian auto berkerut-kerut. Perut yang belum diisi sejak tadi pagi sudah mulai berdendang di dalam sana. Niat untuk memakan ketoprak di daerah Senayan terpaksa ditunda.
“Dian?” Ternyata redaktur masih menunggu jawabannya.
“Ya udah deh, Pak. Lima menit tanpa editing ya,” tawar Dian pasrah.
Pekerjaan yang dilakoni memang seperti ini, semua kejar tayang. Apalagi berkaitan dengan isu yang sedang panas. Pasti berlomba-lomba dengan media lain dalam meluncurkan berita.
“Lo harus kerja baik-baik dulu di sana, Di. Mulai dari bawah lagi, biar cepet naik jadi redaktur.”
Kalimat yang pernah dilontarkan Raline sewaktu dirinya baru bekerja di Yohwa.com and Magazine kembali terngiang. Sang sahabatlah yang merekomendasikan Dian bekerja di perusahaan ini, karena jenjang karir yang bisa dikatakan bagus.
Setelah panggilan berakhir, Dian langsung menuliskan hasil wawancara dalam bentuk artikel berita. Dengan keahlian sepuluh tahun sebagai wartawan, ia menyusun kata demi kata yang menarik tapi tidak keluar dari jalur. Semua sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Krisdayanti, meski diberikan bumbu penyedap.
Menjelang menit kelima, sebuah artikel berjudul ‘Bukan Masuk Kantong Pribadi, Inilah Fungsi Dana Rp 450 juta Anggota DPR’ berhasil dikirimkan melalui email. Dian juga menuliskan pesan ke aplikasi chat milik redaktur, agar membuka surat elektronik.
Tak lama sebuah pesan masuk ke ruangan obrolan yang sama.
Redaktur Keceh: Dian jangan balik ke kantor dulu. Langsung ke balai kota, ada berita hangat. Nanti saya kirim detailnya.
“Astaga, Pak. Tanya kek saya udah sarapan atau belum. Ini udah minta kirimin berita cepet-cepet, eh sekarang disuruh ke balai kota.” Dian kembali mengeluh melalui monolognya.
“Mana belum ke bengkel benerin pintu mobil lagi,” sambungnya langsung membuat mata hitam bulat itu kembali mendelik. Sesaat kemudian ia mengacak rambut saking frustasi.
“Kenapa sih apes banget hari ini? Pagi udah dapet sarapan jodoh, trus keserempet, sekarang dikejar deadline lagi,” gerutunya membuang napas keras.
“Si Fajar. Bisa habis setengah gaji gue kalau benerin dinding mobil pakai duit sendiri,” cetusnya sembari mengeluarkan kartu nama dari saku celana katun yang dikenakan. Dia melihat jam tangan, waktu telah menunjukkan pukul 10.00. Artinya sudah lewat 3 jam dari waktu yang telah ditentukan pria itu.
Baru saja ingin menginput nomor yang tertera di kartu nama, sebuah panggilan video masuk ke aplikasi w******p. Nama Keysa tertera di layar monitor. Dian segera meletakkan ponsel di holder phone dashboard mobil, kemudian menggeser tombol hijau.
“Nggak kerja lo, Cong?” sapa Dian tak biasa setelah wajah Keysa muncul.
“Lagi gabut gue. Lo di mana sekarang? Tumben pake mobil, biasanya pake motor butut lo,” ujar Keysa dengan kening berkerut.
Dian mengambil lagi ponsel dari holder kemudian mengganti kamera belakang. “Nih lagi di senayan.”
Gadis itu kembali menukar kamera setelah mengambil gambar sekitar gedung nusantara. “Enak banget lo sekarang gabut. Gue harus buru-buru ke balai kota lagi disuruh sama Pak Gatot,” terangnya meletakkan lagi handphone di holder.
Keysa cekikikan di sana. “Lo kenapa nggak muncul sih di grup? Pada cariin tuh. Baca doang tapi nggak balas apa-apa.”
Dian mengganti tuas gigi, sebelum kendaraan Veloz itu bergerak meninggalkan area parkiran. “Kagak sempat, Cong. Pagi gue udah dicecar lagi masalah jodoh sama Nyokap, trus di jalan keserempet sama motor. Mana orangnya main pergi aja, cuma tinggalin kartu nama. Apes gue hari ini,” papar Dian geleng-geleng kepala tanpa menoleh ke ponsel.
“Makanya cepet cari suami, biar nasib lo nggak apes lagi. Kalau bisa buang tuh koleksi film dewasa lo. Kali aja itu yang bikin lo belum ketemu jodoh sampai sekarang. Lihat aja rambut lo sampai acak-acakan,” ledek Keysa cekikikan lagi.
Pandangan Dian beralih ke arah spion tengah. Apa yang dikatakan Keysa benar, rambut pendeknya kusut berantakan. Jari-jari tangan kiri langsung merapikan lagi rambutnya ke bentuk semula.
“Tahu ah, Cong. Kayaknya jodoh gue emang nggak ada deh di dunia.” Wajah Dian tampak menyedihkan ketika mengucapkan kalimat terakhir.
“Eh, nggak boleh gitu, Di. Nanti jadi doa loh. Beneran nggak ada jodoh lo baru tahu rasa,” balas Keysa berdecak kesal.
“Ya habisnya gitu.” Dian kembali fokus melihat jalan raya.
“Makanya cobain saran Bang Daffa deh. Cari di masjid subuh-subuh. Lo sih nggak ada effort buat cari cowok baik-baik.”
Dian terdiam sejenak ketika memikirkan kemungkinan hal itu berhasil. Kepalanya langsung bergerak ke kiri dan kanan.
“Kayaknya nggak mungkin deh, Cong. Dese ngadi-ngadi tuh suruh gue cari cowok di masjid subuh-subuh.” Dian menoleh sebentar ke ponsel, agar bisa melihat wajah bingung Keysa.
“Coba deh lo pikir. Masjid aja biasanya diisi sama orang umur 50an. Ya kali gue nikah sama aki-aki.” Dian bergidik ngeri membayangkan menikah dengan pria berusia di atas 50 tahun.
“Sotoy lo, Di. Siapa bilang sekarang masjid isinya aki-aki?” Keysa tergelak dengan raut kesal. “Lo aja ke masjid dua kali setahun, tahu dari mana coba?”
“Astaga, Dian. Gregetan gue sama lo deh. Coba aja dulu gih. Sekalian belajar salat lagi yang bener.” Keysa geram sendiri dengan kelakuan sahabatnya.
Dian garuk-garuk kepala seraya nyengir kuda. Andai mereka sekarang bertemu langsung, Keysa sudah pasti mencubit pipinya keras. Meski sudah tidak muda lagi, kelakuan Rempongers ketika bertemu masih seperti anak kuliahan. Mereka seru sendiri hingga lupa umur.
“Emangnya sekarang ada yang muda ya?”
“Iya. Coba aja lihat kalau nggak percaya.”
“Ya habis, selama ini yang gue tahu penghuni masjid kalau nggak aki-aki ya nini-nini.” Dian kembali melirik ponsel yang ada di dashboard.
“Nggak ada salahnya lihat dulu daripada menduga-duga.” Keysa menghela napas singkat kemudian menatap sendu layar ponsel. “Bang Daffa pasti tahu kondisi masjid sekarang gimana, Di. Makanya nggak sembarang kasih lo saran.”
“Gitu ya?” Giliran Dian bingung sendiri.
Keysa mengangguk semangat. “Besok mulai gih. Pasang alarm deh jam 4 subuh, trus mandi biar wangi dan siap-siap ke masjid. Semoga ketemu jodoh lo.”
“Iya deh, bawel.”
“Jangan lupa weekend ngumpul di GI (Grand Indonesia) ya. Rara pulang ke Indo besok.”
“Aman. Siap!”
“Sekalian cerita hasil observasi subuh lo ke kita-kita,” pungkas Keysa sebelum panggilan berakhir.
Dian meniup napas ke atas sehingga pinggir rambut yang menutupi area kening naik. Kepalanya bersandar lagi di jok dengan pandangan lurus mengawasi jalan.
“Cari jodoh subuh-subuh di masjid?” Raut optimis muncul di wajah Dian. “Siapa takut!”
Bersambung....
“Dian, besok kamu datang ke Kementerian Sosial. Coba cek kegiatan menteri sekarang apa saja? Berita tentang beliau tidak segencar awal menjabat belakangan ini,” titah Gatot, redaktur keceh Yohwa.com and Magazine.“Untuk berita media cetak kamu bisa cari topik apa saja yang kontroversi. Kamu udah pintarlah cari hot topic tanpa perlu disuruh lagi,” tambah pria itu menepuk bahu Dian sebelum meninggalkan ruang rapat.Gadis itu hanya bisa pasrah seraya membuang napas lesu. Pikirannya sekarang bercabang. Tidak hanya masalah pekerjaan, tapi juga teror jodoh yang dilayangkan oleh sang Ibu. Kasihan juga jika Citra tidak jadi menikah karena dirinya.“Nggak pulang, Kak?” tanya wartawan satu bidang dengannya saat melihat Dian masih bergeming di tempat duduk.Kepala Dian bergerak lesu ke kiri dan kanan. Dia mengambil laptop dan buku catatan sebelum berdiri.“Lagi nggak mood pulang gue, Cong,” jawabnya den
Dian tersenyum sendiri ketika ingat dengan bacaan ayat al-qur’an yang dilantunkan oleh ustaz tampan ketika salat subuh tadi. Suaranya begitu merdu, iramanya juga indah. Terdengar seperti bacaan imam salat Ied di televisi.“Nak Fajar itu lulusan S1 Universitas di Madinah. Makanya bacaan suratnya bagus dan jelas,” kata wanita paruh baya bernama Jamilah, yang tadi duduk di sebelah Dian. Dialog itu tercipta ketika ia memuji kefasihan ustaz tampan bernama Fajar dalam membacakan ayat demi ayat al-qur’an.Gadis itu langsung menelan ludah ketika ingat dengan nama Fajar. Seperti baru saja didengar dua hari terakhir, tapi di mana ya?“Astaga!” serunya menepuk kening sendiri saat berdiri di depan cermin kamar.“Namanya sama dengan cowok yang kemarin bikin dinding mobil kantor lecet. Mana gue lupa lagi telepon gara-gara kebanyakan pikiran,” sambung Dian segera mengambil ponsel dari atas nakas.“Kartu nama!&
Seperti pagi sebelumnya, Dian kembali melakukan salat Subuh ke masjid. Tentu saja berharap bisa berjumpa lagi dengan ustaz tampan bernama Fajar yang telah mencuri perhatiannya. Ah, hatinya juga.Jangan pernah berpikir gadis itu telah menunaikan salat lima waktu, seperti yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Tidak! Dian hanya menunaikan salat Subuh saja, itupun dengan niat yang salah. Apalagi jika bukan mencari jodoh dan pagi tadi untuk bertemu dengan Fajar.Namun harapan tak sesuai dengan kenyataan. Pria yang diidamkan ternyata tidak menunjukkan batang hidung di masjid tersebut. Dian kecewa luar biasa sampai berkali-kali ingin bertanya kepada ibu kemarin. Untuk menjaga wibawa, akhirnya ia menelan mentah-mentah pertanyaan tersebut.“Cari ape sih, Mpok?” tanya Citra ketika melihat Dian krasak-krusuk mencari sesuatu di lemarinya.Dian menoleh malas sebentar ke sela pintu, kemudian fokus lagi mengacak bagian dalam lemari.“Ditany
“Bapak lagi nggak bercanda, ‘kan?” Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.“Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak.” Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.Dia ingat wajah gue? Jan
Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang dis
Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya
Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh
Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,