El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.
Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi."Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi.""Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan."Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan, kelapangan aja. Nggak usah pakai nama apa itu ... terasi?""Emgansi El!" tegur Afdi."Nah itu ... terserah mau namanya apa, buruan sana, gue mau pulesin tidur di sini."El kembali memejamkan matanya. Afdi menganggu saja, padahal ia sedang memimpikan Ralika yang tersenyum manis padanya."Ya kalau lo nggak mau nggak papa biar kita aja." El masih setia memejamkan mata dengan kepala tersandar di kepala kursi, "padahal yang jadi wasitnya Ika."Mendengar nama itu, El seketika membuka matanya. Menatap Afdi yang berwajah pasrah, seperti tak ada harapan. "Serius lo?" tanyanya memastikan."Ya seri-"El langsung beranjak dari duduknya sebelum Afdi melanjutkan kata-katanya. Cowok itu langsung berdiri, berjalan keluar kelas meninggalkan ketiga temannya yang masih melongo melihatnya."Duh tuh anak gilaran cewek aja cepat. Katanya ngantuk!" ujar Ardan sambil menggeleng heran."Ya namanya lagi usaha," balas Ilham.Ketiganya terdiam sejenak. Sesaat kemudian mereka keluar dari kelas menyusul El yang sudah mendahului mereka.Sesampainya di lapangan El mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan yang nampak ramai. Matanya terus mencari keberadaan Ralika.Fokusnya terhenti pada satu titik di mana Ralika sedang berdiri memakai baju kaos berwarna biru dilengkapi celana training hitam, tak lupa di kepala cewek itu terpasang topi dan di lehernya juga terdapat peluit.Tapi, ada hal yang tak disukainya, di sana ada seorang cowok dengan seragam basket yang nampak berbicara dengan Ralika sambil sesekali tersenyum. Walaupun ekspresi Ralika tampak datar, tapi tetap saja ia tak suka melihat itu."El!" El menoleh ke belakang. Afdi, Ardan, dan Ilham mendekat."Ngeliatin apaan? Ika ya?"El menatap lurus, masih dengan pandangan tak suka. "Siapa tuh cowok?" tanya El tanpa menjawab pertanyaan Ilham. Ketiganya mengikuti arah pandang El yang seolah tak bersahabat."Oh itu. Dia namanya Alex, Ketua OSIS kita sekaligus kapten tim basket," jelas Afdi.Iham melirik El yang masih setia pada tatapan datarnya. "Udah nggak usah jealous gitu. Ika 'kan waketos, jadi wajarlah mereka mungkin lagi bicarain soal OSIS. Mendingan kita duduk di sana."El menatap Ardan sekilas kemudian melihat arah mata cowok itu. Mereka berempat berjalan mendekat di bangku penonton yang sudah di padati para siswi. El menghembuskan napasnya pelan, lalu mengangkat sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. "Misi, bisa geser nggak? Gue sama temen-temen gue mau duduk di sini."Entah terhipnotis atau apa. Beberapa siswi langsung bergeser, senyuman El begitu membuat jantung mereka seakan loncat, kalau masalah seperti ini seorang Dariel memang sangat pandai."Gile, cuman bilang gitu doang langsung nurut," bisik Ilham pada Afdi yang di beri anggukan oleh cowok itu.Ke empat cowok itu duduk di barisan depan. Beberapa menit setelah itu semua pemain berada di posisi masing-masing.Ralika maju dengan bola basket berwarna hitam di tangannya, peluit menempel di ujung mulut. Alex dan lawannya bersiap mengambil ancang-ancang merebut bola.Setelah peluit dibunyikan dan bola sudah di lambungkan ke atas. Dengan sigap Alex meloncat, cowok itu mengarahkan bola ke arah lawan. Suara riuh terdengar dari para penonton, teriakan histeris terdengar menyemangati Alex.Wira --tim Alex-- melempar bola yang langsung di sambar cowok itu. Alex mengelak kiri ke kanan berusaha mengecoh lawannya. Dengan gerakan lincah Alex mendekati ring lawan dan...Masuk ...Suara tepukan langsung terdengar saat Alex mencetak poin. Ralika meniup peluit, menggerakan tangan kanannya layaknya peran sebagai wasit. El yang sejak tadi tidak fokus pada pertandingan, masih setia memperhatikan Ralika. Tak satupun pergerakan cewek itu yang terlewat dari pandangannya, bahkan, saat Ralika mengusap dahinya karena berkeringat El tak henti-hentinya tersenyum.Permainan masih terus berlanjut. Suporter sudah tak karuan meneriaki nama Alex. Cowok itu melempar bola ke arah Deni, namun justru tak tertangkap. Malah bola itu terlempar ke barisan penonton.El yang melihat sebuah bola mendekat dengan sigap menangkap. Ia berdiri dari duduknya, menatap Ralika sekilas yang kini juga sedang menatapnya.Semua penonton terdiam.Tanpa diduga El justru mendekat ke lapangan dengan tangan men-drible bola. Matanya melihat ke arah ring yang berjarak agak jauh dari tempat berdirinya. Cowok itu melempar bolanya.Semua terperangah. Begitupun ketiga teman El yang masih di tempat semula, yang sama-sama membuka mulut. El melempar bola dengan entengnya dan bola itu masuk dengan sempurna.Sesaat setelah itu, suara tepukan langsung terdengar. Alex mendekat ke arah El sambil berlari kecil. "Sorry, lo nggak apa-apa 'kan?""Nggak, cuman lain kali hati-hati aja. Bisa jadi orang lain bisa kena."Alex tersenyum. "Btw, lo anak pindahan itu, ya? Ternyata, lo jago juga main basket, kalau mau lo bisa gabung di tim.""Thanks, tapi kayaknya gue harus pikirin lagi. Karena jujur gue belum terlalu minat ikut ekskul."Alex tersenyum mencoba mengerti. Dia menepuk pundak El beberapa kali. "Oke, tapi, lo harus pikirin dulu. Lo bisa jadi penguat SMA Dharma."☁☁☁"Ra, gimana gue tadi hebat, nggak?"Ralika berhenti beberapa saat lalu kembali berjalan. "Mungkin hebat untuk semua orang.""Apa itu termasuk lo?"Ralika tak menjawab. Cewek berambut di ikat itu tetap terfokus ke depan. Melihat sikap Ralika, El sama sekali tak menyerah, cowok itu kembali berusaha berjalan cepat mengimbangi langkah Ralika yang tergolong seperti berlari."Kak Ika, Kak El!" panggil seseorang Keduanya terhenti, suara itu terdengar dari belakang, mereka menoleh."Ada apa?" tanya El langsung saat gadis itu telah berdiri dihadapan mereka."Anu ... Kak, kalian dipanggil kepala sekolah.""Ya, nanti kita ke sana," jawab El. Siswi itu mengangguk kemudian, berjalan pergi.Kembali sorot mata El manangkap ekspresi wajah Ralika. "Tuh, Ra. Kepala sekolah aja udah ngasih restu buat kita, tinggal resmiin aja."Ralika mengangkat sebelah alis mendengar perkataan El yang sangat ngawur. "Kamu jangan mengada-ngada!"Ralika berjalan lebih dulu meninggalakan cowok itu. El berdecak pelan---susah sekali dekat dengan cewek itu. "Tuh 'kan ditinggalin lagi!"El menyusul Ralika setengah berlari. Dalam hatinya, ia juga penasaran apa gerangan Bima memanggil dirinya. Apa dia membuat kesalahan? Tapi, rasanya tidak mungkin, karena Ralika juga terlibat. Cewek teladan dan tertib seperti Ralika, membuat kesalahan. Yang benar saja?Ralika mengetuk pintu ruang kepala sekolah. El baru tiba di belakangnya.Walau Ralika tak pernah terlihat tersenyum. Cewek ini masih bisa bersikap sopan, El malah kebalikannya. Ia bahkan, tak pernah yang namanya meminta izin atau mengetuk pintu ruang guru kalau sedang dipanggil. Langsung masuk aja."Oh kalian, silahkan masuk."Ralika dan El mendekat. Langsung duduk di kursi depan kepala sekolah, di sana bukan hanya terlihat Bima, tapi seorang wanita yang menggunakan setelan formal."Tante."El mengamati perempuan yang sedang duduk di sofa. Tante? Otaknya langsung mengambil kesimpulan. El dengan cepat meraih tangan Niken langsung menyaliminya. Niken sempat terkejut, ia sama sekali tak kenal dengan anak muda itu."Selamat siang tante, saya 'temen' nya Ralika," ujarnya menekan kata temen melirik Ralika sekilas."Iya-iya." Niken masih menatap lekat El yang nampak tersenyum. Masih merasa aneh dan setengah bingung."Ada apa Tante ke sini?" Niken mengalihkan pandangan, menatap sang keponakan."Tante mau jemput kamu, sekarang kita ke rumah sakit!"El menangkap ekspresi cewek itu lewat ujung mata. Memang terlihat datar, tapi dari matanya Ralika ada keterkejutan."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak."Bima mengangguk bersamaan dengan Niken dan Ralika yang pergi dari ruangan itu. Setelah keduanya menghilang dari balik pintu, matanya kembali menatap El yang sedang bingung. "Rumah sakit, emang siapa yang sakit, Om?""Om tidak tau. Itu masalah mereka, yang terpenting sekarang kamu."El menelan salivanya susah payah. "El? emangnya El ngelakuin apa?"El berusaha setenang mungkin, berusaha menutupi hatinya yang sedang ketar-ketir. Ia takut Bima tau kelakuannya yang membuat Wike marah beberapa hari yang lalu. Gawat kalau ketahuan mamanya, bisa dipotong uang saku."Kenapa kamu? Kayak mau dihukum aja?" ledek Bima."Nggak papa, Om." Bima mengamati ekspresi El. Bukan El kalau tak dapat mengelak. Cowok itu menegakan badannya."Enggak, cuman heran aja. Pak Bima mau manggil murid biasa seperti saya."Bima terkekeh. "Ya ampun. Kamu mau nyindir Om.""Ah terserah om lah. Terus kenapa El di panggil ke sini?" tanya El"Om dengar dari Alex. Dia sempet nawarin kamu jadi bagian tim basket?" El menghela napas lega. Ia pikir apa?"Iya, tadi tuh KETOS nawarin, El bilang belum minat ikut.""Kalau saran Om. Kamu sebaiknya gabung, selain memperkuat tim basket SMA Dharma, kamu bisa buktiin kamu bukan biang onar.""Ceritanya balik nyindir, nih."Bima tersenyum kecil. "Bisa dibilang kayak gitu."El mendengus. Padahal aksinya di lapangan tadi hanya untuk membuat Ralika terkesan. Tapi, nampaknya cewek sama sekali tak peduli dengan usahanya.Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi. Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam
Ralika memijat pelipisnya, pelan. Cukup lelah dengan kegiatannya hari ini, ditambah lagi ia sekarang selalu merasa terganggu dengan kehadiran cowok aneh yang selalu muncul bak hantu yang bergentayangan di dekatnya.Cowok itu selalu punya cara menimbali perkataanya dengan gombalan yang tentu saja percuma. Ralika sama sekali tak terpengaruh, lagian di dunia ini tidak ada orang yang tulus. Semuanya hanyalah dusta. Ralika menghembuskan napas kasar, mengingat semuanya. Ia sama sekali tak mengerti kenapa cowok itu tak juga menjauh darinya, sikap tegas dan flat-nya dianggap angin lalu saja. Untungnya bel masuk berbunyi, ia bisa terbebas dari jin bentuk manusia itu.Ralika tersenyum sinis. Memikirkan semua keadaan yang terjadi. Baginya, semua orang sekarang sulit dipercaya. Semua hanya memanfaatkannya, mereka hanya mementingkan kebahagiaan mereka sendiri."Lo kenapa?" tanya Lea yang baru memasuki kelas. Keadaan kelas juga sudah mulai ramai, "capek ya? Pasti capek lah, orang lo dari tadi ngur
Ralika baru saja meletakan kunci motornya di atas nakas, kakinya segera melangkah menuju kamar karena suara tangisan yang sejak tadi terdengar di gendang telinganya. Ralika berhenti disebuah kamar, membuka pintunya sedikit kemudian, menatap siapa yang ada di sana. Niken seperti sangat kesusahan menenangkan balita berumur dua setengah tahun itu, walaupun dirinya berusaha sabar agar balita itu tidak menangis lagi, tapi malah tangisan itu semakin kencang.Ralika membuka pintu itu sepenuhnya, sehingga terdengar bunyi decitan, saat itulah Niken menoleh, lalu tersenyum. Ralika mendekat, langsung mengambil alih sang adik yang ada dalam dekapan tantenya itu."Sini Tante biar Ika aja yang Gendong Nayla."Sesaat setelah mendekap sang adik, tak ada lagi suara tangisan, malah sekarang Nayla nampak menatap Ralika dengan mata bulatnya."Memang cuma kamu yang bisa tenang dia kalau lagi gelisah." Niken sedikit menyentuh pipi Nayla.Ralika sadar akan hal itu. Ia memang jarang sekali mempunyai waktu u
"Ra, makasih udah temenin gue beli perlengkapan prakarya."Ralika mengangguk kecil sambil membuka sealt belt, tangannya beralih ingin membuka pintu mobil sebelum El menghentikannya."Ra," panggil cowok itu."Hati-hati ya." Ralika mengangkat sebelah alis. "Takutnya nanti lo jatuh,"Ralika menghela napas, ia kira apa? Ternyata cuman itu. Setelah keluar dari mobil, El menunggu beberapa detik lalu kembali membuka suara. "Jatuh cinta," sambungnya.Setelah berkata seperti itu---sama seperti tadi. Cowok itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, tak menghiraukan tatapan Ralika yang menajam. Sungguh El itu sangat aneh dan ajaib, heran sendiri melihat cowok itu masih sempat menggodanya.Dasar!"Ika."Ralika menoleh ke belakang. Niken berjalan mendekat ke arahnya dengan raut yang kurang mengenakan, wajah khawatir serta ragu tercetak jelas, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi lidah terasa keluh."Ada masalah apa, Tante? Kok tadi nyuruh Ika cepet pulang?" Ralika langsung menanyakan hal yan
El dengan santainya memasuki area rumah sambil bersiul, jarinya memilin kunci motor sambil melirik ke kanan ke kiri. Kondisi rumahnya sangat sepi, seperti tidak ada penghuninya.Cowok itu sedikit heran apalagi ada begitu banyak kulit kacang yang berserakan di lantai, dan ya setau El mamanya itu sangat menghindari makanan itu dengan alasan nanti jerawatan. Oke, El memang tau wanita itu agak sulit dengan yang namanya makan. Makan kacang takut jerawatan, makanan berlemak takut berat badan naik, terus mereka juga selalu melakukan diet yang kadang membuat geleng-geleng."Maaa!"Tak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara detakan jam, sama sekali tak menunjukan ada orang di sana."Woy!"El terperanjak, merasakan sebuah tepukan disertai teriakan di belakang gendang telinganya. Saat menoleh, seorang cewek berambut pendek dengan topi hitam di kepalanya, sedang menyengir."Bang, muncul dari mana lo?" El sempat menunduk mencari lobang jikalau Mona baru saja muncul dari sana, pasalnya tadi sam
Ralika sekarang memakai baju putih longgar yang membuatnya nampak gagah, sabuk hitam terlingkar di pinggangnya. Rambut panjangnya di ikat seperti biasa, berdiri di depan bersama seorang pria berumur dua puluh tahunan."Ralika, kamu tunjukan pada mereka jurus yang kemarin," ucap lelaki ituRalika mengangguk, lalu menatap barisan. Ya, untuk ukuran pemula mereka lumayan siap, apalagi yang mengikuti pelatihan ini mayoritas adalah laki-laki, tak banyak perempuan yang mau ikut untuk sekedar panas-panasan dengan latihan berat, tapi walaupun sedikit semangat mereka masih terlihat."Kalian liat gerakan saya!"Ralika mulai memperagakan gerakannya dengan lihai, pandangannya fokus membuat tertegun semuanya. Cewek itu nampak memukau dengan gerakan tegas lagi hebat. Tak heran, kemampuan Ralika dalam karate memang tak bisa diragukan lagi.Apalagi sekarang El yang sedang menatap cewek itu di seberang lapangan sambil tersenyum kecil. Untungnya jadwal latihan anak karate dan basket sama, jadinya niat
"Eh, nanti kalau lo kenapa-kenapa di jalan, gimana?"Ralika langsung menepis kasar tangan El, yang seenaknya saja menempel di pergelangan tangannya. Ini antara modus dan khawatir, sama sajalah, tak ada bedanya untuk ukuran cowok seperti El. Seharusnya El tau, apa risikonya kalau berani macam-macam dengan Ralika."Sakit banget," gumam El sambil mengelus tangannya."Apa kamu nganggep saya lemah? Saya bisa jaga diri, kalau perlu tulang kamu bisa saya patahkan sekarang juga!" El mundur beberapa langkah, antara takut bercampur ngeri."Jangan dong 'kan nggak enak orang ganteng patah tulang." Untuk kesekian kalinya Ralika menghela napasnya, jengah. Sulit berbicara dengan orang seperti ini. "Eh-eh tunggu dulu!"Ralika berhenti, untuk apa lagi, benar-benar membuang waktunya. "Ada apalagi?""Hati-hati ya." El tersenyum sambil melambaikan tangan.Ia langsung berbalik, tak mau berlama lagi di sana. Seharusnya tadi ia tak menerima begitu saja tawaran cowok itu, sekarang efeknya bukan hanya sebatas
"Ya ampun! Kenapa, sih, nih idung pake mampet!"Sudah setumpuk tisu sudah menggunung di hadapan El saat ini. Bahkan, belum cukup sama sekali meredakan hidungnya yang terasa mengganjal untuk bernapas. Karena hal inilah, ia tak harus izin beberapa hari. Ya, kalau ini semacam liburan, El akan menerimanya dengan senang hati. Tapi ini, huuuuh...Seseorang datang sambil memilin-milin kunci motor, terdengar suara siulan dari bibir pink itu. Mata cewek itu menatap sekilas El, lalu segera menghampiri cowok itu dari belakang. "Ceilah, hidung lo tambah lama kayak badut."El mendengus. "Senang lo, Bang, gue sakit bukannya di do'a-in cepet sembuh, malah ngeledek!" "Iya deh, gue do'a-in ... doa'in biar cepet mati." Kembali tawa Mona terdengar, hal itu kembali membuat El ingin segera menenggelamkan kakaknya itu sekarang juga. Padahal, kemarin ia begitu semangat Ralika mau satu mobil dengannya, walaupun sebentar.Mungkin benar kata orang-orang. Anak yang suka mendahulukan kepentingan sendiri dari p