Beragam warna mata kini menatap Dian bingung. Mereka butuh penjelasan maksud perkataan gadis itu barusan. Mengubah penampilan seperti apa yang ingin dilakukan?
“Jelaskan, Di. Tak paham aku maksud perkataan kau itu. Ubah penampilan macam mana?” Gita dengan rasa kepo tingkat tinggi, disambung dengan anggukan kepala oleh sahabatnya yang lain.
“Sebentar!” sela Raline seraya meletakkan kedua tangan di atas meja. Mata cokelat lebarnya menatap Dian serius. “Jangan bilang sumpah gue jadi kenyataan.”
Bibir tipis Dian mengerucut sebelum kepala bergerak ke atas dan bawah. Gadis itu ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Raline beberapa tahun lalu.
“Awas lo ya, Di. Beneran gue sumpahin nikah sama ustaz lo nanti.” Begitulah yang dikatakan oleh Raline pada waktu itu.
“Mana ada ustadz yang mau nikah sama cewek kayak gue, Cong? Yang bener aja lo,” timpal Dian terdengar konyol. Sekarang malah dirinya yang tergila-gila dengan ustaz tampan.
“Kambing! Serius lo, Di?” seru Raline menepuk keras lengan Dian.
Sontak gadis berambut pendek itu mengangguk lesu. “Habis ganteng banget, Cong. Kayaknya emang jodoh gue deh.”
Raline melihat Gita, Ina dan Keysa yang shock mendengar pengakuan Dian bergantian. Mereka tak pernah menyangka gadis seperti Dian jatuh cinta kepada seseorang yang memiliki predikat sebagai ustaz.
“Artinya lo bener-bener disuruh tobat tuh, Di,” komentar Keysa setelah mengembalikan kesadarannya.
“Kayaknya koleksi film dewasa lo bakalan lenyap dari memori laptop dong,” imbuh Ina setelahnya.
“Penampilan kau juga lebih apa itu namanya dalam Islam?” Gita kebingungan mencari istilah pakaian sesuai dengan syariah, karena beragama Kristen.
“Syar’i istilahnya sekarang, Git,” desis Ina kemudian.
“Ah, itu dia maksudku.” Gita kembali melihat kepada Dian.
Gadis yang berpenampilan paling tomboi di antara mereka langsung garuk-garuk kepala. “Ya, minimal pakai kerudung lah.”
“Andai ada Christine di sini, bisa minta pendapat model pakaian muslim yang lagi ngetren tuh,” sambungnya menatap lesu ke arah meja yang masih kosong.
“Bener juga. Christine ‘kan sekarang buka butik pakaian muslim di Liberty (nama departemen store yang ada di kota London).” Keysa membenarkan.
“Tenang aja. Nanti gue suruh dia kirim ke sini khusus buat lo, Di.” Raline yang paling pengertian dengan kegalauan Dian, menawarkan bantuan. “Tapi ongkirnya lo yang bayar.”
“Sialan lo, Cong. Habis dong gaji gue buat bayar ongkir doang,” sungut Dian dengan wajah berkerut-kerut.
“Eh, watch your mouth, Dear. Calon istri ustaz harus lemah lembut dan kata yang keluar harus difilter sekarang,” tegur Ina seraya menggelengkan kepala, “nggak boleh ada lagi Cong-congan, dese-desean dan acaraan.”
“Setuju aku sama kau, Na. Dian harus belajar jadi perempuan dulu, sebelum ubah penampilan,” tambah Gita setuju.
“Itu dia. Bener banget.” Keysa ikutan manggut-manggut.
Wajah Dian auto ditekuk mendengar perkataan ketiga sahabatnya barusan. Terlalu banyak yang harus diubah sebelum sampai di tahap pantas untuk mendampingi seorang ustaz. Apalagi gadis itu benar-benar hancur, masih beruntung kesuciannya sebagai wanita masih terjaga.
“Ketemu di mana sih?” Raline mengajukan pertanyaan.
“Ya, si Rara pake tanya lagi. Udah jelas ikuti saran dari Bang Daffa dong.” Keysa mewakili Dian menjawab pertanyaan Raline.
Mata cokelat Raline melebar sempurna seiringan dengan bibir yang menganga. “Serius, Di? Lo udah salat di masjid sekarang? Subuh-subuh?”
Kepala yang dihiasi rambut pendek itu mengangguk pelan.
“Udah salat lima waktu dong sekarang?” tanya Raline benar-benar antusias. Dia tahu persis bagaimana Dian yang sangat jauh dari pengetahuan agama dan Islam.
“Masih subuh doang sih, Cong. Yang lain belum. Maybe habis ini,” sahut Dian nyengir kuda.
Raline, Keysa dan Ina geleng-geleng kepala mendengar perkataan Dian. Sementara Gita memilih menjadi pendengar yang budiman, karena merasa bukan ranahnya ikut bicara.
“Trus, ceritanya gimana?” Ina menumpu kepala dengan telapak tangan.
“Pesen makanan dulu deh. Nggak enak tuh,” saran Keysa sebelum Dian mulai bercerita tentang pertemuannya dengan pria pujaan.
Alhasil mereka berlima memilih menu masing-masing, sebelum kembali berbagi cerita. Biasanya Rempongers bisa berada di restoran tersebut selama berjam-jam.
“Eh, Mbak Raline. Kapan pulang ke Jakarta?” sapa salah satu pelayan yang ngefans dengannya sebelum menuliskan menu makanan yang akan dipesan.
“Dua hari lalu sih, Mbak.” Raline tersenyum ramah. Meski terkenal, ia tetap rendah hati kepada penggemar.
“Mau pesan apa, Mbak?”
Kelima orang perempuan absurd itu meminta menu makanan kesukaan masing-masing. Setelahnya mereka saling berbagi tatap.
“So.” Gita tersenyum penuh makna kepada Dian yang mulai salting (salah tingkah).
Dian menarik napas panjang sebelum bercerita. Gadis itu mulai menceritakan semua, dari tabrakan membawa hikmah yang terjadi beberapa hari lalu, hingga pertemuannya dengan Fajar kemarin. Tidak ada yang terlewatkan satu detail pun. Dari caranya bercerita, terlihat jelas binar cinta di sorot mata hitam kecil bulat itu.
“Gantengan mana dari laki gue?” Raline kepo dengan wajah Fajar.
“Ya, si kambing. Jangan bandingkan dese sama laki lo yang bule dong, Cong,” cibir Dian memutar bola mata.
“Sama Brandon cakepan mana?” Keysa jadi teringat dengan salah satu karyawan cassanova yang pernah bekerja di kantornya.
“Lebih cakep dari Brandon dong, Cong. Dese udah jadi milik Arini, gantengnya ilang.”
“Ada fotonya nggak?” Ina penasaran juga.
Dian tersenyum manis sekali, nyaris membuat semut menderita diabetes.
“Kalau tersenyum macam ni. Sudah pasti punya.” Gita tersenyum jail.
“Ada dong. Tadi gue ambil waktu wawancara.”
Keempat perempuan yang sudah memiliki pasangan itu menjadi kepo tingkat tinggi. Mereka mendesak Dian menunjukkan foto pria yang bisa apes mendapatkan cinta darinya.
Gadis itu menjepit bibir dengan erat ketika berpikir sejenak. “Nggak sekarang deh. Nanti aja kalian lihat di artikel yang dimuat Yohwa.com and Magazine. Pasti gue share link beritanya di grup,” katanya mengurungkan niat memperlihatkan foto Fajar.
“Yaaah.” Nada kecewa serentak terdengar dari sela bibir keempat wanita berusia tiga puluhan itu.
Dian kembali diam ketika ingat dengan perempuan muda yang bertemu dengannya di ruangan kerja Fajar kemarin. Kelopak mata bulat itu berkedip pelan.
“Mikirin apa sih, Di?” selidik Ina melihat perubahan raut wajah sahabatnya.
Pandangan gadis itu bergerak ke arah keempat sahabatnya satu per satu. “Ada yang masih ngeganjal sih di hati gue.”
“Apa?” tanya keempat anggota Rempongers lainnya serentak.
“Status dese dan cewek yang gue lihat di kampus kemarin.”
“Maksud kau?” Gita bersuara.
Dian menceritakan bagian yang belum dikatakannya. Mengenai perempuan anggun berpakaian syar’i yang terlihat akrab dengan Fajar kemarin.
“Menurut kalian ada nggak sih mahasiswa yang panggil Mas ke dosen di kampus?”
Raline, Keysa, Ina dan Gita menggeleng serentak.
“Kalau sesama dosen?”
“Kayaknya panggil Bapak deh, kecuali kalau emang deket banget,” tanggap Raline disambut anggukan kepala dari yang lain.
Dian menumpu dagu di telepak tangan sembari menatap lurus ke depan. “Cewek ini panggil Pak Fajar dengan sebutan Mas. Trus dia sebut Abi juga.”
“Jangan-jangan dia itu ….” Keysa menggantung kalimat ketika mengedarkan pandangan kepada keempat sahabatnya.
“Gue pikir juga gitu, Key,” komentar Raline.
“Gue juga,” imbuh Ina.
“Aku pun sama,” timpal Gita.
“Dia itu apa?” Dian tampak was-was karena memikirkan hal yang sama juga.
“Sebaiknya kau pastikan dulu status laki-laki itu apa, Di. Tak tega aku lihat kau sudah berharap, eh malah suami orang.” Gita menatap prihatin sahabatnya.
Dian menarik napas pendek sebelum menegakkan tubuh. Dengan lugas ia mengatakan, “Walau udah punya istri. Gue mau jadi yang kedua!”
Perkataan Dian barusan membuat keempat sahabatnya melongo tak percaya.
“Gila lo!”
“Kau gila!” seru mereka serentak dengan wajah garang.
Bersambung....
Menjelang subuh, Dian sudah duduk termenung di pinggir tempat tidur. Mata hitam bulatnya mengecil ketika memikirkan bagaimana cara mencari informasi lebih banyak lagi tentang Fajar. Tangannya langsung bergerak meraih ponsel dari atas nakas, kemudian mencari sosial media pria itu.Kepala terkulai lesu ketika tidak menemukan satupun sosial media atas nama Fajar Faizan yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Universitas Islam. Foto profil yang mengacu kepada pria itu juga tidak ada.“Masa iya tanya ke Bu Jamilah?” Kepalanya menggeleng cepat. “Gengsi ah. Apalagi kalau dese tahu gue suka sama Fajar.”Dian menggigit bawah saat masih berpikir keras. Embusan napas lesu meluncur dari sela bibir tipisnya saat belum menemukan solusi. Pandangan netra bulat itu beranjak ke arah dinding, masih ada waktu dua puluh menit menjelang subuh. Alhasil gadis itu segera melangkah ke kamar mandi.Genap hari keempat melakukan rutinitas baru salat Subuh
Dian mengedarkan pandangan ke arah pintu masuk depan Thamrin City, pusat perbelanjaan yang sebenarnya berdekatan dengan Tanah Abang. Gadis itu malas berbelanja ke Tanah Abang, karena sudah pasti dibuat bingung dengan beragam pilihan yang terlalu banyak. Menurutnya berbelanja di Thamrin City jauh lebih mudah, karena modelnya sudah pilihan terbaik.Senyum mengembang di paras ketika melihat seorang perempuan berkerudung yang sangat dikenal. Siapa lagi jika bukan teman satu kantor bernama Syukria. Hanya wanita itu yang bisa memberi saran model pakaian yang akan dikenakan nanti.“Duh gue nggak enak sama laki lo deh, Syuk,” ucap Dian dengan wajah bersalah setelah mereka berdekatan.Wajah Syukria mengernyit sedikit saat kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Santai aja, Kak. Aku udah jalan-jalan kok sama Abang kemarin.”Dian tersenyum manis sebelum merangkul lengan Syukria. “Baik banget sih. Makasih ya.”“Sama-sama,
Dian mematut lama pantulan diri sendiri di cermin. Sebuah kerudung persegi empat yang dibentuk segi tiga warna abu-abu polos, kini telah membungkus rapi bagian kepala. Style sederhana yang dipelajarinya dari youtube. Tentunya masih menutupi bagian dada.“Kerudung yang benar itu menutupi dada ya, Kak.” Kalimat yang dilontarkan oleh Syukria kemarin menjadi acuan mencari style kerudung.Turun ke bawah blus berwarna abu-abu gelap dipadu dengan rok celana berwarna hitam, menutupi tubuh yang tidak tinggi dan tidak terlalu kurus.Terdengar tarikan napas dari sela hidung berukuran sedang milik Dian, ketika mempersiapkan diri menghadapi berbagai tanggapan yang akan diberikan oleh Royati dan Citra. Mereka berdua pasti syok melihat perubahan pertama dari gadis itu. Apalagi ia tidak pernah bercerita tentang keinginan mengenakan jilbab kepada mereka.“Lo udah biasa dengerin ledekan dari mereka, Di. Sekarang nggak perlu dihiraukan lagi.” Dian me
Entah berapa pasang mata yang menatap tak percaya ketika Dian menginjakkan kaki di gedung milik Yohwa Entertainment ini. Banyak yang tidak menyangka seorang perempuan tomboi dan berbicara sering tidak pakai filter, tiba-tiba berubah menjadi sosok wanita muslimah yang menutup aurat.Sebagian di antara mereka nyaris tidak mengenali Dian yang benar-benar tampak berbeda. Tidak tanggung-tanggung, ia mengenakan pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Kerudung bagian depan kanan juga terulur menutupi dada, meski bagian sisi kiri disematkan di bagian belakang kepala.“Ada yang bisa dibantu, Mbak?”“Mau cari siapa, Bu?”Beragam respons didapati oleh gadis itu sepanjang perjalanan menuju lantai lima, tempat Yohwa.com and Magazine berada. Hingga pada akhirnya Dian tiba di ruang kerja.“Hari ini ada anak baru ya?” tanya salah satu wartawan di bidang entertainment ketika melihat Dian memasuki area resepsionis lantai li
Dian duduk di ruang tunggu bengkel mobil di daerah Gunung Sahari. Gadis itu sedang menanti kedatangan Fajar yang akan membayar seluruh tagihan perbaikan. Untuk mengisi waktu, ia bermain ponsel mengirimkan pesan di ruang chat Remponger5.Me: @Rara Kambing Habis ini gue ke Gading ya. Masih kangen sama lo.Gadis itu ingin memberi kejutan kepada sahabatnya dengan penampilan sekarang. Dia butuh pendapat Raline tentang perubahannya, sekaligus mau berdiskusi juga dengan Daffa, kakak Raline.Keykey: Jam berapa tuh? Pas gue pulang kerja nggak? Mau ikut dong.Rara Kambing: Aman, gue hari ini nggak ke mana-mana kok, Di.Rara Kambing: Ayo, siapa lagi yang mau ke sini? Biar rame kita ngumpul-ngumpul. Minggu depan gue udah balik lagi ke London. :(Dian langsung antusias membalas pesan grup Remponger5.Me: Kira-kira satu jam lagi deh. Gue lagi di bengkel sekarang, t
“Jangan-jangan dia punya indera keenam,” duga Keysa sembari mengacungkan jari telunjuk ke atas.Raline menggeleng cepat tidak setuju dengan perkataan Keysa. “Nggak mungkin, Key. Kayaknya sih si Fajar udah rekam di pikiran gimana wajah Dian, jadi tahu walau dia pake kerudung.”“Maksud lo, Pak Fajar suka juga sama gue jadi wajah gue diingat terus?” tanggap Dian bingung dengan dugaan Raline.“Dih geer lo, Di. Maksud gue, gimana ya?” Raline bergumam sebentar seraya mengetuk dagu dengan ujung jari. “Sederhananya, wajah lo itu mungkin unik bagi dia jadinya langsung bisa kenali walau penampilan beda.”Dian melihat Raline dan Keysa bergantian saat memikirkan pendapat siapa yang lebih masuk akal. Sepertinya apa yang dikatakan si kambing bisa dianalisa dengan baik daripada memikirkan Fajar memiliki indera keenam.“Gitu ya? Bisa juga sih.” Dian mengedarkan pandangan mencari keberadaan Daf
Dian keluar dari ruangan redaktur dengan wajah semringah. Senyuman masih menghias wajah ketika duduk lagi di meja kerja. Berdasarkan dengan titah dari redaktur, ia harus menghubungi Fajar hari ini, agar bisa berjumpa besok untuk membahas detail pekerjaan.“Cerah banget tuh wajah keluar dari ruangan Pak Gatot,” goda Syukria seraya menaik-naikkan kedua alis.Gadis itu memperlihatkan amplop persegi panjang berukuran kecil yang berisi cek kepada Syukria. “Alhamdulillah gue dapat bonus, Syuk,” katanya senang.“Masya Allah. Alhamdulillah,” ucap Syukria ikutan bahagia.“Habis ini kita makan-makan yuk! Gue yang traktir, sekalian sebagai tanda terima kasih karena udah temenin gue ke Thamcit hari Minggu kemarin,” ajak Dian dengan wajah yang masih cerah.Syukria bergumam ketika mempertimbangkan ajakan Dian. Beberapa detik kemudian, wajahnya berubah warna.“Kayaknya nggak b
Dian bergeming ketika berdiri di sela pintu lobi gedung pascasarjana. Hati masih terasa nyeri menyaksikan interaksi yang akrab antara Fajar dan perempuan bernama Aafiyah. Kedua tangan mengepal erat di sisi tubuh, sebelum ia memutar balik tubuh menuju koridor. Langkahnya berhenti setelah berada di tangga kecil nomor dua yang menghubungkan lobi dan koridor.Mata hitam bulat Dian terpicing memikirkan sikap childish yang tiba-tiba menguasai diri. Lebih tepatnya, ia diserang cemburu melihat kedekatan makhluk berbeda jenis kelamin tersebut.Ngapain sih pakai acara kabur segala? Tujuan lo ke sini ‘kan buat diskusi acara talkshow, batinnya setelah kesadaran kembali.Comeon, Di. Be professional. Jangan campur adukkan pekerjaan dengan perasaan pribadi. Belum tentu juga mereka ada hubungan khusus, ‘kan? Ingat, karir lo dipertaruhkan. Kalau nggak sukses bawa Fajar ke stasiun TV, habis lo! racau logikanya panjang lebar