Share

Chapter 7

El memejamkan matanya menikmati hidup yang kadang menyenangkan. Tidak ada pelajaran matematika yang memenuhi kepalanya, tidak ada ocehan dari guru yang super duper galak seperti Bu Wike.

Free class menurutnya hal yang sangat membahagiakan, rasanya seperti di atas awan. "Gue bosan di kelas mulu."

El membuka matanya menoleh ke kanan dimana Afdi sedang menekuk wajahnya. "Mendingan kita ke lapangan basket aja ngeliat pertandingan," ucapnya lagi.

"Kalau lo mau ke lapangan, ke lapangan aja," Pandangannya berubah memandang Ilham dan Ardan, "lo berdua juga bisa ikut. Gue mau tidur di kelas, lumayan free class capek begadang semalam."

Afdi berdecak. "Ya nggak seru kalau lo nggak ikut 'kan jadi nggak lengkap, Emgansi."

"Emgansi? Apaan tuh?" bingung Ardan.

"Empat cogan bergengsi," ujar Afdi menaik turunkan alis.

Ardan bergidik melihat tingkah Afdi. "Jijik gue ngeliat lo kayak gitu."

El masih menatap ketiga temannya, malas, memindahkan kedua tangannya menjadi bantal. "Kalian kalau mau kelapangan, kelapangan aja. Nggak usah pakai nama apa itu ... terasi?"

"Emgansi El!" tegur Afdi.

"Nah itu ... terserah mau namanya apa, buruan sana, gue mau pulesin tidur di sini."

El kembali memejamkan matanya. Afdi menganggu saja, padahal ia sedang memimpikan Ralika yang tersenyum manis padanya.

"Ya kalau lo nggak mau nggak papa biar kita aja." El masih setia memejamkan mata dengan kepala tersandar di kepala kursi, "padahal yang jadi wasitnya Ika."

Mendengar nama itu, El seketika membuka matanya. Menatap Afdi yang berwajah pasrah, seperti tak ada harapan. "Serius lo?" tanyanya memastikan.

"Ya seri-"

El langsung beranjak dari duduknya sebelum Afdi melanjutkan kata-katanya. Cowok itu langsung berdiri, berjalan keluar kelas meninggalkan ketiga temannya yang masih melongo melihatnya.

"Duh tuh anak gilaran cewek aja cepat. Katanya ngantuk!" ujar Ardan sambil menggeleng heran.

"Ya namanya lagi usaha," balas Ilham.

Ketiganya terdiam sejenak. Sesaat kemudian mereka keluar dari kelas menyusul El yang sudah mendahului mereka.

Sesampainya di lapangan El mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan yang nampak ramai. Matanya terus mencari keberadaan Ralika.

Fokusnya terhenti pada satu titik di mana Ralika sedang berdiri memakai baju kaos berwarna biru dilengkapi celana training hitam, tak lupa di kepala cewek itu terpasang topi dan di lehernya juga terdapat peluit.

Tapi, ada hal yang tak disukainya, di sana ada seorang cowok dengan seragam basket yang nampak berbicara dengan Ralika sambil sesekali tersenyum. Walaupun ekspresi Ralika tampak datar, tapi tetap saja ia tak suka melihat itu.

"El!" El menoleh ke belakang. Afdi, Ardan, dan Ilham mendekat.

"Ngeliatin apaan? Ika ya?"

El menatap lurus, masih dengan pandangan tak suka. "Siapa tuh cowok?" tanya El tanpa menjawab pertanyaan Ilham. Ketiganya mengikuti arah pandang El yang seolah tak bersahabat.

"Oh itu. Dia namanya Alex, Ketua OSIS kita sekaligus kapten tim basket," jelas Afdi.

Iham melirik El yang masih setia pada tatapan datarnya. "Udah nggak usah jealous gitu. Ika 'kan waketos, jadi wajarlah mereka mungkin lagi bicarain soal OSIS. Mendingan kita duduk di sana."

El menatap Ardan sekilas kemudian melihat arah mata cowok itu. Mereka berempat berjalan mendekat di bangku penonton yang sudah di padati para siswi. El menghembuskan napasnya pelan, lalu mengangkat sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman. "Misi, bisa geser nggak? Gue sama temen-temen gue mau duduk di sini."

Entah terhipnotis atau apa. Beberapa siswi langsung bergeser, senyuman El begitu membuat jantung mereka seakan loncat, kalau masalah seperti ini seorang Dariel memang sangat pandai.

"Gile, cuman bilang gitu doang langsung nurut," bisik Ilham pada Afdi yang di beri anggukan oleh cowok itu.

Ke empat cowok itu duduk di barisan depan. Beberapa menit setelah itu semua pemain berada di posisi masing-masing.

Ralika maju dengan bola basket berwarna hitam di tangannya, peluit menempel di ujung mulut. Alex dan lawannya bersiap mengambil ancang-ancang merebut bola.

Setelah peluit dibunyikan dan bola sudah di lambungkan ke atas. Dengan sigap Alex meloncat, cowok itu mengarahkan bola ke arah lawan. Suara riuh terdengar dari para penonton, teriakan histeris terdengar menyemangati Alex.

Wira --tim Alex-- melempar bola yang langsung di sambar cowok itu. Alex mengelak kiri ke kanan berusaha mengecoh lawannya. Dengan gerakan lincah Alex mendekati ring lawan dan...

Masuk ...

Suara tepukan langsung terdengar saat Alex mencetak poin. Ralika meniup peluit, menggerakan tangan kanannya layaknya peran sebagai wasit. El yang sejak tadi tidak fokus pada pertandingan, masih setia memperhatikan Ralika. Tak satupun pergerakan cewek itu yang terlewat dari pandangannya, bahkan, saat Ralika mengusap dahinya karena berkeringat El tak henti-hentinya tersenyum.

Permainan masih terus berlanjut. Suporter sudah tak karuan meneriaki nama Alex. Cowok itu melempar bola ke arah Deni, namun justru tak tertangkap. Malah bola itu terlempar ke barisan penonton.

El yang melihat sebuah bola mendekat dengan sigap menangkap. Ia berdiri dari duduknya, menatap Ralika sekilas yang kini juga sedang menatapnya.

Semua penonton terdiam.

Tanpa diduga El justru mendekat ke lapangan dengan tangan men-drible bola. Matanya melihat ke arah ring yang berjarak agak jauh dari tempat berdirinya. Cowok itu melempar bolanya.

Semua terperangah. Begitupun ketiga teman El yang masih di tempat semula, yang sama-sama membuka mulut. El melempar bola dengan entengnya dan bola itu masuk dengan sempurna.

Sesaat setelah itu, suara tepukan langsung terdengar. Alex mendekat ke arah El sambil berlari kecil. "Sorry, lo nggak apa-apa 'kan?"

"Nggak, cuman lain kali hati-hati aja. Bisa jadi orang lain bisa kena."

Alex tersenyum. "Btw, lo anak pindahan itu, ya? Ternyata, lo jago juga main basket, kalau mau lo bisa gabung di tim."

"Thanks, tapi kayaknya gue harus pikirin lagi. Karena jujur gue belum terlalu minat ikut ekskul."

Alex tersenyum mencoba mengerti. Dia menepuk pundak El beberapa kali. "Oke, tapi, lo harus pikirin dulu. Lo bisa jadi penguat SMA Dharma."

☁☁☁

"Ra, gimana gue tadi hebat, nggak?"

Ralika berhenti beberapa saat lalu kembali berjalan. "Mungkin hebat untuk semua orang."

"Apa itu termasuk lo?"

Ralika tak menjawab. Cewek berambut di ikat itu tetap terfokus ke depan. Melihat sikap Ralika, El sama sekali tak menyerah, cowok itu kembali berusaha berjalan cepat mengimbangi langkah Ralika yang tergolong seperti berlari.

"Kak Ika, Kak El!" panggil seseorang Keduanya terhenti, suara itu terdengar dari belakang, mereka menoleh.

"Ada apa?" tanya El langsung saat gadis itu telah berdiri dihadapan mereka.

"Anu ... Kak, kalian dipanggil kepala sekolah."

"Ya, nanti kita ke sana," jawab El. Siswi itu mengangguk kemudian, berjalan pergi.

Kembali sorot mata El manangkap ekspresi wajah Ralika. "Tuh, Ra. Kepala sekolah aja udah ngasih restu buat kita, tinggal resmiin aja."

Ralika mengangkat sebelah alis mendengar perkataan El yang sangat ngawur. "Kamu jangan mengada-ngada!"

Ralika berjalan lebih dulu meninggalakan cowok itu. El berdecak pelan---susah sekali dekat dengan cewek itu. "Tuh 'kan ditinggalin lagi!"

El menyusul Ralika setengah berlari. Dalam hatinya, ia juga penasaran apa gerangan Bima memanggil dirinya. Apa dia membuat kesalahan? Tapi, rasanya tidak mungkin, karena Ralika juga terlibat. Cewek teladan dan tertib seperti Ralika, membuat kesalahan. Yang benar saja?

Ralika mengetuk pintu ruang kepala sekolah. El baru tiba di belakangnya.

Walau Ralika tak pernah terlihat tersenyum. Cewek ini masih bisa bersikap sopan, El malah kebalikannya. Ia bahkan, tak pernah yang namanya meminta izin atau mengetuk pintu ruang guru kalau sedang dipanggil. Langsung masuk aja.

"Oh kalian, silahkan masuk."

Ralika dan El mendekat. Langsung duduk di kursi depan kepala sekolah, di sana bukan hanya terlihat Bima, tapi seorang wanita yang menggunakan setelan formal.

"Tante."

El mengamati perempuan yang sedang duduk di sofa. Tante? Otaknya langsung mengambil kesimpulan. El dengan cepat meraih tangan Niken langsung menyaliminya. Niken sempat terkejut, ia sama sekali tak kenal dengan anak muda itu.

"Selamat siang tante, saya 'temen' nya Ralika," ujarnya menekan kata temen melirik Ralika sekilas.

"Iya-iya." Niken masih menatap lekat El yang nampak tersenyum. Masih merasa aneh dan setengah bingung.

"Ada apa Tante ke sini?" Niken mengalihkan pandangan, menatap sang keponakan.

"Tante mau jemput kamu, sekarang kita ke rumah sakit!"

El menangkap ekspresi cewek itu lewat ujung mata. Memang terlihat datar, tapi dari matanya Ralika ada keterkejutan.

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak."

Bima mengangguk bersamaan dengan Niken dan Ralika yang pergi dari ruangan itu. Setelah keduanya menghilang dari balik pintu, matanya kembali menatap El yang sedang bingung. "Rumah sakit, emang siapa yang sakit, Om?"

"Om tidak tau. Itu masalah mereka, yang terpenting sekarang kamu."

El menelan salivanya susah payah. "El? emangnya El ngelakuin apa?"

El berusaha setenang mungkin, berusaha menutupi hatinya yang sedang ketar-ketir. Ia takut Bima tau kelakuannya yang membuat Wike marah beberapa hari yang lalu. Gawat kalau ketahuan mamanya, bisa dipotong uang saku.

"Kenapa kamu? Kayak mau dihukum aja?" ledek Bima.

"Nggak papa, Om." Bima mengamati ekspresi El. Bukan El kalau tak dapat mengelak. Cowok itu menegakan badannya.

"Enggak, cuman heran aja. Pak Bima mau manggil murid biasa seperti saya."

Bima terkekeh. "Ya ampun. Kamu mau nyindir Om."

"Ah terserah om lah. Terus kenapa El di panggil ke sini?" tanya El

"Om dengar dari Alex. Dia sempet nawarin kamu jadi bagian tim basket?" El menghela napas lega. Ia pikir apa?

"Iya, tadi tuh KETOS nawarin, El bilang belum minat ikut."

"Kalau saran Om. Kamu sebaiknya gabung, selain memperkuat tim basket SMA Dharma, kamu bisa buktiin kamu bukan biang onar."

"Ceritanya balik nyindir, nih."

Bima tersenyum kecil. "Bisa dibilang kayak gitu."

El mendengus. Padahal aksinya di lapangan tadi hanya untuk membuat Ralika terkesan. Tapi, nampaknya cewek sama sekali tak peduli dengan usahanya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status