Share

BAB 8: Weekend Bersama Rempongers

Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?

“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.

“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”

Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.

“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.

“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya yang tergila-gila dengan ustaz tampan.

“Kambing! Serius lo, Di?” seru Raline menepuk keras lengan Dian.

Sontak gadis berambut pendek itu mengangguk lesu. “Habis ganteng banget, Cong. Kayaknya emang jodoh gue deh.”

Raline melihat Gita, Ina dan Keysa yang shock mendengar pengakuan Dian bergantian. Mereka tak pernah menyangka gadis seperti Dian jatuh cinta kepada seseorang yang memiliki predikat sebagai ustaz.

“Artinya lo bener-bener disuruh tobat tuh, Di,” komentar Keysa setelah mengembalikan kesadarannya.

“Kayaknya koleksi film dewasa lo bakalan lenyap dari memori laptop dong,” imbuh Ina setelahnya.

“Penampilan kau juga lebih apa itu namanya dalam Islam?” Gita kebingungan mencari istilah pakaian sesuai dengan syariah, karena beragama Kristen.

“Syar’i istilahnya sekarang, Git,” desis Ina kemudian.

“Ah, itu dia maksudku.” Gita kembali melihat kepada Dian.

Gadis yang berpenampilan paling tomboi di antara mereka langsung garuk-garuk kepala. “Ya, minimal pakai kerudung lah.”

“Andai ada Christine di sini, bisa minta pendapat model pakaian muslim yang lagi ngetren tuh,” sambungnya menatap lesu ke arah meja yang masih kosong.

“Bener juga. Christine ‘kan sekarang buka butik pakaian muslim di Liberty (nama departemen store yang ada di kota London).” Keysa membenarkan.

“Tenang aja. Nanti gue suruh dia kirim ke sini khusus buat lo, Di.” Raline yang paling pengertian dengan kegalauan Dian, menawarkan bantuan. “Tapi ongkirnya lo yang bayar.”

“Sialan lo, Cong. Habis dong gaji gue buat bayar ongkir doang,” sungut Dian dengan wajah berkerut-kerut.

“Eh, watch your mouth, Dear. Calon istri ustaz harus lemah lembut dan kata yang keluar harus difilter sekarang,” tegur Ina seraya menggelengkan kepala, “nggak boleh ada lagi Cong-congan, dese-desean dan acaraan.”

“Setuju aku sama kau, Na. Dian harus belajar jadi perempuan dulu, sebelum ubah penampilan,” tambah Gita setuju.

“Itu dia. Bener banget.” Keysa ikutan manggut-manggut.

Wajah Dian auto ditekuk mendengar perkataan ketiga sahabatnya barusan. Terlalu banyak yang harus diubah sebelum sampai di tahap pantas untuk mendampingi seorang ustaz. Apalagi gadis itu benar-benar hancur, masih beruntung kesuciannya sebagai wanita masih terjaga.

“Ketemu di mana sih?” Raline mengajukan pertanyaan.

“Ya, si Rara pake tanya lagi. Udah jelas ikuti saran dari Bang Daffa dong.” Keysa mewakili Dian menjawab pertanyaan Raline.

Mata cokelat Raline melebar sempurna seiringan dengan bibir yang menganga. “Serius, Di? Lo udah salat di masjid sekarang? Subuh-subuh?”

Kepala yang dihiasi rambut pendek itu mengangguk pelan.

“Udah salat lima waktu dong sekarang?” tanya Raline benar-benar antusias. Dia tahu persis bagaimana Dian yang sangat jauh dari pengetahuan agama dan Islam.

“Masih subuh doang sih, Cong. Yang lain belum. Maybe habis ini,” sahut Dian nyengir kuda.

Raline, Keysa dan Ina geleng-geleng kepala mendengar perkataan Dian. Sementara Gita memilih menjadi pendengar yang budiman, karena merasa bukan ranahnya ikut bicara.

“Trus, ceritanya gimana?” Ina menumpu kepala dengan telapak tangan.

“Pesen makanan dulu deh. Nggak enak tuh,” saran Keysa sebelum Dian mulai bercerita tentang pertemuannya dengan pria pujaan.

Alhasil mereka berlima memilih menu masing-masing, sebelum kembali berbagi cerita. Biasanya Rempongers bisa berada di restoran tersebut selama berjam-jam.

“Eh, Mbak Raline. Kapan pulang ke Jakarta?” sapa salah satu pelayan yang ngefans dengannya sebelum menuliskan menu makanan yang akan dipesan.

“Dua hari lalu sih, Mbak.” Raline tersenyum ramah. Meski terkenal, ia tetap rendah hati kepada penggemar.

“Mau pesan apa, Mbak?”

Kelima orang perempuan absurd itu meminta menu makanan kesukaan masing-masing. Setelahnya mereka saling berbagi tatap.

So.” Gita tersenyum penuh makna kepada Dian yang mulai salting (salah tingkah).

Dian menarik napas panjang sebelum bercerita. Gadis itu mulai menceritakan semua, dari tabrakan membawa hikmah yang terjadi beberapa hari lalu, hingga pertemuannya dengan Fajar kemarin. Tidak ada yang terlewatkan satu detail pun. Dari caranya bercerita, terlihat jelas binar cinta di sorot mata hitam kecil bulat itu.

“Gantengan mana dari laki gue?” Raline kepo dengan wajah Fajar.

“Ya, si kambing. Jangan bandingkan dese sama laki lo yang bule dong, Cong,” cibir Dian memutar bola mata.

“Sama Brandon cakepan mana?” Keysa jadi teringat dengan salah satu karyawan cassanova yang pernah bekerja di kantornya.

“Lebih cakep dari Brandon dong, Cong. Dese udah jadi milik Arini, gantengnya ilang.”

“Ada fotonya nggak?” Ina penasaran juga.

Dian tersenyum manis sekali, nyaris membuat semut menderita diabetes.

“Kalau tersenyum macam ni. Sudah pasti punya.” Gita tersenyum jail.

“Ada dong. Tadi gue ambil waktu wawancara.”

Keempat perempuan yang sudah memiliki pasangan itu menjadi kepo tingkat tinggi. Mereka mendesak Dian menunjukkan foto pria yang bisa apes mendapatkan cinta darinya.

Gadis itu menjepit bibir dengan erat ketika berpikir sejenak. “Nggak sekarang deh. Nanti aja kalian lihat di artikel yang dimuat Yohwa.com and Magazine. Pasti gue share link beritanya di grup,” katanya mengurungkan niat memperlihatkan foto Fajar.

“Yaaah.” Nada kecewa serentak terdengar dari sela bibir keempat wanita berusia tiga puluhan itu.

Dian kembali diam ketika ingat dengan perempuan muda yang bertemu dengannya di ruangan kerja Fajar kemarin. Kelopak mata bulat itu berkedip pelan.

“Mikirin apa sih, Di?” selidik Ina melihat perubahan raut wajah sahabatnya.

Pandangan gadis itu bergerak ke arah keempat sahabatnya satu per satu. “Ada yang masih ngeganjal sih di hati gue.”

“Apa?” tanya keempat anggota Rempongers lainnya serentak.

“Status dese dan cewek yang gue lihat di kampus kemarin.”

“Maksud kau?” Gita bersuara.

Dian menceritakan bagian yang belum dikatakannya. Mengenai perempuan anggun berpakaian syar’i yang terlihat akrab dengan Fajar kemarin.

“Menurut kalian ada nggak sih mahasiswa yang panggil Mas ke dosen di kampus?”

Raline, Keysa, Ina dan Gita menggeleng serentak.

“Kalau sesama dosen?”

“Kayaknya panggil Bapak deh, kecuali kalau emang deket banget,” tanggap Raline disambut anggukan kepala dari yang lain.

Dian menumpu dagu di telepak tangan sembari menatap lurus ke depan. “Cewek ini panggil Pak Fajar dengan sebutan Mas. Trus dia sebut Abi juga.”

“Jangan-jangan dia itu ….” Keysa menggantung kalimat ketika mengedarkan pandangan kepada keempat sahabatnya.

“Gue pikir juga gitu, Key,” komentar Raline.

“Gue juga,” imbuh Ina.

“Aku pun sama,” timpal Gita.

“Dia itu apa?” Dian tampak was-was karena memikirkan hal yang sama juga.

“Sebaiknya kau pastikan dulu status laki-laki itu apa, Di. Tak tega aku lihat kau sudah berharap, eh malah suami orang.” Gita menatap prihatin sahabatnya.

Dian menarik napas pendek sebelum menegakkan tubuh. Dengan lugas ia mengatakan, “Walau udah punya istri. Gue mau jadi yang kedua!”

Perkataan Dian barusan membuat keempat sahabatnya melongo tak percaya.

“Gila lo!”

“Kau gila!” seru mereka serentak dengan wajah garang.

Bersambung....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dar Mawan
bagus sekali cerita ini kaya di tv
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status