Share

BAB 7: Langkah Pertama

Dian benar-benar dibuat terkesima oleh penjelasan Fajar mengenai politik dan Islam. Juga sejauh mana peran ulama dalam menyikapi isu politik yang sedang memanas. Menurutnya ulama berperan penting dalam mengawasi alur politik Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga tidak seharusnya dibatasi. Tentunya sejauh tidak memprovokasi umat.

“Bayangkan jika ulama didiskriminasi dan dibatasi suaranya dalam berpolitik, kita tidak akan mengenal Buya Hamka, Muhammad Natsir, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir dan Muhammad Hatta. Beliau semua adalah tokoh Islam dan da’i.” Fajar menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya. “Hal ini berbeda makna dengan para politisi yang membawa-bawa agama dalam mendapatkan suara dan simpati dari rakyat. Sangat disayangkan jika ada yang seperti itu,” papar Fajar menjelang wawancara berakhir.

Dian manggut-manggut paham dengan apa yang disampaikan oleh Fajar. Gadis itu sangat setuju dengan pemaparan yang disampaikannya. Zaman sekarang, agama kerap dijadikan senjata untuk mencari keuntungan terutama bagi politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

“Pemaparan yang sangat bijak dan imbang, Pak.” Dian tersenyum seraya berdecak kagum. “Apa Bapak tidak tertarik terjun ke dunia politik?”

Fajar menggeleng pelan. “Saya lebih suka menjadi penyeimbang daripada harus menjadi bagian dalam politik.”

Gadis itu menarik napas panjang ketika melihat jam yang melingkar di tangan kanan. Sesuai dengan perkataan bagian administrasi tadi, Fajar memiliki jadwal mengajar pukul 10.00.

“Sepertinya wawancara sampai di sini dulu, Pak. Sepuluh menit lagi jadwal Bapak ngajar, ‘kan?” tebak Dian berusaha terdengar wajar. Dalam hati, ia masih belum ingin mengakhiri sesi wawancara dengan pria tampan ini. Waktu satu jam lebih ternyata masih kurang.

Pandangan pria itu berpindah ke arah jam dinding yang telah menunjukkan pukul 09.50. Kedua tangannya ditepukkan di kedua paha sebelum kepala mengangguk singkat.

“Maaf sekali, Mbak Dian. Saya harus mengajar sepuluh menit lagi,” ucap Fajar terdengar berat, “jika masih ada yang mau ditanyakan lagi, Mbak bisa hubungi saya dan buat jadwal wawancara selanjutnya.”

Senyum langsung tergambar di paras gadis itu mendengar perkataan Fajar barusan. Dian menganggapnya sebagai lampu hijau untuk bisa bertemu lagi dengannya. Namun, sesaat kemudian wajahnya kembali mendung saat mengingat semua pertanyaan sudah dijawab oleh Fajar.

“Saya akan hubungi Bapak melalui chat, jika ada yang ingin ditanyakan lagi. Sekalian diskusi artikel yang akan dimuat nanti,” sahut Dian mempertahankan wibawanya.

“Jangan sungkan, Mbak. Saya akan jawab pertanyaannya nanti.” Fajar segera berdiri, karena harus bersiap mengajar.

“Oya, saya berharap jawaban tadi tidak ada yang dipelintir ya, Mbak. Tolong tuliskan sesuai dengan yang saya katakan,” pinta Fajar tersenyum singkat.

“Bapak jangan khawatir. Saya bukan tipe wartawan yang suka membuat berita tidak berdasarkan fakta.” Dian mengulurkan tangan ingin berjabat tangan, seperti yang kerap dilakukan kepada narasumber yang pernah dijumpai sebelumnya. “Terima kasih atas kesediaan dan waktu Bapak untuk diwawancarai.”

Fajar melihat Dian sekilas sebelum menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Sama-sama, Mbak.”

Kening gadis itu auto berkerut ketika salamnya tidak disambut. Sesaat kemudian dia menarik lagi tangan dengan seulas senyum.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” pamit Dian seraya mencantolkan tas ransel berwarna hitam di pundak.

“Mari saya antarkan ke depan, Mbak,” tawar Fajar.

Dian langsung menggeleng seraya menggoyangkan kedua telapak tangan. “Makasih, Pak. Sebaiknya saya pergi sendiri, ‘kan Bapak mau ada kelas sebentar lagi,” tolaknya sungkan.

Dalam hati Dian masih ingin berlama-lama berbicara dengan Fajar. Namun dia tidak boleh egois, karena tahu pria itu memiliki tugas lain yang jauh lebih mulia daripada mengantarkan dirinya ke koridor.

“Oya, Mbak Dian,” panggil Fajar sebelum Dian benar-benar keluar dari ruangan.

“Ya, Pak?” sahutnya memutar balik tubuh.

“Jangan lupa tagihan perbaikan mobilnya.” Pria itu kembali mengingatkan biaya perbaikan kendaraan yang rusak akibat kelalaiannya dalam mengemudi.

Lagi-lagi senyum lebar tercetak di paras Dian. “Nanti saya kabari jika udah kelar, Pak.”

Setelahnya gadis itu berpamitan dan bergerak menuju parkiran. Hatinya dipenuhi bunga yang bermekaran sekarang. Meski wawancara telah usai, Dian masih memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan Fajar. Harapan mulai tumbuh di hati ketika membayangkan mereka berdua bisa dekat seiring berjalannya waktu.

***

Keesokan Hari (Weekend)

Dengan semangat ’45, Dian berangkat menuju mall Grand Indonesia. Hari ini ia akan berjumpa dengan keempat sahabatnya di tempat yang sering dikunjungi oleh mereka. Sebuah restoran yang menyajikan beragam menu barat dan memiliki bar juga.

Meski mereka tidak lagi minum alkohol seperti dulu, restoran itu masih menjadi tempat favorit mereka. Apalagi bisa melihat Bundaran HI dari balkon restoran.

Sepanjang perjalanan menuju Grand Indonesia, Dian bersenandung seraya mendengarkan lagu yang mengalun dari earphone yang dikenakan. Tampak kebahagiaan di parasnya ketika membayangkan akan berjumpa dengan para sahabat dan berbagi cerita dengan mereka. Ditambah lagi sekarang ada bahan yang bisa ia diskusikan dengan mereka berempat.

Begitu tiba di area parkir motor yang cukup jauh dari gedung mall, Dian langsung melepas semua pernak-pernik yang dikenakan selama berkendara. Langkah kakinya bergerak cepat memasuki area gedung East Mall. Pandangannya beredar mencari keberadaan sahabat-sahabatnya ketika tiba di restoran yang berada di lantai satu.

Deretan gigi kecil dan rata itu terekspos saat melihat sosok wanita bertubuh bongsor melambaikan tangan. Dian bergegas menghampiri tiga orang perempuan yang sudah duduk di sana terlebih dahulu.

“Kangen gue,” seru Dian seraya cipika-cipiki sahabatnya satu per satu.

“Gue juga,” sahut Keysa yang memiliki tubuh paling tinggi di antara mereka berlima.

“Aku juga, Di.” Kali ini Gita yang berbicara.

“Apalagi gue,” sambut perempuan berambut pendek sebahu bernama Ina.

Pandangan netra kecil Dian mencari keberadaan satu orang sahabatnya yang paling lama tidak dijumpai, yaitu Raline. “Si Kambing mana? Kok belum dateng?”

Keysa berdecak sembari duduk lagi di kursi. “Biasa, tadi lagi rempong bujuk Aarline biar mau tinggal sama si Rambut Jahe. Baru berangkat tuh dari Gading (Kelapa Gading) lima belas menit yang lalu. Paling bentar lagi nyampe,” paparnya mengerling ke arah Dian.

“Lagian kenapa sih harus di GI? ‘Kan bisa ke Gading juga kita,” tanggap Dian mencantolkan tas ransel di sandaran kursi.

Gita, Ina dan Keysa menatap Dian penuh makna. Mereka melihat gadis itu tampak sangat berbeda hari ini. Wajah yang semringah dan bahagia membuat tingkat kecurigaan mereka semakin bertambah pesat.

“Sepertinya ada berita bahagia yang mau kau ceritakan ke kita-kita, Di.” Gita dengan logat Bataknya membuka percakapan.

Keysa dan Ina manggut-manggut bersamaan, karena isi kepala mereka terwakilkan.

Dian menundukkan kepala tersenyum malu-malu meong. “Ntar aja deh gue ceritanya kalau si Kambing udah datang.”

Mata Keysa menyipit seketika. “Kayaknya beneran ketemu nih.”

“Siapa, Di?” Ina jadi ikut-ikutan.

“Cerita sekarang! Bah kau bikin aku penasaran aja,” imbuh Gita.

Kepala yang dihiasi rambut model bob itu menggeleng cepat. “Nggak sebelum Rara datang. Males gue ulang-ulang cerita lagi.”

Gita, Keysa dan Ina mendesah kecewa serentak. Mereka menyandarkan punggung dengan lesu. Tak lama kemudian, Keysa melambaikan tangan ke arah pintu masuk restoran.

“Ra, sini!” panggilnya ketika melihat seorang perempuan berambut panjang memasuki restoran.

Bintang dari Rempongers sudah tiba. Seorang produser berbakat dan anggota yang paling cantik di antara mereka berlima, Raline Rahardian. Yup, dialah yang sering dipanggil oleh Dian dengan sebutan si Kambing, karena ketika mengumpat selalu menyebutkan kata ‘Kambing’.

“Akhirnya ketemu sama kalian juga,” teriak Raline merentangkan kedua tangan tanpa menghiraukan beberapa pasang mata pengunjung yang menatapnya sengit, karena merasa terusik.

Satu per satu dari keempat perempuan berusia tiga puluhan itu menyambut kedatangan Raline. Mereka berbagi pelukan singkat.

“Makin keren aja nih Bu Produser kita!” puji Dian berdecak kagum.

Raline mengangkat jari telunjuk ke tas, kemudian menggoyangkannya ke kiri dan kanan. “Mantan produser.”

“Bagiku kau masih produser, Ra. Sebentar lagi mau produksi anak, ‘kan?” komentar Gita menyelipkan ledekan.

“Kambing lo, Git. Tahu aja gue mau persiapan adiknya Aarline,” balas Raline tergelak sambil menarik kursi, lalu duduk.

So, gimana perkembangan the only one jomlo di geng kita?” tanya Raline menaik-naikkan kedua alis ke atas.

“Itu dia yang bikin kita penasaran, Ra. Tuh lihat wajah si Dian beda banget loh sekarang,” tutur Ina membulatkan bola mata.

Empat pasang mata kini tertuju kepada Dian, satu-satunya anggota Rempongers yang belum menikah. Tentu saja kabar yang akan disampaikan oleh gadis itu sangat ditunggu-tunggu oleh keempat sahabatnya. Apalagi mereka telah bernazar, jika Dian menikah nanti, maka mereka akan membuatkan pesta yang sangat meriah.

“Jadi ….” Dian menarik napas panjang terlebih dahulu seraya melihat keempat sahabatnya satu per satu.

“Gue udah nemu cowok yang bakal gue jadikan imam,” ungkap Dian kemudian, “tapi ….”

“Tapi apa?” kata mereka berempat serentak dengan raut penasaran.

Dian melihat sahabatnya satu per satu sebelum menjawab rasa penasaran mereka. “Tapi gue harus ubah penampilan dulu deh.”

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status